Senin, 14 November 2016

Membela Kelompok Marjinal: Memanusiakan Manusia


Pidato Penerimaan Nabil Award 2012

Oleh: Musdah Mulia




Tiada ucapan yang paling ingin saya sampaikan dalam forum istimewa ini selain ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Dewan Penilai Nabil Award yang memilih saya sebagai salah satu penerima penghargaan. Demikian pula secara khusus saya menyampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada bapak Eddie Lembong, selaku Pendiri dan Ketua Yayasan Nabil, sebuah organisasi yang sangat konsen pada upaya membangun masyarakat Indonesia yang cinta damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai universal kemanusiaan.

Bagi saya, penghargaan ini walaupun dihadiahkan kepada saya pribadi, namun hakikatnya merupakan pengakuan akan kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan oleh banyak orang yang seringkali luput dari perhatian publik, dan seringkali dianggap tidak penting. Karena itu, saya berdiri di sini mewakili banyak pihak yang juga melakukan hal serupa, melakukan aktivitas kemasyarakatan dan kemanusiaan tanpa berharap penghargaan apa pun, semata karena ingin membangun masa depan peradaban manusia yang lebih baik, masa depan Indonesia yang lebih demokratis.

Perang Dunia II meninggalkan jejak yang sangat mengerikan sehingga menginspirasi umat manusia sedunia tentang pentingnya suatu tata nilai baru bersifat universal dan lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Konsep nilai tersebut diharapkan menjadi pijakan bersama dalam memastikan terwujudnya suatu peradaban manusia yang lebih demokratis. Sejarah mencatat kemudian lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 10 Januari 1948.

Hak Asasi Manusia adalah suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development).

Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk bermartabat tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agama. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang asasi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan berkepercayaan. Namun, dibalik hak-hak dasar tersebut terdapat kewajiban asasi manusia yang harus ditunaikan oleh semua manusia, baik sebagai individu maupun sebagai warga negara. Adalah tugas negara melindungi, memenuhi dan mempromosikan hak-hak asasi semua warganya tanpa kecuali.

Salah satu ciri negara demokrasi modern adalah aktif mempromosikan hak asasi manusia. Tingkat demokrasi suatu negara tercermin dari seberapa besar komitmen negara tersebut dalam upaya pemajuan dan perlidungan HAM. Indonesia sejak awal telah berkomitmen pada upaya pemajuan dan perlindungan HAM seperti terlihat dalam Pancasila, khususnya sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab serta pasal-pasal yang relevan dalam UUD 1945. Beralasan jika Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang menandatangani deklarasi HAM 1948.

Pemerintah otoriter Orde Baru melupakan komitmen Indonesia sebagai negara demokrasi sehingga upaya pemajuan dan perlindungan HAM tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan, negara melakukan pelanggaran HAM berat secara terbuka dan kasat mata serta menimbulkan korban yang sangat besar. Di antaranya, korban DOM di Aceh, korban Tragedi Mei 98, Korban PKI 1965, Korban Kasus Tanjung Priok, Kasus Timor-Timur dan seterusnya.

Angin reformasi menerpa Indonesia tahun 1998, menyebabkan terbukanya kembali keran demokrasi yang sengaja disumbat selama masa Orde Baru. Suasana bebas dan terbuka di negeri ini disambut banyak pihak dengan mendirikan berbagai organisasi dan mengusung pikiran-pikiran yang mendorong proses demokratisasi.

Inti demokrasi adalah penghormatan dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Proses demokratisasi sesungguhnya adalah upaya penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia tanpa kecuali. Pilihan demokrasi seharusnya membawa pada kesejahteraaan dan kemaslahatan semua warga negara seperti dijanjikan dalam preambul kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1998, bersama sejumlah peneliti yang kritis dan konsen pada ide-ide demokrasi, kami mendirikan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) di Balitbang Kementerian Agama, suatu hal yang tidak mungkin terjadi di era Orde Baru. Secara rutin lembaga ini melakukan diskusi dan pertemuan ilmiah dengan menghadirkan para pakar dan tokoh agama dari berbagai agama dan kepercayaan untuk mengkaji pelbagai isu terkait gender dari sudut pandang agama guna merumuskan pandangan keagamaan yang demokratis, egaliter dan berperspektif keadilan jender.

Mengapa isu jender menjadi penting? Demokrasi adalah keadilan dan kesetaraan bagi semua orang, termasuk keadilan dan kesetaraan jender. Keadilan dan kesetaraan jender merupakan  salah satu pilar penting demokrasi. Keadilan dan kesetaraan jender terwujud manakala tidak ada lagi diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis jender. Lalu, mengapa agama penting dalam isu jender? Sejumlah penelitian mengungkapkan, agama atau lebih tepatnya, interpretasi ajaran agama merupakan salah satu faktor dominan yang melanggengkan dan memproduksi berbagai ketidakadilan gender dalam masyarakat. 

Adalah benar secara normatif  semua agama, terlebih Islam mengakui  kesetaraan perempuan dan laki-laki di hadapan Tuhan. Agama juga mengajarkan, perbedaan keduanya terletak pada aspek biologis semata, bukan bersifat esensial. Perbedaan itu tidak boleh mengakibatkan perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan antara satu terhadap lainnya. Namun, dalam realitas sosial di masyarakat, para penganut agama terjerumus dalam perilaku diskriminatif dan eksploitatif, dan fatalnya hal itu dilakukan seringkali dengan mengatasnamakan agama, mengatasnamakan Tuhan. Sungguh mudah mengatasnamakan Tuhan karena Tuhan tidak dapat dikonfirmasi. Karena itu, perlu sekali melakukan reinterpretasi ajaran agama sehingga ajaran agama yang tersosialisasi di masyarakat adalah ajaran yang sejalan dengan akal sehat, ajaran yang ramah terhadap perempuan, ajaran yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Ajaran agama seperti itulah yang mendorong para penganut agama untuk menghormati perempuan sebagai manusia utuh dan bermartabat. Ajaran agama seperti itu pula lah mampu membuat para penganut agama  hidup berdampingan dalam damai, tanpa prasangka dan prejudice terhadap mereka yang berbeda.


LKAJ tercatat banyak mempublikasikan hasil-hasil kajian seputar isu jender dalam bentuk jurnal dan buku, seperti Kodrat Perempuan; Pola Pengasuhan Anak; Perempuan Sebagai Kepala Keluarga; Pembagian Kerja di Rumah Tangga;  Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga; dan Poligami Dalam Pandangan Islam. Keenam buku tersebut mencoba menawarkan interpretasi baru yang lebih rasional dengan perspektif keadilan dan kesetaraan gender. Tujuannya, menepis segala bentuk pemahaman dan interpretasi yang melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan. Di samping publikasi, LKAJ juga melakukan berbagai pelatihan dan advokasi.

Sebagai seorang penganut Islam, saya yakin inti ajaran Islam terletak dalam konsep tauhid. Tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan demokratis yang berbasis musyawarah, dan tidak membenarkan adanya absolutisme antara sesama manusia. Dampak paling nyata dari ajaran tauhid, ialah terwujudnya pola hubungan antarmanusia  dalam semangat egalitarianisme. Karena setiap pribadi manusia berharga sebagai makhluk Tuhan yang bertanggung jawab langsung kepada-Nya, tidak seorang pun dari mereka yang dibenarkan diingkari hak-hak asasinya, sebagaimana tidak seorangpun dari mereka yang dibenarkan mengingkari hak-hak asasi pribadi yang lain. Karena itu, iman dan harkat serta martabat kemanusiaan melandasi demokrasi, dan tak mungkin mendukung sistem totaliter, otoriter, dan tiranik (al-Nahl, 16:36). Yang pasti, tidak ada demokrasi tanpa keikutsertaan perempuan. Sebab, masyarakat selalu terdiri dari lelaki dan perempuan.

Upaya Indonesia untuk menjadi negara demokratis yang konsen pada  penegakan HAM semakin terlihat dengan terbentuknya kementerian negara hak asasi manusia pada tahun 2000 di masa pemerintahan Abdurrrahman Wahid. Di masa inilah saya diangkat sebagai staf ahli Menteri Negara Urusan HAM, Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas. Tugas tersebut membawa saya terlibat intens dalam upaya-upaya pencegahan diskriminasi serta perlindungan dan pemenuhan hak asasi kelompok minoritas.

Pengangkatan tersebut kemungkinan karena pertimbangan aktivitas saya selama ini di berbagai ormas dan LSM yang mengusung pemajuan dan perlindungan HAM. Selama 20 tahun di Fatayat NU saya menangani program penguatan hak dan kesehatan reproduksi perempuan serta program kesehatan ibu dan anak. Lalu, di LKAJ saya aktif mempromosikan ajaran agama yang kompatibel terhadap nilai-nilai HAM, dan di ICRP saya terlibat intens dalam advokasi hak kebebasan beragama. Kemudian, sebagai dosen dan peneliti saya selalu mempromosikan pentingnya penghargaan terhadap manusia serta perlunya mengakhiri semua bentuk diskriminasi dan kekerasan atas dasar apa pun.

Perjumpaan dan persinggungan dengan kelompok yang rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan semakin menggugah empati saya akan pentingnya keberpihakan kepada kelompok tertindas atau dalam term Islam disebut kelompok al-mustadh’afin. Begitu banyak kelompok masyarakat yang terabaikan hak-hak asasinya sebagai manusia dan sebagai warga negara. Negara sungguh-sungguh abai terhadap mereka. Di antara mereka adalah kelompok perempuan korban KDRT, anak-anak terlantar, kelompok Lansia, kelompok miskin perkotaan yang sering digusur, kelompok buruh migran, khususnya perempuan; kelompok minoritas seksual, kelompok transgender, kelompok penderita HIV/Aids, kelompok penganut agama lokal (kepercayaan), kelompok difabel (penyandang cacat), kelompok Ahmadiyah, Syi’ah, serta kelompok lainnya yang terabaikan hak-hak sipilnya sebagai warga negara.

Memang betul, selama ini negara telah membuat program bantuan kepada kelompok rentan tersebut. Akan tetapi, program tersebut lebih bersipat karitatif sehingga penanganannya pun diletakkan di bawah Kementerian Sosial. Lebih fatal lagi, karena negara memposisikan kelompok rentan sebagai obyek belaka dalam seluruh bidang pembangunan.

Seharusnya program terkait kelompok rentan adalah berbasis pemenuhan hak asasi mereka sebagai manusia dan terlebih lagi sebagai warga negara.  Mereka adalah warga negara dan kewajiban negara lah memenuhi hak-hak mereka. Kewajiban negara memberdayakan dan memanusiakan mereka sehingga dapat menolong diri sendiri sebagai manusia utuh dan sebagai warga negara penuh tanpa ada pembedaan dengan warga lainnya. Masyarakat dan pemerintah harus dapat menerima dan mengakui mereka apa adanya dan memposisikan mereka sebagai subyek pembangunan setara dengan warga lainnya, serta melindungi mereka dari semua bentuk stigma, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berdasar apa pun.

Ketidakmampuan negara memenuhi hak-hak asasi mereka sebagai manusia dan sebagai warga negara bukan hanya karena faktor keterbatasan dana yang dimiliki negara, melainkan lebih karena ketiadaan perspektif dan juga kurangnya komitmen para pengelola negara terhadap pentingnya pemenuhan hak asasi manusia. Sementara, Konstitusi dan sejumlah UU nasional kita mewajibkan negara memenuhi hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan budaya bagi segenap warga negara tanpa kecuali. Negara berkewajiban melindungi segenap warganya dari perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan untuk alasan apa pun. Negara harus bersikap adil dan netral serta melindungi hak asasi segenap warga negara, terutama warga negara yang tergolong dalam kelompok rentan.

Di antara kelompok rentan yang paling bermasalah adalah perempuan, padahal Deklarasi Wina menyebutkan, hak asasi perempuan adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Jadi, hak asasi perempuan hakikatnya adalah hak asasi manusia. Di antara hak asasi perempuan yang paling banyak diabaikan adalah hak dan kesehatan reproduksinya. Indikasi paling mengemuka adalah rendahnya tingkat kualitas hidup perempuan Indonesia sehingga menempati posisi paling buruk di kawasan ASEAN. Buruknya kualitas hidup perempuan, antara lain tercermin dari tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI), yakni sekitar 390 per seratus ribu kelahiran hidup. Artinya, setiap 30 menit seorang ibu meninggal dunia karena melahirkan. Penyebabnya, antara lain, ketimpangan jender, kurangnya kesadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi, kesehatan dan status gizi perempuan sangat rendah, anemia, dan juga usia perkawinan yang sangat muda sehingga membawa konsekuensi proses kehamilan dengan kualitas lebih buruk. 

Rendahnya kualitas hidup perempuan mendorong perlunya pemberdayaan perempuan (women’s empowerment) yang dewasa ini menjadi isu krusial. Perempuan ditantang untuk lebih meningkatkan partisipasinya dalam seluruh bidang pembangunan. Indonesia mengambil contoh sejumlah negara maju, seperti Swedia dan Norwegia, sengaja menciptakan strategi khusus dalam bentuk affirmative action agar kualitas hidup perempuan dapat lebih ditingkatkan. Di kedua negara tersebut partisipasi dan representasi perempuan dalam seluruh bidang pembangunan cukup tinggi dan kualitas hidup perempuan semakin baik.  

Upaya-upaya pemberdayaan perempuan bukan hanya untuk kemaslahatan perempuan, melainkan kemaslahatan dan kemajuan seluruh masyarakat: laki dan perempuan. Karena itu, harus diikuti dengan upaya penyadaran dan pemberdayaan laki-laki, terutama terkait hak dan kewajiban mereka, khususnya dalam kehidupan keluarga. Ketimpangan gender bukanlah persoalan pribadi, melainkan isu sosial. Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.

Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, perlu sekali menjelaskan ajaran Islam yang ramah terhadap perempuan dan mendorong  kesetaraan dan keadilan gender. Saya meyakini Islam adalah agama yang ajarannya sarat dengan pesan-pesan keadilan dan kesetaraan, termasuk kesetaraan gender. Tidak salah menyebut Nabi Muhammad saw sebagai feminis. Nabi diutus kepada masyarakat Jahiliyah yang sangat bobrok, terutama karena pengaruh nilai-nilai patriarkal dan feodalistik sehingga memandang perempuan hanya sebagai obyek seksual. Nabi melakukan perubahan revolusioner terhadap posisi dan kedudukan  perempuan. Rasul mengubah posisi dan kedudukan perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal dan inferior menjadi mitra yang setara dan sederajat dengan laki-laki.

Nabi memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setingkat dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Karena itu, tugas manusia hanyalah ber- fastabiqul khairat (berlomba-lomba berbuat terbaik) demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur). Sayangnya, ajaran luhur yang diperkenalkan Nabi ternyata tidak bertahan lama. Umat Islam sepeninggal beliau kembali mempraktekkan tradisi jahiliyah, kembali mensubordinasikan perempuan, persis seperti perilaku jahiliyah. Menjadi kewajiban umat Islam masa kini untuk meneruskan perjuangan Nabi membangun keadilan dan kesetaraan sehingga perempuan dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin sebagaimana saudara mereka laki-laki.
Selain itu, kelompok rentan lain yang masih terabaikan hak-haknya adalah kelompok difabel. Sampai sekarang masih banyak orang memberikan stigma terhadap kelompok penyandang cacat -yang lebih suka menyebut diri difabel (different ability)- Bagi mereka, kekurangan fisik yang mereka alami tidak mengurangi kemampuan mereka untuk bekerja, dan hanya membuat mereka memiliki kemampuan berbeda dengan orang kebanyakan. Masih banyak orang menganggap difabel sebagai orang yang mendapat hukuman atau kutukan dari Tuhan karena kejahatan dan dosa mereka atau orangtua mereka. Anggapan negatif ini harus diakhiri. Negara harus melindungi mereka dari segala macam stigma dan perlakuan diskriminatif serta memberdayakan mereka sebagai warga negara penuh.


 Kelompok marjinal lain yang perlu diangkat adalah mereka yang terinfeksi virus HIV/AIDS atau dikenal dengan istilah ODHA. Sebetulnya pengalaman saya denga para ODHA dimulai sejak  22 tahun lalu. Persisnya, tahun 1989 ketika saya masih aktif sebagai ketua Fatayat NU, sebuah organisasi perempuan Islam di lingkungan Nahdlatul Ulama yang memiliki cabang di seluruh Indonesia. Fatayat sangat intensif melakukan program penguatan hak-hak perempuan, terutama hak dan kesehatan reproduksi perempuan.

Program ini menggunakan pendekatan keagamaan dalam mempromosikan pentingnya menjaga kelangsungan hidup ibu dan anak melalui kegiatan penyadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi, pentingnya imunisasi bagi ibu dan anak, serta pentingnya makanan bergizi bagi ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita. Melalui pendekatan agama, program ini diterima dengan baik oleh seluruh elemen masyarakat, khususnya di tingkat pedesaan di mana mayoritas anggota Fatayat berdomisili.                           

Dalam pelaksanaan program itulah, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan tiga orang  ibu yang terinfeksi virus HIV/AIDS dan mereka mengaku bahwa sama sekali tidak pernah menyangka kalau dirinya telah terinfeksi. Di masa itu (bahkan sampai sekarang) masih kuat anggapan bahwa penyakit HIV/AIDS selalu terkait masalah moralitas. Sementara ketiga ibu itu dikenal luas di masyarakat sebagai perempuan baik-baik. Perempuan yang sehari-harinya mengabdikan hidup untuk mengurus keluarga, melayani suami dan merawat anak-anak.

Dari wawancara mendalam terhadap ketiganya, terungkap bahwa perempuan pertama terinfeksi HIV/AIDS karena transfusi darah yang dijalaninya ketika melahirkan anak pertama; perempuan kedua terinfeksi karena tertular oleh suaminya yang suka ganti-ganti pasangan; dan yang ketiga terinfeksi karena perkosaan yang dilakukan oleh majikan tempat dia bekerja sebelum menikah. Beberapa tahun berikutnya, saya pun bertemu dengan penderita HIV/AIDS, seorang pekerja seks yang melakukan pekerjaan itu akibat dipaksa oleh suaminya yang penjudi dan tidak punya pekerjaan tetap. Pertanyaan kritis muncul: Apakah ibu-ibu yang tidak bersalah itu harus menanggung resiko dipermalukan karena sesuatu yang terjadi di luar kemauan mereka? Apakah pantas ibu-ibu itu dicap sebagai pendosa? Apakah adil jika orang sakit masih harus menderita karena stigma yang dilekatkan pada dirinya? Apakah manusiawi menghakimi orang sakit? Apakah manusiawi  mengucilkan mereka dari keluarga dan masyarakatnya?

Berbagai pengalaman nyata itu menyadarkan saya akan perlunya memahami secara holistik penyakit HIV/AIDS; perlunya melakukan advokasi dan pendampingan terhadap mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, termasuk anak-anak mereka yang pasti tidak bersalah. Sejak itu rasa empati terhadap kelompok ODHA tertanam kuat dalam diri saya dan juga komitmen kemanusiaan untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat agar semua stigma dan perlakuan negatif serta merugikan terhadap kelompok ODHA harus diakhiri.

Hal lain yang harus dilakukan, mensosialisasikan seluas mungkin cara-cara yang benar untuk menghindari hal-hal atau perbuatan yang dapat menimbulkan atau menularkan penyakit itu. Dengan ungkapan lain, bagaimana mengajarkan masyarakat menghindari penyakit HIV/AIDS, tanpa menghindari atau mengucilkan penderita HIV/AIDS. Selain itu, masyarakat perlu digugah kepeduliannya agar tidak memberi stigma atau bersikap diskriminatif terhadap kelompok ODHA. Sebaliknya, masyarakat dituntut memberikan empati bahwa kelompok ODHA juga adalah manusia dan makhluk Tuhan yang memiliki hak-hak untuk dikasihi dan diberi perlindungan.



ODHA sebagaimana manusia lain, memiliki hak-hak kemanusiaan, seperti hak hidup, hak dihargai, hak bekerja, hak atas jaminan kesehatan, serta hak-hak lainnya sebagai manusia utuh. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mengucilkan, menyakiti atau merendahkan mereka dengan alasan apa pun. Bahkan, semakin kita mengucilkan, menstigmatisasi dan mendiskriminasi, malah justru akan semakin sulit bagi kita melakukan upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal yang lebih parah dari itu dan semakin membahayakan lagi adalah kemungkinan mereka menularkan kepada orang lain dengan cara diam-diam atau dengan cara yang tidak kita ketahui.

Para ahli menyebutkan, dibanding laki-laki, risiko terkena HIV/AIDS pada perempuan jauh lebih besar, terutama apabila berhubungan seks tanpa memakai kondom. Karena letaknya di dalam tubuh, organ reproduksi perempuan lebih rentan dari pada organ laki-laki. Kerentanan ini lebih tinggi terjadi pada perempuan remaja. Selain itu, di ruang domestik perempuan rentan terhadap pemaksaan hubungan seks, termasuk oleh suaminya. Perempuan seringkali tidak bisa menolak keinginan seks suami, meski tahu dia terinfeksi HIV/AIDS. Di ruang publik, perempuan juga seringkali mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Jika pola relasi laki-laki dan perempuan masih timpang dan tidak setara, maka masuk akal kalau banyak perempuan terkena virus HIV/AIDS.

Tahun 2000 bersama sejumlah pemuka agama dari berbagai agama dan kepercayaan yang tumbuh di Indonesia saya ikut memprakarsai  berdirinya organisasi ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace). Visinya sangat jelas, agama untuk perdamaian. Organisasi ini mengusung upaya-upaya mewujudkan damai melalui kegiatan dialog agama, kegiatan advokasi menghapus semua bentuk diskriminasi, konflik dan kekerasan berbasis agama, serta mendorong pemenuhan hak kebebasan beragama bagi semua kelompok keagamaan di Indonesia sebagaimana dijamin dalam konstitusi.

Indonesia sungguh merupakan negara yang unik. Meski mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia bukan negara Islam karena para pendiri negara ini, yang sebagian besar adalah tokoh Islam ternama, justru tidak memilih Islam sebagai ideologi negara. Mereka memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Mungkin alasannya, jika menggunakan agama sebagai ideologi negara kelak akan timbul problem. Sebab, bicara tentang agama, hakikatnya bicara tentang interpretasi. Lalu, interpretasi siapa yang dipakai? Tentu setiap kelonpok dalam agama akan mengunggulkan interpretasi masing-masing. Sebab, dalam setiap agama, termasuk Islam selalu muncul beragam interpretasi.

Slogan ICRP, Religions for Peace ternyata hanya mudah diucapkan, tetapi amat sulit diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tercinta yang masih berada pada tahap belajar berdemokrasi. Religions for Peace sejatinya merupakan cita-cita luhur umat beragama di seluruh dunia demi mempromosikan pentingnya agama sebagai media perdamaian.

Pertanyaan penting muncul, apa yang dimaksud dengan perdamaian? Ada banyak definisi tentang perdamaian, namun paling tidak, perdamaian harus menjamin tiga hal: penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk bermartabat; perlakuan setara terhadap semua manusia tanpa membedakan  jenis kelamin, gender, warna kulit, suku, ras, agama dan kepercayaan; serta pemenuhan hak asasi manusia tanpa diskriminasi sedikit pun. Karena itu, tidak mungkin ada perdamaian selama masih ada praktek diskriminasi dan pemihakan terhadap suatu kelompok untuk alasan apa pun; tidak ada perdamaian selama masih ada perilaku korupsi dan tindakan ekploitatif terhadap kelompok lain; tidak ada perdamaian jika kebutuhan pokok masyarakat belum terpenuhi; tidak ada perdamaian jika masih ada pelanggaran hukum dan pengabaian hak asasi manusia.

Sejak berdiri, isu krusial yang ditangani ICRP adalah terkait pemenuhan hak kebebasan beragama bagi kelompok minoritas agama. Secara normatif, kebebasan beragama di Indonesia mendapat jaminan sangat jelas, seperti termaktub dalam UUD 1945 amandemen ke-4, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik. Hak kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia paling  mendasar. Tidak heran jika  semua dokumen historis tentang HAM menyebut pentingnya pemenuhan hak tersebut, misalnya Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791), International Bill of Rights (1966), dan Universal Declaration of Human Rights (1948).

Akan tetapi, Komnas HAM sejak tahun 1998 telah menerima ratusan pengaduan terkait kekerasan berbasis agama. Sebab, pemerintah dalam berbagai kebijakannya menyalahi prinsip konstitusi, seperti tertuang  dalam pasal 29 (2) UUD 1945: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Dalam prakteknya, pemerintah hanya mengakui lima agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, selanjutnya  menjadi enam setelah tahun 2006 pemerintah mengakui Konghucu. Sementara di masyarakat, dikenal lebih dari 20 agama, selain keenam agama tadi ada  Sikh, Tao, Baha’i, dan Yahudi serta ratusan agama lokal (indigenous religion). Pemerintah bukan hanya berpihak kepada enam agama tersebut, melainkan juga berpihak hanya kepada kelompok mainstream dalam enam agama dimaksud. Kelompok Syiah dan Ahmadiyah, misalnya meskipun mengklaim diri sebagai Islam, namun karena berada di luar kelompok mainstream, mereka tetap diperlakukan diskriminatif oleh negara.

Kelompok agama mayoritas mendapatkan bukan hanya pelayanan, melainkan juga bantuan dana secara reguler bagi kegiatan keagamaan mereka, seperti perayaan hari-hari besar agama, pembangunan rumah-rumah ibadah, dan bantuan untuk pendidikan. Sementara di luar kelompok mayoritas tidak mendapat bantuan apa pun, termasuk pemenuhan hak-hak sipil mereka. Ini jelas pelanggaran HAM, dilakukan oleh negara secara sengaja dan terang-terangan. Apakah pemerintah akan terus dibiarkan melanggar HAM?

Kebebasan beragama berarti keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan peribadat-annya dengan nyaman dan aman, bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan. Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama,  menetapkan mana agama resmi atau tidak resmi, menentukan mana agama induk dan agama sempalan. Bahkan, negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan agama atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Negara hanya perlu menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.

Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia paling mendasar dan Islam menjamin kebebasan beragama bagi setiap manusia. Jaminan bagi kebebasan beragama ini sangat penting demi menimbulkan rasa aman, tenteram, dan damai dalam masyarakat. Kebebasan beragama juga membawa kepada rasa saling menghormati di antara warga negara yang berbeda agama sehingga pada gilirannya menimbulkan sikap toleransi dan cinta kasih  di antara mereka. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan faktor dominan bagi terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejak lama masyarakat Indonesia dikenal sebagi masyarakat religius. Masalahnya, religiusitas masyarakat baru berada pada tataran simbolistik. Religiusitas yang mengandalkan simbol-simbol agama biasanya membawa seseorang lebih mementingkan aspek ritual yang bersifat legal formal dan melupakan aspek spiritualnya. Pemahaman keagamaan yang kehilangan esensinya sangat berbahaya. Sebab, yang tersisa hanyalah simbol-simbol yang dapat digunakan oleh siapa saja, di mana saja, dan untuk kepentingan apa saja. Setiap orang lalu mengklaim simbol-simbol tadi sebagai indikasi kesalehan, dan di sinilah awal mula kehancuran dalam peradaban manusia.

Kecenderungan masyarakat mementingkan simbol mengakibatkan fungsi agama bukan lagi untuk kemaslahatan hakiki manusia, tetapi berubah menjadi institusi pengadilan. Akibatnya, dalam beragama seseorang terpaksa menggadaikan hak-haknya, melupakan keinginannya untuk bisa memilih secara bebas. Agama dalam arti interpretasi agama yang tidak manusiawi membuat manusia terpasung, terbelenggu, dan tertindas; membuat manusia tidak kritis terhadap realitas sosial yang timpang dan penuh ketidakadilan.

Lebih parah lagi, masyarakat agama cenderung lebih tertarik pada aspek-aspek susila ketimbang sosial. Tidak heran jika kalangan agama lebih peka pada persoalan pornografi, prostitusi, homoseksualitas, daripada mengatasi problem sosial yang konkret dan riil dihadapi masyarakat, seperti korupsi, busung lapar, kelangkaan air bersih, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan trafficking (perdagangan anak dan perempuan). Itulah ironisnya!

Tahun 2004, dalam kapasitas saya sebagai Koordinator Tim Pengarusutamaan Gender di Kementerian Agama, merumuskan suatu draft alternatif dari Kompilasi Hukum Islam yang diberi nama Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI). Draft tersebut menawarkan paradigma baru dalam perkawinan. Pertama, perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan), dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan demi membentuk keluarga harmoni yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, asas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj).  Ketiga, prinsip dasar perkawinan ada enam, yakni kerelaan (al-taraadli), kesetaraan (al-musawah), keadilan (al-'adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta'addudiyyah), dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan perkawinan, mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (sakinah) berlandaskan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggungjawab.

Kini CLD KHI telah diterjemahkan ke dalam empat bahasa dunia: Inggeris, Belanda, Jerman, dan Perancis, dan diajarkan di berbagai universitas ternama di negara-negara maju. Ironisnya, di Indonesia sendiri diabaikan, bahkan dianggap sebagai dokumen yang ilegal. Untunglah akhir-akhir ini muncul kesadaran baru dari sejumlah dosen, mereka mulai mengajarkan draft tersebut kepada mahasiswa. Sangat mengejutkan karena reaksi mahasiswa tidak seperti yang mereka bayangkan. Sebagian besar mahasiswa justru dapat menerima pandangan progres dalam draft tersebut, dan bahkan mengakui draft itu sesuai kebutuhan masyarakat Islam modern.

Mejadi kritis dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda dengan pandangan mainstream sungguh tidaklah mudah, apalagi jika pandangan tersebut terkait agama. Sebab, umumnya masyarakat memahami agama  hanya sebatas dogma yang bersifat mutlak dan sakral sehingga tidak dapat dipertanyakan, apalagi dikritik. Bagi saya, agama diturunkan sepenuhnya untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk kemaslahatan Tuhan karena Dia sudah Maha Segalanya. Jika ajaran agama tidak mampu merespon dan memberi solusi terhadap persoalan manusia, lalu untuk apa manusia beragama?  Tidak heran jika kehadiran teknologi -yang mampu menjawab kebutuhan manusia secara perlahan tapi pasti- membuat sebagian manusia meninggalkan agama. Dan pada akhirnya, agama hanya akan menjadi fosil yang dilupakan. Itulah sebabnya, kita harus menjadikan agama mampu berdialektika dengan kebutuhan manusia yang selalu berubah dan berkembang, baik karena tuntutan dinamika zaman maupun karena hasil kemajuan iptek yang demikian pesat.

Sebagai orang yang tumbuh dan besar di lingkungan pesantren, saya dididik untuk selalu bersikap sami’na wa atha’na (hanya boleh mendengar lalu taati perintah). Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, kesadaran kemanusiaan dalam diri saya pun tumbuh, rasa simpati dan bahkan empati terhadap mereka yang mengalami perlakuan tidak manusiawi semakin kuat. Tentu banyak faktor yang berpengaruh dan pada gilirannya mengubah sikap dan orientasi hidup saya sebagai manusia, di antaranya pendidikan yang mengedepankan sikap kritis dan dialogis di perguruan tinggi, perjumpaan dan perbincangan dengan berbagai kelompok marjinal dalam  kegiatan organisasi, serta pengalaman berkunjung ke berbagai  komunitas yang berbeda.

Meski PNS, saya tidak pernah melepaskan hobby berorganisasi yang sudah terbentuk sejak mahasiswa. Beruntung saya bukan pegawai administratif yang terikat jam kerja yang ketat, masuk pagi pulang sore. Sebagai pejabat fungsional peneliti, saya tidak harus masuk kantor setiap hari sebagaimana PNS lainnya. Kondisi ini memungkinkan saya aktif di berbagai organisasi dan LSM. Di sela-sela kesibukan sebagai peneliti atau sebagai pejabat, saya pun aktif menjalankan program organisasi, bahkan sudah terbiasa menangani program sejumlah organisasi sekaligus. Hal itu dimungkinkan karena bidang pekerjaan yang saya geluti sebagai PNS dan berbagai program organisasi yang saya tekuni memiliki visi yang sama, yaitu mengembangkan demokrasi yang selektif terhadap penegakan HAM menuju  negara Indonesia yang maju dan berdaulat berdasarkan Pancasila.

Sebagai PNS, saya tetap kritis dan vokal, tidak heran jika banyak pihak merasa kurang nyaman dengan statemen dan gagasan saya.  Bagi saya, PNS adalah abdi negara, harus lebih banyak membela kepentingan rakyat, bukankah negara didirikan untuk menjamin kemaslahatan rakyat banyak? PNS tidak harus tunduk mutlak kepada atasan atau pemerintah. Ketaatan kepada atasan atau pemerintah hanya jika keduanya bersikap adil dan amanah serta berbuat demi kepentingan rakyat banyak. Meski PNS digaji oleh negara, namun hakikatnya uang itu berasal dari pajak rakyat. Jadi, PNS harus lebih berbakti untuk kepentingan rakyat banyak dan didasarkan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan.

Sebagai dosen dan peneliti saya lebih banyak berada di lapangan menggeluti persoalan kemasyarakatan yang faktual. Bagi saya, para akademisi dan mahasiswa harus akrab dengan persoalan-persoalan riil sehari-hari sehingga pada gilirannya, mereka dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan yang mereka tekuni di perguruan tinggi untuk merespon berbagai isu sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat di sekitarnya. Ilmuwan dan akademisi harus mampu melakukan  upaya-upaya transformasi, mengubah masyarakat menjadi lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih manusiawi. Upaya-upaya inilah yang dalam Islam disebut dengan istilah amar ma’ruf nahy mungkar.

Bagi saya, agama hadir demi membebaskan manusia dari belenggu kepicikan, ketidakberdayaan, ketidakadilan, dan kezaliman. Agama memotivasi penganutnya membangun sikap positif dan apresiatif terhadap orang lain, mengasihi dan menghormati sesama manusia. Itulah ajaran esensial dari setiap agama, tak terkecuali Islam. Ajaran inilah yang seharusnya menjadi spirit dari kerja-kerja kita semua.




Terimakasih

Jakarta, 18 Oktober 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar