Selasa, 22 November 2016

Mengapresiasi Keragaman Budaya dan Kepercayaan


Saya pernah diundang menghadiri peringatan Milangkala Madrais ke-180, semacam perayaan maulid tokoh pendiri Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan adalah salah satu aliran kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Awalnya dikembangkan oleh Pangeran Madrais lahir 27 September 1827 (bertepatan dengan 9 Mulud 1755 Saka). Beliau wafat dalam usia 112 tahun, usia yang sangat panjang untuk ukuran kita sekarang.
Dimasanya, Pangeran Madrais memberontak terhadap kekejaman kolonial Belanda dan menolak tunduk pada penjajah. Akibatnya, beliau dituduh sebagai murtad, ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dibuang ke Digul, Papua. Keberanian menegakkan keadilan ini harus diteladani oleh kita semua, meski pahit dan penuh pengorbanan. Rupanya tuduhan kafir dan murtad yang sering dilancarkan oleh kelompok FPI mengikuti cara-cara kolonial dahulu.
Yang membuat kaum kolonial murka adalah karena Pangeran Madrais memimpin gerakan kelompok tani untuk menyerang Belanda dan merebut kembali tanah-tanah pertanian yang dirampas Belanda. Madrais meyakinkan para petani bahwa tanah tersebut adalah warisan dari leluhur yang tidak boleh dimiliki Belanda. Perjuangan berdarah ini terekam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah kolonial pergi, beliau mengubah orientasi perjuangan dengan mengembangkan aspek budaya.
Perjuangan beliau selanjutnya diteruskan oleh sang cucu, yaitu Pangeran Djatikusuma, pemimpin komunitas Sunda Wiwitan sejak tahun 1990. Beliau dikenal sebagai tokoh Sunda Wiwitan yang sangat menekankan pentingnya kerukunan dan perdamaian, serta menjunjung tinggi nilai-nilai bhinneka tunggal Ika. Beliau juga dikenal tokoh lintas agama yang tergabung dalam ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), sebuah organisasi lintas agama yang memperjuangkan perdamaian bagi semua manusia.



Saya mengenal komunitas ini sejak 1998, ICRP organisasi kami aktif memperjuangkan hak-hak sipil komunitas Sunda Wiwitan. Mengadvokasi agar mereka tidak diperlakukan diskriminatif, mendapatkan Akta Nikah ketika menikah, Akta Lahir bagi anak-anak mereka dan lainnya. Kami mengadvokasi pemerintah agar mereka diperlakukan secara adil,  mendapatkan perlakuan setara dengan warga negara lainnya, tanpa diskriminasi sedikit pun. Mereka juga warga negara penuh yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya.
Selain merayakan maulid Pangeran Madrais, Pangeran Djatikusuma juga menjadikan momen ini untuk menyerahkan tanggung jawab pembinaan komunitas kepada putera-puterinya yang berjumlah 10 orang sambil memberikan pesan2 moral kepada mereka yang kelak menggantikan tugasnya memimpin komunitas Sunda Wiwitan. 



            Pesan-pesan itu, antara lain: mereka harus selalu bersatu, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, menjaga tradisi dan memeliharanya dengan baik, menjaga keserasian dan kelestarian lingkungan, jangan berselisih, jangan berebut harta, jangan saling menyakiti, dan jangan tergoda hal-hal duniawi. Para pewaris itu kelak diharapkan dapat membimbing masyarakatnya dan karenanya mereka harus bisa menjadi panutan masyarakat.
Pada malam itu anak-anak Pangeran Djatikusuma yang berjumlah 10 orang, hanya satu laki-laki, selebihnya adalah perempuan menyatakan sumpah setia untuk melanjutkan kepemimpinan beliau dan bertekad menjalankan semua titahnya. Tampaknya, malam ini Pangeran Djatikusuma telah memberikan sinyal pergantian tugas kepada pewarisnya, sepuluh anaknya untuk mengemban amanah yang tidak ringan itu.

Menarik bahwa Pangeran Djatikusuma tidak membuat pembedaan sedikit pun antara anak laki dan anak perempuan (tidak ada diskriminasi gender), juga antara anak sulung dan anak bungsu. Ke sepuluh anaknya mendapatkan tugas dan amanah yang sama dan setara. Masing2 bertanggung jawab sesuai wilayah dan bidang kerja yang tlh ditetapkan. Acara pengambilan sumpah dilakukan, setiap anak menghadap, sungkem pada ayahanda dan ibunda dengan penuh khidmat, Sungguh indah penerapan nilai-nilai demokrasi dalam tradisi budaya ini!!
Selama ini sering muncul anggapan yang merendahkan kelompok kepercayaan. Tidak sedikit memandang mereka sebagai kelompok kafir yang tidak mengenal agama. Bahkan, ada yang menyebut mereka sebagai masyarakat primitif dan terkebelakang. Ke depan, sudah waktunya pemerintah dan seluruh komponen masyarakat bersama-sama menghilangkan stigma terhadap mereka. Pemerintah harus lebih aktif melindungi mereka dan memperlakukan mereka setara dengan kelompok masyarakat lainnya.
Menurut saya, mereka para penganut kepercayaan justru lebih bijak menjaga dan merawat kelestarian lingkungan. Sebab, tradisi mereka yang menghormati alam dan mencintai kedamaian dan keasrian membuat mereka lebih peka dan lebih bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup manusia dan semua makhluk di alam ini. Mereka lebih tekun menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dan mempertahankan norma-norma kehidupan yang menghargai kedamaian dan keberagaman. Agama dan kepercayaan mereka pun sudah tumbuh sejak lama di Nusantara, bahkan jauh sebelum agama-agama import, seperti Islam, Kristen, Budha dan Hindu datang ke Nusantara.



           Masa Reformasi telah 17 tahun berlalu, namun kebijakan pemerintah terhadap kelompok penghayat kepercayaan belum juga berubah, masih diliputi unsur-unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan, sampai sekarang pemerintah belum memandang penting keberadaan kelompok ini, khususnya dalam konteks merawat kelestarian tradisi Sunda yang merupakan salah satu akar budaya Indonesia.
Selamat untuk Pangeran Djatikusuma dan seluruh komunitas Sunda Wiwitan. Rahayu dan Sampu Rasun!







Tidak ada komentar:

Posting Komentar