Jumat, 03 April 2020

Muslimah Reformis


Muslimah Reformis
(disadur dari Ensiklopedia Muslimah Reformis)



Muslimah reformis adalah Muslimah yang menghayati dan mengamalkan secara kaafah esensi tauhid, inti ajaran Islam. Tauhid membimbing manusia menjadi penuh empati kepada sesama dan semesta alam.

Penghayatan dan pengamalan tauhid yang holistik menjadikan seseorang teguh menampilkan akhlak karimah, berwawasan luas dan mandiri, selalu aktif dan dinamis, berpikir kritis dan rasional, bersikap toleran dan penuh empati, baik terhadap sesama, maupun makhluk lain di alam semesta.

Muslimah Reformis bukanlah perempuan yang terpaku pada simbol-simbol keislaman seperti jilbab, cadar, produk berlabel Syariah yang kini menjadi komoditas kaum kapitalis. Muslimah reformis lebih fokus pada upaya pengamalan inti sari ajaran Islam berupa nilai-nilai tauhid.

Muslimah Reformis bukanlah perempuan yang hanya berkutat pada urusan keagamaan yang bersipat legal-formal. Bagi Muslimah Reformis, melaksanakan ibadah semata mencari ridha ilahy dalam wujud aksi-aksi kemanusiaan.

Muslimah reformis aktif berjihad menegakkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang merupakan esensi Islam sekaligus pilar utama demokrasi demi terwujudnya masyarakat yang damai dan berkeadaban (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur).

Ensiklopedia Muslimah Reformis mengajak perempuan berani berijtihad, menjadi pembaru keagamaan untuk suatu tujuan mulia, yaitu mewujudkan Islam rahmatan lil alamin. Islam yang ramah terhadap perempuan, ramah terhadap semua makhluk, serta penuh empati dan peduli pada persoalan kemanusiaan.

Ensiklopedia Muslimah Reformis menyadarkan masyarakat tentang pentingnya harkat dan martabat manusia. Menyadarkan bahayanya pola keagamaan konservatif, intoleran dan radikal. Sebab hal itu kerap menyandera harkat dan martabat kemanusiaan yang berakibat pada kehancuran peradaban manusia.







Menjadi Muslimah Reformis


Menjadi Muslimah Reformis:
Menjadi Indonesia yang Otentik

Dr. Septemmy Lakawa
(Ketua STFT Jakarta)


Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis ditulis dan digagas oleh Ibu Siti Musdah Mulia, ini adalah sebuah karya muslimah Indonesia yang berisikan sebuah diskursus muslim modernis di Indonesia.
Buku ini dituliskan untuk melawan proses hegemonisasi dari komunitas kolektif yang bernama Indonesia, yang biasanya melekat dengan agama. Lalu Ibu Musdah Mulia mengedepankan sebuah penegakkan yang didasarkan pada rasionalistas, dan ini memberikan sumbangan terbesar bagai proses wacana tentang agama di Indonesia.

Tahukah kita sebuah universitas tertua di dunia itu lahir di Timur Tengah dari sebuah masjid dan dipimpin oleh seorang perempuan. Lalu refleksi saya adalah betapa mirisnya apabila sebuah tradisi pendidikan di kalangan Islam itu, saat ini, sepertinya hilang di dalam wacana publik di Indonesia. Hal ini seakan-akan pendidikan menjadi antithesis dari Islam, dan implikasinya seakan-akan Indonesia adalah antithesis dari Islam.

Ini saya kotbahkan dalam gereja dan komunitas Kristen. Kenapa? Karena ignorance (pengabaian akan ilmu pengetahuan), adalah sebuah dosa terbesar yang akan menjerumuskan sebuah bangsa. Ketika komunitas muslim melekatkan percakapakan tentang Islam pada nilai-nilai kebangsaan di dalam gereja, diskusi-diskusi itu ketinggalan jaman, tetapi ketertinggalan itu tidak lalu menyeberang pada upaya menjelekkan pihak lain.  Ini adalah sebuah kesempatan untuk kembali mengafirmasi betapa pentingnya nilai-nilai pluralitas itu dikembangkan dalam komunitas agama.

Buku ini, meyakinkan pembaca bahwa menjadi muslimah itu juga berarti menjadi Indonesia yang otentik, ini adalah sumbangan Muslimah Reformis, ketika identitas Indonesia kolektif diafirmasi, dan yang kolektitaf itu diperlihatkan sebagai multidimensi, ketika setiap orang diberi hak untuk menafsirkan dan sejujurnya keberadaan buku Ensiklopedia ini membantu kita bahwa reinterpretasi itu penting, dan reinterpretasi itu mesti berakar pada aksi untuk perubahan.

Demokrasi dan Islam

Bicara Pancasila, demokrasi dan Islam, Ibu Musdah Mulia melalui buku ini dengan sabar menjelaskan tentang betapa beragamnya dalam Islam, dan memperlihatkan tentang apakah demokrasi dan Islam itu competible, sejalan atau tidak.

Dalam buku ini Ibu Musdah Mulia mengusulkan: “… umat Islam tidak perlu meniru sepenuhnya sistem demokrasi Barat atau Eropa, melainkan perlu mengembangkan alternatif lain dengan lebih mengedepankan prinsip-prinsip demokratisnya. Hal penting dari sistem demokrasi adalah penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemausiaan dan pengakuan akan akan kesetaraan  dan kesederajatan semua manusia tanpa kecuali” (Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis, hal. 212).

Ini adalah tulisan seorang yang beriman sekaligus perempuan nasionalis, dan tidak ada ambigu.  Ini adalah testimoni publik, sekaligus sebagai sebuah dirkursus resistensi yang mencoba menunjukkan penolakan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah antithesis  dari Islam. Ini adalah sebuah misi besar dari Ibu Musdah Mulia yang harus terus dilanjutkan.

Siapakah Muslimah dan Perempuan Reformis?
Kalau kita berbicara tentang perempuan reformis sebagai perempuan perajut perdamaian di Indonesia, pertanyaannya adalah mereka itu siapa? Bila dibaca seluruh buku Ensiklopedia Muslimah Reformis menawarkan siapapun bisa menjadi Muslimah Reformis, namun karena seringkali model beragama di Indonesia mengidolakan tokoh. Maka sangat mungkin, diskusi berikutnya adalah cerita tentang tokoh-tokoh lokal Indonesia, bahwa seperti ini muslimah reformis, perempuan Indonesia reformis, sehingga mewujudlah diskursus yang tekstual ini pada laku hidup para perempuan tersebut.

Bila kita membaca buku Muslimah Reformis, sebagai rujukan, sebuah panduan untuk kembali kepada narasi-narasi lokal, bahwa muslimah reformis itu dan perempuan reformis itu sungguh ada. Kita bisa menemukan di berbagai tempat  dan Ibu Musdah Mulia adalah salah satu contohnya.
Sebuah cerita dari Surabaya, yakni Pdt. Claudia melayani gereja yang menjadi sasaran pemboman, dan gereja membuat kegiatan dalam rangka upaya pemulihan korban. Komunitas ini awalnya terlihat hidup berjemaat yang tertutup, justru ketika menjadi korban kekerasan, melakukan upaya untuk mencari saudara-saudara muslim itu di Surabaya dan sekitarnya.

Ini adalah sebuah model berkomunitas, ketika tidak mendiamkan diri untuk percaya bahwa sebuah agama adalah personifikasi dari kekerasan yang luar biasa keji. Apa yang dilakukan adalah cara sebuah gereja untuk mengatakan bahwa  kita harus mencari mencari saudara-saudara muslim yang dipersonifikasikan sebagai teroris.

Dalam sejarah  konflik di Ambon, yang menjadi pelaku perdamaian, adalah perempuan muslim kristen. Salah satu pelopornya adalah Ibu Pdt. Ririmase, yang menjadikan pasar, tempat publik para ibu berjumpa, mesti menjadi tempat yang secara sengaja menjadi ruang perjumpaan dan ruang damai. Juga ada Pdt. Jacky Manuputti yang menggerakkan kaum muda muslim dan Kristen di Ambon dengan prinsip profokator damai.

Ada sebuah gagasan menarik, tentang “Desa Damai” yang digagas oleh Yenny Wahid dari Wahid Institut. Kemudian kami mengajukan usulan mahasiswa dari STFT Jakarta agar bisa berpraktek di kampung yang dibentuk menjadi model bibit berkembangnya sebuah kehidupan akar rumput yang berbasis pada nilai-nilai kultur dan agama yang berorientasi pada perdamaian, usul ini disambut positif.

Lembaga pendidikan harus berkembang ditempat-tempat terjadinya perubahan, Ini adalah keyakinan bahwa lembaga pendidikan itu adalah sebuah platform yang mesti diefektifkan, mesti disengajakan untuk membangun kultur damai, dan lembaga pendidikan akan menjadi bagian habitus damai tersebut. Hal ini berarti sebuah proses yang tidak singkat, sebuah proses keterlibatan yang berjalan tidak secara instan.

Reintepretasi Pembaruan Berhermenetika Lintas Agama
Ibu Musdah berbicara tentang reinterpretasi, ini adalah tugas teologi sebagai ilmu. Ada istilah yang sejajar dengan kata reformis di dalam kekristenan, khususnya gereja protestan, yakni “Ecclesia reformata semper reformanda est secundum Verbum Dei,” bahwa gereja yang diperbarui mesti selalu memperbarui dirinya, seturut dengan Firman Allah. Ibu Musdah berargumen, bahwa menjadi Muslimah Reformis tidak mungkin tidak berakar pada Tauhid, Tauhid dalam Islam berakar pada Firman Tuhan.

Prinsip protestanisme, perubahan yang harus selaras dengan Firman Allah, salah satunya pada prinsip Sola Scriptura, yang menyatakan bahwa teks itu penting. Maka pendidikan tidak bisa diabaikan, tidak mungkin perubahan diabaikan, pendidikan yang mengubah worldview, mindset. Mainset itu ternyata berakar dari salah sumber utama beragama yakni teks, di dalam kekristenan adalah Alkitab.

Karena itu saya menawarkan sebuah hermenetika pascakolonial tentang sang liyan.  Pendekatan ini bersifat feminis inter-religius yang dilakukan lintas agama. Ibu Musdah bicara dari Islam, saya bicara dari sisi Kristen, level berikutnya mestinya tafsir ini mestinya lintas agama. Sebuah upaya yang mulai dari tekstual, tetapi tidak lari dari pemberlakuannya praxis hidup. Upaya ini belum banyak dilakukan di Indonesia.

Reformis bisa juga diarahkan pada sebuah kata yunani metanomia, berarti kita berputar 180 derajat. Prisnsip pendidikan, kita perlu berubah total ke arah yang lebih baik. Metanoia adalah sebuah  permohonan kepada Tuhan untuk mengampuni kita. Pertobatan itu gerakan berputar total kembali menghadap kepada Tuhan. Cara kita menghadap Tuhan itu dengan cara tertunduk. Ada ekspresi tentang tafsir Kristen, bukan kita akan segera menyibak misteri, tidak.

Di dalam pendekatan ini, ada pendekatan seperti kita melihat cahaya, semakin dekat kita silau dan kita menutup mata, tetapi kita tahu cahaya ada di sana. Ini adalah prinsip metanonia, perubahan itu, bahwa kita tidak menjadi yang “paling baik”, tetapi kita mengakarkan perubahan itu pada sesuatu  yang jauh lebih besar dari kita. 

Proses kita belajar untuk peubahan, adalah proses kita menundukkan diri di hadapan sang Hadirat. Di dalam kekristenan, sang Hadirat itu Maha Suci yang mengijinkan diri  untuk hadir di antara manusia sebagai Imanuel yang berarti Tuhan beserta kita.

Pada akhirnya, buku Ensiklopedia Muslimah Reformis ini mengingatkan kita semua, bahwa kita tidak mungkin bicara agama tanpa bicara Indonesia, oleh karena itu buku ini menjadi penting sebagai petunjuk bagi kita. Untuk kalangan muslim bagaimana menjadi Muslim yang reformis, dan menginspirasi para perempuan di Indonesia.

Dari refleksi persahabatan lintas agama, kita tiba pada pentingnya sebuah hermenetika feminis lintas agama itu mesti ada dan mesti mengakar. Karena salah satu kekuatan dari perempuan adalah kekuatan resistensinya, untuk melawan setiap upaya yang mengeliminasi kehidupan.

Buku Ensiklopedia ini semacam personifikasi dan diskursus resistensi, yang membuat kita tidak boleh berhenti melawan setiap upaya yang antithesis dari sebuah perubahan.


Ensiklopedia Muslimah Reformis


Ensiklopedia Muslimah Reformis:
Sebuah Pendekatan Teologi Feminis

Dr. Atnike Nova Sigiro
(Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan)


Topik yang beragam dalam buku ini sejalan dengan judul yang dipilih, sebuah ensiklopedia. Buku ini menuangkan pertanyaan dan pengalaman penulis sebagai Muslimah. Buku ini dapat dikatakan sebagai sebuah karya feminis karena standpoint penulis sebagai perempuan.

Sebagai sebuah karya feminis, buku tidak hanya mengangkat topik tentang perempuan. Posisi ini juga menjadi ciri kahas dalam pendekatan feminisi, karena feminisme tidak hanya berkutat pada persoalan perempuan sebagai dirinya sendiri, tetapi perempuan sebagai bagian dari situasi yang lebih luas, dalam hal ini Islam dan Indonesia.

Keluasan topik yang ditulis dalam buku ini membuat karya Musdah Mulia ini tidak hanya relevan bagi perempuan, bagi umat muslim, tetapi juga agama dan berbagai kelompok, bahkan lebih luas bagi Indonesia. Dalam buku ini juga dimuat refleksi tentang hubungan umat islam dengan agama lain dalam konteks Indonesia, topik demokrasi, hak asasi, dll. Kesemua topik yang diangkat melampaui soal-soal yang spesifik perempuan.

Agama merupakan salah satu topik yang cukup banyak dibahas dalam diskursus feminisme. Kritisisme pemikiran feminis terhadap agama umumnya diarahkan pada dominasi maskulinitas dalam simbol, tafsir, dan praktik kegamaanyang cenderung mengabaikan perempuan.

Pemikiran dan buku tentang feminisme dan agama masih terbatas.  Hal ini yang patut  diapresiasi dari keberanian penulis untuk mengangkat topik ini. Karena dalam konteks Indonesia, membicarakan agama bukan sesuatu yang mudah. Di Indonesia, membicarakan isu agama adalah persoalan sensitif dan penuh resiko. Apalagi ketika dituliskan oleh seorang perempuan. Ada lapisan resiko yang mungkin perlu dihadapi oleh penulis.

Dalam kajian feminisme, setidaknya ada dua pendekatan feminisme dalam memandang agama. Pertama adalah pendekatan yang memandang agama sebagai objek di luar dirinya. Bagaimana agama dikonstruksi secara timpang dan menimbulkan ketimpangan terhadap perempuan. Pendekatan kedua tidak menempatkan agama sebagai objek di luar dirinya, justru meleburkan feminisme ke dalam diskursus agama itu sendiri.

Buku ini menggunakan pendekatan yang kedua, dimana penulis tidak menarik batas antara agama dan pandangan feminisme. Melalui pendekatan ini, buku ini mencoba membangun narasi feminisme dan humanism terhadap agama. Misalnya pada bab mengenai poligami. Penulis menggunakan literatur agama, pengalaman sejarah, pengalaman politik di negara lain, termasuk konsep-konsep keadilan gender untuk memperlihatkan ketidakadilan gender yang diakibatkan oleh poligami.

Melalui penjelasan yang multi dimensi tersebut, buku ini memperlihatkan bagaimana diskursus dan praktik agama terkait poligami bukan merupakan persoalan yang statis. Perkembangan sejarah memperlihatkan perubahan-perubahan dalam diskursus dan praktik agama. Sehingga argumen bahwa poligami merupakan situasi yang mutlak terbantahkan.

Beberapa negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Tunisia misalnya telah menyatakan poligami sebagai pelanggaran hukum. Buku ini juga memaparkan bagaimana Indonesia pun sesungguhnya memiliki aspirasi dominan untuk menghapus poligami. 

Namun, sistem politik dan hukum yang koruptif menyebabkan aspirasi untuk menghapus poligami kerap menghadapi tantangan. Dalam praktek dan kehidupan sosial manusia memiliki agensi untuk melakukan perubahan dan melakukan pemaknaan yang adil. Sehingga apa yang dulu dianggap diterima sebagai praktik umum di dalam masyarakat kemudian dapat diubah.

Melalui interpretasi yang disertai dengan argumen yang multi dimensi, Musdah Mulia berusaha mengembangkan sebuah teologi feminis, dimana agama sebagai pandangan hidup diinterpretasi dengan pandangan yang berkeadilan gender.

Buku ini menawarkan beberapa hal, yaitu:  diskursus mengenai relasi agama dan perempuan, diskursus mengenai relasi agama dan masyarakat, dan diskursus mengenai kehidupan agama dan masyarakat di Indonesia. Buku ini menawarkan ruang emansipasi dengan membuka ruang berpikir tentang agama dengan cara humanis bahkan nasionalis.

Jika ada ruang yang belum disediakan dalam buku ini, maka buku ini belum menyediakan ruang untuk memahami bagaimana dalam upaya mendorong interpretasi agama yang berkeadilan gender seringkali berhadapan dengan pertarungan politik.

Buku ini juga tidak secara khusus menjelaskan bagaimana proses ketidakadilan gender dalam diskursus dan praktik agama dapat terjadi. Buku ini lebih menawarkan nilai-nilai untuk berpikir kritis, humanis, dan emansipatif.


Membaca Buku Siti Musdah Mulia


Membaca Buku Siti Musdah Mulia:
"Muslimah Reformis"

Buku “Muslimah Remormis” yang ditulis Dr. Musdah Mulia menyuguhkan fenomena-fenomena sosial perempuan Indonesia dengan beragam isu dan problematikanya. Sebagai seorang perempuan yang cerdas, Musdah, melalui buku itu, berusaha menyingkap realitas-realitas yang berkaitan dengan isu-isu perempuan yang sedikit sekali atau jarang terpikirkan atau dipikirkan banyak kalangan. Ia menatap dengan tajam, mendengar dengan tekun dan merasakan dengan resah wajah-wajah perempuan Indonesia yang muram.

Ruang-ruang sosial, politik, ekonomi dan budaya bahkan di ruang privat perempuan hampir sepenuhnya diisi laki-laki. Gerak perempuan menjadi sempit dan hampir tak bisa bernafas. Boleh jadi tubuh-tubuh perempuan oleh banyak orang dianggap tidak ada, meski data statistik kependudukan di negeri ini memperlihatan begitu besar jumlah mereka. Suara dan pengalaman mereka dianggap sepi dan cenderung dinilai mengada-ada. 

Ruang-ruang social, politik, ekonomi dan budaya dengan begitu dalam pikiran Musda tampak menunjukkan relasi-relasi yang bias, timpang dan tidak adil. “Posisi perempuan di Indonesia saat ini masih sangat lemah dan terdiskriminasi” tulis Musda, sambil mengutip hasil-hasil penelitian dari banyak pihak. Dan Musda jelas ingin menyatakan dengan lantang: “Suara dan pengalaman perempuan harus didengar, jika ingin negeri ini negeri yang adil”.

Orang-orang di luar Musda dan teman-teman sepemikirannya yang masih sedikit jumlahnya seringkali terjebak pada tradisi-tradisi yang berjalan sedemikian rupa sehingga ketimpangan relasi dan ketertindasan perempuan tidak lagi menjadi sesuatu yang aneh dan mengancam kehidupan. Semuanya dianggap wajar-wajar saja. Lebih jauh tradisi dan kebiasaan-kebiasaan tersebut kemudian seringkali dijadikan pijakan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan semua ruang dan dimensi kehidupan tersebut di atas. Maka tak pelak lagi bahwa realitas timpang gender tersebut semakin memperoleh kekuatan untuk tetap berlangsung dan akan semakin menggigit.

Agaknya masih sulit atau bahkan takterpikirkan oleh banyak pikiran orang bahwa sejumlah kenyataan tersebut sejatinya tidak lagi relevan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan. Sebagian orang boleh jadi juga tak pernah tersentuh  bahwa hari-hari ini kita adalah hari-hari yang sudah terperangkap oleh dan tak bisa melepaskan diri dari ruang dan waktu modernitas.

Sejarah modernitas telah menggerakkan perempuan ke ruang laki-laki. Intelektualitas, keperkasaan dan profesionalitas tidak lagi menjadi monopoli laki-laki. Rendahnya kesadaran sosial akan hal-hal ini mengakibatkan pula rendah atau lemahnya semangat untuk melakukan proses-proses perubahan kebijakan ke arah penciptaan realitas baru yang lebih baik bagi relasi laki-laki dan perempuan.

Musdah dalam buku ini menyingkap hampir seluruh problem krusial perempuan dan menggugat hampir semua kalangan pengambil kebijakan publik yang merugikan hak-hak mereka. Beberapa di antaranya adalah pendidikan berperspektif perempuan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kesehatan perempuan, hak politik perempuan, hak ekonomi perempuan, perkawinan, AIDS, trafficking perempuan dan anak dan lain-lain.

Untuk semua isu ini dia tidak hanya bicara panjang lebar, tetapi juga, memperlihatkan data-data dan instrumen-instrumen hukum dan mengungkapkan pengalamannya. Dia tentu saja berharap bahwa pemaparan tentang isu-isu krusial tersebut akan menyentuh kesadaran orang, lalu dipikirkan dan selanjutnya dilakukan proses transformasi sosial dalam arti luas.

Muslimah yang Beranian
Musdah Mulia adalah perempuan intelek sekaligus aktivis. Ia seorang perempuan muslimah yang memiliki basis intelektual Islam yang cukup kuat. Ia membaca sumber-sumber klasik Islam yang dalam masyarakat muslim Indonesia acapkali dijadikan acuan merumuskan kebijakan. 

Dengan latar belakang Musdah seperti itu, dia mencoba melakukan analisis kritis terhadap sejumlah keputusan yang menggunakan terma-terma agama terhadap isu-isu perempuan di atas pada satu sisi, dan mengarahkan kebijakan-kebijakan publik di seputar isu yang sama dari perspektif agama yang dimilikinya pada sisi yang lain.

Tulisan-tulisan Musdah dalam buku ini memang sarat dengan pikiran-pikiran kritis dan transformatif. Kritik-kritik Musdah paling tajam antara lain diarahkan kepada sejumlah keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 

Terhadap fatwa MUI, Musdah mempertanyakan dengan nada kritis tentang banyak hal yang sudah dikeluarkannya. Ia kemudian menyimpulkan; fatwa-fatwa MUI tidak sensitif terhadap isu-isu perempuan, (ulama di situ) pada umumnya tidak menganggap penting perempuan terutama dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (ulama di situ) pada umumnya menilai konsep kesetaraan gender bertentangan dengan ajaran Islam dan (ulama di situ) pada umumnya sangat kental dipengaruhi pandangan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhi.(hal.131). Ini betul-betul terasa menohok dan telak.

Dalam bagian lain soal pandangan MUI terhadap aliran Islam lain, Musdah sungguh sangat berani ketika ia mengatakan: “Kebijakan MUI yang tidak menoleransi pandangan Islam aliran lainnya ini sungguh merupakan hambatan serius bagi uapaya-upaya demokrasi dan nilai-nilai pluralisme dalam pembangunan bangsa, terutama bidang agama”.(hal. 133).

Tidak berhenti sampai di sini, Musdah juga melakukan kritik hampir menyeluruh terhadap UU Perkawinan dan KHI. Dia melihat bahwa kedua produk hukum positif dan pedoman hakim peradilan agama ini “mengandung hal-hal yang berseberangan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan keadilan demokrasi, hak asasi manusia pluralisme serta keadilan dan kesetaraan gender”. 

Dan untuk ini dia mempelopori gagasan penyusunan KHI baru yang disebutnya sebagai ”counter legal drafting”.Isinya merupakan revisi terhadap kedua perangkat hukum tersebut. Lagi-lagi Musdah sungguh perempuan yang berani, manakala “Counter Legal Drafting”  ini kemudian dilaunching di hadapan publik dan dipublikasikan oleh media massa. Hasilnya sudah dapat diduga; reaksi keras muncul di mana-mana dan dari sejumlah tokoh penting dengan nada emosional, mengecam dan mensitigmatisasi bukan hanya terhadap Musdah tetapi juga gerakan feminisme secara umum.

Musdah dkk. dianggap telah menyampaikan pikiran-pikiran keagamaan yang sesat dan menyesatkan.
Ketika konon pejabat tinggi negara di Departemen Agama kemudian melarang KHI versi CLD ini, saya segera mengontaknya. Musdah menjawab : “Conter Legal Drafting KHI bukanlah RUU. Itu adalah tawaran yang perlu dibaca dan dianalisis publik. Kita menghadapi realitas yang berubah di mana perempuan masih terdiskriminasi. Ini adalah penemuan ilmiah, hasil kajian. Sejumlah Tesis dan Disertasi juga memperlihatkan kesimpulan yang sama. Soal diterima atau tidak, itu terserah kepada publik dan kepada wakil rakyat di DPR.”

Perebutan pemaknaan

Perdebatan di sekitar pemahaman atau pemaknaan teks merupakan perdebatan yang sangat klasik. Ia muncul sejak awal Islam bahkan sejak  manusia mulai berfikir dan berkebudayaan. Perdebatan itu telah melahirkan sekte-sekte, aliran-aliran pemikiran bahkan ideologi-ideologi. Pada dimensi fiqh, dikenal dua aliran besar, ahl al hadits dan ahl al ra’y. Aliran pertama cenderung lebih tekstualis (harfiah), sementara yang kedua lebih rasionalis.

Ada  pertanyaan-pertanyaan yang selalu disampaikan orang: apakah teks harus diterima menurut arti lahirnya atau bisa ditakwil. Apakah hukum-hukum yang terdapat dalam teks bisa dirasionalkan atau tidak (hal al ahkam mu’allalah bi ‘illah am la). Apakah akal bisa bertentangan dengan wahyu? Bagaimana jika bunyi teks berlawanan dengan logika atau dengan realitas, mana yang harus diprioritaskan?

Pertanyaan-pertanyaan ini selalu saja dijawab dengan pandangan yang beragam. Problem ini juga dikemukakan Musdah dalam buku ini. Adalah menarik bahwa para tokoh mazhab sepakat bahwa pendapat kami benar meski mungkin keliru, sementara pendapat orang lain keliru meski mungkin benar.

Sesungguhnya kedua aliran ini tidak berbeda dalam semangat dan tujuannya. Semua sepakat bahwa hukum-hukum Islam adalah untuk keadilan dan kemaslahatan manusia. Kita menemukan paradigma ini pada semua ahli fiqh Islam. Menegaskan pandangan gurunya Imam al Haramain al Juwaini, Imam al Ghazali dalam al Mustashfa, mengemukakan kemaslahatan sebagai tujuan syari’ah. Ia menjelaskan “kemaslahatan” tersebut dengan apa yang disebutnya sebagai “al ushul al khamsah” prinsip yang lima perlindungan: “hifzh al din, al nafs al ‘aql al nasl dan al mal”. Mereka adalah tokoh Syafi’i- Asy’ari.

Ibnu al Qayyim, tokoh salafi terkemuka pengikut Ahmad bin Hanbal, dengan tegas menyatakan : “syari’ah Islam dibangun di atas landasan kebijaksanaan, kemaslahatan, keadilan dan kerahmatan manusia”. Abu al Wafa Ibn Aqil, juga bermazhab Hambali, menyatakan bahwa “kebijakan publik harus dibangun untuk membawa kemaslahatan manusia dan menjauhkannya dari kerusakan, meskipun tidak dibuat oleh Nabi dan tidak ada wahyu yang turun”.(Baca : Ibnu al Qayyim dalam al Thuruq al Hukmiyah).

Begitu juga Al Syathibi, pengikut aliran Maliki di Andalusia. Tegasnya tidak satupun ulama yang mengingkari prinsip kemaslahatan sebagai tujuan agama (maqashid al Syari’ah). 
Jika demikian, maka kita sesungguhnya meyakini bahwa keputusan-keputusan hukum yang dilahirkan para ulama secara berbeda-beda sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab adalah maslahat. 

Keputusan-keputusan mereka yang beragam tersebut merupakan pemahaman mereka atas teks-teks al Qur-an maupun hadits Nabi saw. Tidak seorang muslimpun yang ingin menafikan al Qur-an dan Hadits nabi saw. Saya kira adalah menarik untuk mengemukakan pandangan Faruq Abu Zaid dalam bukunya “Al Syari’ah al Islamiyah baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin”, bahwa keberagaman interpretasi atas teks-teks keagamaan adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing”.

Pertanyaannya adalah apakah keputusan-keputusan tersebut masih relevan dengan kemaslahatan kita di Indonesia hari ini?. Saya kira inilah yang dituntut oleh Musdah terhadap semua aturan hukum dan kebijakan publik yang ada dan masih berlaku. Jika keduanya tidak lagi memberikan kemaslahatan dan rasa keadilan bagi manusia  termasuk bagi perempuan apakah ia masih harus dipertahankan?

Apa yang diinginkan Musdah dalam buku “Muslimah Reformis” ini dengan seluruh analisis dan kritiknya saya kira adalah bagaimana kita, bangsa Indonesia, dapat mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bagi semua orang di negeri ini. 

Musdah mengemukakan hal ini sambil mengutip bunyi ayat al Qur-an: “In Uridu illa al Ishlah wa ma Tauwfiqi illa billah “alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib” (Aku hanyalah ingin perbaikan, petunjuk hanyalah bagi Allah dan aku pasrahkan kepada-Nya dan kepada Nya aku akan kembali). Ini artinya dia memang perempuan muslim reformis. Dan dia sudah menyampaikan keinginannya. 

Perebutan pemaknaan atas teks pada akhirnya harus disudahi melalui mekanisme yang berlaku di negeri ini ; “musyawarah”, diskusi, dialog, dan “ittifaq al ummah”, (jika tidak ingin kita katakan “secara demokratis”), bukan dengan jalan sendiri-sendiri apalagi dengan kekerasan atau “membunuh karakter” orang. Dan Musdah menawarkan sejumlah metode ini.

Rabu, 01 April 2020


Stop Perkawinan Anak !!!

Musdah Mulia

Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa atau di bawah usia 18 tahun. Dalam masyarakat umumnya yang terjadi adalah perkawinan anak perempuan dengan laki-laki dewasa, bahkan kebanyakan adalah laki-laki yang sudah berumur sehingga lebih pantas menjadi kakek daripada menjadi suami anak tersebut.

Ketentuan internasional dan juga secara nasional menyebutkan bahwa batasan usia anak adalah 18 tahun. Seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah masuk dalam kategori anak. Sejumlah peraturan dan perundang-undangan telah lahir, baik di tingkat nasional maupun internasional, menekankan perlunya proteksi dan penguatan hak-hak anak. Semuanya demi kemaslahatan anak dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak, terutama anak-anak perempuan melalui modus operandi perkawinan.

Sejumlah faktor memengaruhi terjadinya perkawinan anak. Di antaranya, ketimpangan gender, kurangnya pendidikan, kemiskinan, aneka norma dan keyakinan bias gender. Ketimpangan gender yang dibahas di sini sebagian besar terkait dengan tafsir budaya tentang maskulinitas dan feminitas, perkawinan, usia dan seksualitas. Selain penyebab tersebut, faktor lain yang juga turut bermain yaitu akses ke berbagai pelayanan seperti pelayanan kesehatan (termasuk kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi), kurangnya pengetahuan tentang risiko kesehatan pada kehamilan dini dan bagaimana menangani kesehatan si ibu setelah melahirkan beserta bayinya.

Faktor lain adalah konflik dan migrasi. Ada semakin banyak bukti menyangkut praktik perkawinan anak di wilayah pasca-konflik atau di tengah komunitas pengungsi di seluruh dunia. Perubahan yang terjadi ini juga sangat kasatmata di Indonesia sendiri. Industrialisasi pedesaan dan di bidang pertanian (misalnya perkebunan kelapa sawit) mengubah hubungan kerja antara lelaki dan perempuan. Para orangtua bermigrasi untuk mencari kerja di kota, di sektor informal, di luar negeri, dan anak perempuan mereka akhirnya menikah muda.

Sejumlah penelitian menyimpulkan, perkawinan anak adalah sumber dari pelbagai masalah sosial di masyarakat. Paling tidak dijumpai lima dampak buruk perkawinan anak.
Pertama, perkawinan anak merupakan penyebab dari tingginya angka perceraian di masyarakat. Bagaimana anak-anak itu akan bertanggung jawab dalam perkawinan, mereka masih anak-anak, belum matang dan dewasa, baik fisik, mental, dan spiritualnya sehingga dalam banyak hal belum mampu menjalankan tanggung jawab sebagai suami-isteri atau sebagai anggota keluarga.
Kedua, perkawinan anak membawa kepada kemiskinan, pengangguran dan putus sekolah. Perkawinan menyebabkan terjadinya drop out sekolah, lahirnya bayi stunting dan malnutrisi. Kesemua ini menjadikan rendahnya kualitas SDM. Kondisi buruknya kualitas hidup bangsa terlihat jelas pada sejumlah indeks yang ada.  
Ketiga, perkawinan anak membawa kepada kekerasan rumah tangga (KDRT). Mengapa ini terjadi? Sebab, usia mereka masih sangat muda, penuh emosi sehingga gampang meledak, tidak berfikir panjang dan belum matang secara mental dan spiritual. KDRT banyak membawa dampak buruk dalam kehidupan perempuan, terutama terkait dengan kesehatan reproduksi mereka.
Keempat, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem sosial seperti narkoba, HIV/Aids, aborsi, pelacuran, dan trafficking. Maraknya penjualan (trafficking) anak, khususnya anak perempuan melalui modus operandi perkawinan adalah sebuah fakta yang tidak dapat diingkari. Kekerasan seksual dan penyakit kelamin lain yang dapat menular melalui hubungan seks, termasuk HIV/AIDS, membawa pengaruh yang dapat merusak kesehatan anak-anak, dan anak perempuan lebih rentan dibanding anak laki-laki terhadap akibat-akibat hubungan seksual yang tidak aman dan yang berlangsung pada usia terlalu dini.
Kelima, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem kesehatan reproduksi. Tingginya AKI (angka kematian ibu melahirkan) disebabkan terutama oleh kehamilan di usia sangat muda, terlalu sering hamil, dan ketidakmatangan fungsi-fungsi reproduksi secara biologis dan psikologis;  dan rendahnya tingkat kualitas hidup perempuan di bidang kesehatan. Kehamilan di usia anak sangat beresiko karena organ-organ reproduksi perempuan belum siap melakukan fungsinya secara optimal. Melahirkan pada usia muda tetap merupakan persoalan besar dalam meningkatkan kedudukan perempuan di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial di berbagai penjuru dunia.

Selain itu, perkawinan anak juga menghambat keberhasilan sejumlah agenda pemerintah, seperti kesehatan reproduksi, pendidikan dan kemiskinan. Program pemerintah yang terkait dengan perkawinan anak mencakup: Program Keluarga Berencana (KB) dan Generasi Berencana (Genre) oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Program Pelaksanaan 12 tahun wajib belajar. Program pengentasan kemiskinan melalui kredit mikro UKM (usaha kecil dan menengah) untuk keluarga miskin, dan Program Pengarusutamaan Gender (Inpres No. 9/2000).

Perkawinan membutuhkan kedewasaan dan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan psikologis, sosial, mental dan spiritual. Batas minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan dapat menimbulkan berbagai risiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, janin yang cacat karena kurang gizi sebab tubuh janin dan tubuh ibunya yang masih dalam tahap pertumbuhan itu  berlomba mendapatkan asupan gizi dan nutrisi. Selain itu, sang ibu pun dapat mengalami berbagai risiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik.

Rekomendasi dan solusi
  1. Perlu reformasi peraturan dan UU, khususnya UU Perkawinan. Usia nikah dalam Undang-Undang Perkawinan harus dinaikkan menjadi minimal 19 tahun, tanpa pembedaan laki-laki dan perempuan. Wajib belajar 12 tahun harus dilaksanakan secara serius di seluruh tanah air agar anak-anak remaja kita terdorong menekuni pendidikan sebagai bekal hidup di masayarakat.

  1. Perlu upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluasnya. Pendidikan seks yang komprehensif perlu diajarkan sejak tingkat SLTP dengan menekankan pada aspek kesehatan reproduksi serta tanggung jawab moral dan sosial. Seks bukan semata-mata soal hubungan biologis, melainkan lebih pada soal tanggungjawab (responcibility). Pendidikan seksual terpadu yang diberikan kepada para remaja perlu mendapat dukungan, bantuan dan pengarahan dari orang tua yang menekankan tentang tanggung-jawab anak laki-laki dan perempuan atas seksualitas dan kesuburan mereka sendiri. Hal itu penting karena terdapat lebih dari 15 juta anak perempuan berusia di antara 15 sampai 19 tahun melahirkan setiap tahunnya.

3.     Terakhir, perlu upaya reinterpretasi ajaran agama agar tersosialisasi ajaran agama yang lebih humanis, lebih damai dan lebih ramah terhadap anak dan perempuan. Diperlukan upaya2 serius mereinterpretasi ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan konteks kekinian dan bertentangan dengan prinsip perlindungan anak perempuan. Misalnya, dalam Islam ada pandangan bahwa Nabi Muhammad menikahi Aisyah pada usia 7 tahun dan hidup bersama pada usia 9 tahun. Ternyata, satu-satunya hadis yang menjadi landasan teologis pandangan ini sangat lemah. Sementara, dijumpai sejumlah hadis yang lebih rasional menolak pandangan tersebut. Karena itu, mari melakukan perubahan demi masa depan bangsa dan masyarakat yang lebih baik.