Tahun 2009
saya dianugerahi penghargaan Woman of The Year oleh pemerintah
Italia. Berbeda dengan berbagai award yang pernah saya terima, keunikan Woman
of The Year 2009 ada dua: Pertama, cara penelusuran kandidat dilakukan melalui
internet. Panitia menggoogling para perempuan di seluruh dunia yang
aktif berkiprah nyata membela hak asasi manusia, khususnya kaum minoritas yang
marjinal. Kedua, spesifikasi yang ditetapkan untuk menjadi nominator sangat
ketat, di antaranya melalui diskusi dan debat publik yang dihadiri sejumlah
tokoh yang bertindak selaku juri.
Panitia
pemilihan terdiri dari 6 orang juri: diketuai Menteri Kesehatan dan Sains
dengan anggota terdiri dari: wakil dari Kementerian Luar Negeri Italia; wakil
dari Korporasi dan Organisasi Fashion; Wakil dari organisasi Human Rights;
Wakil dari Parlemen A’osta; dan Wakil dari organisasi Soroptimist semacam
organisasi sosial.
Seleksi pertama
panitia menghasilkan 127 kandidat dari seluruh dunia. Selanjutnya, seleksi
kedua terhadap 127 kandidat tersebut hanya menyisakan 36 kandidat dari 27
negara, lalu seleksi ketiga melahirkan 3 nominator, yakni: Aiche Ech Channa (aktivis
perempuan asal Marokko); Mary Akrami (aktivis perempuan asal Afghanistan), dan
Musdah Mulia (aktivis perempuan asal Indonesia). Panitia sangat terkesan karena
selama 12 tahun acara pemberian award, baru kali ini menemukan kandidat
dari Indonesia.
Pada tahap
seleksi akhir kami bertiga, para nominator diundang ke Provinsi Aosta, yang
terletak di ujung Italia Utara. Kehadiran kami di sana masih dalam proses
seleksi untuk memilih siapa di antara kami yang berhak menerima award tersebut.
Seleksi
tersebut dilakukan dalam bentuk kunjungan ke berbagai instansi dan lembaga
dimana kami memaparkan aksi-aksi kemanusiaan dan kerja-kerja konkret kami di
negara masing-masing terkait dengan upaya penegakan demokrasi dan hak asasi
manusia, khususnya hak asasi perempuan dan kelompok minoritas.
Di antara
institusi yang kami kunjungi adalah sekolah negeri setingkat SMP. Di sana kami
menjelaskan berbagai isu dan kerja-kerja yang kami tekuni selama ini di hadapan
murid-murid sekolah tersebut. Para murid tersebut bertanya secara kritis
tentang kiprah dan komitmen kami dalam memperjuangkan penegakan demokrasi dan
HAM. Mereka juga bertanya tentang hambatan yang kami hadapi dan bagaimana kami
mengatasi hambatan tersebut. Acara kunjungan dan diskusi di
berbagai instansi dan lembaga serta dialog dengan para murid itu dipantau oleh
para juri tanpa kami sadari.
Pada malam resepsi penganugerahan pun masih ada seleksi dari juri. Satu
persatu kami diundang ke panggung. Lalu
oleh para juri kami ditanyai soal visi dan misi serta komitmen kami dalam
kerja-kerja kemanusiaan. Kami pun menjelaskan di hadapan tamu yang jumlahnya
lebih dari 300 orang tentang berbagai isu yang kami geluti dan menjadi konsen
kami di negeri masing-masing.
Setelah itu, barulah Ketua Dewan Juri menyampaikan keputusan Juri tentang
siapa yang berhak menjadi Woman of The Year. Rasanya seperti pemilihan
Miss Universe, seru dan tegang. Namun, saya melalui semua itu dengan perasaan
biasa saja. Sebab tujuan utama saya bukan soal dapat penghargaan atau tidak, ini
bukan persoalan kalah atau menang.
Saya sadar betul, motivasi dari semua apa yang saya kerjakan selama ini
adalah menegakkan keadilan demi menggapai ridha Allah semata. Saya yakin
sepenuhnya keadilan adalah esensi dari ajaran Islam. Keadilan juga merupakan
nilai universal yang melandasi penegakan demokrasi dan HAM.
Islam hadir untuk menegakkan keadilan bagi semua manusia tanpa kecuali.
Karena itu, semua Muslim berkewajiban sesuai kapasitas masing-masing untuk
mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan dalam masyarakat. Ketidakadilan itu
sering mengambil wujud perilaku dan sikap kekerasan, kezaliman, korupsi, diskriminasi,
eksploitasi, dominasi, manipulasi dan intimidasi.
Saya tidak pernah berharap mendapatkan penghargaan dari kerja-kerja yang
saya tekuni selama ini. Walau demikian, saya pun merasa bahagia karena penghargaan
pun datang dari berbagai pihak, tanpa pernah saya duga sebelumnya. Saya selalu
menjadikan penghargaan itu sebagai motivasi dan dorongan kuat untuk berkarya
dan bekerja lebih giat dan lebih banyak lagi demi membahagiakan banyak
orang. Meskipun banyak cacian dan hujatan yang saya terima,
hal itu tidak menyurutkan langkah untuk maju dan maju terus memperjuangkan
kebenaran dan keadilan sesuai ajaran agama yang saya yakini.
Dari award tersebut saya melihat bahwa kalangan korporasi, termasuk korporasi
di bidang fashion di Italia bukan hanya
memikirkan keuntungan material, melainkan juga peka terhadap persoalan
kemanusiaan. Setiap perusahaan di sana punya bidang sosial atau bantuan
kemanusiaan yang berfungsi secara efektif. Mungkin kita dapat meniru kolaborasi
yang cantik di Italia antara aktivis, pemerintah dan korporasi, termasuk
korporasi yang berkiprah di dunia fashion. Sebab, persoalan demokrasi dan HAM
adalah persoalan kemanusiaan bersama yang hanya dapat ditegakkan melalui networking
yang kuat di antara semua elemen masyarakat.
Ketika ditanya tentang
perempuan Indonesia, saya jelaskan bahwa secara umum, perempuan Indonesia sudah
mengalami banyak kemajuan dibandingkan beberapa tahun lalu. Perempuan sudah
berani bersuara, tidak lagi membisu seperti dahulu. Perempuan sudah memiliki
keberanian mengekspresikan pandangan dan aspirasinya secara terbuka. Walaupun
masih harus diakui jumlah mereka belum signifikan untuk melakukan perubahan
besar di masyarakat. Karena itu, ke depan
masih diperlukan upaya serius bagaimana memperbanyak jumlah perempuan
yang berani bersuara dan berani
menentang ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender.
Caranya adalah dengan meningkatkan taraf
ekonomi perempuan, memperluas wawasan, meningkatkan kualitas ilmu dan skill
mereka di berbagai bidang, serta memperbanyak keterwakilan perempuan dalam level
pengambilan keputusan di berbagai bidang, utamanya dalam bidang eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
Secara umum, kendala yang
dihadapi kaum perempuan Indonesia terfokus pada tiga hal: Pertama, terkait
kultur atau budaya patriarkal, budaya yg memandang perempuan sebagai orang
kedua dan tidak penting. Kedua, terkait struktur dalam bentuk kebijakan publik
dan undang-undang yang diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan. Contoh
konkret: UU Perkawinan, UU Ketenagakerjaan; UU Kesehatan; UU Catatan Sipil; UU
Anti Pornografi serta sejumlah Perda inkonstitusional. Ketiga, terkait
interpretasi ajaran agama yang tidak ramah terhadap perempuan serta lebih
banyak meminggirkan perempuan dan menempatkan mereka hanya sebagai obyek
seksual.
Ketika saya ditanya soal
perkawinan, dengan tegas saya jelaskan bahwa perkawinan adalah sebuah komitmen kemanusiaan demi
mencapai ridha Allah, dalam bahasa Al-Qur’an disebut Mitsaqan Galiza
(suatu ikatan yang amat kokoh), bukan sekedar ikatan syahwat atau ikatan
jasmani dan biologis. Dalam perkawinan, ikatan itu meliputi fisik, psikis,
materi, ruhani, dan spiritual. Karena itu, perkawinan harus dilandasi dengan 5
prinsip utama: prinsip mawaddah wa rahmah (cinta yang tak bertepi);
prinsip musawah (kesederajatan perempuan dan laki-laki); prinsip mu’asyarah
bil ma’ruf (perilaku santun dan penuh keadaban); prinsip saling menghormati
dan saling melengkapi; serta prinsip monogami.
Bagi
saya, hubungan suami-Isteri adalah hubungan kemanusiaan yang sangat intim,
didasarkan pada keadilan, kesederajatan, cinta kasih, ketulusan, kepedulian,
tanggung jawab dan solidaritas. Atas
dasar ini, keduanya harus berbagi tugas dan kewajiban, baik dalam ranah
domestik di rumah tangga maupun di ranah publik. Siapa mengerjakan apa, tidak
mesti diatur secara rigid. Bagi saya, tugas-tugas kodrati isteri
hanyalah sepanjang menyangkut masalah reproduksi. Selain itu, mengasuh dan
mendidik anak, membersihkan rumah, masak, menyiapkan makanan, mencuci dan
seterusnya dapat dishare secara tulus. Semua pekerjaan rumah tangga dapat
dikerjakan secara baik dan profesional oleh keduanya. Suami-isteri harus
bekerjasama dengan penuh kearifan.
Selain itu, terkait
pendidikan anak, saya tegaskan bahwa anak-anak sejak kecil sangat perlu diajarkan
tentang pentingnya penghargaan terhadap manusia, siapa pun dia. Manusia adalah
makhluk bermartabat yang memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati. Penting
menanamkan pada anak akan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kepedulian
terhadap sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, jenis gender, suku dan
agama. Demikian pula kepedulian terhadap makhluk lain dan juga terhadap kelestarian
lingkungan.
Dalam kehidupan rumah
tangga, perbedaan pendapat bukan hal yang tabu sehingga harus dihindari. Yang
penting adalah bagaimana respon kita terhadap pendapat yang berbeda. Sebagai
orang beradab, kita harus menghormati pendapat orang lain, apalagi pendapat
suami atau isteri yang merupakan belahan jiwa kita. Perbedaan pendapat tidak
perlu membawa kepada kebencian, apalagi permusuhan.
Pengalaman pribadi kami di
rumah membuktikan bahwa saya dan suami sering berbeda pendapat dalam banyak
hal, tetapi kami lalu sadar bahwa perbedaan itu adalah wajar. Bukankah Rasul
mengatakan, perbedaan pendapat di kalangan ummatku adalah rahmat? Justru
perbedaan pendapat itulah yang menginspirasi lahirnya banyak pemikir dan
ilmuwan terkemuka di masa-masa awal Islam. Yang penting, setiap pendapat harus
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan jangan terjebak pada sikap absolut
atau memutlakkan pendapat sendiri.
Ketika seorang juri
bertanya, apakah pantas seorang perempuan bersikap berani? Bukankah keberanian
selama ini dianggap sebagai ciri maskulin? Dengan lantang saya jawab, itu sangat
keliru!! Menurut saya, perempuan dan laki-laki sama-sama harus mengembangkan
dalam dirinya unsur maskulinitas dan feminitas secara seimbang sehingga
terbangun laki-laki dan perempuan yang keduanya memiliki dalam dirinya unsur
maskulin dan feminin secara seimbang. Sikap keberanian adalah positif dan
pantas dimiliki oleh perempuan dan laki-laki. Yang penting sikap ini harus
diikuti rasa tanggung jawab dan solidaritas yang kuat.
Pertanyaan
terakhir terkait hukuman mati dan konon kabarnya itulah yang menentukan poin
paling tinggi untuk saya dalam award ini. Dengan tegas
saya katakan, hukuman mati harus diakhiri karena hukuman mati adalah sebuah
kejahatan dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Semua ajaran
Islam yang berkaitan dengan hukuman mati haruslah dibaca sebagai ajaran yang
bersipat transisional yang merupakan konsekuensi dari tuntutan sosio-historis
masyarakat Arab ketika itu. Untuk kebutuhan masa sekarang dimana tuntutan
kemanusiaan global menghendaki adanya penghormatan yang tinggi kepada harkat
dan martabat manusia, maka ajaran yang membolehkan hukuman mati itu dianggap
sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan manusia
(maqashid al-syari’ah) yang
menjadi inti dari seluruh bangunan syari’at Islam.
Suasana gemerlap malam pemberian award Women of The Year 2009 di Aosta
Valley, Italia masih terkenang sampai sekarang dan itu salah satu yang
mendorong saya untuk terus berkarya membela kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar