Harmoni
Dalam Perbedaan: Sebuah Pengalaman Nyata
Sebuah workshop bertema “Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan”
diselenggarakan oleh ICRP, organisasi lintas agama yang aku pimpin. Pesertanya,
semua perempuan, mereka adalah pemuka agama dan kepercayaan yang berkembang di
Indonesia. Sebab, tema krusial workshop adalah kekerasan terhadap perempuan yang akhir-akhir ini jumlah kasusnya
meningkat tajam.
Entah kenapa,
tidak seperti kebanyakan orang, aku selalu merasa senang berada dekat dengan orang-orang
yang berbeda agama dan keyakinan. Sebab bagiku, hal itu berarti aku punya
kesempatan belajar dan mengenal lebih jauh, baik ajaran atau keyakinan orang
lain maupun cara mereka mengimplementasikan keyakinan tersebut.
Aku gembira
sekamar dengan ibu Parwati Supangat, seorang professor ternama, intelektual
yang sangat kritis, dan juga dikenal sebagai pemuka agama Budha. Usianya di
atas 80 tahun, tapi masih sangat aktif dan sehat-bugar, mungkin karena dia
vegetarian. Beliau selalu mengenakan kebaya dengan batik, sangat rapi dan
modis. Kami telah bersahabat lama, sekitar 20 tahun. Persahabatan kami
didasarkan pada kepedulian yang sama terhadap isu-isu kemanusiaan.
Seperti umumnya
penganut Budhis yang taat, beliau rajin bersemedi, duduk tafakur, berkontemplasi
memuja Tuhan. Setiap jam 4 pagi beliau sudah bangun, dan setelah membersihkan
diri, lalu duduk bersemedi di tempat tidur dan itu bisa berlangsung sampai satu
jam. Pada waktu yang sama, aku pun bangun berwudhu lalu shalat sunat beberapa
raka’at, baca wirid sambil menunggu masuknya waktu Subuh.
Setelah azan subuh
terdengar, aku pun shalat Subuh didahului shalat sunat dua rakaat.
Masing-masing kami dapat dengan khusyu’ melaksanakan kewajiban agama yang
berbeda di satu kamar dengan damai dan nyaman, tanpa saling mengganggu satu
sama lain, ohhh.. alangkah indahnya.
Sambil menunggu
waktu untuk breakfast, kami berbaring santai di tempat tidur, berbincang
berbagai isu seputar agama dan masalah-masalah terkini dihadapi kaum perempuan
Indonesia. Dalam keadaan seperti itu kami lebur sebagai manusia,sesama
perempuan peduli, sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Sungguh tidak lagi ingat adanya sekat agama
di antara kami.
Kami pun makan
pagi bersama, meski pilihan menu kami berbeda, tak membuat kami berjarak. Kami
melanjutkan perbincangan di kamar dan sesekali kami berdebat sengit tentang
beberapa hal yang kami anggap penting diperdebatkan.
Perbedaan
pendapat tak menyurutkan keakraban yang sudah terbangun di antara kami, malah
membuat kami merasa perlu belajar lebih banyak lagi. Diskusi, dialog dan debat
yang sehat adalah sarana efektif untuk mengasah kemampuan berpikir kritis kita
dan sekaligus menjadi media yang penting untuk pembelajaran.
Keragaman etnis
atau keragaman keyakinan harus diakui sebagai sebuah keniscayaan, sebuah sunnatullah
dalam term Islam. Tuhan sengaja menciptakan manusia dengan penuh keragaman. Beragam
jenis kelaminnya, jenis gendernya, suku, ras, warna kulit, bentuk fisik serta
agama dan keyakinannya. Jika disebutkan semua keragaman tersebut akan muncul
deretan kalimat yang sangat panjang.
Mengapa Tuhan
menciptakan keragaman tersebut? Tujuannya, tiada lain agar manusia yang sangat
beragam itu bisa saling memahami, saling membantu dan saling menghargai yang
berujung pada terciptanya kehidupan harmoni, damai dan bahagia. Kuncinya,
lapang dada dan ikhlas serta toleransi. Bersedia menerima keragaman dan
perbedaan apa adanya.
Tapi, pengakuan
adanya keragaman bisa saja cuma menciptakan pulau-pulau ketersendirian yang
tidak saling berhubungan. Kondisi demikian masih menyimpan potensi konflik yang
bisa mengancam dan membuat ketegangan. Karena itu, diperlukan sesuatu yang
lebih mendasar dari sekedar toleransi, yaitu pluralisme.
Pluralisme adalah
langkah maju dari toleransi, sebuah proses aktif untuk berusaha memahami dan
mengerti perbedaan masing-masing. Toleran terhadap perbedaan penting, tapi
pluralisme butuh mengerti perbedaan yang ada.
Toleransi saja
tidak cukup. Toleransi tidak butuh mengerti dan memahami yang lain. Dia tidak
berbuat apa-apa untuk menghilangkan ketidaktahuan kita satu sama lain.
Pluralisme membuat kita sadar untuk menepis berbagai prasangka buruk,
strereotip, dan diskriminasi yang mendorong lahirnya ketakutan dan berbagai
bentuk kekerasan dalam masayarakat.
Pluralisme itu
tidak sama dengan relatifisme.Pluralisme tidak mengharuskan kita meninggalkan identitas dan keyakinan
masing-masing. Puralisme bukan asimilasi yang membentuk keyakinan baru dari
campuran dengan keyakinan-keyakinan lain. Pluralisme justru membuat kita
semakin berpegang pada keyakinan yang telah kita anut dengan sadar sambil
saling berhubungan dengan yang lain.
Pluralisme
dasarnya adalah dialog. Bahasa Pluralisme adalah dialog dan pertemuan, menerima
dan memberi, kritik dan self-kritik. Dialog artinya berbicara dan mendengar
orang bicara. Dari proses tersebut akan mengemuka kesepahaman dan perbedaan. Pluralisme adalah apresiasi terhadap ciptaan
Tuhan yang penuh keragaman.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAssalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh,
BalasHapusIbu Musdah Mulia, saya punya pertanyaan mengapa MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap pluralisme? Apakah arti "pluralisme" yang dipakai berbeda dengan yang diartikan oleh kaum Muslim Progresif atau Pluralist? Kalau tidak salah MUI mendefinisikan pluralism sama dengan relativism. Atau adakah juga perbedaan pandangan mengenai definisi pluralism di kalangan pluralist bu? Mengapa relativisme sering dicampuradukkan atau sering disalahartikan dengan pluralisme sehingga di dalam masyarakat timbul kesalahan persepsi? Apakah fatwa MUI berperan besar dalam penyalahartian definisi pluralisme bu? Akankah ada pendekatan terhadap MUI agar memperjelas definisi pluralisme dalam fatwanya? Terima kasih