Kamis, 03 November 2016

Bangsa Tuna Baca

KOMPAS RABU, 28-09-2016. HALAMAN: 14
BANGSA TUNABACA
Oleh AHMAD ARIF

Membaca bukan sekadar merapal aksara, dia adalah pintu masuk kepada ilmu pengetahuan. Bahkan, bagi Paulo Freire, membaca berarti juga proses pembebasan dan laku berpikir kritis, Reading the Word & the World.

Masalahnya, sekalipun angka buta aksara di Indonesia mengecil—menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhir 2014 mencapai 5,97 juta jiwa atau 3,7 persen dari total penduduk—tingkat literasi kita justru anjlok.

Literasi atau keaksaraan adalah kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan teks tertulis sebagai medium komunikasi di masyarakat dan mengembangkan pengetahuan.

Data UNESCO 2012, indeks minat baca di Indonesia 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk hanya satu yang memiliki minat baca. Dalam World’s Most Literate Nations, pemeringkatan oleh Central Connecticut State University-AS tahun 2016, Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya di atas Botswana, negara kecil di Afrika.

Rendahnya minat baca jelas memengaruhi kemampuan literasi. Menurut survei terbaru OECD PIAAC (Organisation for Economic Co-operation and Development Programme for International Assessment of Adult Competencies) 2016, kemampuan literasi orang Jakarta dewasa (25-65 tahun) lulusan minimal sekolah menengah atas, lebih rendah dibandingkan masyarakat Eropa di tingkat sekolah dasar. Kemampuan literasi orang Jakarta ini paling rendah dari 34 negara yang disurvei.

Survei PIAAC terkonfirmasi dengan studi Linking the National Plans for Acceleration and Expansion of Economic Development to Programming in the Education Sector (ACDP-016), yang dipaparkan Satryo Soemantri Brodjonegoro (Kompas, 20/6). Dari perusahaan yang disurvei, 92 persen mengeluhkan pekerjanya yang sangat lemah membaca, dan 90 persen dalam menulis.

Menarik dicermati, rendahnya literasi kita terjadi seiring dengan menderasnya penggunaan internet. Indonesia masuk sepuluh negara pengguna terbanyak internet. Akan tetapi, 90 persen penggunaan internet di Indonesia ternyata lebih untuk media sosial. Data riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia 2014, dari 88,1 juta pengguna internet, 79 juta di antaranya pengguna aktif sosial media.

Indonesia negara pengguna aktif Facebook nomor 4 dunia (60,3 juta pengguna), nomor 3 untuk Twitter (50 juta pengguna) dengan minimal 4,1 juta ciapan (tweet) per hari dari Indonesia.

Internet sebagai ujung tombak dari teknologi digital memang menyediakan kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan. Namun, menurut Sherry Turkle (2011), teknologi ini juga melahirkan pendangkalan kemampuan bernalar.

Budaya yang selalu terhubung, menurut peneliti sosial media ini, membuat kita tergoda selalu melontar komentar sehingga tak punya waktu berpikir serius. Pada akhirnya, terpaan teknologi digital ini, seperti ditakutkan Nicholas G Carr, akan melahirkan ”generasi yang berpikir cekak”.

Tanpa disiplin bernalar, kita akan kehilangan daya memilah banjir informasi di dunia yang makin kompleks, di mana citra menggantikan realitas, iklan, dan propaganda membaur dengan berita. Bahkan, gosip dan hoax bersanding dengan fakta.

Pada akhirnya, kita akan tergagap. Tak kuasa lagi membedakan fakta dan opini. Tak mengherankan jika hoax, meme, atau olok-olok dari propagandis pun menyebar dengan deras dalam ruang informasi, dan kemudian ditelan mentah-mentah oleh masyarakat yang tunaliterasi sebagai kebenaran.

Tunaliterasi tak hanya menyesatkan dalam dunia digital. Bahaya lain adalah menjadikan bangsa ini gagal mendefinisikan diri. Minim membaca jelas terkait rendahnya produktivitas tulisan. Bagaimana mau menulis jika tidak membaca?
Maka, tak hanya minim dalam publikasi ilmiah, Indonesia juga sangat minim memproduksi buku berkualitas. Buku-buku tentang Indonesia—sejarah, alam, dan kebudayaan—lebih banyak ditulis orang luar atau orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Kita adalah bangsa yang didefinisikan bangsa lain.

Beberapa peristiwa besar terkini pun luput ditulis. Bahkan, tsunami sebesar Aceh tahun 2004 sangat minim melahirkan buku-buku berkualitas. Demikian halnya dengan sederet bencana yang berulang, tetapi minim pembelajaran. Bahkan, 32 tahun kekuasaan Orde Baru hingga gerakan reformasi 1998 tak terdokumentasikan dengan baik. Ibarat lingkaran setan, sudah kecil volume buku tercetak, kecil pula minat baca masyarakat. Tak mengherankan jika para tokoh Orde Baru ataupun perilakunya dengan mudah menyaru dalam tata politik kekinian kita.


Jika peristiwa yang lewat tidak dituliskan dan direfleksikan, kita tidak akan pernah belajar. Lalu, dari mana kita belajar?

http://print.kompas.com/baca/sains/pendidikan/2016/09/28/Bangsa-Tunabaca?utm_source=bacajuga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar