Minggu, 29 Januari 2017

RESENSI BUKU MUSLIMAH SEJATI

Jalan Keluar Persoalan Gender




Isu gender, jika itu berkaitan dengan agama, tak pernah habis diperdebatkan.  Islam di Indonesia juga memiliki sejumlah problematika, terutama ketika era modern dengan tuntutan kesetaraan kaum perempuan menguat. Bagaimana seharusnya para muslimah memahami dan mengamalkan ajaran  sesuai dengan prinsip Islam itu sendiri?

Bermula dari pertanyaan mendasar inilah sang Penulis buku ini mencoba mencari jalan keluar. Harus diakui bagaimanapun juga selama ini Islam dianggap sebagai agama yang patriarkial, artinya kurang sepaham dengan prinsip kesetaraan. Pemahaman bias gender ini seringkali membuat umat Islam yang modern terpaksa harus berbenturan dengan dua kutub yang berbeda.

Tetapi menurut Musdah, sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi mengingat ajaran Islam itu juga ajaran yang memiliki spirit emansipasi, kesetaraan dan egalitarianisme. Tanpa perlu harus mengekor dengan modernitas sekalipun Nabi Muhamad telah membuat fondasi yang kuat untuk menjadikan kaum hawa setara dengan kaum adam .  “Nabi mengubah kedudukan perempuan dari posisi sebagai obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan.

Nabi memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi). Laki dan perempuan mempunyai nilai kemanusiaan yang sama.”(Hlm 32)

Buku ini tersusun dari empatbelas bab yang membicarakan beberapa persoalan perempuan, islam dan keindonesiaan. Secara ringkas dapat dibagi menjadi beberapa poin, yakni 1) Prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Islam. 2) Prinsip tauhid, syariat dan akhlak sebagai panduan mewujudkan harmoni antara individu, keluarga dan hubungan sosial. 3) Kajian Al-Qur’an dan sunah yang brilian sehingga kita mendapatkan esensi dari Islam untuk membangun kesadaran tentang tanggung jawab sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Lebih terperinci, buku ini akan memberikan pegangan bagi para Muslimah dalam menghadapi berbagai masalah seperti  hubungan suami-istri, pendidikan anak, tanggung jawab ekonomi keluarga, persoalan poligami yang problematis bagi Muslimah, berbagi tugas masalah internal dan eksternal dan sejumlah persoalan lain yang pasti dihadapi kaum muslimah.

Buku ini tergolong luar biasa karena di dalamnya memuat banyak pandangan dari internal Islam serta kritis memahami arus dinamika kehidupan modern. Dengan kemampuan memegang kendali literatur Islam secara baik serta kemampuan membaca arah derap modernitas, Musdah berhasil membuat banyak formulasi garis syariah yang baik untuk pedoman hubungan antara laki-laki dan perempuan di jalan Islam.

Setelah pada bagian pertama dan kedua menjelaskan alasan sosio-historis berkaitan dengan hubungan antara perempuan dengan syariat, bagian-bagian selanjutnya sang penulis menjabarkan masalah-masalah kontemporer di Indonesia, seperti peranan ibu rumah tangga, perlunya pemberian peluang sosial, ekonomi dan politik perempuan, dan lain sebagainya.

Di luar masalah personal kemuslimahan, buku ini juga sangat baik dalam menjelaskan masalah-masalah peraturan daerah dan sejumlah tuntutan penegakan syariat Islam melalui jalur formal. Musdah mengkritik banyak kebijakan perda syariah yang alih-alih membawa kemaslahan. Yang terjadi justru merendahkan martabat kaum hawa. Artinya banyak sekali tuntutan penegakan syariat Islam itu yang justru tidak sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam yang memuliakan kaum perempuan.

Tidak salah penerbit memilih buku ini karena di dalamnya memiliki nilai lebih pemikiran seorang Cendekiawan yang mampu menampilkan cara pandang baru berkaitan dengan hubungan perempuan dan laki-laki sesuai ajaran Islam. Karena kemampuannya membaca pesan-pesan sejarah yang bagus, penulis mampu menyuguhkan satu pemahaman yang baik tentang Islam dalam memandang hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Di sini, Islam (dalam pandangan sang Penulis) nampak begitu menarik untuk dijadikan solusi bagi kemanusiaan. Sekalipun buku ini memiliki banyak kelebihan dan sangat bagus untuk dibaca  para muslimah, tetapi memiliki kelemahan karena banyak  istilah akademik yang berat. Bagi yang kurang terbiasa dengan bacaan akademik, tentu memperberat alur. Selamat membaca.

Makmun Yusuf. Peminat buku sosial dan agama :: Sumber: kompas.com
http://www.megawatiinstitute.org/home/buku/249-jalan-keluar-persoalan-gender.html

Selasa, 17 Januari 2017

Dakwah di Bekas Negara Komunis




Tidak sedikit orang yang datang ke Rusia menjadi terkaget-kaget. Sebab, ikon Rusia sebagai negara komunis begitu melekat di alam bawah sadar banyak orang. Sementara faktanya, Rusia sudah berubah banyak. Kehidupan keagamaan tampak semarak, bahkan saya sempat mengunjungi salah satu masjid yang ramai dipakai untuk shalat Jum’at.

Satu hal yang saya tangkap dari perbincangan dengan para tokoh dan elit politik di Rusia adalah bagaimana mengembangkan agama dalam masyarakat tapi tetap mengedepankan rasionalitas yang melahirkan sains dan teknologi. Tampak mereka khawatir jika agama berkembang, lalu masyarakat akan meninggalkan sains dan teknologi. Artinya, mereka tidak ingin masyarakatnya terkebelakang dalam sains dan teknologi. Saya pun menjelaskan, Islam adalah agama yang sangat mengedepankan rasionalitas, serta mendorong kemajuan sains dan teknologi. Bahkan, sejumlah ayat Qur’an meletakkan keimanan dan ilmu pengetahuan dalam satu tarikan nafas. Tuhan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan lebih tinggi dari lainnya.

Seminar tentang Indonesia Baru di Petersburg

Indonesia dan Rusia sangat potensial membangun kerjasama mempromosikan Islam rahmatan lil alamin, yaitu ajaran Islam yang mengedepankan perdamaian dan kemashlahatan masyarakat serta akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal seperti diajarkan Rasullullah pada masa-masa awal Islam di Madinah yang penduduknya cukup heterogen. Islam model ini telah terbukti sejalan dengan prinsip negara demokrasi yang berpijak pada penegakan nilai-nilai hak asasi manusia.

Islam rahmatan lil alamin juga diyakini sebagai konsep yang ampuh memerangi semua bentuk radikalisme dan terrorisme agama yang akhir-akhir ini mengancam perdamaian di berbagai belahan dunia. Seperti halnya Indonesia, Rusia juga menghadapi ancaman radikalisme agama, termasuk dari kelompok Islam. Kepolisian Rusia baru-baru ini  mengatakan 15 anggota kelompok Islam radikal menjalani pemeriksaan di Moskow setelah ditangkap dalam penggerebekan. Kementerian Dalam Negeri Rusia mengatakan 14 orang ditahan saat penggerebekan sedangkan satu orang diciduk di tempat terpisah. Selama penggeledahan ditemukan alat peledak rakitan, detonator dan pecahan peluru ditemukan dan disita dari seorang anggota organisasi ini, kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Vladimir Konovalov di Moskow, Rabu, 27 November 2013. "Salah satu bahan peladak dilekatkan pada sabuk yang diberi nama sabuk Syahid," tambahnya. Menurut Kementerian Dalam Negeri, di antara mereka yang ditangkap memegang kewarganegaraan Uzbekistan, Turkmenistan dan Rusia.

Selain itu, kedua negara: Indonesia dan Rusia menerapkan prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, pengembangan nilai-nilai agama pun harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi dapat berjalan seiring tanpa harus berbenturan, bahkan keduanya dapat saling melengkapi dengan penuh kedamaian dan harmoni. Menjadi negara yang demokratis sekaligus menjadi negara yang memenuhi kepentingan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia telah dengan sukses dilakukan pemerintah Indonesia, walau pun harus tetap diakui dalam beberapa hal masih ada kekurangan.

Mengapa Islam penting di Rusia?  Sebab Islam adalah agama kedua paling banyak dianut masyarakat Rusia setelah Kristen Ortodoks. Jumlahnya pemeluk Islam sekitar 21-28 juta penduduk atau 15-20 persen dari sekitar 142 juta penduduk Rusia. Terdapat lebih dari 5.000 organisasi Muslim yang legal, mereka mewakili Sunni, Syiah dan kelompok Sufi.. Bahkan, Islam dianggap sebagai salah satu agama tradisional yang merupakan warisan sejarah Rusia.

Di Moskow, ibu kota Rusia terdapat sekitar satu juta orang Muslim, terdiri dari 20 komunitas dengan lima masjid. Menarik dicatat bahwa di seluruh Rusia terdapat sekitar 7.000 masjid. Masjid Marcani adalah masjid tertua yang dibangun di Kazan (1766-1770 M) dengan donasi dari masyarakat saat pemerintahan Catherine Agung berkuasa. Masjid Marcani merupakan satu-satunya masjid yang lolos dari penutupan di masa Uni Soviet. Arsiteknya, Vasily Kaftyrev menggabungkan gaya barok dan gaya arsitektur abad pertengahan. Masjid dua tingkat ini berlokasi di tepi Danau Qaban.

Menurut sejarah, Islam masuk ke Rusia sejak masa Umar bin Khattab (abad ke-7 Masehi). Beliaulah yang mengirim sahabat Hudzaifah bin al-Yaman untuk berdakwah di Azerbaijan dan Armenia. Setelah itu, pengikut Hudzaifah terus berjuang menyebarkan Islam hingga mencapai wilayah Dailam, Tibristan, dan Afganistan.

Muslim di Rusia kini memiliki kehidupan lebih baik dibandingkan masa komunis dulu. Tahun 2013  untuk pertama kalinya dalam sejarah Rusia, pemimpin Rusia (Vladimir Putin) memasukkan menteri Muslim dalam kabinetnya dan mengakui eksistensi Muslim Rusia. Hal itu dikarenakan umat Islam memiliki peranan penting dalam membawa perbaikan masyarakat di Rusia. Umat Islam diperbolehkan membangun sekolah-sekolah yang berbasis agama bahkan membangun sebuah universitas Islam yang semuanya menggunakan bahasa Arab.

Bersama para pemimpin media

Tahun 2009, utusan tiga Universitas Islam dari Rusia mengunjungi Indonesia dan mereka tertarik ingin belajar dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Yogyakarta dan Malang. Mereka adalah Rektor Universitas Islam Rusia, Prof. Rafik Muhametshin, serta Rektor Universitas Islam Kaukasus, Prof. Maksud Sudikov serta wakil Rektor Universitas Islam Moskow, Alsu Sitdikova. Mereka merasa perlu belajar dari Indonesia, meskipun negara sekuler, namun tetap memberikan perhatian penuh pada pemenuhan hak-hak beragama masyarakat, bahkan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi agar masyarakat dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan aman, nyaman dan bertanggung jawab. Di Indonesia mereka telah menandatangani kerjasama dengan UIN Jakarta, Malang dan Yogya. Kerjasama yang sudah dijalin ini harus ditingkatkan dan dievaluasi agar lebih produktif dan memberi manfaat optimal bagi kedua negara.

Singkatnya, Indonesia dan Rusia sangat perlu menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, terutama dalam upaya-upaya memperteguh demokrasi sekaligus mengembangkan kehidupan keislaman yang rahmatan lil alamin. Ajaran agama yang perlu dikembangkan adalah ajaran agama yang respek terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal dan menolak semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan atas nama apa pun, termasuk atas nama agama dan Tuhan.

Ajaran agama demikian pasti berujung pada tumbuhnya masyarakat Muslim yang cinta damai dan aktif  menjaga perdamaian dunia. Bentuk kerjasama yang dapat dikembangkan, antara lain pendidikan atau pelatihan imam dan khatib dari Rusia ke Indonesia. Mereka dapat dilatih atau dididik di Pesantren atau UIN, pelatihan manajemen bank syariah dan manajemen haji bagi eksekutif muda Islam Rusia. Pertukaran tenaga pengajar, muballigh dan mahasiswa, serta melakukan penelitian sosial-keagamaan bersama.

Menikmati indahnya malam di sepanjang Sungai Moscow

Selain itu, kedua negara (Rusia dan Indonesia) juga dikenal sebagai negara yang memiliki penduduk yang heterogen dari aspek agama dan kepercayaan. Terlebih lagi melihat munculnya gairah keagamaan dalam masyarakat Rusia pasca Komunisme. Penting bagi Rusia memikirkan agar pertumbuhan gairah kehidupan beragama tersebut tidak menjadi bumerang bagi cita-cita Rusia baru yang telah memilih untuk menjadi negara yang modern, terbuka dan demokratis.

Gairah keagamaan boleh tumbuh, tetapi nilai-nilai keagamaan yang berkembang di masyarakat bukanlah nilai-nilai yang berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam konteks ini, Rusia perlu belajar dari Indonesia. Meski Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala, namun dalam banyak hal dapat dikatakan telah sukses membangun kerukunan hidup beragama dalam masyarakatnya yang sangat heterogen, termasuk dalam hal agama dan kepercayaan.
Salah satu bentuk upaya membangun perdamaian dan kerukunan di antara umat beragama yang sangat majemuk adalah melalui interfaith dialog, dialog antar agama dan kepercayaan. Yang dimaksudkan di sini, dialog agama bukanlah sekedar face-to-face conversations seperti dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau dalam forum-forum debat publik formal yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan. Bukan sekedar bertemu tanpa makna yang konkret.

Dialog agama adalah proses komunikasi yang terus-menerus dilakukan untuk memahami pemikiran, worldviews, ajaran, tradisi, budaya, pemahaman, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders). Dialog hanya akan efektif manakala masing-masing partisipan memiliki niat tulus dan komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama dua syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran dimana-mana.

Dialog agama bukan hanya terbatas pada bentuk wacana semata, melainkan juga dalam bentuk aksi-aksi konkret, misalnya aktivitas antar kelompok agama dalam bentuk aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas-agama menangani problem kemanusiaan yang sangat krusial dewasa ini seperti: kemiskinan, pengangguran, konflik kekerasan, kelaparan, bencana alam, pengungsian, trafficking in women and children, penyakit HIV/Aids dan penyakit menular lainnya, kehancuran lingkungan dan sebagainya. Model dialog agama ini disebut  humanity model  atau practice model.

Singkatnya, kedua negara Rusia dan Indonesia sangat perlu bekerjasama memasyarakatkan dialog agama yang konstruktif dan kontinu sebagai jembatan atau jalan menuju masyarakat agama yang humanis dan pluralis, yaitu masyarakat agama yang akan menjadi pilar utama dalam bangunan negara demokrasi. Bentuk konkret kerjasama, antara lain kerjasama lintas agama memerangi korupsi, narkotika, kekerasan dan terorisme, pendidikan interfaith dialogue bagi para pemuda, pendidikan multikulturalisme di sekolah-sekolah agama, Pelatihan Multikulturalisme bagi para pemuka agama dan perkemahan pemuda lintas agama (Interfaith Youth Camp).

Bersama rombongan Kominfo dan Dubes R.I di Moscow



An Interview with Prof. Dr. Musdah Mulia

The Challenger: An Interview with Prof. Dr. Musdah Mulia
Religion is commonly perceived as a strict text to be interpreted and obeyed. Freakily, Musdah Mulia thinks it should not work that way. Thus, she is labeled as a rebel, or even worse as an unbeliever. We talked with her about her perspectives on religion and humanity, and how it could work in harmony without harming each other.



1. How did you get in to human rights activism through Islamic teachings?
The core and foundation of Islam is the concept of tawhîd. It is the basis for Muslim’s devotion to God, and guides every Muslim on how to establish harmonious relationships among human beings. So, in Islam, all human beings are considered equal. All human beings are equally created by God. The only thing that differentiates one individual from another is the quality of devotion and obedience to God (taqwa). And the only one capable of judging the quality of taqwa is God Himself, not humans.
To my believe, the Quran is the ultimate authority. Anything that contradicts it, including in the corpus of hadith and fiqh, cannot be considered as Islamic. Furthermore, I also believe that the Quran is open to multiple interpretations, as a result of human agency in seeking to understand the text. There is no final, authoritative human interpretation of the text. Thus, the history of Quranic exegesis is a story of a constant and continuing endeavor of Muslims seeking to understand the word of God, a wondrous exercise that can result in new meanings and perspectives evolving over time.
As a Muslim woman, I do believe that the essence of Islam is revealed in the humanistic values it embodies. In my opinion, Islamic teachings have compatibility with the principle of human rights. It is also compatible with the principle of democracy. So, for me, theologically, Islam is a blessing. Islam does not differentiate between a male and a female. Its teachings contain universal values that cover all aspects of human life. The endeavor to eliminate all forms of discrimination, exploitation and violence against human being is still a struggle, this is why I feel the concern, need and urgency to get in to human rights activism.

2.  Growing up in a family where religious values were strictly upheld did not stop you from being progressive. How did you challenge the conservatism in your surroundings?
I lived mostly with my grandparents. My grandfather was a prominent religious leader (ulema) who firmly believed in the rigid and traditional interpretation of Islam. For example, according to my grandfather, women should not become leaders. He also believed that a devout woman is one who dedicates her whole life just to her husband and family. And he even believes that a woman’s voice is considered aurat (private parts).
My grandmother is a firm believer of traditional cultural values. According to her, women, for example, must know how to cook, sew and do her household chores properly. As a girl, I was not allowed to laugh loudly, to walk with my head held up, to eat certain types of fruits because they were considered bad for girls, I was told to drink a lot of jamu (traditional herbal drinks with medicinal values) and to diet in order to avoid becoming obese, I was also forbidden to dress like men. In short, I was given a long list of forbidden behaviors and habits.
And so, as a child, I was sent to a traditional Islamic Boarding School. I was only allowed out of the house for educational purposes. I was also only permitted to go to religious schools, even at the university level. And all that, was in order to have me study Arabic. Because for my grandfather, Arabic is the language of heaven, and consequently, through my studies in the Islamic boarding school, he expected me to obtain a good understanding of Islamic religion.
At university, I began to realize that not everything that my grandparents indoctrinated me with, was true. It was at that point that I started to explore humanistic and progressive interpretations of Islam. I finally realized that there is no single interpretation of any religion including Islam, and that there were, in fact, several. The problem is, although there are various interpretations, people tend to comprehend only one and unfortunately, they claim that one interpretation as the absolute and only truth. Other differing interpretations are always considered wrong and even misguided. Why do people accept only one interpretation as true? This is because many religious leaders tend not wanting these diverse interpretations to be in conflict with each other.
I believe that every core aim of all religion and faith is for the betterment of all human beings, both women and men, to be pious and useful, for them self, the family and the community in general. A number of studies have shown that there are many cases of domestic violence that stems from the misconception of religious interpretations that are discriminative towards women. It is my sincere hope that religious leaders can transform the tendency of masculinized religion’s interpretations, so that women can feel more comfortable and feel that their interest is accommodated within it.

3.  Whatever happen to the counter legal draft[1] of the Indonesian Islamic Legal Code, you once drafted back in 2004?
[1] A document that was formulated by Musdah Mulia and her team, which challenged the state’s family law and narrated a recommendation that prohibits child marriage and allowing interfaith marriage.
In 2004, The Gender Mainstreaming Team in the Ministry of Religious Affairs, which I am pointed as the coordinator, proposed The Amendment of the Compilation of the Islamic Law, entitled: of the Counter Legal Draft of the Compilation of Islamic Law (CLD). The CLD embraces the implications of the Qur’anic commitment to equality and freedom in a thoroughgoing and uncompromising way. The CLD was constructed on the premise that the realization of the Qur’anic vision of the family can be achieved only if the values of equality and freedom are reflected in all aspects of the formation and regulation of equal marriage and family.
If we look at the Muslim Family Laws in different countries or communities, we can see how different they are from one another, and how more or less option-giving they are for women. Nowadays, many Muslim Family Laws have been interpreted by diverse actors and formalized as a Sharia law. These Sharia laws are man-made, and definitely not a God given law.
One of the subtlest but very much pervasive areas of discrimination against women in the Muslim world today is the inequality that occurs within the context of the family. Throughout Muslim countries, Muslim women are speaking out about such discriminations and are fighting for a reform of family laws to promote justice and equality within the family.
One of the effort to reform the family law was endeavored in the form of a Counter Legal Draft (the CLD), an ijtihad (effort) to that seeks to offer a just and democratic marital law, based on Islamic teachings that upholds humanitarian values. The purpose was to establish a marriage filled with love and affection (mawaddah wa rahmah), and encourage upright behavior of the husband and wife (mu’asharah bil ma`ruf), and mutual respect and understanding. This was in order to induce completion among each other to obtain happiness in family life. To me, the CLD is also an effort to seek solution for a number of contemporary social problems faced by Indonesian women. The CLD also strives to eliminate all forms of discrimination, exploitation and violence within a marriage.  
Formulated as an alternative knowledge based on research and in-depth analysis, the CLD is still a working document, and it has its share of objection. Until nowadays, the CLD is still being discussed among scholars and students, particularly in Islamic Schools. Some Islamic Universities even establish a CLD curriculum as a major subject in their Islamic Law Faculties. Also, many Muslim scholars are still using the CLD as a reference to the Indonesian Islamic jurisprudence book. Since 2005, there have been 29 dissertations, 41 theses, and 53 articles which contain discussions on the CLD. And although it is popular in the academic sphere, the CLD rarely received any response from the society at large. But, despite its weak support from the public, I still believe that the CLD will continually live on.
All in all, the idea of the CLD aims to empower women and protect women as a human being, as explained in the Al-Qur'an and Sunnah. The CLD is still a relevant document, especially for the women Indonesia, I do believe that with the CLD, the Indonesian Muslim community will be able to promote Islamic teachings that are humanist and women friendly.

4.  Many misuse political agenda through religion as a vehicle. Do you think that this is the case for the 4th November 2016 demonstration? What are your views?
Rising religious intolerance like the 4th November 2016 demo, was a threat to Indonesia’s widely respected tradition of pluralism, freedom of faiths and interreligious harmony. The demonstration projected a threat not only to the countries’ religious minorities but to all Indonesians who value democracy, peace and human rights.
Indonesian Muslim community epitomizes a case of exceptional uniqueness. In spite of being designated as the world’s largest Muslim community, Indonesia is not an Islamic State. Such condition came up because the founding fathers and mothers of this republic -the majority of whom were Muslims - did not choose Islam as the foundation of the state. Instead, they chose Pancasila as the state’ philosophical foundation and at the same time as the guideline in establishing the state’s political power. Pancasila comprises narratives that ensures protection for all citizens, of whatever religion or belief, including those currently adhering to other religions or beliefs outside the six officially-recognized faiths. The first sila: Belief in the one and only God means that every Indonesian citizen, no matter belonging to any religious denomination or faith, should respect each other’s belief for the sake of the harmony and peace of all human beings.  So, this principle contains the precepts of religious tolerance and freedom to all people.
The problem is, not everyone accepts the pluralistic spirit of the constitutions, and there are extremist groups (of one form or another) that have been enforcing their vision of a non-plural state. In different ways, many of these extremist groups have contributed in the elevated climate of religious intolerance, for instance: through intellectual sphere, theological, and political discourse, that resulted in violence and intimidation. 
In my long experience of working in the issue of peace and religious freedom, I came to the conclusion that the trigger in the increasing religious intolerance are as follows: 1) The spread of extremist ideology, through educations, preaching and the dissemination of biased literature, DVDs, and digital contents. 2) Implementations of discriminatory laws and regulations, 3) Weak law enforcement towards victims in need of protection and justice, 4) And last but not least, is the unwillingness of the majority of Indonesians to speak out against intolerance. There is a worrying state of “silent majority” (a passive intolerance) in Indonesia, those who do not approve of the rising intolerance but do nothing to challenge it. 
My recommendation to respond to our country’s state of increased intolerance is, firstly, the importance to redirect religion’s position by putting more emphasis on multi-cultural principles and teaching of universal values, not by teaching the ritual aspects that are legal-formal in nature. And, to leave behind those dogmatic religious teachings that are full of myths and horror stories on doomsday. Because, religious teachings should encourage to do good deeds, to care for each other, and should urge us to build a human civilization that is peaceful and harmonious.
Secondly, it is very important to urge religious leaders to promote humanistic, inclusive, and progressive religious interpretations. So that, there will no longer be any interpretations that are discriminative against women and other minority groups. We have to promote religious interpretations that are in line with principles of democracy and human rights. Interpretation of religion should be accommodative towards humanistic values. Religious leaders should return to their prophetic task, which is to push for transformation of society in order to attain a civilized society.
Thirdly is interfaith cooperation. This step is fundamental to provide that theological push, even if each religion has differences in norms and doctrines, but all have an empirical level that embraces the same reality, that is, the reality of a humanity that cuts across religion, ethnicity, and race. There are many forms of cooperation and dialogue that can be carried out by interfaith communities.  It is important to note that a useful dialogue can serve as a vehicle to transform a community to become a more just and humanist society.

5. Other than being an activist, you are also involved in the academic arena. How do you juggle both roles to achieve your objective in prospering human rights?
The holy book, the Al-Qur’an gives me firm guidelines that all humans, irrespective of their sex, gender, race, skin, language, and even religion are created to promote a very important vision of their creation as khalifah fil ardh (a courteous agent). As a courteous agent, all human beings are expected to be able to organize and manage their life on earth in the best way possible for the betterment of human beings.
To me, my duty as a Muslim scholar and an activist is by advocating efforts of positive transformation and humanization. Efforts of transformation includes transforming my own self, my family, and my community. It also comprises the efforts of ‘humanizing’ the people, that is to say to make them more ‘human’. Of course, this is really complicated. But I am committed to do whatever I can do and give whatever contribution I can make in order to prosper human rights. I do all of these efforts in the hope that I can contribute to the elimination all forms of discrimination and exploitations, for the betterment of all human being, for the birth of a better civilization which respects humanity.
And, in juggling between being an activist and a scholar, I set scales of priorities. Because, doing two things simultaneously is quite impossible (for me), and therefore I set my priorities by letting out my ego and selfishness, that tends to constrain any individual.

6. You have produced a lot of written work that challenges the conservative mindset on gender equality, women’s rights, and sexual & reproductive health and rights. What have been the most significant reach you achieve from producing those narratives?
As a Muslim woman and as a human being, I must do whatever I can do and give whatever contribution I can make. My written work has given me the space and access to reach people with my alternative version of Islamic teachings that are compatible with democracy and human rights; also by campaigning Islamic teachings that are friendly to women; and last but not least, through my narratives, I am hoping that it will induce the birth of a civilization which respects humanity. With however small contributions that I have given from producing those narratives, I hope it reaches people so that there will be a point in the future where I will cultivate the feeling of no repentance to have lived in this mortal world.

7. Is there hope for a feminist Indonesia?
For me, I am a feminist. That is my foremost identity. But I am also a Muslim woman, and so I have no problem in calling myself a Muslim feminist. I am very proud of my Muslim and Feminist identity. I don’t see any contradiction in being a Muslim and a feminist at the same time, because I have been brought up with an understanding of Islam that is just. And a God that is absolutely just, including in matters related to women and gender relations.
I believe that the core aim of all religion and faith is for the betterment of all human beings, both women and men, to be useful, for them self, the family and the community in general. As previously mentioned, I will repeat that a number of studies have shown that there are many cases of domestic violence that stems from the misconception of religious interpretations that are discriminative towards women. It is my sincere hope that in a country like Indonesia, religious leaders can transform the tendency of masculinized religion’s interpretations, so that women can feel more comfortable and feel that their interest is accommodated within it.
If religious leaders are able to reflect and reform their patriarchal perspectives, I am convinced that there is still hope for a feminist Indonesia.

8. In a national state of diminishing respect of pluralism, what will be your tip to young Indonesians (male, female, transgender) out there?
It is very important to underline that pluralism is the willingness to recognize differences and accept diversity as a natural force in life to subsequently be committed to build solidarity and cooperation for the sake of peace and harmony. Pluralism must be built upon a principle of love, caring, equality and the recognition of human dignity. Pluralism urges for the fulfillment of human rights, including women rights.
Pluralism is a process of actively seeking an understanding across lines of difference. To sum it up, pluralism does not mean that one has to shed one’s own religious identity and disclaim one’s own commitment to the religion embraced, and it also doesn’t mean a syncretism to which one mixes teachings of different religions. The core of pluralism is the strong commitment to build a synergic relationship with each other in order to ensure peace and harmony.
It is important to note that Indonesia epitomizes a case of exceptional uniqueness. Indonesia is the largest Muslim country in the world. It is home to more than two hundred million Muslims, which is approximately 80% of the total population of Indonesia. Despite the fact that the majority of Indonesians are Muslims, Indonesia is not an Islamic state. Indonesia’s state ideology is not Islam, but is based on Pancasila. It consists of five principles, namely: Belief in God; Just and civilized humanism; Unity of Indonesia; People’s power; and social justice. For me, these five principles are very compatible with the universal values of human rights. And also, it is very conducive for building a culture of coexistence and peace among the community.
The choice of Pancasila as the country’s foundation, have put into account the importance of maintaining pluralistic and democratic value in shared life as a nation in Indonesia.

The thing worth underlining here is that Indonesian (youngsters, leaders, etc.) must hold inclusive, moderate and tolerant disposition. They must project the belief and importance of maintaining a harmonious togetherness as a nation, as well as the significance of upholding a human dignity, also an esteem regardless differences of faiths; and lastly, the importance of respecting human basic rights, which includes religious freedom for all civilians including the minority and vulnerable groups. 



Senin, 16 Januari 2017

Dakwah Hak dan Kesehatan Reproduksi di Taliban

Bersama Pimpinan UNFPA menyampaikan presentasi tentang Kesehatan Reproduksi di hadapan ulama 

Salju turun cukup deras ketika pesawat Ariana Airlines yang aku tumpangi mendarat di Kabul, Afghanistan. Nyaris seluruh permukaan bandara tertutup salju tebal. Aku segera keluar dari pesawat mengikuti penumpang lain menuju bandara tua dan kumuh, kondisi bandaranya mencerminkan negara ini sangat terkebelakang. Aku terkejut melihat begitu banyak tentara dengan senapan siap tembak di sekitar bandara, sungguh mencekam. 

“Jangan pernah keluar bandara sebelum bertemu petugas UN yang menjemput ibu”, demikian kalimat berulang kali disampaikan oleh panitia sebelum saya berangkat. Untunglah, begitu tiba di ruang pengambilan bagasi, seseorang menghampiri sambil tersenyum ramah dan menunjukkan identitas dirinya sebagai petugas UN. Aku pun segera mengikutinya ke mobil yang didesain khusus untuk anti peluru. Ada perasaan tidak nyaman, tapi kemudian aku segera sadar mengapa harus menggunakan mobil itu.

Tak lama, mobil kami sudah meluncur di jalan raya menuju Hotel Serena, satu-satunya hotel yang dianggap layak dan aman di Kabul. Sepanjang jalan menuju hotel terlihat banyak tentara bersenjata lengkap. Bahkan, tidak sedikit yang berdiri di atap gedung dengan mata tajam mengawasi, suasana terasa semakin mencekam.

Perhatianku lalu tertuju kepada sejumlah pengemis di pinggir jalan, mereka memakai burqah, pakaian khusus untuk perempuan yang menutupi seluruh tubuh berwarna abu-abu tua. Menurutku, bentuknya seperti kelambu. Hanya tersedia beberapa lubang kecil di bagian mata untuk melihat.

Pemandangan di satu sudut kota Kabul, Afghanistan
Perempuan harus memakai burqah

Aku membayangkan, mereka yang mengenakan burqah pasti merasa tidak nyaman, sulit bergerak, juga sulit untuk memandang dengan leluasa. Sempat terlihat seorang perempuan menggendong anaknya di dalam burqah, aku sangat khawatir anaknya akan kekurangan oksigen. Sulit memastikan, apakah semua pemakai burqah adalah perempuan? Boleh jadi ada laki-laki memakai burqah untuk mengemis atau untuk tujuan lain.

Semakin lama terlihat pengemis semakin banyak, ada juga sejumlah anak-anak, usia mereka antara 4-12 tahun, sebagian nekat mengganduli mobil kami sambil berteriak-teriak minta uang dan makanan sembari menunjuk mulutnya. Aku merasa iba melihatnya dan tanpa sadar membuka dompet untuk memberikan beberapa lembar uang dollar. Mendadak petugas UN memperingatiku, aku pun urung memberikannya.

Kehadiranku di Kabul memenuhi undangan panitia pelatihan tentang Hak dan Kesehatan Reproduksi yang diadakan oleh Departemen Kesehatan Afghanistan dengan dukungan United Nations, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang selanjutnya dikelola oleh UNFPA. Peserta pelatihan adalah pimpinan agama, termasuk dari kelompok Taliban.

Pelatihan selama 8 hari itu memang dikhususkan bagi kalangan agama agar mereka mengerti tentang pentingnya hak dan kesehatan reproduksi dan kemudian diharapkan mau menjelaskan isu tersebut dalam khotbah mereka di masjid dan berbagai media dakwah lainnya. Peran pemuka agama sangat penting dalam perubahan masyarakat, khususnya bagi umat Islam.

Afghanistan adalah negara Islam sangat miskin dengan kematian ibu melahirkan paling tinggi di Asia, juga dikenal sebagai negara dengan angka kelahiran sangat tingggi. Inilah negara Islam yang tercabik-cabik oleh perang dan konflik yang tidak berkesudahan. Berita bom bunuh diri dan ledakan senjata sudah merupakan menu utama sehari-hari. Aku ingat sekali ketika chek in di hotel, hal pertama yang dijelaskan oleh resepsionis adalah letak bunker, tempat pertama yang harus dituju ketika terjadi serangan bom. Penjelasan itu membuatku merinding dan tidak bisa tidur lelap selama di berada di sana.

Salah satu faktor yang membuat kondisi perempuan dan masyarakat umumnya terpuruk adalah tidak terpenuhinya hak dan kesehatan reproduksi perempuan, yang jumlahnya nota-bene merupakan setengah dari bangsa Afghanistan. Pemerintah abai terhadap hak dan kebutuhan mendasar rakyatnya, terutama kaum perempuan. Pemerintah kurang peduli terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, kurang peduli terhadap kelangsungan hidup warganya.

Sejak Taliban berkuasa, perempuan ditarik dari ruang publik. Mereka dilarang bekerja dan harus berada di rumah atau ruang domestik. Para perempuan yang tadinya bekerja sebagai guru, hakim, dokter, perawat, karyawan perusahaan dan lainnya kini kehilangan pekerjaan. Akibatnya, kemiskinan semakin mendera masyarakatnya.

Para perempuan yang sebelumnya memiliki penghasilan tetap, dan bahkan sebagian mereka justru menjadi penyangga utama ekonomi keluarga kini harus menganggur. Sebagian terpaksa menjadi pelacur dan pengemis. Anehnya, ketika mengemis dan melacur pemerintah Taliban membiarkan mereka berada di jalan atau di area publik.

Apakah semua yang memakai burqah itu perempuan?

Pada hari pertama pelatihan, sebagian peserta memandangiku tidak ramah karena bagi mereka, perempuan tidak pantas bicara di depan laki-laki apalagi memberikan ceramah dan menggurui. Begitu mereka tahu aku berasal dari Indonesia, salah seorang peserta berkata: “Muslim Indonesia semuanya kafir karena mempraktekkan KB (Keluarga Berencana). Muslim Indonesia kafir karena laki-lakinya tidak pakai gamis, melainkan pakai baju kafir, baju Amerika. Muslim Indonesia kafir karena laki-laki tidak pelihara jenggot, padahal itu sunnah Nabi yang paling afdhal. Jadi, kalian kafir.” Aku tertawa, kupikir dia sedang bergurau.Tapi, dia memandangiku tajam sebagai tanda bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya itu.

Ketika break, panjang lebar dia menjelaskan sebuah hadis tentang jenggot, artinya kira-kira demikian: "panjangkanlah jenggotmu, cukurlah kumis, berbedalah dari orang-orang kafir". Walhasil, mereka mempraktikkan hadis ini sebagai suatu kewajiban dan menghukum para lelaki yang tidak memanjangkan jenggot. Bayangkan, gara-gara jenggot, laki-laki bisa masuk penjara!

Demikianlah, jika kita memahami agama secara tekstual, yang  dipentingkan adalah penerapan lahiriah dari sebuah teks, bukan pesan moral yang terkandung di balik teks. Aku sangat yakin pesan moral dari teks suci itu pasti mengandung nilai-nilai penghormatan kepada manusia sebagai karya agung Tuhan, Maha Pencipta.

Di awal pelatihan, banyak peserta protes keras dengan penjelasan nara sumber. Sebagian mereka menuduh kami para pembicara sebagai agen Amerika yang kafir dan berusaha mengubah dan mendangkalkan akidah umat Islam. Bagiku, mereka yang meyakini itu adalah kelompok masyarakat yang picik dan kurang gaul. Mereka tidak mau mendengar pendapat yang berbeda karena selalu memandang pendapat orang lain salah, orang lain selalu dituduh kafir, murtad dan sesat. Labeling seperti inilah yang menyulitkan mereka untuk mendengar, belajar, berdialog dan mengedepankan pemikiran kritis dalam segala hal. Pantaslah jika mereka sulit berubah.

Mestinya, kita selalu membuka ruang untuk mendengarkan pendapat orang lain dari mana pun datangnya. Perbedaan pendapat bukanlah ancaman yang harus ditakuti, perbedaan pendapat adalah sebuah modal sosial yang dapat mengantarkan kita menjadi lebih kritis dan lebih bijak, terutama untuk lebih memahami eksistensi diri kita sebagai manusia, sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.

Hari ketiga pelatihan, peserta tampaknya sudah mulai cair, mereka sudah mau berdialog. Sebagian besar mereka mulai respek pada penjelasanku, terutama ketika aku menjelaskan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berbicara tentang pentingnya menghormati sesama manusia, pentingnya kesetaraan gender, serta pentingnya memenuhi hak dan kesehatan reproduksi.
Seorang Pimpinan Taliban menyimak ceramah

Beberapa tampak terkesima karena aku menghapal sejumlah ayat Qur’an terkait isu-isu keluarga dan kehidupan masyarakat luas. Seorang peserta mengatakan, tidak banyak perempuan bisa menghapal ayat-ayat Qur’an. Syukurlah, jika kemampuan perempuan menghapal Qur’an menjadi ukuran untuk respek. Bagiku, itu belum cukup, sebab semua perempuan harus dihargai tidak peduli mampu atau tidak menghapal Qur’an. Semua perempuan harus dihargai, baik sebagai warga negara yang merdeka maupun sebagai manusia seutuhnya.

Sungguh di luar dugaan, pada hari terakhir pelatihan tiga orang peserta menghampiriku lalu berkata, “maafkan sikap kami yang tidak ramah dan cenderung kasar di awal pelatihan. Sekarang kami baru paham apa itu makna demokrasi, apa itu prinsip hak asasi manusia, dan mengapa hak kesehatan reproduksi itu penting. Kami berterimakasih mendapatkan ilmu bermanfaat.”

Bukan hanya itu, mereka pun menambahkan: “Ke depannya, kami siap melakukan ijtihad kemanusiaan, memberikan pencerahan kepada umat agar mereka mencintai ilmu dan pendidikan. Hanya dengan ilmu dan pendidikan yang cukup, umat Islam menjadi umat yang berkualitas, menikmati keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Kami baru sadar, bahwa esensi Islam adalah penegakan hak asasi manusia, yaitu sungguh-sungguh memanusiakan manusia.” 

Dalam hati aku berkata, inilah pentingnya pelatihan, pentingnya dialog, dan pentingnya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Upaya seperti ini harus banyak dilakukan di berbagai tempat, terutama di kalangan kelompok Islam radikal yang anti-kemanusiaan dan anti hak asasi manusia, seperti Taliban.


Keesokan harinya aku meninggalkan bandara Kabul menuju Dubai untuk segera kembali ke Jakarta. Di bandara aku memerhatikan sejumlah perempuan masih mengenakan burqah. Namun, begitu mendarat di Dubai, Uni Emirat Arab, semua perempuan tersebut melepas burqah. Wajah para perempuan itu terlihat senang dan gembira, mungkin mereka merasa seperti bebas dari penjara, penjara keyakinan agama yang seringkali lebih menyakitkan.

Aku sangat yakin, semua bentuk pemaksaan, khususnya pemaksaan dalam agama hanya akan berakhir sia-sia. Selama ajaran agama dipaksakan pelaksanaannya pasti tidak akan membuahkan kebaikan dan kemashlahatan bagi manusia dan kemanusiaan. Itulah sebabnya Allah Yang Maha Penyayang mengingatkan: Berdakwalah dengan penuh hikmah, santun dan bijak, serta berdebatlah dengan cara yang baik dan beradab. Sesungguhnya hanya Tuhanlah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah juga yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (surah An-Nahl, 125).

Keesokan harinya, aku pun tiba di Jakarta. Sungguh aku merasa gembira dan juga lega, telah bebas dari kondisi yang mencekam di Kabul. Semoga umat Islam Indonesia tidak pernah menjadi Taliban. Jangan pernah!!
                                           




Minggu, 15 Januari 2017

Ibu Melahirkan Tidak Boleh Mati


Salah satu persoalan yang tak kunjung henti menghampiri perempuan, terutama kaum ibu di Indonesia adalah tingginya Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI). Belum lama ini Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia merilis hasilnya.

Salah satu temuan yang mengejutkan adalah tentang meningkatnya Angka Kematian Ibu melahirkan di Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2014, angka kematian ibu mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Artinya, setiap tahun terdapat 14.000 perempuan harus mati karena melahirkan! Sungguh ironis!!

Data itu bermakna, setiap hari sekitar 400 ibu mati sia-sia, karena seharusnya hal itu tak perlu terjadi. Jumlah mereka setara dengan jumlah penumpang satu pesawat Boeing. Bayangkan jika setiap hari ada satu pesawat Boeing jatuh dan seluruh penumpangnya mati. Demikian kondisi riil kaum ibu di  Indonesia, amat memprihatinkan dan bahkan sangat tragis. Parahnya lagi, kondisi yang tragis tersebut belum menjadi perhatian penting pemerintah selama ini.



Dalam survei yang sama, lima tahun lalu, angka kematian ibu hanya 228 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini menjadi bukti kuat bahwa negara belum memberikan perhatian yang baik terhadap persoalan krusial yang tengah dihadapi kaum ibu. Strategi pembangunan yang selama ini dijalankan terbukti masih meminggirkan perempuan. Kepentingan strategis perempuan tidak diidentifikasi dengan baik, apalagi dicarikan solusinya.

Perlu diketahui, ada sejumlah faktor penyebab kematian ibu melahirkan, antara lain:
1.      Tradisi pernikahan di usia muda, baik karena mahalnya biaya pendidikan maupun karena faktor ekonomi (untuk mengurangi beban keluarga). Sebanyak 46 % dari seluruh pernikahan terjadi di bawah 19 tahun (BPS, 2016). Dalam usia yang belum dewasa, anak-anak yang “terpaksa” menikah ini tidak cukup matang untuk dapat membuat keputusan tentang kehidupan dan kesehatan reproduksi mereka.  Bahkan, tidak sedikit anak perempuan menjadi ibu ketika masih anak-anak. Bagaimana mungkin diharapkan dapat melahirkan dengan selamat.
2.      Faktor psikologis terkait perilaku mencari bantuan (health seeking behavior) pada perempuan hamil yang masih memprihatinkan. Hal itu umumnya dipengaruhi oleh kondisi  internal dan eksternal. Misalnya,  suami tidak mengizinkan istrinya pergi ke layanan kesehatan. Selain itu, persepsi tentang ‘sakit’ dan ‘sehat’, yakni  selama masih bisa mengerjakan tugas sehari-hari, meski ada keluhan, ibu hamil cenderung menganggap dirinya sehat. Bahkan, tidak sedikit ibu yang tidak peduli pada kesehatannya, meski sedang hamil tua. Hal ini sangat mengkhawatirkan!
3.      Faktor budaya, sudah tertanam kuat di masyarakat bahwa perempuan adalah ‘nurturer’ (perawat atau pemelihara) dan dituntut atau diharapkan agar selalu dapat memenuhi kebutuhan orang lain. Tidak heran  masyarakat umumnya menganggap hal biasa jika istri atau ibu makan paling terakhir, tidur paling terakhir tetapi bangun paling pagi, tidak peduli apakah ia hamil atau tidak.
4.      Pendekatan program yang kurang efektif karena menggunakan asumsi yang keliru yaitu cara berpikir linier bahwa masalah kelahiran adalah semata urusan perempuan. Akibatnya, berbagai program perlindungan hanya difokuskan kepada perempuan, padahal proses pengambilan keputusan di dalam keluarga masih cenderung didominasi oleh laki-laki, meski keputusan yang menyangkut nyawa seorang perempuan.  
5.      Cara pandang masyarakat umumnya, termasuk para pengambil kebijakan,  belum melihat masalah kematian ibu melahirkan sebagai persoalan kesehatan yang serius. Isu AKI belum menjadi keprihatinan bersama. Anggaran negara untuk kesehatan masih sangat kecil dan terlebih lagi untuk kesehatan reproduksi.  

6.      Masih kurangnya penghargaan dan penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusi (HAM), khususnya hak perempuan untuk hidup sehat. Apalagi hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan, mampu memilih dan menentukan yang terbaik bagi dirinya (kedaulatan atas tubuhnya sendiri). Demikian pula hak perempuan mendapatkan informasi dan pendidikan yang bermutu, dan juga hak untuk terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan terutama yang berdampak kepada dirinya dan kehidupannya. 


Beberapa upaya strategis menurunkan jumlah kematian ibu melahirkan telah dilakukan, misalnya Bupati Bantul yang dikenal sebagai kabupaten yang berhasil menurunkan AKI melakukan aksi-aksi konkret sebagai berikut:
1.    Mengidentifikasi ibu hamil yang berisiko tinggi. Karena ibu-ibu hamil enggan memeriksakan dirinya (dengan berbagai alasan), maka bupati Bantul menggratiskan semua biaya pemeriksaan kehamilan.
2.    Setelah diidentifikasi, kelompok ibu hamil dengan risiko kehamilan tinggi diberi perhatian dan perlakukan khusus untuk mencegah risiko selama kehamilan dan saat persalinan.
3.    Kepada semua ibu hamil diberi asupan zat besi secara gratis, terutama bagi yang berisiko kehamilannya.
4.    Pemerintah daerah membuat dan menempelkan stiker di setiap rumah yang ada ibu hamil, kemudian menggerakkan masyarakat untuk mengawasi dan siaga membantu mereka. 
Strategi tersebut ternyata efektif menurunkan AKI tanpa terlalu membebani APBD. Patut dijadikan contoh bagi para kepala daerah yang sedang berupaya menurunkan AKI di daerah masing-masing. Yang penting, pertama dan utama adalah kemauan politik untuk peduli dan bertindak. 
Tampak benar apa yang disampaikan oleh Prof. Mahmoud Fathalla, Profesor Obstetri dan Ginekologi dari Yunani. Beliau menyatakan: “Perempuan melahirkan meninggal bukan karena penyakit yang tidak dapat diobati. Mereka meninggal karena masyarakat belum memutuskan bahwa kehidupan perempuan itu layak diselamatkan.”