Pidato Penerimaan Nabil Award 2012
Oleh: Musdah Mulia
Tiada ucapan yang paling ingin saya sampaikan dalam
forum istimewa ini selain ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Dewan
Penilai Nabil Award yang memilih saya sebagai salah satu penerima penghargaan.
Demikian pula secara khusus saya menyampaikan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya kepada bapak Eddie Lembong, selaku Pendiri dan Ketua Yayasan
Nabil, sebuah organisasi yang sangat konsen pada upaya membangun masyarakat
Indonesia yang cinta damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan
nilai-nilai universal kemanusiaan.
Bagi saya, penghargaan ini walaupun dihadiahkan kepada
saya pribadi, namun hakikatnya merupakan pengakuan akan kerja-kerja kemanusiaan
yang dilakukan oleh banyak orang yang seringkali luput dari perhatian publik,
dan seringkali dianggap tidak penting. Karena itu, saya berdiri di sini
mewakili banyak pihak yang juga melakukan hal serupa, melakukan aktivitas
kemasyarakatan dan kemanusiaan tanpa berharap penghargaan apa pun, semata
karena ingin membangun masa depan peradaban manusia yang lebih baik, masa depan
Indonesia yang lebih demokratis.
Perang Dunia II meninggalkan jejak yang sangat mengerikan sehingga
menginspirasi umat manusia sedunia tentang pentingnya suatu tata nilai baru
bersifat universal dan lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Konsep nilai tersebut diharapkan menjadi pijakan bersama dalam memastikan
terwujudnya suatu peradaban manusia yang lebih demokratis. Sejarah mencatat
kemudian lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 10 Januari 1948.
Hak Asasi Manusia adalah suatu konsep etika politik modern dengan gagasan
pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul
bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan
manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development).
Konsep HAM
berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk bermartabat tanpa
membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa,
maupun agama. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah
hak dasar yang asasi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak
beragama dan berkepercayaan. Namun, dibalik hak-hak dasar tersebut terdapat
kewajiban asasi manusia yang harus ditunaikan oleh semua manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai warga negara. Adalah tugas negara melindungi, memenuhi
dan mempromosikan hak-hak asasi semua warganya tanpa kecuali.
Salah satu ciri negara demokrasi modern adalah aktif mempromosikan hak
asasi manusia. Tingkat demokrasi suatu negara tercermin dari seberapa besar
komitmen negara tersebut dalam upaya pemajuan dan perlidungan HAM. Indonesia
sejak awal telah berkomitmen pada upaya pemajuan dan perlindungan HAM seperti
terlihat dalam Pancasila, khususnya sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan
beradab serta pasal-pasal yang relevan dalam UUD 1945. Beralasan jika Indonesia
tercatat sebagai salah satu negara yang menandatangani deklarasi HAM 1948.
Pemerintah otoriter Orde Baru melupakan komitmen Indonesia sebagai
negara demokrasi sehingga upaya pemajuan dan perlindungan HAM tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Bahkan, negara melakukan pelanggaran HAM berat secara
terbuka dan kasat mata serta menimbulkan korban yang sangat besar. Di
antaranya, korban DOM di Aceh, korban Tragedi Mei 98, Korban PKI 1965, Korban
Kasus Tanjung Priok, Kasus Timor-Timur dan seterusnya.
Angin reformasi menerpa Indonesia tahun 1998,
menyebabkan terbukanya kembali keran demokrasi yang sengaja disumbat selama
masa Orde Baru. Suasana bebas dan terbuka di negeri ini disambut banyak pihak
dengan mendirikan berbagai organisasi dan mengusung pikiran-pikiran yang
mendorong proses demokratisasi.
Inti demokrasi adalah penghormatan dan penghargaan
terhadap manusia dan kemanusiaan. Proses demokratisasi sesungguhnya adalah
upaya penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia tanpa kecuali. Pilihan
demokrasi seharusnya membawa pada kesejahteraaan dan kemaslahatan semua warga
negara seperti dijanjikan dalam preambul kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1998, bersama sejumlah peneliti yang
kritis dan konsen pada ide-ide demokrasi, kami mendirikan Lembaga Kajian Agama
dan Jender (LKAJ) di Balitbang Kementerian Agama, suatu hal yang tidak mungkin
terjadi di era Orde Baru. Secara rutin lembaga ini melakukan diskusi dan
pertemuan ilmiah dengan menghadirkan para pakar dan tokoh agama dari berbagai
agama dan kepercayaan untuk mengkaji pelbagai isu terkait gender dari sudut
pandang agama guna merumuskan pandangan keagamaan yang demokratis, egaliter dan
berperspektif keadilan jender.
Mengapa isu jender
menjadi penting? Demokrasi adalah keadilan dan kesetaraan bagi semua orang,
termasuk keadilan dan kesetaraan jender. Keadilan dan kesetaraan jender merupakan salah satu pilar penting demokrasi. Keadilan
dan kesetaraan jender terwujud manakala tidak ada lagi diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan berbasis jender. Lalu, mengapa agama penting dalam
isu jender? Sejumlah penelitian mengungkapkan, agama atau
lebih tepatnya, interpretasi ajaran agama merupakan salah satu faktor dominan
yang melanggengkan dan memproduksi berbagai ketidakadilan gender dalam
masyarakat.
Adalah benar secara
normatif semua agama, terlebih Islam
mengakui kesetaraan perempuan dan
laki-laki di hadapan Tuhan. Agama juga mengajarkan, perbedaan keduanya terletak
pada aspek biologis semata, bukan bersifat esensial. Perbedaan itu tidak boleh
mengakibatkan perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan antara satu
terhadap lainnya. Namun, dalam realitas sosial di masyarakat, para penganut
agama terjerumus dalam perilaku diskriminatif dan eksploitatif, dan fatalnya
hal itu dilakukan seringkali dengan mengatasnamakan agama, mengatasnamakan
Tuhan. Sungguh mudah mengatasnamakan Tuhan karena Tuhan tidak dapat
dikonfirmasi. Karena itu, perlu sekali melakukan reinterpretasi ajaran agama
sehingga ajaran agama yang tersosialisasi di masyarakat adalah ajaran yang
sejalan dengan akal sehat, ajaran yang ramah terhadap perempuan, ajaran yang
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Ajaran agama seperti itulah
yang mendorong para penganut agama untuk menghormati perempuan sebagai manusia
utuh dan bermartabat. Ajaran agama seperti itu pula lah mampu membuat para
penganut agama hidup berdampingan dalam
damai, tanpa prasangka dan prejudice terhadap mereka yang berbeda.
LKAJ tercatat banyak mempublikasikan hasil-hasil
kajian seputar isu jender dalam bentuk jurnal dan buku, seperti Kodrat
Perempuan; Pola Pengasuhan Anak; Perempuan Sebagai Kepala Keluarga; Pembagian
Kerja di Rumah Tangga; Ikhtiar Mengatasi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga; dan Poligami Dalam Pandangan Islam. Keenam buku
tersebut mencoba menawarkan interpretasi baru yang lebih rasional dengan
perspektif keadilan dan kesetaraan gender. Tujuannya, menepis segala bentuk
pemahaman dan interpretasi yang melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan.
Di samping publikasi, LKAJ juga melakukan berbagai pelatihan dan advokasi.
Sebagai seorang penganut Islam, saya yakin inti
ajaran Islam terletak dalam konsep tauhid. Tauhid menjadi pegangan pokok yang
membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam
hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Tauhid
menghendaki sistem kemasyarakatan demokratis yang berbasis musyawarah, dan
tidak membenarkan adanya absolutisme antara sesama manusia. Dampak paling nyata
dari ajaran tauhid, ialah terwujudnya pola hubungan antarmanusia dalam semangat egalitarianisme. Karena setiap
pribadi manusia berharga sebagai makhluk Tuhan yang bertanggung jawab langsung
kepada-Nya, tidak seorang pun dari mereka yang dibenarkan diingkari hak-hak
asasinya, sebagaimana tidak seorangpun dari mereka yang dibenarkan mengingkari
hak-hak asasi pribadi yang lain. Karena itu, iman dan harkat serta martabat
kemanusiaan melandasi demokrasi, dan tak mungkin mendukung sistem totaliter,
otoriter, dan tiranik (al-Nahl, 16:36). Yang pasti, tidak ada demokrasi
tanpa keikutsertaan perempuan. Sebab, masyarakat selalu terdiri dari lelaki dan
perempuan.
Upaya Indonesia untuk menjadi negara demokratis
yang konsen pada penegakan HAM semakin
terlihat dengan terbentuknya kementerian negara hak asasi manusia pada tahun 2000
di masa pemerintahan Abdurrrahman Wahid. Di masa inilah saya diangkat sebagai
staf ahli Menteri Negara Urusan HAM, Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan
Minoritas.
Tugas tersebut membawa saya terlibat intens dalam upaya-upaya pencegahan diskriminasi serta perlindungan dan
pemenuhan hak asasi kelompok minoritas.
Pengangkatan tersebut kemungkinan karena
pertimbangan aktivitas saya selama ini di berbagai ormas dan LSM yang mengusung
pemajuan dan perlindungan HAM. Selama 20 tahun di Fatayat NU saya menangani program
penguatan hak dan kesehatan reproduksi perempuan serta program kesehatan ibu
dan anak. Lalu, di LKAJ saya aktif mempromosikan ajaran agama yang kompatibel
terhadap nilai-nilai HAM, dan di ICRP saya terlibat intens dalam advokasi hak kebebasan
beragama. Kemudian, sebagai dosen dan peneliti saya selalu mempromosikan
pentingnya penghargaan terhadap manusia serta perlunya mengakhiri semua bentuk
diskriminasi dan kekerasan atas dasar apa pun.
Perjumpaan dan persinggungan dengan kelompok yang
rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan semakin menggugah
empati saya akan pentingnya keberpihakan kepada kelompok tertindas atau dalam
term Islam disebut kelompok al-mustadh’afin. Begitu banyak kelompok
masyarakat yang terabaikan hak-hak asasinya sebagai manusia dan sebagai warga
negara. Negara sungguh-sungguh abai terhadap mereka. Di antara mereka adalah
kelompok perempuan korban KDRT, anak-anak terlantar, kelompok Lansia, kelompok
miskin perkotaan yang sering digusur, kelompok buruh migran, khususnya
perempuan; kelompok minoritas seksual, kelompok transgender, kelompok penderita
HIV/Aids, kelompok penganut agama lokal (kepercayaan), kelompok difabel
(penyandang cacat), kelompok Ahmadiyah, Syi’ah, serta kelompok lainnya yang
terabaikan hak-hak sipilnya sebagai warga negara.
Memang betul, selama ini negara telah membuat
program bantuan kepada kelompok rentan tersebut. Akan tetapi, program tersebut
lebih bersipat karitatif sehingga penanganannya pun diletakkan di bawah
Kementerian Sosial. Lebih fatal lagi, karena negara memposisikan kelompok
rentan sebagai obyek belaka dalam seluruh bidang pembangunan.
Seharusnya program terkait kelompok rentan adalah
berbasis pemenuhan hak asasi mereka sebagai manusia dan terlebih lagi sebagai
warga negara. Mereka adalah warga negara
dan kewajiban negara lah memenuhi hak-hak mereka. Kewajiban negara
memberdayakan dan memanusiakan mereka sehingga dapat menolong diri sendiri
sebagai manusia utuh dan sebagai warga negara penuh tanpa ada pembedaan dengan
warga lainnya. Masyarakat dan pemerintah harus dapat menerima dan mengakui
mereka apa adanya dan memposisikan mereka sebagai subyek pembangunan setara
dengan warga lainnya, serta melindungi mereka dari semua bentuk stigma,
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berdasar apa pun.
Ketidakmampuan negara memenuhi hak-hak asasi
mereka sebagai manusia dan sebagai warga negara bukan hanya karena faktor
keterbatasan dana yang dimiliki negara, melainkan lebih karena ketiadaan
perspektif dan juga kurangnya komitmen para pengelola negara terhadap
pentingnya pemenuhan hak asasi manusia. Sementara, Konstitusi dan sejumlah UU
nasional kita mewajibkan negara memenuhi hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan
budaya bagi segenap warga negara tanpa kecuali. Negara berkewajiban melindungi
segenap warganya dari perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan untuk
alasan apa pun. Negara harus bersikap adil dan netral serta melindungi hak
asasi segenap warga negara, terutama warga negara yang tergolong dalam kelompok
rentan.
Di antara kelompok rentan yang paling bermasalah
adalah perempuan, padahal Deklarasi Wina menyebutkan, hak asasi perempuan
adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Jadi, hak
asasi perempuan hakikatnya adalah hak asasi manusia. Di antara hak asasi
perempuan yang paling banyak diabaikan adalah hak dan kesehatan reproduksinya.
Indikasi paling mengemuka adalah rendahnya tingkat kualitas hidup perempuan Indonesia sehingga menempati posisi paling buruk di kawasan ASEAN. Buruknya kualitas hidup perempuan, antara lain tercermin dari tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI), yakni sekitar 390 per seratus ribu kelahiran hidup. Artinya, setiap 30 menit seorang ibu meninggal dunia karena melahirkan. Penyebabnya, antara lain, ketimpangan jender, kurangnya kesadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi, kesehatan dan status gizi perempuan sangat rendah, anemia, dan juga usia perkawinan yang sangat muda sehingga membawa konsekuensi proses kehamilan dengan kualitas lebih buruk.
Rendahnya kualitas hidup perempuan mendorong perlunya pemberdayaan perempuan (women’s empowerment) yang dewasa ini menjadi isu krusial. Perempuan ditantang untuk lebih meningkatkan partisipasinya dalam seluruh bidang pembangunan. Indonesia mengambil contoh sejumlah negara maju, seperti Swedia dan Norwegia, sengaja menciptakan strategi khusus dalam bentuk affirmative action agar kualitas hidup perempuan dapat lebih ditingkatkan. Di kedua negara tersebut partisipasi dan representasi perempuan dalam seluruh bidang pembangunan cukup tinggi dan kualitas hidup perempuan semakin baik.
Upaya-upaya pemberdayaan perempuan bukan hanya untuk kemaslahatan perempuan, melainkan kemaslahatan dan kemajuan seluruh masyarakat: laki dan perempuan. Karena itu, harus diikuti dengan upaya penyadaran dan pemberdayaan laki-laki, terutama terkait hak dan kewajiban mereka, khususnya dalam kehidupan keluarga. Ketimpangan gender bukanlah persoalan pribadi, melainkan isu sosial. Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
Rendahnya kualitas hidup perempuan mendorong perlunya pemberdayaan perempuan (women’s empowerment) yang dewasa ini menjadi isu krusial. Perempuan ditantang untuk lebih meningkatkan partisipasinya dalam seluruh bidang pembangunan. Indonesia mengambil contoh sejumlah negara maju, seperti Swedia dan Norwegia, sengaja menciptakan strategi khusus dalam bentuk affirmative action agar kualitas hidup perempuan dapat lebih ditingkatkan. Di kedua negara tersebut partisipasi dan representasi perempuan dalam seluruh bidang pembangunan cukup tinggi dan kualitas hidup perempuan semakin baik.
Upaya-upaya pemberdayaan perempuan bukan hanya untuk kemaslahatan perempuan, melainkan kemaslahatan dan kemajuan seluruh masyarakat: laki dan perempuan. Karena itu, harus diikuti dengan upaya penyadaran dan pemberdayaan laki-laki, terutama terkait hak dan kewajiban mereka, khususnya dalam kehidupan keluarga. Ketimpangan gender bukanlah persoalan pribadi, melainkan isu sosial. Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam, perlu sekali menjelaskan ajaran Islam yang ramah terhadap perempuan dan
mendorong kesetaraan dan keadilan
gender. Saya meyakini Islam adalah agama yang ajarannya sarat dengan
pesan-pesan keadilan dan kesetaraan, termasuk kesetaraan gender. Tidak salah
menyebut Nabi Muhammad saw sebagai feminis. Nabi diutus kepada masyarakat
Jahiliyah yang sangat bobrok, terutama karena pengaruh nilai-nilai patriarkal
dan feodalistik sehingga memandang perempuan hanya sebagai obyek seksual. Nabi
melakukan perubahan revolusioner terhadap posisi dan kedudukan perempuan. Rasul mengubah posisi dan
kedudukan perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek
yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat,
marjinal dan inferior menjadi mitra yang setara dan sederajat dengan laki-laki.
Nabi memproklamirkan keutuhan kemanusiaan
perempuan setingkat dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan,
sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola
kehidupan di bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada
perbedaan sedikit pun. Karena itu, tugas manusia hanyalah ber- fastabiqul
khairat (berlomba-lomba berbuat terbaik) demi mewujudkan masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur). Sayangnya, ajaran luhur yang diperkenalkan Nabi
ternyata tidak bertahan lama. Umat Islam sepeninggal beliau kembali
mempraktekkan tradisi jahiliyah, kembali mensubordinasikan perempuan, persis
seperti perilaku jahiliyah. Menjadi kewajiban umat Islam masa kini untuk
meneruskan perjuangan Nabi membangun keadilan dan kesetaraan sehingga perempuan
dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin sebagaimana saudara mereka
laki-laki.
Selain itu,
kelompok rentan lain yang masih terabaikan hak-haknya adalah kelompok difabel.
Sampai sekarang masih banyak orang memberikan stigma terhadap kelompok
penyandang cacat -yang lebih suka menyebut diri difabel (different ability)-
Bagi mereka, kekurangan fisik yang mereka alami tidak mengurangi kemampuan
mereka untuk bekerja, dan hanya membuat mereka memiliki kemampuan berbeda
dengan orang kebanyakan. Masih banyak orang menganggap difabel sebagai orang yang
mendapat hukuman atau kutukan dari Tuhan karena kejahatan dan dosa mereka atau
orangtua mereka. Anggapan negatif ini harus diakhiri. Negara harus melindungi
mereka dari segala macam stigma dan
perlakuan diskriminatif serta memberdayakan mereka sebagai warga negara penuh.
Kelompok marjinal lain yang perlu diangkat adalah
mereka yang terinfeksi virus HIV/AIDS atau dikenal
dengan istilah ODHA. Sebetulnya pengalaman saya denga para ODHA dimulai
sejak 22 tahun lalu. Persisnya, tahun
1989 ketika saya masih aktif sebagai ketua Fatayat NU, sebuah organisasi
perempuan Islam di lingkungan Nahdlatul Ulama yang memiliki cabang di seluruh
Indonesia. Fatayat sangat intensif melakukan program penguatan hak-hak
perempuan, terutama hak dan kesehatan reproduksi perempuan.
Program ini
menggunakan pendekatan keagamaan dalam mempromosikan pentingnya menjaga
kelangsungan hidup ibu dan anak melalui kegiatan penyadaran tentang hak dan
kesehatan reproduksi, pentingnya imunisasi bagi ibu dan anak, serta pentingnya
makanan bergizi bagi ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita. Melalui
pendekatan agama, program ini diterima dengan baik oleh seluruh elemen
masyarakat, khususnya di tingkat pedesaan di mana mayoritas anggota Fatayat
berdomisili.
Dalam
pelaksanaan program itulah, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan tiga
orang ibu yang terinfeksi virus HIV/AIDS
dan mereka mengaku bahwa sama sekali tidak pernah menyangka kalau dirinya telah
terinfeksi. Di masa itu (bahkan sampai sekarang) masih kuat anggapan bahwa
penyakit HIV/AIDS selalu terkait masalah moralitas. Sementara ketiga ibu itu
dikenal luas di masyarakat sebagai perempuan baik-baik. Perempuan yang
sehari-harinya mengabdikan hidup untuk mengurus keluarga, melayani suami dan
merawat anak-anak.
Dari
wawancara mendalam terhadap ketiganya, terungkap bahwa perempuan pertama
terinfeksi HIV/AIDS karena transfusi darah yang dijalaninya ketika melahirkan
anak pertama; perempuan kedua terinfeksi karena tertular oleh suaminya yang
suka ganti-ganti pasangan; dan yang ketiga terinfeksi karena perkosaan yang
dilakukan oleh majikan tempat dia bekerja sebelum menikah. Beberapa tahun
berikutnya, saya pun bertemu dengan penderita HIV/AIDS, seorang pekerja seks
yang melakukan pekerjaan itu akibat dipaksa oleh suaminya yang penjudi dan
tidak punya pekerjaan tetap. Pertanyaan kritis muncul: Apakah ibu-ibu yang
tidak bersalah itu harus menanggung resiko dipermalukan karena sesuatu yang
terjadi di luar kemauan mereka? Apakah pantas ibu-ibu itu dicap sebagai
pendosa? Apakah adil jika orang sakit masih harus menderita karena stigma yang
dilekatkan pada dirinya? Apakah manusiawi menghakimi orang sakit? Apakah
manusiawi mengucilkan mereka dari
keluarga dan masyarakatnya?
Berbagai
pengalaman nyata itu menyadarkan saya akan perlunya memahami secara holistik
penyakit HIV/AIDS; perlunya melakukan advokasi dan pendampingan terhadap mereka
yang terinfeksi HIV/AIDS, termasuk anak-anak mereka yang pasti tidak bersalah.
Sejak itu rasa empati terhadap kelompok ODHA tertanam kuat dalam diri saya dan
juga komitmen kemanusiaan untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat agar
semua stigma dan perlakuan negatif serta merugikan terhadap kelompok ODHA harus
diakhiri.
Hal lain
yang harus dilakukan, mensosialisasikan seluas mungkin cara-cara yang benar
untuk menghindari hal-hal atau perbuatan yang dapat menimbulkan atau menularkan
penyakit itu. Dengan ungkapan lain, bagaimana mengajarkan masyarakat
menghindari penyakit HIV/AIDS, tanpa menghindari atau mengucilkan penderita
HIV/AIDS. Selain itu, masyarakat perlu digugah kepeduliannya agar tidak memberi
stigma atau bersikap diskriminatif terhadap kelompok ODHA. Sebaliknya,
masyarakat dituntut memberikan empati bahwa kelompok ODHA juga adalah manusia
dan makhluk Tuhan yang memiliki hak-hak untuk dikasihi dan diberi perlindungan.
ODHA
sebagaimana manusia lain, memiliki hak-hak kemanusiaan, seperti hak hidup, hak
dihargai, hak bekerja, hak atas jaminan kesehatan, serta hak-hak lainnya
sebagai manusia utuh. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mengucilkan,
menyakiti atau merendahkan mereka dengan alasan apa pun. Bahkan, semakin kita
mengucilkan, menstigmatisasi dan mendiskriminasi, malah justru akan semakin
sulit bagi kita melakukan upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal yang lebih
parah dari itu dan semakin membahayakan lagi adalah kemungkinan mereka
menularkan kepada orang lain dengan cara diam-diam atau dengan cara yang tidak
kita ketahui.
Para ahli
menyebutkan, dibanding laki-laki, risiko terkena HIV/AIDS pada perempuan jauh
lebih besar, terutama apabila berhubungan seks tanpa memakai kondom. Karena
letaknya di dalam tubuh, organ reproduksi perempuan lebih rentan dari pada
organ laki-laki. Kerentanan ini lebih tinggi terjadi pada perempuan remaja.
Selain itu, di ruang domestik perempuan rentan terhadap pemaksaan hubungan
seks, termasuk oleh suaminya. Perempuan seringkali tidak bisa menolak keinginan
seks suami, meski tahu dia terinfeksi HIV/AIDS. Di ruang publik, perempuan juga seringkali mengalami pelecehan dan
kekerasan seksual. Jika pola relasi laki-laki dan perempuan masih timpang dan
tidak setara, maka masuk akal kalau banyak perempuan terkena virus HIV/AIDS.
Tahun 2000 bersama sejumlah pemuka agama dari
berbagai agama dan kepercayaan yang tumbuh di Indonesia saya ikut
memprakarsai berdirinya organisasi ICRP
(Indonesian Conference on Religion and Peace). Visinya sangat jelas, agama
untuk perdamaian. Organisasi ini mengusung upaya-upaya mewujudkan damai melalui
kegiatan dialog agama, kegiatan advokasi menghapus semua bentuk diskriminasi,
konflik dan kekerasan berbasis agama, serta mendorong pemenuhan hak kebebasan
beragama bagi semua kelompok keagamaan di Indonesia sebagaimana dijamin dalam
konstitusi.
Indonesia sungguh merupakan negara yang unik.
Meski mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia bukan negara Islam karena
para pendiri negara ini, yang sebagian besar adalah tokoh Islam ternama, justru
tidak memilih Islam sebagai ideologi negara. Mereka memilih Pancasila sebagai
ideologi negara. Mungkin alasannya, jika menggunakan agama sebagai ideologi
negara kelak akan timbul problem. Sebab, bicara tentang agama, hakikatnya
bicara tentang interpretasi. Lalu, interpretasi siapa yang dipakai? Tentu
setiap kelonpok dalam agama akan mengunggulkan interpretasi masing-masing.
Sebab, dalam setiap agama, termasuk Islam selalu muncul beragam interpretasi.
Slogan ICRP, Religions for Peace ternyata
hanya mudah diucapkan, tetapi amat sulit diimplementasikan dalam kehidupan
nyata sehari-hari, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia tercinta yang masih berada pada tahap belajar berdemokrasi. Religions
for Peace sejatinya merupakan cita-cita luhur umat beragama di seluruh
dunia demi mempromosikan pentingnya agama sebagai media perdamaian.
Pertanyaan penting muncul, apa yang dimaksud
dengan perdamaian? Ada banyak definisi tentang perdamaian, namun paling tidak,
perdamaian harus menjamin tiga hal: penghargaan terhadap manusia sebagai
makhluk bermartabat; perlakuan setara terhadap semua manusia tanpa
membedakan jenis kelamin, gender, warna
kulit, suku, ras, agama dan kepercayaan; serta pemenuhan hak asasi manusia
tanpa diskriminasi sedikit pun. Karena itu, tidak mungkin ada perdamaian selama
masih ada praktek diskriminasi dan pemihakan terhadap suatu kelompok untuk
alasan apa pun; tidak ada perdamaian selama masih ada perilaku korupsi dan
tindakan ekploitatif terhadap kelompok lain; tidak ada perdamaian jika
kebutuhan pokok masyarakat belum terpenuhi; tidak ada perdamaian jika masih ada
pelanggaran hukum dan pengabaian hak asasi manusia.
Sejak berdiri, isu krusial yang ditangani ICRP
adalah terkait pemenuhan hak kebebasan beragama bagi kelompok minoritas agama. Secara normatif, kebebasan beragama di
Indonesia mendapat jaminan sangat jelas, seperti termaktub dalam UUD 1945
amandemen ke-4, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang
pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik. Hak kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia paling mendasar. Tidak heran jika semua dokumen
historis tentang HAM menyebut pentingnya pemenuhan hak tersebut, misalnya Rights
of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791), International
Bill of Rights (1966), dan Universal Declaration of Human Rights (1948).
Akan tetapi, Komnas HAM sejak tahun
1998 telah menerima ratusan pengaduan terkait kekerasan berbasis agama. Sebab, pemerintah dalam berbagai
kebijakannya menyalahi prinsip konstitusi, seperti tertuang dalam pasal 29 (2) UUD 1945: "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Dalam prakteknya, pemerintah hanya
mengakui lima agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, selanjutnya menjadi enam setelah tahun 2006 pemerintah
mengakui Konghucu. Sementara di masyarakat, dikenal lebih dari 20 agama, selain
keenam agama tadi ada Sikh, Tao, Baha’i,
dan Yahudi serta ratusan agama lokal (indigenous religion). Pemerintah
bukan hanya berpihak kepada enam agama tersebut, melainkan juga berpihak hanya
kepada kelompok mainstream dalam enam agama dimaksud. Kelompok Syiah dan
Ahmadiyah, misalnya meskipun mengklaim diri sebagai Islam, namun karena berada
di luar kelompok mainstream, mereka tetap diperlakukan diskriminatif
oleh negara.
Kelompok agama mayoritas mendapatkan bukan hanya
pelayanan, melainkan juga bantuan dana secara reguler bagi kegiatan keagamaan
mereka, seperti perayaan hari-hari besar agama, pembangunan rumah-rumah ibadah,
dan bantuan untuk pendidikan. Sementara di luar kelompok mayoritas tidak
mendapat bantuan apa pun, termasuk pemenuhan hak-hak sipil mereka. Ini jelas
pelanggaran HAM, dilakukan oleh negara secara sengaja dan terang-terangan.
Apakah pemerintah akan terus dibiarkan melanggar HAM?
Kebebasan beragama berarti keputusan beragama dan
beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan lain, agama
merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin
dan menfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan peribadat-annya
dengan nyaman dan aman, bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk
peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan. Demikian pula, negara sama
sekali tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama, menetapkan mana agama resmi atau tidak resmi,
menentukan mana agama induk dan agama sempalan. Bahkan, negara juga tidak
berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan agama atau bukan hendaknya
diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Negara hanya
perlu menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan hal-hal yang
mengganggu ketertiban masyarakat, tidak mengajarkan kekerasan (violence)
kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan
terhadap pengikut agama lain.
Kebebasan beragama merupakan hak
asasi manusia paling mendasar dan Islam menjamin kebebasan beragama bagi setiap
manusia. Jaminan bagi kebebasan beragama ini sangat penting demi menimbulkan
rasa aman, tenteram, dan damai dalam masyarakat. Kebebasan beragama juga
membawa kepada rasa saling menghormati di antara warga negara yang berbeda
agama sehingga pada gilirannya menimbulkan sikap toleransi dan cinta kasih di antara mereka. Toleransi beragama dan
perasaan cinta kasih merupakan faktor dominan bagi terciptanya kerjasama
kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita
kemerdekaan Republik Indonesia.
Sejak lama masyarakat Indonesia dikenal sebagi masyarakat
religius. Masalahnya, religiusitas masyarakat baru berada pada tataran
simbolistik. Religiusitas yang mengandalkan simbol-simbol agama biasanya
membawa seseorang lebih mementingkan aspek ritual yang bersifat legal formal
dan melupakan aspek spiritualnya. Pemahaman keagamaan yang kehilangan esensinya
sangat berbahaya. Sebab, yang tersisa hanyalah simbol-simbol yang dapat
digunakan oleh siapa saja, di mana saja, dan untuk kepentingan apa saja. Setiap
orang lalu mengklaim simbol-simbol tadi sebagai indikasi kesalehan, dan di
sinilah awal mula kehancuran dalam peradaban manusia.
Kecenderungan masyarakat mementingkan simbol
mengakibatkan fungsi agama bukan lagi untuk kemaslahatan hakiki manusia, tetapi
berubah menjadi institusi pengadilan. Akibatnya, dalam beragama seseorang
terpaksa menggadaikan hak-haknya, melupakan keinginannya untuk bisa memilih
secara bebas. Agama dalam arti interpretasi agama yang tidak manusiawi membuat
manusia terpasung, terbelenggu, dan tertindas; membuat manusia tidak kritis
terhadap realitas sosial yang timpang dan penuh ketidakadilan.
Lebih parah lagi, masyarakat agama cenderung lebih
tertarik pada aspek-aspek susila ketimbang sosial. Tidak heran jika kalangan
agama lebih peka pada persoalan pornografi, prostitusi, homoseksualitas,
daripada mengatasi problem sosial yang konkret dan riil dihadapi masyarakat,
seperti korupsi, busung lapar, kelangkaan air bersih, kemiskinan, pengangguran,
kerusakan lingkungan, dan trafficking (perdagangan anak dan perempuan).
Itulah ironisnya!
Tahun 2004, dalam
kapasitas saya sebagai Koordinator Tim Pengarusutamaan Gender di Kementerian
Agama, merumuskan suatu draft alternatif dari Kompilasi Hukum Islam yang diberi
nama Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI). Draft tersebut menawarkan paradigma baru dalam
perkawinan. Pertama, perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaaqan
ghaliidzan), dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan
seorang perempuan demi membentuk keluarga harmoni yang pelaksanaannya
didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, asas
perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj). Ketiga, prinsip
dasar perkawinan ada enam, yakni kerelaan (al-taraadli), kesetaraan (al-musawah),
keadilan (al-'adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta'addudiyyah),
dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan perkawinan, mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan
sejahtera (sakinah) berlandaskan cinta dan kasih sayang (mawaddah
wa rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal,
sehat, aman, nyaman, dan bertanggungjawab.
Kini CLD KHI telah
diterjemahkan ke dalam empat bahasa dunia: Inggeris, Belanda, Jerman, dan
Perancis, dan diajarkan di berbagai universitas ternama di negara-negara maju.
Ironisnya, di Indonesia sendiri diabaikan, bahkan dianggap sebagai dokumen yang
ilegal. Untunglah akhir-akhir ini muncul kesadaran baru dari sejumlah dosen,
mereka mulai mengajarkan draft tersebut kepada mahasiswa. Sangat mengejutkan
karena reaksi mahasiswa tidak seperti yang mereka bayangkan. Sebagian besar
mahasiswa justru dapat menerima pandangan progres dalam draft tersebut, dan
bahkan mengakui draft itu sesuai kebutuhan masyarakat Islam modern.
Mejadi kritis dan berani mengemukakan pendapat yang
berbeda dengan pandangan mainstream sungguh tidaklah mudah, apalagi jika
pandangan tersebut terkait agama. Sebab, umumnya masyarakat memahami agama hanya sebatas dogma yang bersifat mutlak dan
sakral sehingga tidak dapat dipertanyakan, apalagi dikritik. Bagi saya, agama
diturunkan sepenuhnya untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk kemaslahatan
Tuhan karena Dia sudah Maha Segalanya. Jika ajaran agama tidak mampu merespon
dan memberi solusi terhadap persoalan manusia, lalu untuk apa manusia
beragama? Tidak heran jika kehadiran
teknologi -yang mampu menjawab kebutuhan manusia secara perlahan tapi pasti-
membuat sebagian manusia meninggalkan agama. Dan pada akhirnya, agama hanya
akan menjadi fosil yang dilupakan. Itulah sebabnya, kita harus menjadikan agama
mampu berdialektika dengan kebutuhan manusia yang selalu berubah dan
berkembang, baik karena tuntutan dinamika zaman maupun karena hasil kemajuan
iptek yang demikian pesat.
Sebagai orang yang tumbuh dan besar di lingkungan
pesantren, saya dididik untuk selalu bersikap sami’na wa atha’na (hanya
boleh mendengar lalu taati perintah). Akan tetapi, seiring dengan perjalanan
waktu, kesadaran kemanusiaan dalam diri saya pun tumbuh, rasa simpati dan
bahkan empati terhadap mereka yang mengalami perlakuan tidak manusiawi semakin
kuat. Tentu banyak faktor yang berpengaruh dan pada gilirannya mengubah sikap
dan orientasi hidup saya sebagai manusia, di antaranya pendidikan yang
mengedepankan sikap kritis dan dialogis di perguruan tinggi, perjumpaan dan
perbincangan dengan berbagai kelompok marjinal dalam kegiatan organisasi, serta pengalaman
berkunjung ke berbagai komunitas yang
berbeda.
Meski PNS, saya tidak pernah
melepaskan hobby berorganisasi yang sudah terbentuk sejak mahasiswa. Beruntung
saya bukan pegawai administratif yang terikat jam kerja yang ketat, masuk pagi
pulang sore. Sebagai pejabat fungsional peneliti, saya tidak harus masuk kantor
setiap hari sebagaimana PNS lainnya. Kondisi ini memungkinkan
saya aktif di berbagai organisasi dan LSM. Di sela-sela kesibukan sebagai
peneliti atau sebagai pejabat, saya pun aktif menjalankan program organisasi,
bahkan sudah terbiasa menangani program sejumlah organisasi sekaligus. Hal itu
dimungkinkan karena bidang pekerjaan yang saya geluti sebagai PNS dan berbagai
program organisasi yang saya tekuni memiliki visi yang sama, yaitu
mengembangkan demokrasi yang selektif terhadap penegakan HAM menuju negara Indonesia yang maju dan berdaulat
berdasarkan Pancasila.
Sebagai PNS, saya tetap kritis dan vokal, tidak
heran jika banyak pihak merasa kurang nyaman dengan statemen dan gagasan
saya. Bagi saya, PNS adalah abdi negara,
harus lebih banyak membela kepentingan rakyat, bukankah negara didirikan untuk
menjamin kemaslahatan rakyat banyak? PNS tidak harus tunduk mutlak kepada
atasan atau pemerintah. Ketaatan kepada atasan atau pemerintah hanya jika
keduanya bersikap adil dan amanah serta berbuat demi kepentingan rakyat banyak.
Meski PNS digaji oleh negara, namun hakikatnya uang itu berasal dari pajak
rakyat. Jadi, PNS harus lebih berbakti untuk kepentingan rakyat banyak dan
didasarkan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan.
Sebagai dosen dan peneliti saya lebih banyak
berada di lapangan menggeluti persoalan kemasyarakatan yang faktual. Bagi saya,
para akademisi dan mahasiswa harus akrab dengan persoalan-persoalan riil
sehari-hari sehingga pada gilirannya, mereka dapat memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang mereka tekuni di perguruan tinggi untuk merespon berbagai isu
sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat di sekitarnya. Ilmuwan dan
akademisi harus mampu melakukan
upaya-upaya transformasi, mengubah masyarakat menjadi lebih baik, lebih
sejahtera, dan lebih manusiawi. Upaya-upaya inilah yang dalam Islam disebut
dengan istilah amar ma’ruf nahy mungkar.
Bagi saya, agama hadir demi membebaskan manusia
dari belenggu kepicikan, ketidakberdayaan, ketidakadilan, dan kezaliman. Agama memotivasi
penganutnya membangun sikap positif dan apresiatif terhadap orang lain,
mengasihi dan menghormati sesama manusia. Itulah ajaran esensial dari setiap
agama, tak terkecuali Islam. Ajaran inilah yang seharusnya menjadi spirit dari
kerja-kerja kita semua.
Terimakasih
Jakarta, 18 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar