Senin, 21 November 2016

Woman of The Year 2009 (Refleksi Pengalaman)


Tahun 2009 saya dianugerahi penghargaan Woman of The Year oleh pemerintah Italia. Berbeda dengan berbagai award yang pernah saya terima, keunikan Woman of The Year 2009 ada dua: Pertama, cara penelusuran kandidat dilakukan melalui internet. Panitia menggoogling para perempuan di seluruh dunia yang aktif berkiprah nyata membela hak asasi manusia, khususnya kaum minoritas yang marjinal. Kedua, spesifikasi yang ditetapkan untuk menjadi nominator sangat ketat, di antaranya melalui diskusi dan debat publik yang dihadiri sejumlah tokoh yang bertindak selaku juri.  
Panitia pemilihan terdiri dari 6 orang juri: diketuai Menteri Kesehatan dan Sains dengan anggota terdiri dari: wakil dari Kementerian Luar Negeri Italia; wakil dari Korporasi dan Organisasi Fashion; Wakil dari organisasi Human Rights; Wakil dari Parlemen A’osta; dan Wakil dari organisasi Soroptimist semacam organisasi sosial.
Seleksi pertama panitia menghasilkan 127 kandidat dari seluruh dunia. Selanjutnya, seleksi kedua terhadap 127 kandidat tersebut hanya menyisakan 36 kandidat dari 27 negara, lalu seleksi ketiga melahirkan 3 nominator, yakni: Aiche Ech Channa (aktivis perempuan asal Marokko); Mary Akrami (aktivis perempuan asal Afghanistan), dan Musdah Mulia (aktivis perempuan asal Indonesia). Panitia sangat terkesan karena selama 12 tahun acara pemberian award, baru kali ini menemukan kandidat dari Indonesia.
Pada tahap seleksi akhir kami bertiga, para nominator diundang ke Provinsi Aosta, yang terletak di ujung Italia Utara. Kehadiran kami di sana masih dalam proses seleksi untuk memilih siapa di antara kami yang berhak menerima award tersebut.
Seleksi tersebut dilakukan dalam bentuk kunjungan ke berbagai instansi dan lembaga dimana kami memaparkan aksi-aksi kemanusiaan dan kerja-kerja konkret kami di negara masing-masing terkait dengan upaya penegakan demokrasi dan hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan dan kelompok minoritas.
Di antara institusi yang kami kunjungi adalah sekolah negeri setingkat SMP. Di sana kami menjelaskan berbagai isu dan kerja-kerja yang kami tekuni selama ini di hadapan murid-murid sekolah tersebut. Para murid tersebut bertanya secara kritis tentang kiprah dan komitmen kami dalam memperjuangkan penegakan demokrasi dan HAM. Mereka juga bertanya tentang hambatan yang kami hadapi dan bagaimana kami mengatasi hambatan tersebut. Acara kunjungan dan diskusi di berbagai instansi dan lembaga serta dialog dengan para murid itu dipantau oleh para juri tanpa kami sadari.
Pada malam resepsi penganugerahan pun masih ada seleksi dari juri. Satu persatu kami  diundang ke panggung. Lalu oleh para juri kami ditanyai soal visi dan misi serta komitmen kami dalam kerja-kerja kemanusiaan. Kami pun menjelaskan di hadapan tamu yang jumlahnya lebih dari 300 orang tentang berbagai isu yang kami geluti dan menjadi konsen kami di negeri masing-masing.
Setelah itu, barulah Ketua Dewan Juri menyampaikan keputusan Juri tentang siapa yang berhak menjadi Woman of The Year. Rasanya seperti pemilihan Miss Universe, seru dan tegang. Namun, saya melalui semua itu dengan perasaan biasa saja. Sebab tujuan utama saya bukan soal dapat penghargaan atau tidak, ini bukan persoalan kalah atau menang.
Saya sadar betul, motivasi dari semua apa yang saya kerjakan selama ini adalah menegakkan keadilan demi menggapai ridha Allah semata. Saya yakin sepenuhnya keadilan adalah esensi dari ajaran Islam. Keadilan juga merupakan nilai universal yang melandasi penegakan demokrasi dan HAM.
Islam hadir untuk menegakkan keadilan bagi semua manusia tanpa kecuali. Karena itu, semua Muslim berkewajiban sesuai kapasitas masing-masing untuk mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan dalam masyarakat. Ketidakadilan itu sering mengambil wujud perilaku dan sikap kekerasan, kezaliman, korupsi, diskriminasi, eksploitasi, dominasi, manipulasi dan intimidasi.
Saya tidak pernah berharap mendapatkan penghargaan dari kerja-kerja yang saya tekuni selama ini. Walau demikian, saya pun merasa bahagia karena penghargaan pun datang dari berbagai pihak, tanpa pernah saya duga sebelumnya. Saya selalu menjadikan penghargaan itu sebagai motivasi dan dorongan kuat untuk berkarya dan bekerja lebih giat dan lebih banyak lagi demi membahagiakan banyak orang.  Meskipun  banyak cacian dan hujatan yang saya terima, hal itu tidak menyurutkan langkah untuk maju dan maju terus memperjuangkan kebenaran dan keadilan sesuai ajaran agama yang saya yakini.
Dari award tersebut saya melihat bahwa kalangan korporasi, termasuk korporasi di bidang fashion di Italia  bukan hanya memikirkan keuntungan material, melainkan juga peka terhadap persoalan kemanusiaan. Setiap perusahaan di sana punya bidang sosial atau bantuan kemanusiaan yang berfungsi secara efektif. Mungkin kita dapat meniru kolaborasi yang cantik di Italia antara aktivis, pemerintah dan korporasi, termasuk korporasi yang berkiprah di dunia fashion. Sebab, persoalan demokrasi dan HAM adalah persoalan kemanusiaan bersama yang hanya dapat ditegakkan melalui networking yang kuat di antara semua elemen masyarakat.
Ketika ditanya tentang perempuan Indonesia, saya jelaskan bahwa secara umum, perempuan Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan dibandingkan beberapa tahun lalu. Perempuan sudah berani bersuara, tidak lagi membisu seperti dahulu. Perempuan sudah memiliki keberanian mengekspresikan pandangan dan aspirasinya secara terbuka. Walaupun masih harus diakui jumlah mereka belum signifikan untuk melakukan perubahan besar di masyarakat. Karena itu, ke depan  masih diperlukan upaya serius bagaimana memperbanyak jumlah perempuan yang berani bersuara dan  berani menentang ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender.
 Caranya adalah dengan meningkatkan taraf ekonomi perempuan, memperluas wawasan, meningkatkan kualitas ilmu dan skill mereka di berbagai bidang, serta memperbanyak keterwakilan perempuan dalam level pengambilan keputusan di berbagai bidang, utamanya dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Secara umum, kendala yang dihadapi kaum perempuan Indonesia terfokus pada tiga hal: Pertama, terkait kultur atau budaya patriarkal, budaya yg memandang perempuan sebagai orang kedua dan tidak penting. Kedua, terkait struktur dalam bentuk kebijakan publik dan undang-undang yang diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan. Contoh konkret: UU Perkawinan, UU Ketenagakerjaan; UU Kesehatan; UU Catatan Sipil; UU Anti Pornografi serta sejumlah Perda inkonstitusional. Ketiga, terkait interpretasi ajaran agama yang tidak ramah terhadap perempuan serta lebih banyak meminggirkan perempuan dan menempatkan mereka hanya sebagai obyek seksual.
Ketika saya ditanya soal perkawinan, dengan tegas saya jelaskan bahwa perkawinan  adalah sebuah komitmen kemanusiaan demi mencapai ridha Allah, dalam bahasa Al-Qur’an disebut Mitsaqan Galiza (suatu ikatan yang amat kokoh), bukan sekedar ikatan syahwat atau ikatan jasmani dan biologis. Dalam perkawinan, ikatan itu meliputi fisik, psikis, materi, ruhani, dan spiritual. Karena itu, perkawinan harus dilandasi dengan 5 prinsip utama: prinsip mawaddah wa rahmah (cinta yang tak bertepi); prinsip musawah (kesederajatan perempuan dan laki-laki); prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (perilaku santun dan penuh keadaban); prinsip saling menghormati dan saling melengkapi; serta prinsip monogami.
Bagi saya, hubungan suami-Isteri adalah hubungan kemanusiaan yang sangat intim, didasarkan pada keadilan, kesederajatan, cinta kasih, ketulusan, kepedulian, tanggung jawab dan solidaritas.  Atas dasar ini, keduanya harus berbagi tugas dan kewajiban, baik dalam ranah domestik di rumah tangga maupun di ranah publik. Siapa mengerjakan apa, tidak mesti diatur secara rigid. Bagi saya, tugas-tugas kodrati isteri hanyalah sepanjang menyangkut masalah reproduksi. Selain itu, mengasuh dan mendidik anak, membersihkan rumah, masak, menyiapkan makanan, mencuci dan seterusnya dapat dishare secara tulus. Semua pekerjaan rumah tangga dapat dikerjakan secara baik dan profesional oleh keduanya. Suami-isteri harus bekerjasama dengan penuh kearifan.
Selain itu, terkait pendidikan anak, saya tegaskan bahwa anak-anak sejak kecil sangat perlu diajarkan tentang pentingnya penghargaan terhadap manusia, siapa pun dia. Manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati. Penting menanamkan pada anak akan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kepedulian terhadap sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, jenis gender, suku dan agama. Demikian pula kepedulian terhadap makhluk lain dan juga terhadap kelestarian lingkungan.
Dalam kehidupan rumah tangga, perbedaan pendapat bukan hal yang tabu sehingga harus dihindari. Yang penting adalah bagaimana respon kita terhadap pendapat yang berbeda. Sebagai orang beradab, kita harus menghormati pendapat orang lain, apalagi pendapat suami atau isteri yang merupakan belahan jiwa kita. Perbedaan pendapat tidak perlu membawa kepada kebencian, apalagi permusuhan.
Pengalaman pribadi kami di rumah membuktikan bahwa saya dan suami sering berbeda pendapat dalam banyak hal, tetapi kami lalu sadar bahwa perbedaan itu adalah wajar. Bukankah Rasul mengatakan, perbedaan pendapat di kalangan ummatku adalah rahmat? Justru perbedaan pendapat itulah yang menginspirasi lahirnya banyak pemikir dan ilmuwan terkemuka di masa-masa awal Islam. Yang penting, setiap pendapat harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan jangan terjebak pada sikap absolut atau memutlakkan pendapat sendiri.
Ketika seorang juri bertanya, apakah pantas seorang perempuan bersikap berani? Bukankah keberanian selama ini dianggap sebagai ciri maskulin? Dengan lantang saya jawab, itu sangat keliru!! Menurut saya, perempuan dan laki-laki sama-sama harus mengembangkan dalam dirinya unsur maskulinitas dan feminitas secara seimbang sehingga terbangun laki-laki dan perempuan yang keduanya memiliki dalam dirinya unsur maskulin dan feminin secara seimbang. Sikap keberanian adalah positif dan pantas dimiliki oleh perempuan dan laki-laki. Yang penting sikap ini harus diikuti rasa tanggung jawab dan solidaritas yang kuat.
Pertanyaan terakhir terkait hukuman mati dan konon kabarnya itulah yang menentukan poin paling tinggi untuk saya dalam award ini. Dengan tegas saya katakan, hukuman mati harus diakhiri karena hukuman mati adalah sebuah kejahatan dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Semua ajaran Islam yang berkaitan dengan hukuman mati haruslah dibaca sebagai ajaran yang bersipat transisional yang merupakan konsekuensi dari tuntutan sosio-historis masyarakat Arab ketika itu. Untuk kebutuhan masa sekarang dimana tuntutan kemanusiaan global menghendaki adanya penghormatan yang tinggi kepada harkat dan martabat manusia, maka ajaran yang membolehkan hukuman mati itu dianggap sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan manusia  (maqashid al-syari’ah) yang menjadi inti dari seluruh bangunan syari’at Islam.
Suasana gemerlap malam pemberian award Women of The Year 2009 di Aosta Valley, Italia masih terkenang sampai sekarang dan itu salah satu yang mendorong saya untuk terus berkarya membela kemanusiaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar