Sebagai seorang Muslimah saya sangat
yakin bahwa Al-Qur’an adalah tuntunan hidup manusia yang paling benar. Tidak
ada keraguan terhadapnya! Masalahnya, sebagian besar umat Islam seringkali menawarkan
interpretasi keislaman yang keliru dan tidak akomodatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan, khususnya terkait isu perempuan.
Di antara interpretasi tersebut
adalah pemahaman bahwa Islam membolehkan memukul isteri. Lalu argumentasi yang
diajukan adalah surah an-Nisa ayat 34. Secara sepintas terlihat bahwa dalam
ayat itu memang ada kalimat wadribuuhunna yang umumnya diartikan secara
tekstual dengan “memukul secara fisik.” Tidak heran kalau ayat ini dipahami
sebagai pembenaran terhadap bolehnya pemukulan dan penganiayaan terhadap isteri.
Implikasi dari pemahaman ini adalah kalau terhadap isteri, teman paling
dekat dalam hidup seseorang boleh
dipukul, apatah lagi terhadap perempuan lain. Dengan pemahaman keliru tersebut
kekerasan terhadap perempuan absah secara teologis. Saya berharap interpretasi
keliru ini segera diakhiri!
Mengapa? tidak kurang banyaknya
penafsir yang menolak interpretasi demikian. Misalnya Muhammad Abduh, ahli
tafsir dari Kairo, Mesir menjelaskan bahwa kalimat itu bukan berarti memukul dalam
makna harfiyah yang berkonotasi penganiayaan, melainkan dalam makna metaforis,
yaitu “mendidik” atau “memberi pelajaran.”
Perlu digarisbawahi bahwa meskipun
sejumlah ulama mengartikan kalimat wadribuuhunna dengan memukul, namun
mereka tetap menegaskan bahwa tindakan memukul itu hanya dibolehkan dalam
kondisi darurat dan amat terpaksa. Jadi, sifatnya hanya membolehkan pukulan karena
kondisi darurat, sama sekali tidak berarti menganjurkan, apalagi mewajibkan.
Lebih lanjut, para ulama juga
menambahkan bahwa kalaupun seorang suami terpaksa memukul isterinya, ada
beberapa ketentuan yang digariskan dan harus diperhatikan oleh suami. Ketentuan
dimaksud adalah 1) terlarang memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat
dan sejenisnya, 2) dilarang memukul pada bagian wajah, 3) dilarang memukul
hanya pada bagian tertentu, dan 4) dilarang memukul yang dapat menimbulkan
cedera, apalagi sampai cacat.
Dengan memperhatikan
larangan-larangan tersebut, muncul pertanyaan kritis. Masih bisakah suami memukul
sambil menghindari keempat larangan tadi? Jadi, sebetulnya para ulama lebih menghendaki tidak
dilakukannya pemukulan.
Yang patut digarisbawahi, bahwa
semua ulama, baik yang memahami ayat tersebut secara tekstual maupun secara
metaforis, sepakat bahwa sikap suami yang tidak memukul dan terlebih lagi mau memberi
maaf adalah tindakan terpuji.
Pandangan ini sejalan dengan makna QS
Al-Baqarah [2]:237, yakni: “Memberi maaf adalah tindakan beradab, hanya laki-laki
yang tidak beradab berani memukul isterinya”, demikian penegasan Abduh.
Abduh juga menambahkan, sesungguhnya
para suami dituntut untuk senantiasa berlaku lemah lembut, kasih sayang, dan
sopan santun terhadap isteri dalam segala situasi (Abduh, 1925: 75).
Pandangan Abduh sejalan dengan bunyi
hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Kalsum binti As-Siddieq: “suami dilarang memukul isteri” (HR. Al-Baihaqi).
Secara lebih tegas lagi, Nabi Saw. menjelaskan dalam salah satu sabdanya: “yang
terbaik di antara kamu adalah mereka yang paling baik sikapnya terhadap
keluarga” (H.R. Ibnu Majah). Jika seorang suami atau isteri berbuat
kesalahan, memberi maaf kepadanya jauh lebih baik daripada memukulnya.
Bukankah terhadap orang lain sekali
pun kita dihimbau untuk memaafkan kesalahan mereka? Sampai-sampai dalam kasus qisas
pun memberi maaf adalah tindakan yang paling mulia (QS Al-Baqarah [2]:178).
Apatah lagi terhadap isteri yang
telah bersedia hidup mendapingi suami. Dalam banyak ayat, misalnya QS
Al-Baqarah [2]:229, Al-Qur’an menghimbau manusia untuk hidup saling mengasihi
di antara sesama. Bahkan, bukan hanya terhadap sesama manusia mereka dituntut
untuk berbelas kasih, melainkan juga terhadap binatang.
Selain dari Al-Qur’an dan hadis,
dijumpai pula pernyataan sahabat dan tabiin yang menjelaskan keutamaan perilaku
terpuji terhadap isteri. Dikisahkan bahwa seseorang bertanya kepada Hasan
Bashri (ulama sufi dari kelompok tabi’in) untuk meminta pandangannya. Katanya:
"ada dua orang yang melamar putriku siapa yang aku terima? Hasan Bashri
menjawab: "Terimalah yang paling baik agamanya karena jika ia senang
kepada isterinya, pasti ia akan menghormatinya, dan kalaupun membencinya, ia
pasti tidak akan menganiayanya" (Abdul Aziz Abdus Sattar: 1972: 75).
Jawaban sufi tersebut memberi pedoman bagi para
orang tua agar dalam memilih jodoh buat puteri-puteri mereka hendaknya memilih laki-laki
yang beragama. Sebab, suami yang betul-betul beragama tidak akan mungkin memukul
dan menyengsarakan isteri.
Artinya, kalau ada suami mengaku
beragama, tetapi memukul dan menganiaya isteri berarti ada dua kemungkinan;
pertama keberagamaannya diragukan, dan kedua, dia keliru memahami ajaran
agamanya.
Kisah lain yang lebih transparan
menggambarkan bagaimana seharusnya sikap suami terhadap isteri adalah berkenaan
dengan pernyataan Umar ibn Khattab. Suatu hari datang seorang suami mengeluh
kepadanya sambil berkata: "Wahai Umar, cintaku kepada isteriku telah
memudar dan karenanya aku berniat untuk menceraikannya.”
Tanpa pikir panjang, Umar langsung menjawab:
"sungguh jelek niatmu. Apakah menurutmu rumah tangga hanya membutuhkan
cinta? Di mana rasa takwa dan janjimu
kepada Allah? Di mana pula perasaan malumu kepada-Nya? Bukankah kalian sebagai
suami-isteri telah bergaul secara intim, dan ketahuilah bahwa kalian telah
memateri perjanjian yang kuat?"
Pernyataan di atas diucapkan oleh
seorang khalifah yang dikenal sangat tegas dan keras, namun terhadap derita perempuan
ia tetap memiliki empati yang sangat dalam. Bagi Umar, ikatan suami-isteri
dalam rumah tangga bukan semata-mata dilandasi cinta belaka, melainkan jauh
lebih bermakna daripada itu, yakni komitmen yang sangat kokoh (mitsaqan
galiza), seperti disebutkan dalam Al-Qur’an.
Komitmen itu harus diaplikasikan
dalam wujud rasa takwa dan malu kepada Allah, Sang Pencipta. Suami yang
memiliki rasa takwa dan malu kepada Allah tidak akan melakukan perbuatan kasar
dan tercela terhadap isterinya. Demikian sebaliknya. Bahkan, jika suami
mendapati isterinya mempunyai kekurangan-kekurangan, Al-Qur’an masih meminta suami
tetap bersabar. Sebab, boleh jadi, di balik kekurangan itu tersimpan hikmah
yang besar (QS Al-Nisa’ [4]:19).
Menarik untuk dikemukakan di sini
pendapat Ibnu Hazm, seorang ahli hukum Islam abad pertengahan, yang mengatakan
bahwa sesungguhnya bukanlah kewajiban isteri melayani suami dalam bentuk
menyediakan makanan, minuman, mengatur dan menata rumah tangga, apalagi
membantu mencari nafkah. Justru suamilah berkewajiban menyediakan kebutuhan sandang,
pangan, dan papan bagi isteri.
Bahkan, isteri tidaklah berkewajiban
menyusui dan merawat anak-anaknya (QS Al-Thalaq [65]:6, dan Al-Baqarah
[2]:233), sehingga terbuka peluang baginya menuntut pada suami untuk dicarikan
ibu susuan yang bertugas menyusui dan merawat anak-anak tersebut. Hanya saja,
sebagian besar kaum ibu tidak tega berbuat seperti itu manakala ia sendiri
tidak berhalangan untuk melakukannya.
Karena itu, berlaku kasar terhadap isteri,
seperti memukul atau menampar dan sebagainya jelas sangat bertentangan dengan
ajaran Islam.
Islam berulangkali menegaskan betapa
tingginya derajat seorang perempuan, terutama mereka yang berstatus sebagai ibu
sehingga seorang anak diwajibkan untuk mengabdi dan berlaku sopan santun
kepadanya (QS Al-Ahqaf [46]:15-17). Demikian pula dalam hadis dinyatakan bahwa
ibu adalah manusia yang paling berhak menerima kebaktian dari seorang anak.
Bahkan, ibu lebih berhak tiga kali daripada ayah (HR. Bukhari dan Muslim dari
Abu Hurairah).
Kesimpulannya, kekerasan terhadap
perempuan, apa pun bentuknya dan siapapun pelakunya, merupakan perbuatan biadab yang bertentangan
dengan jiwa Islam. Islam, sebagaimana akar katanya, salima berarti damai dan sejahtera yang pada intinya
mengajarkan perilaku arif bijaksana, lemah lembut, sopan santun, penuh kasih saying,
bukan hanya kepada sesama manusia, melainkan juga kepada sesama makhluk.
Al-Qur’an adalah suatu teks yang
harus dibaca secara kontekstual, yaitu dengan memahami konteks budaya dan
masyarakat di mana Al-Qur’an diturunkan. Membaca Al-Qur’an secara kontekstual
akan menunjukkan kepada kita bahwa Al-Qur’an membawa pesan-pesan moral yang
bersifat universal seperti keadilan, kesetaraan, kemashlahatan, kejujuran,
kebersihan dan kedamaian, serta penghormatan
terhadap kemanusiaan, cinta kasih, dan kebebasan. Pesan-pesan hakiki dan luhur
inilah sesungguhnya benang merah yang menjadi penghubung eksistensi umat
manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu kurun waktu ke
kurun berikutnya. Inilah ajaran yang disampaikan oleh Adam a.s., diteruskan
oleh para Rasul dan Nabi selanjutnya sampai kepada Muhammad Saw., dengan
perwujudan kontekstual yang berbeda-beda. Benang merah inilah yang sesungguhnya
harus dipahami ketika membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat
yang berbicara tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam semua bidang
kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar