Selasa, 01 November 2016

Harmoni Dalam Perbedaan

Harmoni Dalam Perbedaan: Sebuah Pengalaman Nyata




Sebuah workshop bertema “Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan” diselenggarakan oleh ICRP, organisasi lintas agama yang aku pimpin. Pesertanya, semua perempuan, mereka adalah pemuka agama dan kepercayaan yang berkembang di Indonesia. Sebab, tema krusial workshop adalah kekerasan terhadap perempuan yang akhir-akhir ini jumlah kasusnya meningkat tajam.

Entah kenapa, tidak seperti kebanyakan orang, aku selalu merasa senang berada dekat dengan orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan. Sebab bagiku, hal itu berarti aku punya kesempatan belajar dan mengenal lebih jauh, baik ajaran atau keyakinan orang lain maupun cara mereka mengimplementasikan keyakinan tersebut.

Aku gembira sekamar dengan ibu Parwati Supangat, seorang professor ternama, intelektual yang sangat kritis, dan juga dikenal sebagai pemuka agama Budha. Usianya di atas 80 tahun, tapi masih sangat aktif dan sehat-bugar, mungkin karena dia vegetarian. Beliau selalu mengenakan kebaya dengan batik, sangat rapi dan modis. Kami telah bersahabat lama, sekitar 20 tahun. Persahabatan kami didasarkan pada kepedulian yang sama terhadap isu-isu kemanusiaan.

Seperti umumnya penganut Budhis yang taat, beliau rajin bersemedi, duduk tafakur, berkontemplasi memuja Tuhan. Setiap jam 4 pagi beliau sudah bangun, dan setelah membersihkan diri, lalu duduk bersemedi di tempat tidur dan itu bisa berlangsung sampai satu jam. Pada waktu yang sama, aku pun bangun berwudhu lalu shalat sunat beberapa raka’at, baca wirid sambil menunggu masuknya waktu Subuh.

Setelah azan subuh terdengar, aku pun shalat Subuh didahului shalat sunat dua rakaat. Masing-masing kami dapat dengan khusyu’ melaksanakan kewajiban agama yang berbeda di satu kamar dengan damai dan nyaman, tanpa saling mengganggu satu sama lain, ohhh.. alangkah indahnya.

Sambil menunggu waktu untuk breakfast, kami berbaring santai di tempat tidur, berbincang berbagai isu seputar agama dan masalah-masalah terkini dihadapi kaum perempuan Indonesia. Dalam keadaan seperti itu kami lebur sebagai manusia,sesama perempuan peduli, sebagai saudara sebangsa dan setanah air.  Sungguh tidak lagi ingat adanya sekat agama di antara kami.

Kami pun makan pagi bersama, meski pilihan menu kami berbeda, tak membuat kami berjarak. Kami melanjutkan perbincangan di kamar dan sesekali kami berdebat sengit tentang beberapa hal yang kami anggap penting diperdebatkan.

Perbedaan pendapat tak menyurutkan keakraban yang sudah terbangun di antara kami, malah membuat kami merasa perlu belajar lebih banyak lagi. Diskusi, dialog dan debat yang sehat adalah sarana efektif untuk mengasah kemampuan berpikir kritis kita dan sekaligus menjadi media yang penting untuk pembelajaran.

Keragaman etnis atau keragaman keyakinan harus diakui sebagai sebuah keniscayaan, sebuah sunnatullah dalam term Islam. Tuhan sengaja menciptakan manusia dengan penuh keragaman. Beragam jenis kelaminnya, jenis gendernya, suku, ras, warna kulit, bentuk fisik serta agama dan keyakinannya. Jika disebutkan semua keragaman tersebut akan muncul deretan kalimat yang sangat panjang.



Mengapa Tuhan menciptakan keragaman tersebut? Tujuannya, tiada lain agar manusia yang sangat beragam itu bisa saling memahami, saling membantu dan saling menghargai yang berujung pada terciptanya kehidupan harmoni, damai dan bahagia. Kuncinya, lapang dada dan ikhlas serta toleransi. Bersedia menerima keragaman dan perbedaan apa adanya.

Tapi, pengakuan adanya keragaman bisa saja cuma menciptakan pulau-pulau ketersendirian yang tidak saling berhubungan. Kondisi demikian masih menyimpan potensi konflik yang bisa mengancam dan membuat ketegangan. Karena itu, diperlukan sesuatu yang lebih mendasar dari sekedar toleransi, yaitu pluralisme.

Pluralisme adalah langkah maju dari toleransi, sebuah proses aktif untuk berusaha memahami dan mengerti perbedaan masing-masing. Toleran terhadap perbedaan penting, tapi pluralisme butuh mengerti perbedaan yang ada.

Toleransi saja tidak cukup. Toleransi tidak butuh mengerti dan memahami yang lain. Dia tidak berbuat apa-apa untuk menghilangkan ketidaktahuan kita satu sama lain. Pluralisme membuat kita sadar untuk menepis berbagai prasangka buruk, strereotip, dan diskriminasi yang mendorong lahirnya ketakutan dan berbagai bentuk kekerasan dalam masayarakat.

Pluralisme itu tidak sama dengan relatifisme.Pluralisme tidak mengharuskan kita meninggalkan identitas dan keyakinan masing-masing. Puralisme bukan asimilasi yang membentuk keyakinan baru dari campuran dengan keyakinan-keyakinan lain. Pluralisme justru membuat kita semakin berpegang pada keyakinan yang telah kita anut dengan sadar sambil saling berhubungan dengan yang lain.

Pluralisme dasarnya adalah dialog. Bahasa Pluralisme adalah dialog dan pertemuan, menerima dan memberi, kritik dan self-kritik. Dialog artinya berbicara dan mendengar orang bicara. Dari proses tersebut akan mengemuka kesepahaman dan perbedaan. Pluralisme adalah apresiasi terhadap ciptaan Tuhan yang penuh keragaman.








2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Assalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh,
    Ibu Musdah Mulia, saya punya pertanyaan mengapa MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap pluralisme? Apakah arti "pluralisme" yang dipakai berbeda dengan yang diartikan oleh kaum Muslim Progresif atau Pluralist? Kalau tidak salah MUI mendefinisikan pluralism sama dengan relativism. Atau adakah juga perbedaan pandangan mengenai definisi pluralism di kalangan pluralist bu? Mengapa relativisme sering dicampuradukkan atau sering disalahartikan dengan pluralisme sehingga di dalam masyarakat timbul kesalahan persepsi? Apakah fatwa MUI berperan besar dalam penyalahartian definisi pluralisme bu? Akankah ada pendekatan terhadap MUI agar memperjelas definisi pluralisme dalam fatwanya? Terima kasih

    BalasHapus