Masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk juga
masyarakat Islam sepakat menghapus praktik sunat perempuan karena amat
membahayakan kesehatan tubuh dan juga jiwa perempuan. Bahkan, dalam
banyak kasus ditemukan sunat perempuan merupakan bentuk penghancuran
kemanusiaan perempuan.
Sebagai
contoh, di negeri Mesir telah ditetapkan undang-undang yang melarang keras
pelaksanaan sunat perempuan. Undang-undang tersebut merujuk pada Fatwa Ulama
Mesir tahun 2007 yang melarang sunat perempuan. Demikian pula di tingkat
internasional, PBB melalui Pasal 12 CEDAW (Konvensi PBB tahun 1979 tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan) secara
tegas melarang praktek sunat perempuan. Sunat perempuan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia,
terutama, hak anak dan hak seksualitas, serta hak dan kesehatan reproduksi
perempuan sebagaimana dijamin dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang telah
diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1990.
Di Indonesia ada kecenderungan menguatnya praktik sunat
perempuan seiring dengan maraknya gerakan Islamisme di Indonesia pasca Orde Baru. Pada masa
Orde Baru tidak terdengar gerakan sunat perempuan. Namun, sekarang di beberapa
tempat muncul gerakan sunat masal perempuan. Penulis berkesempatan melihat
kegiatan sunat masal perempuan yang mengerikan di sejumlah wilayah: Jawa Barat
dan Madura. Pada 2007, penulis menyaksikan secara langsung sunat masal bagi
perempuan di Pesantren As-Salam, Jawa Barat. Terkumpul sebanyak lebih 120 orang
perempuan, mulai dari usia bayi sampai 60 tahun. Mereka disunat dengan
menggunakan gunting dan bagian klitoris yang dipotong cukup besar sehingga
menimbulkan pendarahan yang parah. Sampai sekarang, penulis merasa
trauma dan tidak dapat melupakan bunyi dentingan gunting para bidan yang
melakukan sunat perempuan di tempat itu.
Sejumlah hasil observasi terhadap sunat perempuan di
Indonesia menunjukkan, telah terjadi pemotongan genitalia sekitar 75% kasus,
dan dari kasus tersebut, banyak yang mengeluhkan timbulnya rasa sakit. Lebih
mengerikan lagi karena sunat perempuan dilakukan tanpa persetujuan, baik dari
anak perempuan itu sendiri maupun dari orangtua mereka.
Melacak sejarah sunat perempuan
Istilah sunat dalam bahasa
Arab adalah khitan. Kata itu secara etimologis berarti memotong.
Berbagai buku fiqh klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sunat
adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi hasyafah
atau ujung kepala penis. Adapun sunat perempuan dalam bahasa Arab disebut khifadh
berasal dari kata khafdh artinya memotong ujung klitoris pada
vagina.
Sejumlah studi menyimpulkan, sunat perempuan dilakukan
pertama kali di kawasan Mesir sebagai bagian dari upacara adat yang
diperuntukkan khusus bagi perempuan yang telah beranjak dewasa. Tradisi sunat
perempuan di Mesir merupakan akulturasi budaya antara penduduk Mesir dan
orang-orang Romawi yang saat itu tinggal di Mesir. Data-data historis mengungkapkan,
sunat perempuan telah diperkenalkan dalam kitab suci Taurat yang dibawa Nabi
Musa as untuk diimani dan ditaati orang-orang Yahudi dari bangsa Israel.
Akan tetapi, jauh sebelumnya tradisi sunat telah
dilakukan Nabi Ibrahim as dan diyakini sebagai petunjuk yang datang dari Tuhan.
Sunat dalam kitab Taurat dijadikan sebagai tanda yang membedakan bangsa Israel
dengan bangsa-bangsa lain. Tanda ini terkait dengan janji kedatangan Mesias
(Nabi Isa as.) yang akan turun dari garis keturunan bangsa Israel, khususnya
orang-orang Yahudi. Selain itu, sunat pada zaman tersebut hanya dikhususkan
untuk laki-laki, sedangkan perempuan tidak diperkenankan.
Sampai kini, sunat perempuan dalam realitas sosiologis
masih banyak dilakukan di negara-negara Islam atau wilayah yang berpenduduk
mayoritas Muslim. Paling tidak, tradisi ini dilakukan pada lebih dari duapuluh
negara Islam, khususnya di lingkungan masyarakat Muslim bermazhab Syafi’i di
Afrika misalnya, negara Mesir, Kamerun, Kenya, Tanzania, Ghana, Mauritania,
Sierra Leone, Chad, Botswana, Mali, Sudan, Somalia, Ethiopia, dan Nigeria.
