Sosok Musdah Mulia
Pemenang NABIL AWARD 2012
Oleh: TIM Peneliti NABIL
Pengantar
A Courageous Woman adalah istilah paling tepat bagi sosok Musdah Mulia.
Istilah itu pertama kali diberikan oleh Condoleeza Rice, Menteri Luar negeri
Amerika Serikat,[1]
kemudian Majalah Mata Baca[2]
dan Harian Jakarta Post.[3]
Asfinawati, direktur LBH Periode 2006-2009 dengan tegas mengatakan: “Musdah
selalu bertarung tepat di tengah medan pertempuran, menohok isu hitam-putih-abu-abu
tanpa ragu dan tidak pernah berputar-putar atau lari dari inti masalah. Saat
mendengar bahwa Musdah (lagi-lagi) mendapat penghargaan untuk kerja-kerja
keberpihakannya, saya tersadar bahwa mereka yang berjauhan ternyata
kadang-kadang lebih mampu menilai, merasakan, menghargai.
Sebaliknya, mereka yang
berjarak hanya beberapa kilometer darinya, belum tentu menyadari tidak mudahnya
menjadi Musdah yang berdiri di garda depan, terbuka untuk dijadikan sasaran apa
pun, dan sudah berada dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk mundur.” Tidak
salah jika Todung Mulya Lubis menyebut Musdah sebagai sosok muslimah yang mau
dan berani bersuara, yang menjadikan Islam sebagai komunitas
yang teduh, dialogis, dan inklusif.[4]
Sebagai seorang
akademisi, Musdah tidak berkutat di menara gading perguruan tinggi, dia lebih banyak
menghabiskan waktunya sebagai aktifis memperjuangkan hak-hak asasi kelompok
perempuan serta kelompok rentan dan minoritas di tengah-tengah masyarakat. Dia
adalah contoh akademisi yang mau turun gunung menjadi aktifis dalam
memperjuangkan kelompok minoritas. Meski berhadapan dengan kekuasaan yang
mencoba menghambatnya ia tak pernah gentar, demikian ungkapan Lies Marcoes
Natsir, seorang aktifis feminis Indonesia.[5] Luthfie Assyaukanie, Deputi Direktur Freedom
Institute memberikan testimoni berikut: “Saya mengenal Musdah bukan hanya
sekedar sebagai seorang sarjana dengan artikulasi yang jernih, tapi juga
sebagai seorang intelektual yang berani dan tangguh dalam mempertahankan
argumen-argumennya. Di tengah miskinnya pembelaan terhadap kaum perempuan
Islam, Musdah berdiri paling depan membela hak-hak kaumnya dan meluruskan
pandangan-pandangan keliru tentang perempuan.”[6]
Berbeda dengan umumnya
aktifis feminis, meski sangat berani, Musdah dalam kesehariannya tampak ramah
dan lembut, bahkan terkesan sangat feminin. Namun, dia tak pernah gentar dan
tidak mengenal kompromi menghadapi siapa pun demi memperjuangkan ide-ide
keislaman yang humanis dan ramah terhadap perempuan, serta akomodatif terhadap
kelompok non-Muslim. Musdah adalah seorang sarjana dan aktifis perempuan yang
bersikap kritis dan berani menantang arus mayoritas. Meskipun beresiko dihujat
oleh banyak orang, ia tak pernah surut memperjuangkan apa yang dianggap benar.[7]
Dia tak gentar berdiri
paling depan mengusung perubahan kebijakan publik yang diskriminatif terhadap
kelompok rentan dan minoritas. Semua itu dilakukannya dalam konteks mewujudkan
Islam yang ramah dan rahmatan lil alamin sekaligus membangun bangsa
Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, pluralisme dan HAM,
berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan berpijak pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Latar belakang keluarga
Musdah
lahir
3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Putri pertama pasangan H. Mustamin
Abdul Fatah dan Hj. Buaidah Achmad. Ibunya, merupakan gadis pertama yang
menyelesaikan pendidikan di Pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), Pare-Pare. Adapun ayahnya pernah menjadi
Komandan Batalyon dalam Negara Islam pimpinan Abdul Kahar Muzakkar yang
kemudian dikenal sebagai gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Sepanjang hidupnya, sang ayah
berjuang mewujudkan Negara Islam Indonesia. Ditelusuri lebih ke atas,
silsilah keluarganya sangat kental dengan kehidupan Islam. Kakek dari Ayahnya, H. Abdul
Fatah seorang mursyid ternama di lingkungan jamaah Tarekat Khalwatiyah.[8]
Setelah menamatkan SD di
Kosambi, Jakarta Utara, Musdah melanjutkan pendidikan pada Pondok Pesantren Al-As'adiyah,
pesantren tertua di Sulawesi Selatan. Di sinilah Musdah mulai menggeluti
ilmu-ilmu keislaman klasik melalui kitab-kitab kuning seperti umumnya pesantren
tradisional. Setelah tamat pendidikan
pesantren, Musdah melanjutkan S1 di UIN Alauddin, Makassar dengan mengambil
jurusan Bahasa dan Sastera Arab. Selanjutnya meneruskan pendidikan ke S2 UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta mengambil jurusan Sejarah Pemikiran Islam dan S3
di tempat yang sama, jurusan Pemikiran Politik Islam. Untuk penulisan
disertasinya, Musdah melakukan penelitian di Al-Azhar University, Cairo, Mesir.
Musdah
adalah perempuan pertama meraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (1997), dengan disertasi: Negara Islam:
Pemikiran Politik Husain Haikal. Dia juga adalah perempuan pertama yang
dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan (1999) dengan
Pidato Pengukuhan: Potret Perempuan Dalam Lektur Agama: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Menuju Masyarakat Egaliter dan Demokratis).
Atas
upayanya memperjuangkan penegakan demokrasi dan pemenuhan hak-hak asasi
perempuan, pada tahun 2007 Musdah menerima penghargaan International Women of Courage Award
2007 mewakili Asia Pasifik dari pemerintah
Amerika Serikat. Penghargaan tersebut diberikan bersamaan dengan peringatan International Women Days di Gedung Putih Washington
oleh Menlu Amerika Serikat, Condoleeza Rice. Tahun 2008, Musdah menerima Yap Thiam Hien Human
Rights Award atas kiprahnya membangun kesetaraan dan keadilan gender melalui
interpretasi ajaran Islam serta prakarsanya membuat Counter Legal Draft on
The Compilation of Islamic Law. Kemudian akhir tahun 2009 Musdah juga menerima
penghargaan Woman
of The Year 2009 dari pemerintah Italia. Penghargaan ini diberikan
atas kiprahnya memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas serta
upayanya yang kuat untuk menghapuskan hukuman mati.
Kehadirannya
sebagai pemikir Islam, aktifis perempuan, peneliti, konselor, dan penulis
membawa angin sejuk dan damai bagi mereka yang tertindas dan terdiskriminasi.
Namun tidak jarang pula atas keberanian, keteguhan, kegigihan, dan
konsistensinya melawan berbagai tindakan ketidak-adilan, dan kekerasan, Musdah
harus menelan pil pahit berupa cacian dan hujatan atas dirinya. Sebagai pemikir
dan aktivis sosial, Musdah selalu menggunakan cara berpikir kritis dan
rasional dalam melihat berbagai persoalan, terutama ancaman terhadap keberagaman
Indonesia. Dia juga gigih memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender,
membela hak-hak kelompok minoritas, dan aktif melakukan dialog antaragama.
Memperjuangkan kesetaraan jender melalui implementasi
tauhid
Meskipun sering dihujat sebagai antek Barat, Musdah sesungguhnya jauh dari tuduhan itu. Simak saja buku-buku yang ditulisnya terkait kesetaraan jender, seperti Muslimah Reformis terbitan Mizan (2004), Keadilan dan Kesetaraan Jender: Perspektif Islam (2007), Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami, Meraih Ridha Ilahi (2011), jelas terbaca kegigihannya menawarkan perspektif baru dalam memperjuangkan kesetaraan jender. Memang betul konsep kesetaraan jender sangat gencar diperjuangkan para feminis Barat, tetapi bagi Musdah ide dan konsep kesetaraan jender memiliki akar kuat dalam ajaran Islam. Bahkan, menurutnya ide kesetaraan jender dapat ditelusuri dari konsep tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam.
Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.
Bagi Musdah, Islam sebagai agama pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk eksplorasi dari nilai-nilai kemanusiaan adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dimata Allah. Yang membedakan di antara manusia hanyalah taqwanya dan itu hanya Tuhan berhak menilai, bukan manusia.
Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.
Bagi Musdah, Islam sebagai agama pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk eksplorasi dari nilai-nilai kemanusiaan adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dimata Allah. Yang membedakan di antara manusia hanyalah taqwanya dan itu hanya Tuhan berhak menilai, bukan manusia.
Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara
dengan Allah dan tidak ada anak dan titisan Tuhan pada gilirannya melahirkan
pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada
manusia nomor satu dan manusia nomor dua. Manusia pada hakikatnya sama. Tidak
ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan
tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar
tanpa syarat. Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri,
orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan,
maka rakyat tidak boleh mempertuhankan pemimpin, bawahan tidak boleh
mempertuhankan atasan dan istri tidak boleh mempertuhankan suami. Ketakutan dan
ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami melebihi
ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran terhadap tauhid.
Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak
sekadar doktrin keagamaan yang statis. Tauhis adalah spirit dan energi aktif
yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan dan manusia sebagai
manusia. Penjiwaan terhadap tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan
keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang
bermoral, santun, manusiawi, bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, dan
kezaliman. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Kekuatan
tauhid pada diri beliau membuatnya
berani membela mereka yang teraniaya dan terlemahkan secara struktural dan
sistemik (al-mustadh’afîn), seperti perempuan, budak, dan anak-anak.
Sejarah mencatat sejak zaman Mesir kuno,
Yunani kuno, Romawi kuno, Hindu, dan Cina kuno, sampai masa turunnya Islam,
perempuan tidak dianggap sebagai manusia yang setara dengan laki-laki. Bahkan
haknya pun ditentukan oleh laki-laki. Selama berabad-abad, hal itu dianggap
sebagai sesuatu yang wajar. Sebagian lagi justru menganggap hal itu sebagai
takdir Tuhan. Begitu kuatnya pandangan ini, sehingga sisa-sisa pengaruhnya masih
ada sampai sekarang. Kenyataan ini membuat laki-laki menjadi pihak yang
diuntungkan. Sebaliknya, perempuan menjadi pihak yang terzalimi. Dengan ajaran
tauhid, Rasul mengikis semua adat tradisi dan budaya jahiliyah yang tidak
kondusif bagi penegakan ajaran Islam, seperti budaya patriarkal dan budaya
feodal. Sebaliknya, melalui ajaran tauhid, Rasul memperkenalkan budaya
egalitarian yang memandang semua manusia setara. Tentu saja gagasan besar Rasul
tentang ide persamaan mendapatkan tantangan yang luar biasa dari kelompok
musyrikin Arab yang selama ini mendapat keuntungan dari tatanan budaya yang
tidak manusiawi itu.
Tauhid mempersaudarakan laki-laki dan
perempuan ibarat saudara kandung. Mereka tidak boleh saling menyakiti dan
merendahkan. Mereka harus bekerja sama, saling menolong dan bahu-membahu demi
tercapainya cita-cita bersama. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum wanita adalah saudara kandung kaum
laki-laki.” (H.R. Abu Daud dan
al-Tirmidzi). Ucapan ini memiliki makna yang sangat dalam. Kata “saudara” mengandung
arti kesetaraan, kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas hak, pembelaan
atas orang-orang yang mengalami kezaliman, serta rasa senasib dan
sepenanggungan. Persaudaraan juga menghapuskan kata “aku”, sehingga setiap
orang yang bersaudara akan bergerak bersama dengan semangat dan jiwa “kita”
demi kemaslahatan bersama.
Makna mendalam dari sabda Nabi di atas
merupakan semangat yang harus mendasari setiap gerak langkah masyarakat yang
terdiri atas laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa ibarat saudara,
laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dalam seluruh aspek kehidupan agar
cita-cita masyarakat bisa tercapai dan dirasakan manfaatnya oleh semua.
Laki-laki tidak boleh meninggalkan atau memandang sebelah mata kepada
saudaranya yang perempuan. Demikian juga perempuan tidak boleh apatis dan asyik
dengan dirinya sendiri sehingga tidak tahu apa yang dilakukan oleh saudaranya
yang laki-laki. Dalam semangat persaudaraan ini, laki-laki dan perempuan
didorong untuk bersama-sama dan bekerja sama menciptakan tatanan masyarakat
yang adil dan makmur dalam ridha Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafûr (Q.S. Saba’, 34:15).
Bagi Musdah, pemuliaan perempuan dalam Islam
dinyatakan dalam aksi konkret membuka akses dan partisipasi perempuan dalam
seluruh aspek kehidupan, terutama dalam pendidikan dan politik. Penghormatan
terhadap perempuan dalam Islam dinyatakan dalam bentuk pengakuan Islam yang
sangat jelas terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan sama dengan saudara mereka
yang laki-laki. Meskipun ada perbedaan biologis di antara keduanya, namun dalam
esensi kemanusiaannya sama dan setara, yaitu sama-sama diharapkan menjadi khalifah
fil ardh (pengelola kehidupan di dunia). Islam memberikan peluang dan
kebebasan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berkiprah dalam ruang
publik serta tanggung jawab yang sama dalam membina kebahagiaan keluarga.
Keduanya harus menjadi subyek yang bertanggungjawab dalam kehidupan, baik di
ranah domestik maupun di ranah publik.
Karena itu, Musdah mengkritisi berbagai
kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang muncul di era reformasi,
seperti berbagai peraturan di Aceh, khususnya Qanun Khalwat, perda kewajiban berjilbab di sejumlah daerah,
perda larangan keluar malam bagi perempuan. Bagi Musdah, semua bentuk kebijakan
itu bertentangan dengan esensi Islam. Sebab, dalam semua peraturan itu, jelas
perempuan hanya diposisikan sebagai obyek hukum dan diperlakukan sebagai warga
negara kelas dua. Seringkali, menurut Musdah, upaya memuliakan perempuan dalam
implementasinya malah mengontrol dan meminggirkan perempuan, bahkan mengabaikan
hak-hak reproduksi perempuan. Perempuan harus sadar dan mengerti dengan baik
tentang semua hak dan kewajibannya yang asasi, baik sebagai warga negara maupun
sebagai manusia utuh.
Selanjutnya, Musdah menawarkan konsep muslimah ideal. Menurutnya, muslimah ideal adalah perempuan beriman,
berakhlak mulia, berpendidikan, berwawasan inklusif, dan beramal saleh.
Muslimah ideal pasti selalu aktif dalam
aksi konkret membangun dan memberdayakan masyarakat menuju terciptanya tatanan
mayarakat yang adil, damai dan sejahtera.[9]
Membaca berbagai tulisan Musdah terkait isu kesetaraan
jender dalam perspektif Islam, sangat jelas apa yang diinginkannya, yaitu
membangun kesetaraan jender dalam masyarakat Muslim berdasarkan ajaran tauhid,
bukan berdasarkan asumsi logika semata seperti ditawarkan para feminis Barat.
Nabila Lubis, guru besar pada UIN Syarif Hidayatullah mengakuinya. Menurutnya,
Musdah adalah sosok langka dan aset yang dimiliki bangsa ini. Perhatian Musdah
menyadarkan kaum perempuan akan hak dan kewajibannya yang sangat besar. Sebagai
peneliti di Litbang Departemen Agama dia juga menggagas sebuah tim pemberdayaan
perempuan. Harapan yang besar akan kemajuan kaum perempuan terlihat dari
sikapnya yang selalu ikut berbahagia jika ada perempuan sukses dan berprestasi.
Dan harapan saya dengan segala kelebihannya Musdah akan mampu menjadi
pembanding para feminis Barat.[10]
Terkait dengan
undang-undang keluarga, Indonesia memiliki dua bentuk undang-undang, yaitu UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan
Instruksi Presiden pada Tahun 1991. Kompilasi inilah yang menjadi pedoman para
hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perdata terkait perkawinan
dan keluarga. Musdah mencoba menawarkan konsep kesetaraan jender dalam relasi
keluarga dengan mengusung suatu draft alternatif bagi amandemen pembaruan
Kompilasi Hukum Islam yang kemudian dikenal luas dengan nama Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI).
Dalam sebuah wawancara
dengan Maria Amirudin, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Musdah Mulia
menegaskan mengapa perlu merevisi KHI. Menurutnya, sebagian besar isi KHI sudah
tidak relevan dengan konteks masyarakat Islam Indonesia. Isi KHI mencerminkan
pandangan ulama abad ke-9, abad pertengahan yang penuh dengan nilai-nilai
patriarkal, sehingga isinya mungkin
relevan untuk masanya, cocok untuk masa itu, tapi kondisi masyarakat kita sudah
mengalami dinamika yang luar biasa dan menghendaki hukum-hukum baru yang lebih
maju. Selain itu, pandangan keislaman dalam KHI belum mengadopsi budaya lokal
yang berkembang di masyarakat.[11] CLD KHI
adalah hasil penelitian dan kajian kritis atas KHI yang ditawarkan oleh Tim
Pembaruan Hukum Islam bentukan Tim Pokja PUG Departemen Agama. Rumusannya mirip
KHI, terdiri dari hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
CLD KHI adalah rumusan hukum Islam model baru disusun
berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana terbaca dalam
Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sangat menghormati hak-hak asasi manusia,
mengadvokasikan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan,
menyuarakan pandangan yang humanis, pluralis dan demokratis. Isinya
menawarkan suatu bentuk hukum perkawinan ideal, yaitu hukum perkawinan yang
adil, pluralis dan demokratis berbasiskan ajaran Islam yang mengutamakan
nilai-nilai kemanusiaan universal. Tujuannya tidak lain adalah membangun
perkawinan bahagia penuh cinta kasih (mawaddah wa rahmah) yang ditandai
dengan perilaku suami-isteri yang santun (mu’asyarah bil ma`ruf), saling
menghargai, saling memahami, dan saling melengkapi menuju kebahagian abadi di
dunia dan di akhirat kelak.
CLD KHI menperjuangkan
agar tidak ada lagi dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam
perkawinan oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Tidak ada lagi perkawinan
terpaksa, tidak ada lagi perkawinan
anak-anak, tidak ada lagi perkawinan sirri (perkawinan "bawah
tangan"), tidak ada lagi perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab,
tidak ada lagi perkawinan poligami, dan terakhir semua perkawinan hanya sah
jika dicatatkan (registered marriage).
Sebagai
sebuah tawaran yang dirumuskan berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian,
tentu draf ini tidak mengklaim dirinya sebagai rumusan final yang harus
diterima secara absolut oleh semua pihak, melainkan hendaknya dilihat sebagai
sebuah ijtihad mempromosikan ajaran Islam yang hakiki mengenai perkawinan,
ajaran yang mengedepankan cinta kasih dan penghargaan kepada manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, perlu dilihat sebagai upaya mencari solusi
atas pelbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat Indonesia. Pada intinya, draf itu bertujuan memberdayakan perempuan
dan mewujudkan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak asasi perempuan sebagai
manusia seutuhnya, seperti tertuang dalam
konstitusi dan perundang-undangan serta konvensi internasional tentang anti diskriminasi
terhadap perempuan yang dikenal dengan CEDAW. Melalui CLD inilah komunitas
Islam Indonesia dapat mempromosikan ajaran Islam yang ramah terhadap perempuan
dan sekaligus rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).
Sangat disayangkan banyak
pihak menolak mentah-mentah pandangan Musdah dalam KHI dengan mengatasnamakan
kemurnian syariat Islam. Meskipun begitu, dengan pendirian yang sangat teguh
dan penuh tanggung jawab Musdah berani mempertanggungjawabkan secara
intelektual melalui berbagai forum ilmiah. Sebetulnya penyusunan draf CLD KHI
adalah penugasan dari Departemen Agama. Posisi saya sebagai Koordinator Tim Pengarusutamaan Jender (PUJ) Departemen
Agama punya surat pengangkatan dari Menteri Agama. Ketika muncul reaksi
keras dari sebagian anggota masyarakat terhadap draf itu, saya sendirian menghadapi kelompok-kelompok yang memprotes
meskipun sebetulnya pengkajian itu tugas institusi.
Ternyata ada blessing in dissguise
(karunia tersembunyi) dalam kasus itu. Saya menjadi dikenal luas, walaupun
saya sama sekali tidak punya pikiran menjadi terkenal.
CLD itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Ketika saya mempresentasikan draft itu dalam
pertemuan para feminis se-dunia di Barcelona, Spanyol, 2008 banyak yang
terperangah karena
dalam draf itu banyak hal baru dan aspeknya luas.
Dari kejadian itu saya belajar bahwa orang
harus bertanggung jawab dan harus punya komitmen pada yang dia lakukan. Tidak rugi punya prinsip
dalam hidup. Tuhan tidak buta.[12]
Sebagian besar reaksi dan kritik kelompok
penolak CLD KHI diungkapkan dengan kalimat yang sangat keras dan menggunakan
kata-kata yang kasar, seperti hukum iblis, hukum komunis, dan hukum syetan.[13] Hanya ada satu tanggapan terhadap CLD KHI
yang sistematis dan argumentatif, yakni buku berjudul Kontroversi Revisi
Kompilasi Hukum Islam.[14] Di lain pihak tidak sedikit pula yang
mendukung langkah Musdah menyusun CLD
KHI, seperti Abdul Moqsith Gazali, Dosen UIN Syarif Hidayatullah.
Menurutnya, modifikasi hukum keluarga
ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular,
seperti ayat poligami, nikah beda agama, iddah, waris beda agama, dan sebagainya.
Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah
kemanusiaan, yang terjadi malah merupakan bagian dari masalah yang harus
dipecahkan. Dengan demikian, jelaslah CLD KHI tetap bertumpu pada ayat
universal Al-Quran berupa keadilan, kemaslahatan, pluralisme, HAM, dan
kesetaraan jender. Akhirnya, semoga CLD KHI secara perlahan menjadi perangkat
ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya
masyarakat berkeadilan yang menjunjung nilai kemanusiaan, menghargai hak kaum
perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.[15]
Berbagai bentuk dukungan kemudian bermunculan
satu demi satu. Nurul Arifin, aktifis Partai Golkar mengakui CLD KHI sebagai
sesuatu yang revolusioner, sebuah upaya untuk menanamkan semangat kesetaraan
jender dan pluralisme yang harus dimulai sejak sekarang.[16] Bahkan, Ulil Abshar-Abdalla, aktivis JIL
menjelaskan, …It’s very radical not only for Indonesia but also for all
Muslim countries, if not the world. It would be a significant revolution in
Islamic law, if the House of Representatives passes it.[17]
Dengan bahasa yang
berbeda, Masdar F Mas’udi, salah seorang Ketua PBNU, meski tidak sepakat dengan
pengharaman poligami dalam draf CLD KHI, ia tetap memberikan apresiasi.
Menurutnya, CLD KHI akan memperoleh tantangan yang keras dari mayoritas Muslim,
sebab persoalan perkawinan dan kewarisan adalah bagian hukum keluarga yang
paling sensitif karena menyentuh langsung urusan masyarakat.[18]
Berbeda dengan sikap
Ketua Umum PP Muhammadiyah yang menolak CLD KHI, Moeslim Abdurrahman, tokoh
Muhammadiyah yang dikenal progres malah
mengapresiasi. Menurutnya, Islam memang sangat mendorong umatnya untuk
melakukan ijtihad tentang fikih agar sesuai dengan perubahan sosial. CLD KHI
adalah bagian dari ijtihad kolektif tentang hukum Islam yang disesuaikan dengan
perubahan sosial di Indonesia dewasa ini.[19]
Jaya Suprana, selaku Pimpinan Pusat kelirumologi memberikan apresiasi yang
tinggi terhadap karya CLD KHI karena telah mengklarifikasi beberapa kekeliruan
dan salah tafsir terhadap gagasan dan ide-ide tentang institusi perkawinan.
Lebih lanjut ia juga mengatakan, CLD KHI telah memberikan pencerahan bagi
masyarakat dalam memahami arti perkawinan secara lebih baik dengan
mengedepankan nilai-nilai Islam yang substansial dan kompatibel dengan prinsip
hak asasi manusia.[20]
Bentuk apresiasi lain, Musdah selaku Koordinator Tim PUJ memperoleh sejumlah
penghargaan atas perjuangan tersebut, di antaranya, sebagai Tokoh 2004 versi
Majalah Tempo,[21]
Kelirumologi Award (2009) dari Lembaga Pusat Studi Kelirumologi Indonesia, dan
International Women of Courage Award (2007) dari Pemerintah Amerika Serikat.[22]
Mempromosikan Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan
Sebagai
cendekiawan Muslim, Musdah sangat gigih mempromosikan Islam yang ramah dan akomodatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Dia mulai dengan mengajak kita memahami Islam dengan benar.
Menurutnya, Islam sebagai agama, pada hakikatnya
terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Islam
diyakininya sebagai agama yang menjanjikan harapan hidup yang lebih baik:
menjanjikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, baik di dunia ini
maupun di akhirat kelak. Karena itu, bagi Musdah, manusia memiliki tempat yang
sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh.
Islam memandang manusia
secara optimis dan positif, yakni sebagai makhluk paling mulia dan bermartabat
(Q.S, al-Baqarah, 2:30 dan al-Isra`, 17:70). Konsep ini sangat
penting, terutama dalam kaitan dengan pemahaman terhadap teks-teks suci
keagamaan. Bahwa manusia dengan seluruh pengalamannya merupakan dasar yang amat
penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Bahwa kemaslahatan dan kebahagiaan
manusia harus menjadi pertimbangan utama dalam menafsirkan teks-teks tersebut.
Umat Islam hampir sepakat
mengenai pentingnya ijtihad, yaitu penggunaan akal pikiran dalam memahami
hukum-hukum Tuhan. Ijtihad merupakan suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah
Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Sebab, menurut Wahhab Khallaf, pakar
hukum Islam ternama, meskipun Al-Qur’an mengandung ketentuan hukum yang cukup
rinci, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya
persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.[23] Akan tetapi,
masalah paling mendasar dalam pemahaman keagamaan mayoritas umat Islam adalah
mereka terlanjur meyakini kebenaran teks sebagai sesuatu yang mutlak dan abadi
sehingga mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkret. Mereka
terpaku pada makna-makna literalis tanpa menghiraukan konteks ajaran dan bahkan
mengabaikan tujuan dasar dari ajaran Islam itu sendiri, yakni kemaslahatan umat
manusia. Ironisnya, mayoritas umat Islam
meyakini bahwa semakin ketat memegangi makna literalis teks dipandang sebagai
semakin dekat dengan Islam, sebaliknya semakin jauh seseorang meninggalkan
makna tekstual tersebut dipandang semakin jauh dari Islam.
Dalam banyak tulisannya,
Musdah menegaskan, Islam diturunkan bukan untuk kemaslahatan dan kepentingan
Tuhan sebab Dia Maha Kuasa, Dia Maha Sempurna dan tidak membutuhkan apa pun
dari makhluk-Nya. Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, Islam
lebih banyak diamalkan untuk "menyenangkan Tuhan" sehingga
hampir-hampir tidak menyisakan manfaat bagi kemanusiaan. Karena itu diperlukan
ijtihad yang menggunakan analisis sosial untuk merekonstruksi ajaran Islam
sehingga kondusif dengan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.
Islam mengapresiasi nilai-nilai universal HAM
Meski tidak sedikit ulama
memandang konsep HAM bertentangan dengan nilai-nilai Islam, namun Musdah dengan
penuh keyakinan mengakui bahwa nilai-nilai HAM tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Pandangannya yang jernih dan tegas terkait isu HAM terbaca dalam
bukunya, Islam dan HAM: Konsep dan Implementasi (2010). Menurut Musdah,
memang betul istilah HAM belum dikenal ketika Islam turun pada masyarakat Arab
di abad ke-7 Masehi, namun prinsip-prinsip penghormatan pada manusia dan
kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas. Inti ajaran Islam adalah
tauhid, yakni mengajarkan kepada manusia bahwa hanya ada satu pencipta, yaitu
Tuhan. Selain Tuhan yang ada hanyalah makhluk. Karena itu, hanya Tuhan yang
mutlak disembah, dipuji dan diagungkan serta tempat menggantungkan seluruh
harapan dan kebutuhan. Di antara makhluk ciptaan Tuhan manusialah makhluk yang
paling sempurna (Q.S. al-Isra’, 17:70) dan karena itu makhluk lain patut
memberikan penghormatan kepadanya sebagai tanda pengabdian kepada Sang
Pencipta. Manusia adalah makhluk yang bermartabat dan harus dihormati tanpa
membedakan ras, suku bangsa, agama, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dan ikatan
primordial lainnya. Yang membedakan di antara manusia hanyalah prestasi
takwanya (Q.S. al-Hujurat 49:13) dan bicara soal takwa hanya Allah swt.
yang mampu memberikan penilaian.
Salah satu bentuk penghormatan kepada manusia adalah
menjaga kelangsungan hidupnya, nyawanya tidak boleh dihilangkan (QS. 27:33;
5:32), juga fisik dan psikisnya tidak boleh disakiti untuk alasan apapun (QS.
5:45). Semua manusia harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan tanpa pembedaan. Hadis Nabi yang
diriwayatkan Bukhari menjelaskan secara gamblang: “Sesungguhnya darahmu (life), hartamu (property), dan kehormatanmu
(dignity) adalah suci, seperti sucinya hari ini (haji wada’) di bulan ini, dan
negerimu ini sampai engkau bertemu Tuhanmu di hari akhir nanti (HR. Bukhari).”
Bahkan lebih jauh dari sekedar retorika. Nabi sudah
mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia
dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam
Piagam Madinah. Piagam tersebut pada intinya menggarisbawahi lima hal pokok
sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yaitu prinsip
persaudaraan dalam Islam, semua umat Islam yang berasal dari berbagai latar
belakang adalah bersaudara; prinsip saling menolong dan melindungi, penduduk
Madinah yang terdiri dari beragam suku, agama, dan bahasa harus saling membantu
dalam menghadapi lawan; prinsip melindungi yang teraniaya; prinsip saling
menasehati; dan prinsip kebebasan beragama. Prinsip-prinsip tersebut didasarkan
pada ajaran Islam, seperti QS. Al-Baqarah,
2:256 (tidak ada paksaan dalam beragama); al-Kafirun,
1-6 (pengakuan terhadap pluralisme agama); Yunus,
99 (larangan memaksa orang memeluk Islam); Ali
Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapai
kalimatun sawa’); dan al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat
baik, berlaku adil, dan menolong kepada non-Muslim yang tidak memusuhi dan
tidak mengusir mereka). Sayangnya, ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai
humanisme, pluralisme, dan inklusifisme itu tidak banyak disosialisasikan di
masyarakat sehingga tidak heran jika wajah masyarakat Islam di berbagai wilayah
tampak lebih sangar dan tidak bersahabat, sangat jauh dari potret yang
ditampilkan umat Islam generasi awal, khususnya di masa Nabi dan Khulafa
Rasyidin, yang penuh toleransi, persahabatan, dan persaudaraan.
Untuk meyakinkan bahwa ajaran Islam akomodatif terhadap
kemaslahatan manusia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) mencoba merumuskan tujuan
dasar syariat Islam atau yang disebutnya dengan maqashid al-syari’ah, yakni pertama, memelihara diri atau menjaga
kelangsungan hidup (hifz al-nafs). Bagaimana
mungkin manusia dapat beramal saleh kalau dia sendiri tidak memiliki kehidupan.
Kedua, memelihara kebebasan beropini dan berekspresi (hifz al-aql). Ketiga, memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din). Keempat, menjamin hak
reproduksi (hifz an-nasl) untuk
menjaga kelangsungan hidup manusia. Kelima, menjamin hak properti (hifz al-maal), yakni hak untuk
mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, serta hak memperoleh jaminan
perlindungan dan kesejahteraan. Kelima hak dasar itulah yang kemudian dikenal dengan
al-kulliyah al-khamsah. Artinya,
seluruh keberagamaan manusia dibangun untuk melindungi kelima hak dasar
tersebut. Oleh karena itu, jika ditemukan ajaran agama yang bertentangan dengan
pemeliharaan lima hak dasar tadi, maka ajaran tersebut perlu direvisi dan
diinterpretasi ulang demi menjawab
tuntutan kemaslahatan manusia. Berdasarkan rumusan kelima hak dasar tersebut
terlihat betapa ajaran Islam yang diwahyukan pada abad ke-7 Masehi sangat
apresiatif dan akomodatif terhadap nilai-nilai HAM sebagaimana terangkum dalam
Deklarasi Universal HAM yang diproklamirkan PBB pada tahun 1948. [24]
Dalam upayanya memperjuangkan penegakan nilai-nilai HAM
Musdah tidak hanya berwacana di ruang seminar, melainkan terjun langsung ke
tengah masyarakat melakukan advokasi. Budi Tanuwibowo, Ketua Umum Majelis
Tinggi Agama Konghucu mengatakan: “Sesuai namanya Musdah Mulia adalah perempuan
yang amat mulia. Mulia akhlaknya, mulia hatinya, mulia pemikiranya, dan mulia
segala tindak tanduknya. Dibalik keteguhan, ketegaran, dan keberaniannya, ia
mempunyai hati yang tulus, empati yang tinggi, dan tangan selalu terbuka, yang
selalu siap membantu perempuan yang tertindas, umat yang terpinggirkan, dan
manusia yang tidak berdaya dilindas oleh ketidakadilan. Mencermati jejak
langkahnya, membuat kita amat optimistis akan nasib Indonesia masa depan.
Semoga akan lahir banyak Musdah baru bagi kesuburan kehidupan yang egaliter,
bebas dari stigma dan bermartabat. Meski ia tampak perkasa, namun kelembutan
sebagai perempuan tetap muncul dengan pesona dirinya.[25]
Hartoyo, aktifis LGBTIQ
dan Sekjen Ourvoice mengatakan: “Keberanian Musdah memperjuangkan kemanusiaan
yang lintas batas, khususnya kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender dan
transeksual, intersex, dan queer (LGBTIQ), merupakan tindakan yang jarang
dilakukan oleh tokoh-tokoh pluralisme di Indonesia, bahkan di dunia sekalipun.
Sehingga ini dapat membuka tabir buramnya tafsir kisah nabi Luth yang selama
ini terjadi. Harapan saya ini akan menjadi inspirasi oleh banyak orang untuk
bicara keberagaman seksual dalam konteks yang lebih luas. Saya yakin ada banyak
tantangan dalam memperjuangkan keadilan untuk gerakan hak keberagaman
seksualitas ke depannya. Tapi, keberanian dan konsistensi ibu Musdah membuat
perjuangan itu tetap berkobar sampai detik ini.[26]
Neng Dara Afifah, Komisioner Komnas HAM mengakui: “Musdah telah bekerja keras
untuk gagasan-gagasan keadilan jender dan pluralisme. Ia juga mngetahui tentang
akibat dari perjuangan itu, karena agaknya ia sudah siap dengan tantangan yang
harus dihadapi. Harapannya, apa yang ia lakukan menginspirasi kalangan muda
untuk meneruskan jejaknya.”[27]
Membangun Indonesia yang demokratis dan pluralis
Berbeda dengan banyak
pemikir Islam, Musdah sangat aktif
mempromosikan interpretasi keislaman yang sejuk dan kompatibel dengan
nilai-nilai demokrasi yang mengedepankan penghargaan kepada manusia dan
kemanusiaan. Dengan lantang dia selalu menegaskan bahwa sebagai warga negara
Indonesia tidak ada kesulitan mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebab baginya, ideologi Pancasila yang merupakan
pedoman dalam pengelolaan kehidupan negara tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Saya bisa menjadi seorang Indonesia yang baik sekaligus juga
seorang Muslim yang taat.[28]
Menanggapi isu negara Islam yang lantang disuarakan kelompok islamis di tanah
air sejak tumbangnya Orde Baru, Musdah menawarkan suatu pandangan alternatif
tentang negara Islam seperti terbaca dalam bukunya Negara Islam.[29]
Islam tidak memberikan petunjuk yang langsung dan rinci tentang bagaimana
seharusnya umat Islam mengatur urusan negara. Karena itu, sepanjang sejarah
Islam muncul berbagai bentuk dan rumusan tentang negara Islam. Islam cukup
meletakkan landasan dasar (al-mabadi' al-asasiyyah) atau
ketentuan-ketentuan dasar yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan dan
pergaulan dengan sesama. Landasan itulah yang kelak menjadi pedoman manusia di
dalam mengelola berbagai kehidupan, termasuk kehidupan politik. Landasan asasi
itulah yang menjadi pedoman atau acuan bagi tata kelola pemerintahan menurut
Islam.[30]
Dalam pandangan Musdah, berbicara tentang negara atau pemerintahan, umat Islam
tidak boleh hanya terpaku pada satu bentuk. Apakah pemerintahan itu berbentuk
otoriter ataukah perwakilan? Kerajaan atau republik? Demokrasi atau despotis?
Sebab, di dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku (nizam
muqarrar atau nizam tsabit).[31]
Islam hanya menegaskan sejumlah prinsip yang harus dipenuhi sebagai landasan
Negara Islam, yaitu prinsip persaudaraan, prinsip persamaan, dan prinsip
kebebasan, dan ketiga prinsip tersebut tetap mengacu kepada intisari Islam
yakni ajaran tauhid.[32]
Banyak kalangan menilai
positif terhadap ijtihad Musdah Mulia dalam isu kenegaraan, khususnya dalam
konsep negara Islam yang sampai saat ini persoalan tersebut masih menuai
persoalan dan belum terselesaikan. Kehadiran pemikiran Musdah Mulia soal negara
Islam ini tentu menjadi sesuatu yang ditunggu kelompok progresif yang
mendambakan persaudaraan, persamaan, dan kebebasan dalam bernegara. Salah
satunya, Franz Magnis-Suseno, mengatakan: “Sejak 65 tahun debat tentang negara
Islam tetap berlangsung di Indonesia. Karena itu sudah waktunya disertasi
Musdah Mulia yang membahas pemikiran politik Haikal tentang negara Islam dibuka
bagi publik lebih luas. Haikal termasuk pemikir muslim abad ke-20 paling tajam
dan menantang. Pemikirannya tentang Islam dan demokrasi perlu diperhatikan oleh
siapa saja yang mau bicara secara bertanggung jawab tentang kenegaraan Islami.”[33]
Bachtiar Efendy juga
menguatkan pandangan terdahulu dengan menjelaskan: “Salah satu persoalan yang
hingga kini belum selesai bagi sebagian komunitas muslim adalah isu hubungan
antara Islam dan negara. Sudah banyak pandangan diajukan mengenai hal ini, baik
dari kalangan muslim maupun non-muslim. Musdah Mulia dengan membahas pemikiran
Husain Haikal memperkaya pengetahuan kita tentang persoalan tersebut.”[34]
Sementara itu, Luthfi Assyaukani menyatakan konsep negara bangsa merupakan
kreasi baru orang-orang modern, padahal Islam lahir jauh sebelum konsep ini
dikenal. Akibatnya, rujukan terhadap konsep negara Islam berpindah-pindah dan
tumpang tindih antara dua peradaban: Islam dan Barat. Lebih lanjut beliau
menuturkan, Musdah Mulia memberikan gambaran yang gamblang tentang konsep
negara Islam dan perdebatan di seputar gagasan kontroversial ini. Dengan
merujuk Husain Haikal, seorang pembaharu Muslim dan penulis produktif asal
Mesir, Musdah menyimpulkan bahwa Negara Islam adalah sintesa kreatif antara
bentuk negara sekuler dan negara teokrasi.[35]
Dalam kaitan ini, Toeti
Heraty, guru besar bidang filsafat di Universitas Indonesia mengemukakan: “Yang
perlu kita pahami dari ulasan Musdah Mulia adalah politik Islam kontemporer
sebenarnya menyajikan tiga alternatif hubungan negara dan agama. Yang telah
ditolak NKRI (Piagam Jakarta) adalah pola tradisionalis, yang dikhawatirkan
adalah pola sekularis, dan jalan keluar adalah pola reformis. Memang pemahaman
ini memberikan kelegaan, sesuai gagasan Haikal, budayawan Mesir. Islam tidak
semata-mata tentang manusia dan Tuhan, bukan pula agama paripurna yang rinci
mengurus kenegaraan, tapi kembali pada tiga prinsip dasar persaudaraan,
persamaan, dan kebebasan yang memadai sebagai landasan pengaturan hidup
kenegaraan.”[36]
Keberanian Musdah
mengkritisi pemikiran sebagian umat Islam untuk mendirikan negara Islam yang
teokratis di Indonesia mendapat apresiasi dari banyak pihak, di antaranya dari
pakar hukum dan advokat senior, Adnan buyung Nasution. Dia mengatakan: “Saya
angkat topi pada Musdah Mulia yang dengan kejelian intelektual dan komitmennya
senantiasa berjuang untuk kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia. Ia
dengan gigih menolak pembajakan interpretasi ajaran Islam dalam makna sempit. Dengan
mengangkat pemikiran Muhammad Husain Haikal, seorang doktor ilmu hukum yang
progresif dan pemikir politik Islam dari Mesir, Musdah menyampaikan pesan bahwa
seorang yang bertauhid justru harus terus berikhtiar bagi persaudaraan,
persamaan, dan kebebasan.”[37]
Negara sekuler sekalipun
boleh mengurus soal-soal agama. Dalam banyak instrumen hak asasi manusia
internasional, misalnya, disebutkan bahwa negara sekuler boleh mengurus ranah
privat terkait dengan agama menyangkut lima hal. Pertama, menyangkut public
order. Kedua, menyangkut public health. Ketiga,
menyangkut public safety. Keempat, menyangkut public moral.
Dan kelima, tidak boleh mengganggu hak orang lain.[38]
Demikianlah Musdah tidak pernah berhenti bersuara dan berkarya demi terwujudnya
perdamaian, pluralisme dan demokrasi untuk kesejahteraan semua manusia tanpa
kecuali.
[1]Musdah merupakan salah seorang dari 10 penerima penghargaan
International Women of Courage Award yang diberikan oleh Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat pada peringatan Hari Perempuan Internasional, tahun 2007.
[4] Kata Sambutan selaku Ketua Yayasan Yap Thiam Hien Award ketika
memberikan penghargaan Yap Thiam Hien Human Rights Award kepada Musdah Mulia,
tahun 2008.
[5] Disampaikan dalam acara tasyakuran dan refleksi Musdah Mulia: Peraih
Women of The Year 2009 di Aula Paramadina, Jakarta, 17 Desember 2009.
[6] Luthfie Assyaukanie, disampaikan
dalam acara tasyakuran dan refleksi Musdah Mulia: Peraih Women of The Year 2009
di Aula Paramadina, Jakarta, 17 Desember 2009.
[7] Kautsar Azhari Noer, Guru Besar Tasawuf UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta disampaikan dalam acara
tasyakuran dan refleksi Musdah Mulia: Peraih Women of The Year 2009 di Aula
Paramadina, Jakarta, 17 Desember 2009.
[8] Faiz Manshur, Sejenak Bersama Musdah Mulia dalam Muslimah
Sejati, Penerbit Marja, Bandung,
2011.
[10] Irfan, Pembanding Feminisme Barat, Majalah Karib, Edisi 29, Tahun II, Tanggal 09-15 April 2003.
[11] Mariana Amirudin, Perempuan dan Keluarga:
Berawal dari Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Perempuan, Vol. 73, 2012,
hal. 129
[13] Bentuk penolakan mereka dilakukan
melalui pemberitaan (wawancara) di Majalah Sabili, Majalah Tarbiyah, Koran
Republika, selebaran Jum’at al-Muslimun, News Letter Hizbut Tahrir,
website swaramuslim.com, www.hidayatullah.com, khutbah-khutbah Jum’at,
pengajian-pengajian,seminar-seminar, diskusi-diskusi di kalangan mereka dan
umum, talkshow di radio, dan lain-lain.
[14] Marzuki Wahid, "Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (Cld-Khi) Dalam Perspektif Politik Hukum Di
Indonesia", Paper, dipresentasikan pada The 4th Annual Islamic
Studies Postgraduate Conference, The University of Melbourne, 17-18
November 2008
[17] Komentar Ulil Abshar-Abdalla pada
“Govt Initiates ‘Revolution’ in Islamic Law,” The Jakarta Post, 5
Oktober 2004, juga dalam http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp
[18] “Muslim
Figures Differ on Draft Amendment,” The Jakarta Post.com, 6 Oktober 2004
dalam http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp
[19] “Muslim Figures Differ on Draft Amendment,” The Jakarta
Post.com, 6 Oktober 2004 dalam http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp
[21] Tempo, edisi 27 Desember
2004, dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/12/27/LK/mbm.20041227.LK95355.id.html
[22] http://www.america.gov/st/washfile-english/2007/March/20070308143741ajesrom0. 947809.html. Baca juga “Siti
Musdah Mulia Stand Up for Her Convictions,” The Jakarta Post, 23 Maret 2007;
Baca juga Majalah Tempo, edisi 19 Maret 2007, dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/03/19/ALB/mbm.20070319.ALB123404.id.html
[23] Penelitian Abdul Wahab Khallaf, pakar ushul
fiqh, mengenai ayat-ayat hukum
menjelaskan bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi ketentuan hukum secara
tegas hanya sekitar 5,8% atau sebanyak 368 ayat saja, sedangkan jumlah yang
terbesar justru berisi nilai-nilai universal, seperti keadilan, cinta kasih,
kedamaian, dan kebebasan yang kesemuanya merupakan pesan-pesan moral keagamaan
yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Abdul Wahab
Khallaf, ‘Ilm Ushu Al-Fiqh, Cet. VII, Kairo, 1956, hal. 34-35.
[26] Hartoyo, disampaikan dalam acara
tasyakuran dan refleksi Musdah Mulia: Peraih Women of The Year 2009 di Aula
Paramadina, Jakarta, 17 Desember 2009.
[27] Neng Dara Affiyah, disampaikan dalam acara
tasyakuran dan refleksi Musdah Mulia: Peraih Women of The Year 2009 di Aula
Paramadina, Jakarta, 17 Desember 2009.
[38] Tim
redaksi Majalah Prisma, "Jadikan Agama Sebagai Landasan Etis, Bukan
Politis", Wawancara dalam Majalah Prisma, Vol. 29, No. 4, Oktober
2010, Hal. 99
sangat menarik sekali bacaan nya :)
BalasHapussaya suka baca nya
---
Supplier Tas Batam