Selasa, 05 Februari 2019

Kajian Salam ICRP Minggu, 3 Februari 2019




Kajian Salam ICRP
Minggu, 3 Februari 2019
Tema: RUKUN IMAN
Narsum: Musdah Mulia

Tema Kajian Salam kali ini sepintas terlihat sepele. Mengapa? Karena rukun iman sudah diajarkan sejak anak-anak masih di tingkat TK. Sebagian besar anak-anak di lingkungan masyarakat Islam hafal rukun iman di luar kepala. Muncul pertanyaan kritis apa itu rukun iman? Bagaimana mengimplementasikan iman tersebut dalam kehidupan nyata sehari-hari sebagai Muslim dan Muslimah?

Penjelasan tentang rukun iman diperoleh dari hadits Umar bin Khattab sebagai berikut: “Diriwayatkan bahwa  seseorang bertanya kepada nabi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; para malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para rasul-Nya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Kemudian orang tersebut pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui,” Dia bersabda: Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian. HR Muslim, no. 8.

Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah keyakinan dalam hati, diucapkan secara lisan dan diamalkan dalam hidup sehari-hari. Iman ini juga tidak statis, melainkan dinamis, bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang jika seseorang berbuat maksiat". Para ulama salaf menjadikan amal perbuatan termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu, iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang". Ini adalah definisi menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, madzhab Zhahiriyah dan segenap ulama selainnya. Dengan demikian, iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. 
Rukun Iman ada 6 yaitu:
1. Iman kepada Allah swt
2. Iman kepada para Malaikat Allah.
3. Iman kepada kitab-kitab Allah.
4. Iman kepada para Rasul.
5. Iman kepada hari Kiamat.
6. Iman kepada Takdir.

Iman kepada Allah swt bukan hanya sekedar pengakuan verbal tanpa bukti perbuatan. Beriman kepada Allah bermakna paling tidak mencakup 4 hal: Mengimani adanya Allah, Mengimani rububiah Allah, bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta kecuali Allah; Mengimani uluhiah Allah, bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah; dan Mengimani semua nama dan sifat Allah (al-Asma'ul Husna). 

Jika seseorang mengaku beriman kepada Allah swt, paling tidak dalam kehidupan nyata seseorang itu menerapkan prinsip tauhid yang benar. Dia hanya mengakui Allah sebagai Tuhan yang patut disembah karena Dialah pencipta semua makhluk di alam semesta. Dia hanya menyembah Allah sebagai Tuhan, dan menafikan semua tuhan-tuhan lain dalam beragam wujud seperti ideologi, kekuasaan, kekayaan, partai, kemuliaan suku dan sebagainya. Keimanan ini juga menggerakkan manusia untuk meneladani sifat-sifat Tuhan, seperti mengasihi, menyayangi, merawat dan memelihara, serta melindungi dengan sepenuh hati (passion and compassion).

Keyakinan penuh hanya kepada Allah swt membuat seseorang tegar dan berani menegakkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kebenaran, serta tidak takut melawan semua bentuk thagut yang menggerus keimanan yang suci. Keimanan kepada Allah swt menguatkan komitmen seseorang untuk melawan semua sistem yang tiranik, despotik, dan koruptif, serta berani memberantas semua praktek hedonistik yang membuat seseorang menuhankan kepuasan biologis yang semu dan palsu.

Keyakinan kepada para malaikat Tuhan membuat seseorang memiliki kekuatan spiritual untuk terus melakukan kebaikan dan menolak semua bentuk kejahatan. Mengapa? Karena dia yakin semua yang dilakukannya itu ada yang merekam dan mencatatkannya dengan sangat cermat sehingga tidak ada yang sia-sia. Keimanan kepada para malaikat juga mendorong kita selalu aktif mengontrol diri dan keluarga serta melakukan upaya-upaya pengawasan agar semua orang terhindar dari bahaya dan kejahatan. Sebaliknya, juga aktif  menghimbau sesama untuk berbuat kebaikan tanpa henti selama hayat masih dikandung badan.

Keimanan kepada Kitab-Kitab Allah swt menginspirasi manusia untuk belajar seumur hidup. Kitab-kitab suci tersebut berisi pesan-pesan moral yang sangat dahsyat, mendalami dan menghayati pesan-pesan moral tersebut akan meningkatkan kualitas moral manusia. Bukankah tujuan akhir semua agama adalah memanusiakan manusia? Artinya, membuat manusia menjadi makhluk yang bermoral atau berbudi luhur atau berakhlak mulia. Rasulullah saw sendiri menyebutkan bahwa beliau diutus ke dunia ini hanya untuk menyempurnakan kualitas moral manusia. Karena itu, untuk dapat memahami pesan moral dalam kitab suci, tidak bisa hanya dengan membacanya secara tekstual atau secara harfiyah. Melainkan perlu mengkajinya secara kontekstual, mencermati faktor politik, sosio-kultural dan intelektual dari masyarakat dimana kitab suci itu diturunkan.

Keimanan kepada para Rasul Allah swt mendorong manusia untuk melanjutkan perjuangan mereka. Tugas-tugas kenabian (prophetic tasks) seperti mengajak manusia ke jalan kebenaran dan keadilan tidak berakhir dengan wafatnya para rasul dan nabi tersebut. Tugas-tugas tersebut dibebankan ke pundak kita sebagai penerus para rasul dan nabi. Riwayat hidup para rasul dan nabi hendaknya menginspirasi kita untuk hidup penuh tangung jawab, berjuang demi menjaga kebaikan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Kita harus meneladani mereka yang membaktikan hidupnya untuk kepentingan dan kemashlahatan orang banyak. Para rasul mengajarkan bahwa manusia terbaik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi sesama.

Kita tidak boleh membeda-bedakan para rasul Allah swt. seperti terbaca pada ayat berikut:
قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِيَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ  
Al-Baqarah, 2:136.  Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".

Keimanan kepada kepada hari akhir dengan meyakini adanya hari kebangkitan di padang mahsyar hingga berakhir di surga dan neraka akan membulatkan tekad dan komitmen suci seseorang untuk hidup penuh makna. Dengan menyadari bahwa kehudupan di dunia ini sangat fana dan hanya sementara, seharusnya menggerakkan seseorang untuk menata kehidupan di planet bumi dengan seksama dan penuh rencana strategis untuk berbuat kebajikan dan kemashlahatan bagi sesama manusia dan bahkan juga sesama makhluk demi meraih kemenangan di akhirat. Keyakinan kepada hari akhirat mengingatkan manusia untuk tidak egois, serakah, tidak menimbun harta, tidak melakukan perbuatan yang diskriminatif dan eksploitatif terhadap sesama, bahkan juga terhadap sesama makhluk lainnya di alam semesta.

Terakhir, keimana terhadap qada dan qadar, yaitu takdir yang baik dan buruk. Hendaknya kita meyakini secara tulus bahwa kejadian yang baik maupun yang buruk terjadi atas izin dari Allah swt. Perlu diingat bahwa keyakinan pada takdir baik dan buruk bukan berarti  harus menerima apa adanya nasib kita. Bukan membuat kita malas, pesimis dan apatis. Keyakinan yang benar terhadap takdir justru mendorong seseorang untuk selalu aktif dan dinamis, jauh dari sikap putus asa dan frustrasi. 

Keyakinan yang benar terhadap takdir membuat seseorang senantiasa giat, berusaha semaksimal mungkin meningkatkan kualitas diri, kualitas keluarga, bahkan juga kualitas masyarakat di sekelilingnya. Sebab, dia yakin bahwa Allah swt Mahaadil dan Mahakasih. Tuhan pasti membimbingnya ke jalan yang benar untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Keyakinan yang benar akan takdir Tuhan menguatkan komitmen suci manusia untuk selalu positive thinking, bersikap tawadhu dan tawakkal, jauh dari sikap takabur dan arogan. 

Peserta Kajian Salam ICRP

Akhirnya, keyakinan yang benar akan takdir membimbing seseorang untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh rasa syukur dan rendah hati atas semua kesuksesan, keberhasilan dan nikmat Tuhan. Sebaliknya bersikap sabar dan penuh ketaatan manakala ditimpa bencana, kesulitan, kekurangan dan kegagalan. Hidup di dunia memang tidak abadi dan penuh dinamika. Namun, yakinlah dengan pertolongan Allah swt kita mampu menjalani kehidupan yang singkat dan sementara ini dengan penuh kebahagiaan.  

Demikianlah keyakinan yang benar terhadap Allah swt, para malaikat-Nya, para Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Hari Akhir dan Takdir-Nya akan menjadikan seseorang menjalani hidup dengan penuh makna. Sebab, dia mengerti kemana tujuan hakikat hidupnya, menyadari visi-misi penciptaannya di dunia sebagai khalifah fil ardh. Dia menyadari keberadaannya sebagai makhluk Tuhan termulia yang diserahi amanah untuk memakmurkan bumi, bukan merusaknya. Karena itu, dia menjadi sangat peduli selalu hidup dengan aktivitas yang positif dan konstruktif, penuh kasih sayang terhadap sesama, penuh pengharapan dan optimisme serta kegembiraan. Sebab yakin, kehidupan dunia ini hanya singkat dan sementara menuju kehidupan akhirat yang sarat dengan kebahagiaan abadi.

Islamic Tradition of Interfaith Dialogue


Islamic Tradition of Interfaith Dialogue 
Musdah Mulia

Islamic tradition has a glorious history of interfaith dialogue.  Prophet of Islam, Muhammad (pbuh) has set many examples of dialogue, both verbal and written. The prophet (pbuh) entered into a dialogue both with the followers of revealed religions and idol worshippers.

The prophetic dialogue was also accompanied with the establishment of a tradition of cooperation on common human grounds with followers of other religions. To institutionalize this cooperation, the prophet (pbuh) concluded written agreements with followers of different religions which can serve as models of cooperation and coexistence for the pluralist societies of today.  We witness the first ever instance of the Prophet’s activism for cooperation with others in acts of goodness and to undo excesses and injustice, in Mecca, when he was yet to be bestowed with the prophethood.  He (pbuh) became part of this agreement, called ‘Hilful Fudūl’, and accorded so much importance to it that even after he was granted prophethood.

After migrating to Madina, the Prophet (pbuh) in order to establish peace, stability and a civil society based on human rights, concluded a deal with the Christians, Jews and mushrikīn (idol worshippers) which is recorded in history as mithāq-e-Madina (Madina Pact). The most striking feature of the Pact that has a very meaningful relevance to our own socio-political situation in this era of globalization. He has accepted all the religious entities represented in the Pact as forming one single Ummah (people).

The Madina Pact accepts religious freedom as a core value and right and guarantees equal rights and obligations of all the participants in the Pact in matters of the State.  This also establishes the principle that the religious differences of a society or people do not put any obstacles in the affairs of the state and its defense against any external enemy.

The Pact of Hudaibiyah also forms a great landmark in the Islamic tradition of interfaith dialogue.  This Pact which was concluded with the Muslims, doing it seemingly lying down, paved the way on one side for the suspension of hostilities against Muslims and for opening interaction and negotiations with different religious groups on the other. These negotiations facilitated the processes of mutual understanding and coexistence becoming a reality as well as created conditions for an unobstructed propagation of Islamic teachings.

The fourth most important initiative taken by the Prophet (pbuh) having utmost relevance in the context of the present interfaith dialogue is his Last Sermon which was addressed not only to the Muslims but also for all human beings. It is very interesting to note that The Sermon is containing the basic principles of human rights in Islam in the most lucid language. The Last Sermon, the khutba hujjat al-widā, not only constitutes the first ‘Charter of Human Rights’ but also provides a firm ground for peaceful coexistence and promoting interfaith dialogue.

All these four models of the Prophet’s (pbuh) acts of peacebuilding through interfaith dialogue, Hilf ul-fudūl, Madina Pact, Pact of Hudaibiyyah, the Last Sermon, contain a very clear guidance that can help us in the process of initiating a model of interfaith dialogue in the present day pluralist societies, a dialogue that will have a set destination, clear principles and strategies, gentle and persuasive language, leading to the establishment of a universal human fraternity where human beings will be free from all form of discrimination and violence based on creed, colors, race and religion.