KOMPAS RABU, 28-09-2016. HALAMAN: 14
BANGSA TUNABACA
Oleh AHMAD ARIF
Membaca bukan sekadar merapal aksara, dia adalah pintu
masuk kepada ilmu pengetahuan. Bahkan, bagi Paulo Freire, membaca berarti juga
proses pembebasan dan laku berpikir kritis, Reading the Word & the World.
Masalahnya, sekalipun angka buta aksara di Indonesia
mengecil—menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhir 2014 mencapai
5,97 juta jiwa atau 3,7 persen dari total penduduk—tingkat literasi kita justru
anjlok.
Literasi atau keaksaraan adalah kemampuan memahami,
mengevaluasi, dan menggunakan teks tertulis sebagai medium komunikasi di
masyarakat dan mengembangkan pengetahuan.
Data UNESCO 2012, indeks minat baca di Indonesia 0,001.
Artinya, setiap 1.000 penduduk hanya satu yang memiliki minat baca. Dalam
World’s Most Literate Nations, pemeringkatan oleh Central Connecticut State
University-AS tahun 2016, Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara
yang disurvei. Indonesia hanya di atas Botswana, negara kecil di Afrika.
Rendahnya minat baca jelas memengaruhi kemampuan literasi.
Menurut survei terbaru OECD PIAAC (Organisation for Economic Co-operation and
Development Programme for International Assessment of Adult Competencies) 2016,
kemampuan literasi orang Jakarta dewasa (25-65 tahun) lulusan minimal sekolah
menengah atas, lebih rendah dibandingkan masyarakat Eropa di tingkat sekolah
dasar. Kemampuan literasi orang Jakarta ini paling rendah dari 34 negara yang
disurvei.
Survei PIAAC terkonfirmasi dengan studi Linking the
National Plans for Acceleration and Expansion of Economic Development to
Programming in the Education Sector (ACDP-016), yang dipaparkan Satryo
Soemantri Brodjonegoro (Kompas, 20/6). Dari perusahaan yang disurvei, 92 persen
mengeluhkan pekerjanya yang sangat lemah membaca, dan 90 persen dalam menulis.
Menarik dicermati, rendahnya literasi kita terjadi seiring
dengan menderasnya penggunaan internet. Indonesia masuk sepuluh negara pengguna
terbanyak internet. Akan tetapi, 90 persen penggunaan internet di Indonesia
ternyata lebih untuk media sosial. Data riset Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia 2014, dari
88,1 juta pengguna internet, 79 juta di antaranya pengguna aktif sosial media.
Indonesia negara pengguna aktif Facebook nomor 4 dunia
(60,3 juta pengguna), nomor 3 untuk Twitter (50 juta pengguna) dengan minimal
4,1 juta ciapan (tweet) per hari dari Indonesia.
Internet sebagai ujung tombak dari teknologi digital memang
menyediakan kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan. Namun, menurut
Sherry Turkle (2011), teknologi ini juga melahirkan pendangkalan kemampuan
bernalar.
Budaya yang selalu terhubung, menurut peneliti sosial media
ini, membuat kita tergoda selalu melontar komentar sehingga tak punya waktu
berpikir serius. Pada akhirnya, terpaan teknologi digital ini, seperti
ditakutkan Nicholas G Carr, akan melahirkan ”generasi yang berpikir cekak”.
Tanpa disiplin bernalar, kita akan kehilangan daya memilah
banjir informasi di dunia yang makin kompleks, di mana citra menggantikan
realitas, iklan, dan propaganda membaur dengan berita. Bahkan, gosip dan hoax
bersanding dengan fakta.
Pada akhirnya, kita akan tergagap. Tak kuasa lagi
membedakan fakta dan opini. Tak mengherankan jika hoax, meme, atau olok-olok
dari propagandis pun menyebar dengan deras dalam ruang informasi, dan kemudian
ditelan mentah-mentah oleh masyarakat yang tunaliterasi sebagai kebenaran.
Tunaliterasi tak hanya menyesatkan dalam dunia digital.
Bahaya lain adalah menjadikan bangsa ini gagal mendefinisikan diri. Minim
membaca jelas terkait rendahnya produktivitas tulisan. Bagaimana mau menulis
jika tidak membaca?
Maka, tak hanya minim dalam publikasi ilmiah, Indonesia
juga sangat minim memproduksi buku berkualitas. Buku-buku tentang
Indonesia—sejarah, alam, dan kebudayaan—lebih banyak ditulis orang luar atau
orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Kita adalah bangsa yang
didefinisikan bangsa lain.
Beberapa peristiwa besar terkini pun luput ditulis. Bahkan,
tsunami sebesar Aceh tahun 2004 sangat minim melahirkan buku-buku berkualitas.
Demikian halnya dengan sederet bencana yang berulang, tetapi minim
pembelajaran. Bahkan, 32 tahun kekuasaan Orde Baru hingga gerakan reformasi
1998 tak terdokumentasikan dengan baik. Ibarat lingkaran setan, sudah kecil
volume buku tercetak, kecil pula minat baca masyarakat. Tak mengherankan jika
para tokoh Orde Baru ataupun perilakunya dengan mudah menyaru dalam tata
politik kekinian kita.
Jika peristiwa yang lewat tidak dituliskan dan direfleksikan,
kita tidak akan pernah belajar. Lalu, dari mana kita belajar?
http://print.kompas.com/baca/sains/pendidikan/2016/09/28/Bangsa-Tunabaca?utm_source=bacajuga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar