Selasa, 03 Desember 2019

Perkawinan Menurut Islam

Perkawinan Menurut Islam[1]

Prof. Dr. Musdah Mulia[2]





Pendahuluan

Ajaran Islam mempunyai dua aspek penting: aspek vertikal dan horinzontal. Aspek vertikal menjelaskan kewajiban manusia kepada Tuhan (hablun minallah), sementara aspek horisontal mengatur hubungan di antara sesama manusia (hablun min al-nas), termasuk hubungan dengan sesama makhluk dan alam semesta. Begitu pentingnya aspek horisontal ini sehingga Al-Qur`an dan Hadis Nabi padat dimuati ajaran-ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, misalnya ajaran tentang kesetaraan manusia tanpa melihat gender, jenis kelamin, suku, ras, bahasa, status sosial, dan bahkan agamanya (Q.S al-Hujurat, 49:13).

Masalahnya, dalam beragama manusia lebih mengedepankan aspek vertikal daripada aspek horisontal sehingga dimensi humanisme yang merupakan refleksi aspek vertikal Islam kurang mendapat perhatian umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terlihat, antara lain dalam kehidupan perkawinan. Hasilnya, aturan perkawinan Islam terkesan maskulin, keras, kasar, dan tidak ramah terhadap perempuan.

Perkawinan adalah Amanah

Islam menegaskan bahwa pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara dengan baik. Istri adalah amanat Allah swt. kepada suami, demikian pula sebaliknya. suami merupakan amanat Allah swt kepada istri.

Al-Qur`an membahas isu perkawinan secara rinci dalam banyak ayat. Tidak kurang dari 104 ayat, baik dengan menggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang terulang sebanyak 23 kali, maupun kata zauwj (pasangan) yang dijumpai berulang 80 kali. Memahami hakikat perkawinan dalam Islam harus dilakukan dengan mengurai seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan dengan menggunakan metode tafsir tematik dan holistik sekaligus. Kemudian, mencari benang merah yang menjadi intisari atau pesan moral dari seluruh penjelasan ayat-ayat tersebut.
Kajian mendalam terhadap keseluruhan ayat-ayat perkawinan tersebut menyimpulkan lima prinsip dasar perkawinan. Pertama, prinsip mitsaqan ghaliza.[3] Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah.[4] Ketiga, prinsip kesetaraan untuk saling melengkapi dan melindungi.[5]  Keempat, prinsip mu`asyarah bil ma`ruf  (pergaulan yang sopan dan santun), baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi kemanusiaa,[6] dan  kelima, prinsip musyawarah[7]. Kelima prinsip dasar ini akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Prinsip Mitsaqan ghaliza (Komitmen Suci)
Al-Qur`an menggambarkan ikatan perkawinan dengan istilah mitsaqan ghalidzan, yakni sebagai perjanjian suci dan serius di antara kedua pihak (laki-laki dan perempuan) yang setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, para pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan perjanjian tersebut.

Janji inilah yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan mitsaqan ghaliza. Istilah itu dapat dimaknai dengan komitmen suci atau perjanjian yang teguh.  Lihat QS an-Nisa 4:21:
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا 
Pernikahan dalam Islam bukan hanya melibatkan aspek biologis dan hal-hal yang bersifat material semata, melainkan jauh lebih luas dari itu. Pernikahan pun melibatkan aspek spiritual terdalam dari diri manusia.

Itulah sebabnya, setiap pasangan: isteri atau suami jika dalam kehidupan pernikahan mengalami hal-hal yang membuatnya sedih, galau dan cemas hendaknya segera beristighfar memohon ampunan kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Sebaliknya, jika pasangan merasakan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan hendaknya banyak bersyukur ke hadirat-Nya. Kehidupan perkawinan ibarat permainan ombak di pantai, penuh gejolak dan sering menimbulkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya.

Sebuah kisah menarik terjadi pada masa Umar ibn Khattab. Suatu hari datang seorang suami mengeluh kepadanya sambil berkata: "Wahai Umar, cintaku kepada isteriku telah memudar dan karenanya aku berniat untuk menceraikannya.”  Tanpa pikir panjang, Umar langsung menjawab: "sungguh jelek niatmu. Apakah menurutmu rumah tangga hanya membutuhkan cinta?  Di mana rasa takwa dan janjimu kepada Allah? Di mana pula perasaan malumu kepada-Nya? Bukankah kalian sebagai suami-isteri telah bergaul secara intim, dan ketahuilah bahwa kalian telah memateri perjanjian yang kuat?" Pernyataan di atas diucapkan oleh seorang khalifah yang dikenal sangat tegas dan keras, namun terhadap derita perempuan ia tetap memiliki empati yang sangat dalam. Bagi Umar, ikatan suami-isteri dalam rumah tangga bukan semata-mata dilandasi cinta belaka, melainkan dilandasi komitmen yang sangat kokoh (mitsaqan galiza), seperti disebutkan dalam Al-Qur’an.

Komitmen itu harus diaplikasikan dalam wujud rasa takwa dan malu kepada Allah, Sang Pencipta. Suami yang memiliki rasa takwa dan malu kepada Allah tidak akan melakukan perbuatan kasar dan tercela terhadap isterinya. Demikian pula sebaliknya. Bahkan, jika suami mendapati isterinya mempunyai kekurangan-kekurangan, Al-Qur’an masih meminta suami tetap bersabar. Sebab, boleh jadi di balik kekurangan itu tersimpan hikmah yang sangat besar (QS Al-Nisa’ [4]:19).

2. Prinsip mawaddah wa rahmah (Cinta dan kasih yang tak bertepi )
Mawaddah secara bahasa berarti 'cinta kasih', sedangkan rahmah berarti 'kasih sayang', kedua istilah itu menggambarkan perasaan batin manusia yang sangat luhur. Mawaddah juga menggambarkan suasana psikologis manusia yang dapat menerima orang lain apa adanya. Mawaddah wa rahmah terbentuk dari suasana hati yang penuh keikhlasan dan kerelaan berkorban demi kebahagiaan bersama. Sejak akad nikah suami-isteri seharusnya telah dipertautkan oleh perasaan mawaddah wa rahmah sehingga keduanya tidak mudah goyah dalam mengarungi samudra kehidupan rumah tangga yang seringkali penuh gejolak.

Mawaddah wa rahmah merupakan anugerah Allah swt. dan hanya dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki agar mereka dapat menikmati kehidupan suami isteri dengan penuh sakinah (kedamaian). Hal itu dipaparkan, antara lain dalam firman Allah berikut: “Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan agar kalian memperoleh kedamaian dari pasangan tadi, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS. ar-Rum, 30: 21).

3. Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (Prilaku santun dan beradab)
Ditemukan sejumlah tuntunan dalam Al-Qur`an dan hadis agar suami memperlakukan isterinya dengan penuh sopan santun, di antaranya berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S an-Nisa 19).

Selanjutnya dari hadis dijumpai pesan-pesan moral sebagai berikut: "Bertakwalah kalian kepada Allah swt. berkaitan dengan urusan perempuan. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah, dan kalian juga telah memperoleh (dari Tuhan) kehalalan atas kehormatan mereka dengan kalimat Allah" (HR. Bukhari).

4. Prinsip Musawah (Kesetaraan dan keadilan gender)
Al-Qur`an menegaskan hubungan egalitarian suami-istri, seperti terbaca pada ayat-ayat: az-Zariyat, 49; Fatir,11; an-Naba`, 78;  an-Nisa`, 20; Yasin, 36; as- Syura, 11;  az-Zukhruf, 12;  al-Baqarah, 187;  dan  an-Najm, 53. Penegasan relasi yang setara tersebut ditemukan pula dalam sejumlah hadis Nabi. Kesemua ayat dan hadis tersebut secara tegas menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam lebih merupakan suatu akad atau kontrak.[8] Kontrak itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan).

Kebahagiaan hidup dalam pernikahan hanya dapat diwujudkan dalam kehidupan keluarga manakala suami-isteri berada pada posisi yang setara dan sederajat. Itulah yang sekarang diistilahkan dengan kesetaraan dan keadilan gender. Sebab, bagaimana mungkin suami isteri bisa saling menghargai, saling menghormati, dan saling terbuka jika sang suami memandang isteri lebih rendah atau lebih tinggi. Atau sebaliknya, isteri memandang suami lebih tinggi atau lebih rendah.

Keduanya harus memandang satu sama lain sebagai manusia yang bermartabat, yang harus dihargai dan dihormati apa pun posisi dan statusnya. Keduanya harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Di hadapan Allah swt. semua manusia sama derajatnya, yang membedakan di antara mereka hanyalah prestasi takwanya, itupun hanya Allah yang berhak menilai, bukan manusia.

Prinsip musawah atau kesetaraan suami-isteri, antara lain didasarkan pada firman Allah: "isteri-isterimu adalah pakaian untuk kamu (para suami), demikian pula sebaliknya, kalian (para suami) adalah pakaian bagi mereka (para isteri)" (QS. S. Al-Baqarah, 2:187). Ayat tersebut mengisyaratkan perlunya suami-isteri saling membantu dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba tidak sempurna. Suami isteri pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi atau menutupi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh.

5. Prinsip Musyawarah (Komunikasi yang hangat dan intens)
Prinsip ini didasarkan, antara lain pada firman Allah: "Bermusyawaralah di antara kamu (suami dan isteri) mengenai segala sesuatu dengan cara yang baik" QS. at-Thalaq, 65:6). Atas dasar prinsip musyawarah ini, suami atau isteri tidak boleh mengambil keputusan penting, khususnya menyangkut kehidupan keluarga, secara sepihak melainkan senantiasa perlu dirundingkan atau dimusyawarahkan bersama. Dengan memegang teguh prinsip ini diharapkan bahwa manakala ada masalah, maka suami isteri bertanggung jawab. Tidak ada pihak yang akan mengelak dari tanggung jawab karena semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama demi kepentingan dan kemaslahatan semua keluarga.

Membangun komunikasi yang hangat dan intens di antara suami-isteri menjadi kunci kebahagiaan dalam perkawinan. Masalahnya, kebanyakan kita lebih mudah dan juga lebih suka membangun hubungan yang hangat dengan orang lain ketimbang dengan pasangan sendiri. Memang tidak mudah, tapi komunikasi harus dibangun dan dilanggengkan sepanjang hayat dengan pasangan. Khalifah Umar ibn al-Khattab mengibaratkan ikatan suami isteri dengan seutas benang yang mudah sekali putus, sangat peka. Karena itu, jika yang satu menarik, yang lain mengulur. Jika yang satu mengencangkan, yang lain mengendorkan, demikian seterusnya. Dengan ungkapan lain, diperlukan seni berkomunikasi dalam relasi pernikahan.

Rasulullah saw. seringkali menyebutkan: bayti jannati (rumahku adalah surgaku). Dibalik sabdanya itu, Rasul hendak mengingatkan kita, para pengikutnya, agar berusaha menjadikan rumah masing-masing seindah dan senyaman surga. Surga dalam kehidupan rumah tangga harus diciptakan, dan itu perlu kerjasama yang serius dan sungguh-sungguh dari kedua suami-isteri, tidak mungkin hanya sepihak saja.

Apa itu perkawinan anak?

Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa atau di bawah usia 18 tahun. Umumnya yang terjadi adalah perkawinan anak perempuan dengan laki-laki dewasa, bahkan kebanyakan adalah laki-laki yang sudah berumur sehingga lebih pantas menjadi kakek daripada menjadi suami anak tersebut.

Ketentuan internasional dan juga secara nasional dinyatakan, bahwa batasan usia anak adalah 18 tahun. Seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah masuk dalam kategori anak. Sejumlah peraturan dan perundang-undangan telah lahir, baik di tingkat nasional maupun internasional, menekankan perlunya proteksi dan penguatan hak-hak anak. Semuanya demi kemaslahatan anak, dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak, melalui modus operandi perkawinan, terutama anak-anak perempuan.

Lalu, mengapa perkawinan anak dikatakan sangat beresiko, bahkan dikategorikan sebagai penyebab pelbagai problem sosial? Sejumlah penelitian menyimpulkan, perkawinan anak adalah sumber dari pelbagai masalah sosial di masyarakat. Paling tidak dijumpai lima dampak buruk perkawinan anak. Pertama, perkawinan anak merupakan penyebab dari tingginya angka perceraian di masyarakat. Perkawinan membawa konsekuensi tanggung jawab bagi kedua suami-isteri sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam keluarga. Bagaimana anak-anak itu akan bertannggung jawab dalam perkawinan, mereka masih anak-anak, belum matang dan dewasa, baik fisik, mental, dan spiritualnya sehingga dalam banyak hal belum mampu menjalankan tanggung jawab sebagai suami-isteri atau sebagai anggota keluarga. Perceraian sangat rentan terjadi pada pasangan yang sangat muda usia, apalagi mereka yang berada pada usia anak. Kehidupan keluarga menuntut adanya peran dan tanggungjawab yang besar bagi kedua pasangan, laki-laki dan perempuan.

Kedua, perkawinan anak membawa kepada putus sekolah yang pada gilirannya dapat menyebabkan kemiskinan dan pengangguran. Sebab, seharusnya mereka masih perlu menuntut ilmu dan belajar sejumlah keterampilan sebagai bekal hidup kelak dalam keluarga dan masyarakat. Perkawinan menyebabkan mereka putus sekolah sehingga tidak memiliki ijazah yang cukup untuk mencari pekerjaan yang memadai, di samping juga umumnya mereka tidak punya banyak keterampilan dan pengalaman karena masih sangat muda. Akibatnya, mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang kebutuhan hidup dalam keluarga yang pada gilirannya dapat membuat mereka jatuh miskin, menganggur dan kondisi tersebut tidak sedikit menggiring mereka melakukan kejahatan.

Ketiga, perkawinan anak membawa kepada kekerasan rumah tangga (KDRT). Mengapa ini terjadi? Sebab, usia mereka masih sangat muda, penuh emosi sehingga gampang meledak, tidak berfikir panjang dan belum matang secara mental dan spiritual. Kondisi demikian menyebabkan kehidupan keluarga dan rumah tangga mereka sering ”meledak” yang pada gilirannya membawa kepada perilaku kekerasan domestik. Kekerasan yang dialami istri yang masih anak-anak ini sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual. Dan bentuk yang terakhir itu membawa dampak buruk dalam kehidupan perempuan, terutama terkait dengan kesehatan reproduksi mereka.

Keempat, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem sosial seperti narkoba, HIV/Aids, aborsi, pelacuran, dan trafficking. Maraknya penjualan (trafficking) anak, khususnya anak perempuan melalui modus operandi perkawinan adalah sebuah fakta yang tidak dapat diingkari. Mengalami kekerasan seksual dan tertular penyakit kelamin melalui hubungan seks, termasuk HIV/AIDS, membawa pengaruh yang dapat merusak kesehatan anak-anak, dan anak perempuan lebih rentan dibanding anak laki-laki terhadap akibat-akibat hubungan seksual yang tidak aman dan yang berlangsung pada usia terlalu dini. Anak perempuan seringkali menghadapi tekanan dalam melakukan kegiatan seksual. Disebabkan oleh faktor-faktor seperti usia muda, tekanan sosial, kurangnya undang-undang perlindungan dari kejahatan seksual. Tidak heran anak perempuan lebih rentan terhadap berbagai kekerasan, terutama kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan, dan penjualan organ-organ dan jaringan sel (tissues) mereka, serta juga menghadapi kerja paksa.

Kelima, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem kesehatan reproduksi. Tingginya AKI (angka kematian ibu melahirkan) disebabkan terutama oleh kehamilan di usia sangat muda, terlalu sering hamil, dan ketidakmatangan fungsi-fungsi reproduksi secara biologis dan psikologis;  dan rendahnya tingkat kualitas hidup perempuan di bidang kesehatan. Kehamilan di usia anak sangat beresiko karena organ-organ reproduksi perempuan belum siap melakukan fungsinya secara optimal. Melahirkan pada usia muda tetap merupakan persoalan besar dalam meningkatkan kedudukan perempuan di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial di berbagai penjuru dunia. Secara keseluruhan, pernikahan dan melahirkan pada usia muda dapat membatasi peluang anak perempuan untuk memperoleh keterampilan, pendidikan dan pekerjaan, dan pada akhirnya membawa dampak negatif pada jangka panjang terhadap mutu kehidupan mereka dan anak-anak mereka. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan dapat menimbulkan berbagai risiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, janin yang cacat karena kurang gizi sebab tubuh janin dan tubuh ibunya yang masih dalam tahap pertumbuhan itu  berlomba mendapatkan asupan gizi dan nutrisi. Selain itu, sang ibu pun dapat mengalami berbagai risiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik.

Hasil penelitian PSW UIN Jakarta (2000) mengungkapkan temuan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah adalah berkisar 19,9 tahun dan usia ideal laki-laki  adalah 23,4 tahun. Yang penting dicatat bahwa kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, mental dan kejiwaan, serta budaya, ekonomi, sosial, dan spiritual.
Perkawinan membutuhkan kedewasaan dan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan psikologis, sosial, mental dan spiritual. Batas minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun, kira-kira setelah lulus SLTA.

Betulkan Rasul menikahi Aisyah ketika berumur 7 tahun?

Alasan yang paling mengemuka dari maraknya perkawinan anak adalah alasan agama, khususnya menunjuk kasus perkawinan Nabi Muhammad saw dengan Aisyah. Hampir semua ustadz dan ustadzah menceramahkan bahwa Aisyah baru berumur 7 tahun ketika dinikahi Nabi dan berusia 9 tahun ketika hidup bersama sebagai suami-isteri. Mereka yang setuju perkawinan anak, kasus Aisyah merupakan dalil pembenaran. Mereka tidak peduli dengan berbagai dampak sosial, mental-psikologis dan kesehatan seksual yang dialami  anak perempuan akibat perkawinan tersebut.

Terus terang penulis merasa tidak nyaman dan tidak dapat memercayai hal itu. Rasanya sangat tidak bijak seorang Rasul mulia yang begitu gencar membela hak dan kepentingan anak, lalu melanggar sendiri ajarannya. Karena itu, penulis mencoba memaparkan sejumlah data yang termuat di berbagai kitab klasik terkait isu tersebut. Faktanya, hadis yang menjelaskan bahwa usia Aisyah baru 7 tahun ketika dinikahi Nabi, hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi, yaitu Hisyam ibn ‘Urwah. Seharusnya, minimal ada dua atau tiga perawi yang mencatat hadits serupa. Adalah aneh, bahwa tak ada seorang pun di Madinah, di mana Hisyam ibn Urwah tinggal, meriwayatkan hadis tersebut, padahal di Madinah dikenal sejumlah ulama hadis ternama, seperti Malik ibn Anas. Lebih aneh lagi karena Hisyam baru meriwayatkan hadis tersebut setelah pindah ke Iraq dan ketika itu usianya sudah 71 tahun. Sejumlah riwayat menjelaskan, beliau sudah uzur dan ingatannya sangat lemah.

Tahzibu'l Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal, berisi catatan para periwayat hadits,  di sana tertulis sebagai berikut. Hisyam sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali setelah pindah ke Iraq. Malik ibn Anas menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq. Artinya, semua hadis yang diriwayatkan Hisyam bin Urwah setelah bermukim di Iraq diragukan validitasnya karena beliau mengalami uzur dan ingatannya terganggu.

Mizanu'l I’tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup para periwayat hadits Nabi saw. mencatat: "Ketika sudah tua, ingatan Hisyam mengalami kemunduran yang mencolok." Berdasarkan referensi ini, dapat diketahui, bahwa ingatan Hisyam sangatlah jelek dan begitu juga hadis-hadis yang diriwayatkannya setelah pindah ke Iraq. Kesimpulannya, hadis yang diriwayatkan Hisyam mengenai umur Aisyah ketika menikah adalah tidak kredibel.

Pembuktian lain adalah melalui sejarah Islam. Diketahui bahwa masa Jahiliya (pra-Islamic era) adalah masa sebelum turun wahyu (610 M). Tahun 610 M turun wahyu pertama, Khadijah dan Abu Bakr menerima Islam. Tahun 613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat. 615 M: Hijrah ke Abessinia. Tahun 616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam. Tahun 620 M Nabi meminang Aisyah. Tahun 622 M Nabi hijrah ke Yathrib kemudian dinamai Madinah. Tahun 623 M Nabi saw menikahi Aisyah. Selisih tiga tahun antara Nabi meminang dan menikahi Aisyah. Menurut At-Thabari, pakar sejarah Islam, semua anak Abu Bakar (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari kedua isterinya. Berdasarkan tulisan Ath-Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan sebelum 610 M. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika menikah.

Selain itu, perlu juga membandingkan umur Aisyah dengan Fatimah, puteri Rasulullah. Menurut Ibn Hajar, Fatimah dilahirkan ketika Ka’bah dibangun kembali, ketika Nabi Muhammad saw. berusia 35 tahun. Banyak riwayat menyebutkan, umur Fatimah 5 tahun lebih tua daripada Aisyah. Jika statement Ibn Hajar adalah faktual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi pada saat usia Nabi 56 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 16 tahun, bukan 7 tahun.
 
Menarik pula membandingkan umur Aisyah dengan kakak kandungnya, Ashma binti Abu Bakar. Menurut Abdurrahman ibn Abi Zanna'd, Asma lebih tua 10 tahun dibandingkan Aisyah. Demikian pula Ibn Katsir menyebutkan, Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya. Ibn Katsir juga menjelaskan, Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal dalam usia 100 tahun. Ibn Hajar al-Asqalani membenarkan, Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada tahun 73 H. Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, saudara tertua Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun, pada tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 tahun ketika hijrah (622M). Jika Asma berusia 27 ketika hijrah (ketika Aisyah menikah), maka Aisyah seharusnya berusia 17 tahun.

Perlu pula mengaitkan usia Aisyah dengan peristiwa perang Badar dan perang Uhud. Dijelaskan dalam hadits Muslim, Aisyah, ketika menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar mengatakan: "Ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, bahwa Aisyah ikut dalam perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat lain mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Uhud tercatat dalam buku Imam Bukhari. Anas mencatat, bahwa pada perang Uhud, orang-orang tidak dapat berdiri di dekat Nabi saw. Tetapi, hari itu saya melihat Aisyah dan Ummu Sulaim berada dekat dengan Nabi, mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya (untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut). Lagi-lagi, hal ini menunjukkan, bahwa Aisyah turut serta dalam perang Badar dan Uhud. Diriwayatkan oleh Bukhari, Abdullah ibn Umar menyatakan, Nabi tidak mengijinkan dirinya ikut dalam Perang Uhud karena masih berusia 14 tahun. Ketika perang Khandaq, Nabi mengijinkannya karena sudah berusia 15 tahun. Berdasarkan riwayat di atas berarti Aisyah berumur 15 tahun karena sudah boleh ikut dalam perang Badar dan Uhud. Di samping itu, para perempuan yang ikut dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan menambah beban.

Sebuah riwayat dari Ahmad ibn Hanbal mengatakan, sesudah meninggalnya Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati beliau untuk menikah lagi. Nabi Muhammad bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang perempuan yang pernah menikah (thayyibah)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut, Khaulah menyebutkan nama Aisyah. Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat, bahwa kata bikr dalam Bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah jariyah. Oleh karena itu, tampak jelas, bahwa gadis belia 9 tahun belum dinamai bikr. Riwayat tersebut menkonfirmasikan bahwa usia Aisyah ketika menikah bukan 9 tahun, melainkan di atas 14 tahun.

Seluruh muslim setuju, bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Al-Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat hadis. Apakah Al-Quran mengijinkan atau melarang pernikahan anak berusia 7 tahun? Tak ada ayat yang secara eksplisit menjelaskan isu ini. Namun, ada sebuah ayat yang menuntun kita dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Al-Qur'an tersebut sebagai berikut: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik (Qs. An-Nisa: 5).

وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا 

Kemudian lebih dipertegas lagi pada ayat berikut. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas  (Qs. An-Nisa: 6).

وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّٗا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِيرٗا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا 

Kedua ayat tersebut memberi tuntunan bahwa jika seorang anak ditinggal orang tuanya, maka kaum muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan, (b) memberi pakaian, (c) memberi pendidikan dan (d) menguji kedewasaan mereka sampai usia menikah sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan. Di sini, ayat Qur'an menyatakan tentang perlunya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil tes yang obyektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta benda kepada mereka.

Ayat tersebut sangat jelas menghimbau kaum beriman agar memperhatikan kedewasaan seorang anak sebelum mereka diberikan tanggungjawab. Karena itu, tidak ada seorang muslim pun yang bertanggung jawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, maka gadis tersebut jelas tidak memenuhi syarat secara mental, intelektual maupun fisik untuk menikah.

Adalah tidak terbayangkan, bahwa Abu Bakar, seorang laki-laki cerdas, akan berpikir dan menerima persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 56 tahun. Serupa dengan ini, Nabi Muhammad tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadits Muslim masih suka bermain-main dengan bonekanya.
Selain itu, terkait pendidikan anak, sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan: "Berapa banyak di antara kita yang percaya, bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Tentu kita sepakat mengatakan tidak ada. Logika sehat akan berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak dengan memuaskan akan diserahkan kepada mereka yang masih anak-anak.

Kesimpulannya, perkawinan Aisyah dan Nabi saw tidak terjadi ketika Aisyah masih anak-anak sebab dalil teologisnya sangat lemah. Sayangnya, kebanyakan umat Islam menerima informasi tersebut tanpa upaya mengkritisi riwayatnya. Tidak heran jika masih dijumpai umat Islam mempraktekkan perkawinan anak hanya karena percaya pada hadist yang lemah tadi.

Umat Islam harus mengedepankan ajaran Islam yang esensial dengan nalar kritis dan logika sehat dalam hal apa pun, terutama terkait perkawinan. Islam telah menggariskan lima prinsip dasar mengenai perkawinan dan kelima prinsip dasar tersebut hanya dapat dipenuhi oleh mereka yang berumur dewasa dan matang, baik fisik maupun mental-spiritual, bukan mereka yang masih berusia anak.

Al-Qur'an (ayat an-Nisa' (4): 6) menegaskan perlunya paling tidak dua syarat: kedewasaan jasmani (balighah) dan kematangan mental-spiritual (rasyidah). Ayat itu menegaskan perlunya melakukan pengujian terhadap anak untuk memastikan apakah anak tersebut sudah dewasa dan matang, atau sudah pantas menikah. Jika sudah memenuhi syarat kedewasaan dan kematangan barulah mereka (anak-anak yatim) itu berhak mendapatkan harta yang dititipkan kepada para walinya. Mengapa diperlukan pengujian? Tidak lain tujuannya adalah untuk mengeliminasi segala bentuk eksploitasi terhadap anak. Meskipun ayat ini lebih fokus pada pembicaraan soal anak yatim dan para wali yang menyimpan harta warisan mereka, namun sangat tepat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan anak karena sangat beresiko mendapatkan eksploitasi.

Perkawinan anak adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Perkawinan anak cenderung menjadi sumber bencana kemanusiaan dalam masyarakat. Sebab, perkawinan anak sering berdampak kepada berbagai problema sosial yang krusial, seperti perceraian, trafficking (perdagangan anak), kekerasan domestik, kematian ibu melahirkan, kematian balita, busung lapar, kemiskinan, pengangguran dan masih banyak lagi.

Dampak lain dari perkawinan anak bagi perempuan, antara lain muncul berbagai resiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, dan resiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik. Kehidupan keluarga menuntut adanya peran dan tanggungjawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan. Karena itu, membolehkan perkawinan anak dengan dalih ajaran agama, berarti menodai kesucian agama itu sendiri.

Penutup

Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang sempurna karena ajarannya diyakini sudah mencakup semua tuntunan yang diperlukan bagi kehidupan manusia di bumi, termasuk tuntunan mengenai kehidupan perkawinan. Semua ajaran itu dimaksudkan agar manusia selamat dan bahagia, baik secara duniawi maupun ukhrawi.

Pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara dengan baik. Isteri adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula sebaliknya, suami merupakan amanat Allah kepada isteri. Suami isteri telah berjanji dengan nama Allah untuk menjaga amanah itu.

Terkait perkawinan anak, sejumlah saran sebagai solusi mengatasinya.Pertama, pentingnya pendidikan seksual yang komprehensif diajarkan sejak dini di tingkat PAUD. Jangan alergi mendengar istilah seksual. Pendidikan seksual yang dimaksudkan di sini adalah akumulasi dari pendidikan tentang anatomi tubuh, kesehatan reproduksi, hak-hak seksual, pendidikan moralitas, dan pendidikan agama yang mengedepankan tanggungjawab dan martabat manusia.

Seks bukan semata-mata soal hubungan biologis, melainkan lebih luas dari itu, mencakup isu tanggungjawab (responcibility), moralitas dan kesehatan reproduksi. Pendidikan seksual terpadu perlu mendapat dukungan, bantuan dan pengarahan dari orang tua yang menekankan tentang tanggung-jawab anak  laki-laki dan perempuan atas seksualitas dan kesuburan mereka sendiri. Hal itu penting karena terdapat lebih dari 15 juta anak perempuan (masih berusia di antara 15 sampai 19 tahun) melahirkan setiap tahunnya. Mereka menjadi ibu pada usia yang sangat muda, mereka juga dapat mengalami komplikasi selama masa hamil dan pada saat melahirkan.

Kedua, mendorong pemerintah dan masyarakat sipil memperbanyak Balai latihan kerja dan ketrampilan bagi anak-anak remaja. Siapkan tempat-tempat magang bagi anak-anak remaja agar mereka dapat bekerja paruh waktu sambil menyelesaikan studi mereka di sekolah-sekolah formal atau non-formal. Galakkan aktivitas olah raga, seni dan kegiatan spiritual bagi remaja agar mereka sehat secara fisik dan mental. Wallahu a’lam bi as-shawab.









[1] Disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Perempuan Mengatasi Kawin Anak, diadakan oleh Yayasan Jaringan Relawan Independen, di Bandung 5 Desember 2019.
[2] Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,  dapat dihubungi via m-mulia@indo.net.id
[3] An-Nisa`, 4:21.
[4] Ar-Ruu­m, 30:21
[5] Al-Baqarah, 2:187
[6] An-Nisa`, 4: 19; at-Taubah, 9:24 ; dan  al-Haj, 22:13
[7] At-Thalaq, 65:6
[8] An-Nisa`, 4:21  dan Al-Baqarah, 2:231