Sedangkan di Asia, praktik ini umumnya dilakukan di lingkungan masyarakat
Muslim, seperti Pakistan, Filipina selatan, Malaysia, Brunei dan Indonesia.
Menarik dicatat, tradisi sunat juga dilakukan umat Islam
yang tinggal di Amerika Latin, seperti Brazil, Meksiko bagian Timur, dan Peru.
Masyarakat Muslim yang bermukim di beberapa negara Barat, seperti Belanda,
Swedia, Inggris, Perancis, Amerika, Kanada, Australia, juga masih melakukan sunat
perempuan, meski undang-undang setempat telah melarangnya.
Selain itu, sunat perempuan ini juga dipraktikkan di Uni
Emirat Arab, Yaman Selatan, Bahrain, dan Oman. Perlu dicatat, praktik sunat
perempuan bukan hanya ditemukan di kalangan Muslim, tetapi juga ditemukan di
lingkungan non-Muslim, seperti penganut Kristen Koptik di Mesir. Penganut
Yahudi di Palestina.
Akan tetapi, sunat perempuan justru tidak umum dilakukan
di wilayah asal turunnya Islam, yaitu Saudi Arabia. Demikian pula wilayah Islam
lainnya, seperti Syiria, Libanon, Iran, Irak, Yordania, Maroko, Aljazair, dan
Tunisia. Bahkan, di Turki yang bermazhab Hanafi, tidak mengenal sunat
perempuan. Begitu juga di Afghanistan dan negara-negara Islam di
Afrika lainnya. Pengalaman penulis ketika berkunjung ke Syria tahun 2000
menemukan bahwa kelompok perempuan terpelajar di sana tidak mengetahui sunat perempuan, dan beberapa perempuan
mengaku tidak disunat.
Tidak bermanfaat
bagi perempuan
Tidak
ada manfaat sunat bagi perempuan, sangat berbeda dengan sunat bagi laki-laki.
Sunat bagi laki-laki terbukti membawa kebaikan dan manfaat terkait kesehatan
dan kebersihan tubuhnya. Hal itu karena kulit yang terletak pada ujung penis
yang biasa jadi sarang penyakit dibuang atau dipotong. Dengan demikian, tujuan
sunat bagi laki-laki adalah menjadikan penis atau organ seksualnya lebih sehat
dan bersih, bahkan menjadi suci dari segala najis yang melekat. Selain itu,
menjadikan laki-laki dapat lebih menikmati hubungan seksual ketika menikah
nanti.
Akan tetapi, sangat berbeda dengan laki-laki, sunat pada perempuan justru dapat menimbulkan masalah kesehatan pada perempuan. Sebab, segala jenis operasi pada organ genital perempuan akan menyebabkan timbulnya gangguan fisik dan juga gangguan psikis yang serius pada perempuan. Gangguan fisik dan psikis ini bisa terjadi dalam waktu jangka pendek, atau dapat juga muncul dalam jangka panjang. Ini tergantung pada tingkat ketahanan diri perempuan, keadaan lingkungan psikososial, dan faktor-faktor lainnya.
Secara psikologis, sunat perempuan dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, untuk mengurangi gairah seks perempuan. Tapi, justru inilah yang kemudian berdampak buruk bagi perempuan.
Dalam jangka panjang perempuan akan cenderung tidak bisa menikmati hubungan seksual dalam pernikahannya. Bahkan, dari sisi psikologi seksual, sunat perempuan ini dapat meninggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri dan tidak sempurna.
Secara fisik, dampak langsung sunat pada perempuan juga akan menimbulkan rasa sakit, pendarahan, shock, tertahannya urine, serta luka pada jaringan sekitar vagina. Pendarahan dan infeksi ini pada kasus tertentu akan berakibat fatal pula, bahkan membawa resiko berupa kematian. Sementara dampak jangka panjang selain rasa sakit dan disfungsi seksual adalah timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, serta kesulitan saat melahirkan.
Akan tetapi, sangat berbeda dengan laki-laki, sunat pada perempuan justru dapat menimbulkan masalah kesehatan pada perempuan. Sebab, segala jenis operasi pada organ genital perempuan akan menyebabkan timbulnya gangguan fisik dan juga gangguan psikis yang serius pada perempuan. Gangguan fisik dan psikis ini bisa terjadi dalam waktu jangka pendek, atau dapat juga muncul dalam jangka panjang. Ini tergantung pada tingkat ketahanan diri perempuan, keadaan lingkungan psikososial, dan faktor-faktor lainnya.
Secara psikologis, sunat perempuan dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, untuk mengurangi gairah seks perempuan. Tapi, justru inilah yang kemudian berdampak buruk bagi perempuan.
Dalam jangka panjang perempuan akan cenderung tidak bisa menikmati hubungan seksual dalam pernikahannya. Bahkan, dari sisi psikologi seksual, sunat perempuan ini dapat meninggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri dan tidak sempurna.
Secara fisik, dampak langsung sunat pada perempuan juga akan menimbulkan rasa sakit, pendarahan, shock, tertahannya urine, serta luka pada jaringan sekitar vagina. Pendarahan dan infeksi ini pada kasus tertentu akan berakibat fatal pula, bahkan membawa resiko berupa kematian. Sementara dampak jangka panjang selain rasa sakit dan disfungsi seksual adalah timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, serta kesulitan saat melahirkan.
Sunat
perempuan harus diakhiri
Sunat
perempuan harus dihentikan pelaksanaannya karena tidak memberikan manfaat medis
sedikit pun bagi perempuan. Bahkan, sunat mengakibatkan pengrusakan tubuh
perempuan dengan cara memotong, melukai atau menghilangkan bagian dari alat
vital perempuan yang penting terkait fungsi yang paling utama dalam kehidupan
manusia, yakni fungsi reproduksi.
Praktik
sunat perempuan dalam fakta di lapangan lebih banyak menimbulkan kemudaratan
karena dilakukan secara sadis dan tidak manusiawi. Kaidah hukum Islam secara
tegas mengatakan, kalau suatu perbuatan lebih banyak mendatangkan mudarat
(keburukan, bahaya dan bencana) dari pada kemaslahatan (kebaikan, faedah dan
manfaat), maka perbuatan itu dinilai makruh dan harus ditinggalkan. Landasan
hukumnya sangat jelas, yakni kaidah hukum Islam berbunyi: la dharara wa la
dhirar. Maksudnya, segala bentuk tindakan yang mengakibatkan kemudharatan
dan kerusakan bagi tubuh manusia harus dihapuskan.
Namun,
alasan yang sangat pokok adalah tidak ditemukan satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang
memerintahkan pelaksanaan sunat perempuan. Lalu, mengapa muncul pandangan bahwa
Islam menganjurkan sunat perempuan? Pandangan pro-sunat perempuan bukan berasal dari Al-Qur’an. Pandangan itu
muncul dari kitab fiqih, dan itu pun hanya didasarkan pada sejumlah hadis lemah
(dhaif), antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal:
حَدَّثَنَا
سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ يَعْنِي ابْنَ الْعَوَّامِ عَنِ الْحَجَّاجِ عَنْ
أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ. رواه
أحمد.
Artinya: Sunat dianjurkan untuk laki-laki (sunnah),
dan hanya merupakan kebolehan (makrumah) bagi
perempuan.
Jelas bahwa hukum sunat bagi laki-laki bukan wajib
sebagaimana diyakini banyak orang Islam, melainkan sunnah. Sunnah
artinya suatu perbuatan yang jika dilakukan akan mendatangkan pahala bagi
pelakunya, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa. Selanjutnya, dalam hadis
tersebut dikatakan, sunat perempuan bukanlah anjuran seperti halnya sunat
laki-laki, melainkan sekedar kebolehan. Artinya, tidak ada konsekuensi hukum
sama sekali. Jadi, sebaiknya ditinggalkan saja!!
Akhirnya, harus diyakini bahwa keislaman dan keimanan seseorang
tidaklah ditentukan oleh sunat, melainkan seberapa jauh dia beriman kepada
Allah swt dan melakukan amal-amal shaleh yang memberi manfaat kepada sesama
manusia dan makhluk lainnya. Agama Islam diturunkan untuk membawa
kemaslahatan bagi semua manusia: perempuan dan laki-laki, bukan kemudharatan
dan kerusakan. Bahkan, Islam datang membawa rahmat bukan hanya bagi manusia,
melainkan juga bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Wallahu
a’lam bi ash-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar