Rabu, 16 Januari 2019

Membangun dan Merawat Narasi Damai dan Kebangsaan dalam Keberagaman



Musdah Mulia 



Pendahuluan

Pada dasarnya, setiap orang, dari kelompok mana pun, pasti memimpikan kehidupan yang harmonis dan damai. Sebab, perdamaian memang menjadi cita-cita kemanusiaan. Setiap orang berharap hidup tenang dan damai, bisa menyongsong hari depan yang cerah dengan penuh harapan. Tak ada seorang pun menghendaki hidup dalam suasana konflik, penuh kekerasan, ketegangan, apalagi penjajahan atau peperangan yang mengoyak nilai-nilai kemanusiaan.

Naluri untuk hidup damai mestinya sudah lebih dari cukup untuk menggerakkan kita agar selalu menjaga ikatan persaudaraan dengan yang lain. Kebutuhan akan rasa aman dan damai, mestinya menyadarkan kita perlunya mengesampingkan egoisme dan sikap-sikap yang bisa memantik pertikaian atau konflik dengan sesama. Spirit perjuangan untuk mempertahankan perdamaian, khususnya dalam wujud memproduksi narasi damai dan kebangsaan adalah bentuk jihad kemanusiaan. Jihad merawat nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai perdamaian, nilai-nilai persaudaran dan kasih sayang sesama manusia. Jihad kemanusiaan melawan segala bentuk tindakan anti-kemanusiaan; seperti kekerasan, ketidakadilan, diskriminasi dan eksploitasi.

Pertanyaan kritis, apa yang dimaksud dengan damai? Damai bukan hanya berarti tidak ada konflik atau perang. Damai adalah sebuah kondisi yang setidaknya memenuhi lima hal berikut:
1. Prinsip penghargaan terhadap semua manusia tanpa kecuali. Sebab, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, makhluk yang memiliki harkat dan martabat sebagai anugerah Tuhan. 
2. Prinsip kesetaraan semua manusia, tidak ada satu pun manusia yang boleh diperlakukan secara diskriminatif untuk alasan apa pun.
3. Prinsip keadilan bagi semua manusia tanpa kecuali. Adil adalah pemenuhan hak-hak asasi manusia yang paling mendasar, seperti hak hidup, hak kebebasan beropini, hak kebebasan beragama, hak properti dan hak kesehatan reproduksi.
4. Prinsip pemenuhan kebutuhan dasar manusia, penghapusan kemiskinan, kelaparan, pengangguran, semua penyakit menular yang membahayakan.
5. Prinsip pemenuhan rasa aman, mencegah konflik, perang, dan segala bentuk teror yang membuat manusia merasa tidak aman.


Kemajemukan bangsa Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan total penduduk lebih dari 260 juta jiwa, menduduki peringkat keempat di dunia. Luas wilayahnya lebih dari dua juta km2 membentang di garis khatulistiwa. Terdiri dari 17.000 pulau, besar dan kecil, sebagian besar tidak berpenghuni. Penduduknya sangat heterogen, terdiri lebih dari 200 suku bangsa dan memiliki lebih dari 700 bahasa. Bahkan, untuk wilayah Papua saja dijumpai ada ratusan suku dan bahasa. Semua gambaran ini menunjukkan betapa majemuknya bangsa Indonesia. 

Meskipun bahasa mayoritas adalah bahasa Jawa, namun para pendiri bangsa sepakat memilih bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan selanjutnya disebut Bahasa Indonesia. Selain beragam suku bangsa dan bahasa, mereka juga terdiri dari beragam corak budaya, agama, dan kepercayaan. Di antara agama yang dianut penduduk adalah Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, Baha’i, Sikh, Yahudi, dan lebih dari 400 kepercayaan lokal (indigenous religion). 

Indonesia sangat unik, walaupun mayoritas penduduk menganut Islam, namun para pendiri bangsa -yang sebagian besar terdiri dari tokoh-tokoh Muslim yang taat- tidak menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Mereka justru memilih Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara. Pancasila terdiri dari lima prinsip yang berisi nilai-nilai luhur yang mencerminkan esensi ajaran semua agama yang berkembang di negeri ini. Karena itu, semua pemeluk agama tidak sulit menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai alat pemersatu bangsa.

Namun, akhir-akhir ini muncul kekhawatiran akibat menguatnya populisme, terutama populisme agama yang membawa masyarakat cenderung kepada sikap dan perilaku radikal yang ditandai dengan meningkatnya intoleransi agama. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena gejala populisme diikuti oleh kecenderungan masyarakat menggunakan politik agama dan politik identitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kegiatan Pilkada dan Pemilu. Akibatnya, demokrasi hanya dimaknai sebatas prosedural belaka, tanpa mengimplementasikan nilai-nilai kemashlahatan sebagai basis inti demokrasi. Terlebih lagi, dalam banyak hal hubungan inter dan antar-agama di Indonesia saat ini belum sampai ke tahap pluralisme yang substansial. Oleh karena itu, dibutuhkan dialog agama yang konstruktif dan berkesinambungan sebagai jembatan menuju masyarakat agama yang humanis dan pluralis sesuai prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai esensial Pancasila yang pada gilirannya nanti menjadi landasan utama bagi terwujudnya NKRI yang maju dan berdaulat.


Memahami dialog agama secara benar

Tujuan agama yang paling hakiki adalah memanusiakan manusia. Artinya, dengan beragama manusia mampu meningkatkan kualitas spitualnya yang tercermin dari perilaku sehari-hari, baik dalam relasi dengan Tuhan, sesama manusia, maupun dalam relasi dengan lingkungan dan makhluk lainnya di muka bumi. Agama harus mampu membuat manusia menjadi lebih manusiawi. 
Spiritualitas yang kuat akan mendorong manusia berani menegakkan keadilan dengan mengeliminasi semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, termasuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Spiritualitas yang kokoh membimbing manusia tegar melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dalam memajukan sains dan teknologi demi kemashlahatan semua manusia. Spiritualitas yang matang menuntun manusia melawan semua bentuk korupsi, nepotisme dan perbudakan, mengikis semua bentuk imperialisme dan kolonialisme, termasuk mengikis cara hidup konsumeristik dan hedonistik yang membuat manusia tercerabut jati dirinya. Spiritualitas yang solid mengarahkan manusia mencintai perdamaian dan keharmonisan, menolong sesamanya dari kehancuran peradaban sekaligus menjaga kelestarian alam semesta.
Selama ini kegiatan dialog agama, baik bersipat internal dalam satu agama, maupun dialog antar-penganut agama yang berbeda sudah sering dilakukan. Tampaknya, kegiatan tersebut belum membawa hasil yang optimal dalam membangun perdamaian. Muncul pertanyaan, dialog agama seperti apa yang perlu dikembangkan? 
Pengalaman saya selama ini bekerja dalam isu dialog agama menyimpulkan paling tidak ada enam syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah dialog agama. Pertama, dialog agama adalah sebuah perjumpaan dimana semua pihak diharapkan bersikap jujur dan berani mengungkapkan common understanding serta fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai. Dialog merupakan “a way of knowing or understanding.” Dialog berbeda dengan debat karena dalam dialog target yang hendak dicapai adalah mutual understanding bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Karena itu, tidak ada kalah-menang dalam dialog. 

Kedua, dialog agama bukan sekedar face-to-face conversations, seperti dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau semacamnya. Dialog adalah proses komunikasi yang intens dan terus-menerus untuk memahami pemikiran, ajaran, tradisi, budaya, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders). 

Ketiga, dialog agama akan efektif manakala masing-masing partisipan memiliki niat tulus dan komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama dua syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran di berbagai tempat.  

Keempat, dialog agama harus dapat meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan, seperti umumnya dalam debat. Dengan demikian, dialog hendaknya berangkat dari komitmen  tulus masing-masing individu atau kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan “kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih. 

Kelima, dialog agama harus berakhir dengan aksi konkret melawan semua musuh agama. Dialog agama bukan hanya terbatas pada wacana melainkan pada aksi nyata dalam wujud aksi-aksi kemanusiaan. Misalnya berbagai kelompok agama berkolaborasi dan bekerjasama untuk melawan musuh-musuh agama. Musuh agama sangat jelas, yaitu ketidakadilan. Ketidakadilan mewujud dalam banyak bentuk, seperti korupsi, KDRT, kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, sistem politik yang tiranik dan despotik yang membawa kepada kolonialisme dan imperialisme. Ketidakadilan juga melahirkan pendewaan diri melalui perilaku konsumeristik, individualistik, dan hedonistik. Ketidakadilan mewujud dalam bentuk relasi yang timpang dan tidak setara yang pada gilirannya melahirkan dominasi, diskriminasi, eksploitasi dengan beragam kekerasan dan kebiadaban. 

Keenam, dialog agama adalah sebuah proses transformasi sosial. Dialog agama harus mampu mentransformasikan atau mengubah para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, arogan, konservatif, berprasangka buruk, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan menjadi pengikut agama yang rendah hati, respek, lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. 

Dengan ungkapan lain, dialog agama harus mampu mengubah individu atau kelompok yang semula saling membenci, mencurigai, memusuhi, dan antipati menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Dengan dialog diharapkan para peserta menjadi sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka. 

Karena itu materi yang dibahas dalam aktivitas dialog agama harus menyentuh persoalan riil yang nyata dihadapi masyarakat sehari-hari. Di antaranya, bagaimana meningkatkan mutu literasi generasi muda, mengeliminasi kemiskinan, mengurangi pengangguran, memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih serta makanan sehat dan begizi, mengolah sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat, meningkatkan kualitas kesehatan dan mencegah berbagai penyakit menular serta upaya-upaya menjaga kelestarian alam dan kesehatan lingkungan. Isu lain yang penting, bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan sehingga terjangkau oleh semua penduduk, khususnya mereka yang tidak mampu dan bermukim di tempat terpencil, bagaimana menolong kelompok disabilitas sehingga mereka dapat hidup mandiri. Bagaimana melepaskan masyarakat dari bahaya korupsi, sistem yang despotik serta belenggu perbudakan, trafficking, rentenir, dan jeratan kapitalisme dan imperialisme. 

Dialog merupakan ajaran esensial semua agama

Dialog agama merupakan sebuah solusi bagi timbulnya klaim-klaim kebenaran dari para penganut agama yang berbeda di masyarakat. Agama seharusnya dipahami sebagai fenomena sosial-budaya karena agama ditemukan pada semua bentuk masyarakat, mulai yang sangat primitif sampai yang sangat modern. Dalam dialog agama yang dicari bukanlah soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Dialog mengajarkan penganut agama agar mampu menghargai pendapat berbeda, mampu melakukan kompromi dan konsensus dalam menghadapi persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan. 

Dialog agama menempatkan umat beragama tidak berada dalam posisi menilai yang lain, akan tetapi berusaha memahami yang lain. Sebagai umat beragama jangan berbicara tentang orang lain, tetapi belajarlah dari orang lain. Dialog agama harus dapat membawa setiap penganut agama kepada penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang hakiki, yaitu mencintai sesama manusia. Agama mengajarkan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Setiap agama mengajarkan nilai-nilai keadilan. Sebaliknya, semua agama memusuhi sikap hidup individualistik, materialistik, kapitalistik, dan hedonistik.

Setiap agama mengajarkan budaya kesetaraan di antara sesama manusia. Tidak ada satu pun manusia yang boleh diperlakukan semena-mena: diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan karena alasan apa pun, seperti perbedaan jenis kelamin, gender, ras, orientasi seksual, pilihan politik, agama dan kepercayaan, bahkan juga karena alasan interpretasi agama. Setiap agama mengajarkan budaya toleransi dan jujur, serta melarang prasangka buruk, permusuhan dan kebohongan. 

Setiap agama mengajarkan budaya hidup sehat dalam arti yang luas. Karena itu, semua agama melarang narkoba dan semua jenis obat-obatan terlarang, minum minuman keras sampai memabukkan, melarang perzinahan, selingkuh, dan menyakiti hati pasangan. Setiap agama mengajarkan budaya ketulusan, membenci perilaku artificial (palsu dan dusta), serta membenci semua bentuk formalisme agama yang mengeksploitasikan simbol-simbol agama atau ritual agama. Setiap agama bertujuan untuk mewujudkan moralitas hakiki dalam diri manusia. Sayangnya, dalam realitas sehari-hari kita menemukan begitu banyak orang mengaku beragama tetapi tidak bermoral sehingga muncul anekdot: “beragama tetapi tidak bermoral.”


Prinsip-prinsip dasar dialog agama

Pengalaman panjang dalam berbagai dialog agama, membuat saya berkesimpulan minimal ada tiga prinsip dasar dialog agama, yaitu: Pertama, prinsip kemanusiaan. Intinya, kita harus berani melihat orang lain setara dengan kita. Selama masih ada sekat di antara manusia, selama itu pula dialog agama sulit diwujudkan. Prinsip kemanusiaan mengajarkan bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan. Dalam beragama diperlukan adanya suatu sikap hidup keagamaan yang relatif atau nisbi, bukan sikap mutlak-mutlakan. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa jika semua penganut agama mengambil sikap yang sama maka dapatlah dijamin bahwa agama tidak dapat dimainkan sebagai alat politik atau faktor pemecah belah yang akan membawa malapetaka bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, agama justru menjadi faktor perekat yang akan menebarkan rahmat bagi semua manusia, bahkan bagi alam semesta. 

Sikap hidup yang relatif dan penuh penghargaan terhadap sesama sangat dibutuhkan oleh setiap umat beragama di Indonesia. Umat beragama diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dan bertangungjawab dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila. Kebenaran agama tidak hanya satu, melainkan banyak. Yang dimaksudkan  kebenaran agama di sini adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara manusia beragama yang dalam terminologi Islam disebut tanawu`al ibadah. Jika seluruh penganut agama telah memiliki kedewasaan sikap beragama, yaitu sampai kepada pemahaman bahwa kebenaran agama tidak hanya satu, tentu saja tidak akan ditemukan kelompok-kelompok yang saling kafir-mengkafirkan yang berujung pada munculnya berbagai bentuk konflik dan kekerasan berbasis agama di tanah air.

Dalam konteks Islam jelas sekali diajarkan bahwa keselamatan itu tidak hanya monopoli umat  Islam, melainkan juga milik penganut agama lain. Surah al-Baqarah, 2:62 secara tegas menyatakan: Sesungguhnya orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, serta beramal saleh, maka semua akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka, dan mereka tidak akan kuatir, tidak pula akan bersedih.  Ayat tersebut jelas sekali menuturkan bahwa semua manusia akan selamat sepanjang memenuhi tiga syarat utama, yakni  beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, dan berbuat amal shaleh. Ketiga syarat utama dimaksud pada intinya merupakan ajaran dasar semua agama, yang berbeda hanyalah bahasa penyampaiannya. 

Sayangnya, manusia seringkali terlalu bersemangat untuk menyelamatkan sesama manusia atau terlalu ambisi untuk memasukkan manusia lain ke surga dan lupa akan keterbatasan dan kelemahan dirinya  sehingga di antara mereka ada yang bersikap melebihi Tuhan, menginginkan agar seluruh manusia masuk ke dalam satu agama, bahkan satu aliran. Semangat yang menggebu-gebu itulah yang sering mengantarkan mereka memaksakan pandangan dan keyakinannya pada orang lain, serta menganggap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka sebagai kafir dan harus masuk neraka. Tuhan saja yang Maha Pencipta justru memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalannya sendiri. Siapa yang ingin percaya silahkan dan siapa yang menolak terserah juga baginya.

Kedua, prinsip kekeluargaan. Dialog hanya akan membawa manfaat manakala para peserta dialog hadir dengan prinsip kekeluargaan. Umat manusia adalah satu keluarga, dan sebagai satu keluarga hendaknya kita sama-sama merasakan kepahitan dan sama-sama menikmati lezatnya kemanisan. Prinsip kekeluargaan melahirkan rasa simpati dan solidaritas terhadap orang lain karena selalu yakin bahwa semua manusia hakikinya adalah satu keluarga. Sebagai keluarga, kita tentunya harus saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Sebaliknya, sebagai keluarga kita dituntut untuk saling menghormati dan menghargai sesama. Kita tidak boleh saling mencederai apalagi mendzalimi sesama manusia. Kita juga tidak boleh mengeksploitasi alam dan lingkungan.

Ketiga, prinsip demokrasi. Hakikat demokrasi adalah mewadahi semua kelompok tanpa diskriminasi sedikit pun untuk kebaikan semua, tanpa kecuali. Sebab, nilai-nilai luhur demokrasi adalah keadilan, kesetaraan, kemajemukan, kegotongroyongan dan kemashlahatan bagi semua orang. Dialog agama hanya dapat dibangun dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemashlahatan untuk semua manusia. Demokrasi bertentangan dengan populisme yang mengedepankan intoleransi dan paham radikalisme. Akhirnya, diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat politik, terlebih lagi sebagai alat untuk mendominasi. Jangan lagi ada politisasi agama. Kini sudah waktunya mengembalikan agama kepada posisinya yang hakiki, yaitu kepada misi spiritualnya sebagai sumber etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Penutup 

Kesimpulannya, salah satu upaya penting dalam membangun dan merawat narasi damai dan kebangsaan dalam keberagaman masyarakat adalah dialog agama. Inti dialog agama adalah menghidupkan nilai-nilai moral agama yang esensinya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan. Dengan menghidupkan nilai-nilai tersebut, akan terbangun relasi kemanusiaan yang hangat, akrab, intens dan bermakna, dimulai dari diri sendiri dalam keluarga.

Dialog agama, baik yang bersipat intra atau dilakukan di antara pengikut sesama agama, maupun di antara pengikut agama yang berbeda atau antar agama hendaknya diarahkan untuk aksi-aksi konkret bersama mengeliminasi musuh yang sama, yakni ketidakadilan. Melalui dialog agama komunitas agama bergandeng-tangan dan berkolaborasi mengeliminasi kemiskinan, korupsi, pengangguran, kejahatan terorisme dan semua bentuk ketimpangan sosial, ekonomi dan politik. Lalu bersama-sama mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bahagia melalui upaya-upaya peningkatan kualitas literasi dan pendidikan, peningkatan kualitas kesehatan dan kemajuan ekonomi serta pemenuhan hak-hak asasi semua warga tanpa kecuali. 


Islam: Agama Cinta Lingkungan ICRP, 13 Januari 2018

(Musdah Mulia)


Kajian Salam kali ini mengambil tema yang unik, yaitu tentang Islam sebagai Agama Cinta Lingkungan. Tema ini masih jarang dibahas di berbagai pengajian dan kegiatan keislaman. Karena itu, tidak heran jika perilaku umat Islam terkait upaya kelestarian alam dan kesehatan lingkungan sangat jauh dari ideal sebagaimana diamanatkan dalam Qur’an dan Sunnah Rasul.

Islam adalah agama yang vokal bicara tentang pentingnya kelestarian alam dan kesehatan lingkungan. Salah satu konsep Islam dalam pemanfaatan alam adalah had al-kifayah (standar kebutuhan yang layak). Artinya, dalam memanfaatkan alam manusia perlu menggunakan standar kelayakan, yakni gunakanlah sekedar kebutuhan yang layak. Jangan memanfaatkan alam di luar standar yang digariskan. Sebab, itu bermakna mengeksploitasi atau menzalimi alam.
Kecenderungan global yang merupakan kegelisahan manusia antara lain karena modernisasi adalah sebagai berikut:1) industrialisasi yang semakin cepat, 2) pertumbuhan penduduk semakin padat, 3) kekurangan gizi yang semakin parah, 4) sumber daya alam semakin terbatas dan tidak bisa diperbaharui, serta 5) lingkungan hidup yang semakin rusak.

Eksploitasi manusia terhadap lingkungan disebabkan oleh tiga faktor: populasi, konsumsi dan teknologi. Akibat dari perbuatan mengeksploitasi alam akan timbul bencana berupa tanah longsor, banjir, kebakaran hutan, meningkatnya suhu panas bumi, melelehnya es di kutub sehingga volume air laut meninggi drastis. Semua itu akan berdampak sangat buruk bagi kehidupan manusia di planet bumi ini. Bukan hanya mereka yang melakukan kejahatan yang akan merasakan dampaknya, melainkan orang lain yang tidak bersalah juga terkena dampaknya.

Upaya menjaga kelestarian alam sudah diingatkan sejak masa Rasul. Setidaknya, Rasul melakukan tiga upaya konkret sebagai berikut. Pertama, beliau misalnya tercatat melakukan upaya penetapan daerah konservasi dengan menjadikan wilayah Naqi’ sebagai daerah konservasi. Kebijakan Nabi juga diikuti khalifah Umar dengan menjadikan Saraf dan Rabazah sebagai daerah konservasi. 

Kedua, upaya lain yang dilakukan Rasul adalah mendorong umatnya untuk rajin menanam pohon. Mengapa perlu menanam pohon? Paling tidak ada dua pertimbangan. Pertama, pertimbangan manfaat seperti dinayatakan dalam QS. ‘Abasa, 80:24-32. Kedua, pertimbangan keindahan seperti disebut dalam QS, al-Naml, 27:60.

Ketiga, terakhir tapi tidak kurang pentingnya adalah melarang umatnya melakukan pencemaran lingkungan. Hadis Rasul yang terkenal soal ini, antara lain berbunyi: “Takutlah tiga hal yang menimbulkan laknat Tuhan, yaitu buang air besar di saluran air (sumber air), di tengah jalan dan di tempat teduh (HR. Abu Daud).
Qur’an dan Sunnah Rasul memuat sejumlah pedoman pemeliharaan lingkungan yang dapat dipolakan pada tiga hal: Pedoman pemeliharaan lingkungan (al-A’raf 55, Baqarah 205, Rum 41, Qashas 77, Saba, 27-28). Pedoman pemanfaatan lingkungan (al-Baqarah, 22, al- Nahl, 11, al-Anbiyaa, 30), dan Pedoman pencegahan bencana lingkungan (al-Baqarah, 11- 12-195 dan Ali Imran 190-191).

Apa yang harus kita lakukan? Mulai sekarang dan dimulai dari diri sendiri lakukanlah hal- hal berikut:
Pertama, belilah dan gunakanlah barang-barang dan jasa yang ramah lingkungan. Kedua, berlaku hematlah dalam segala hal, terutama terkait penggunan air bersih dan energi. Ketiga, pilihlah transportasi yang rendah emisi gas. Keempat, jangan menggunakan gelas, botol dan kantong plastik. Plastik sangat berbahaya bagi planet ini karena plastik tidak dapat mengalami biodegradasi, sulit untuk hancur dan merusak lingkungan. Kelima, gunakanlah produk organik. Makanan organik bebas dari pestisida, pupuk kimia, dan tidak mengandung organisme transgenik dan seterusnya. Keenam, buanglah sampah pada tempatnya dan biasakanlah memilah-milah sampah sebelum dibuang. Ketujuh, biasakanlah pola hidup sehat bersih dan peduli pada kelestarian alam. Ketahuilah, perilaku kita hari ini sangat menentukan masa depan nasib anak-anak kita. Berpikirlan untuk menyelamatkan sesama. Sebab, itulah inti kesalehan dalam beragama.

Selasa, 15 Januari 2019

Diskusi dan Bedah Buku Perempuan dan Terorisme

Diskusi dan Bedah Buku Perempuan dan Terorisme, 
di Gramedia, Jakarta 14 Januari 2019

(Musdah Mulia)



Buku karya Leebarty Taskarina, awalnya berupa tesis untuk mendapat gelar Master di UI jurusan Kriminologi. Secara garis besar, buku ini memberikan perhatian pada korban yang terlupakan dari kejahatan terorisme, yaitu para perempuan. Argumentasi dalam tulisan ini bertolak dari pandangan bahwa para istri yang dilibatkan dalam kejahatan terorisme ini adalah korban, bukan pelaku. Pelibatan para istri dalam kejahatan terorisme didominasi hubungan sistem patriarki dan itu merupakan bentuk viktimisasi. Pada dasarnya, tidak semua bentuk viktimisasi mengakibatkan perlukaan fisik, namun ketidakberdayaan untuk memilih sebagai seorang istri menjadi titik balik bahwa mereka adalah korban. 

Keterlibatan perempuan ini sendiri tidak dipungkiri ikut berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Kasus Dian Yulia Novi adalah yang pertama terkuak.  Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet yang dilakukan oleh calon suaminya saat itu. Kasus ini mengemuka karena pertama kalinya  di Indonesia seorang istri direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (suicide bomber).

Para teroris melibatkan istri-istri untuk ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Tidak hanya itu, fakta yang kemudian terkuak adalah kebutuhan biologis para pemimpin kelompok ini menuntut para istri untuk ikut bergerilya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan barang bukti berupa pil KB dalam pengejaran aparat.


Buku ini juga menjelaskan bahwa istri para teroris mengalami viktimisasi selama perjalanan hidupnya mulai dari proses penangkapan hingga sudah bebas dari jeruji besi, Mereka teralienasi dari keluarga, terkucilkan, rentan dan tidak mampu secara finansial karena tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya akibat pengucilan dan status mantan napi atau bahkan “janda teroris”. Keberpihakan dan perlindungan negara terhadap para istri pelaku kejahatan terorisme sendiri juga terkesan masih tarik ulur.  


Buku ini menjadi jendela penting untuk memahami bahwa persoalan terorisme yang melibatkan perempuan melahirkan beragam persoalan sosial lainnya, seperti perkawinan anak, perkawinan sirri, poligami, pengabaian hak dan kesehatan reproduksi perempuan yang kesemuanya itu berujung pada menurunnya kualitas hidup perempuan. Tentu hal itu sangat mengganggu pencapaian target SDG’s pemerintah.

Mengapa para perempuan mau terlibat dalam gerakan terorisme? Pertama karena rendahnya tingkat literasi mereka sehingga terbelenggu dalam pemahaman yang bias gender. Selain itu, tingkat pemahaman keislaman mereka juga sangat dangkal sehingga mudah menerima doktrin yang keliru terkait konsep ketaatan, jihad, kafir, thagut, khilafah, negara Islam dan seterusnya. Karena itu, upaya literasi kesadaran perempuan perlu digalakkan agar mereka tidak mudah terpengaruh doktrin ideologi patriarki dan interpretasi Islam radikal. 

Kedua, interpretasi keagamaan yang eksklusif melahirkan sikap dan perilaku intoleran yang membuat mereka dipenuhi rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang yang berbeda. Diperlukan upaya counter penafsiran sehingga interpretasi agama yang sejuk, humanis dan toleran menjadi dominan di masyarakat. Upaya sosialisasi penafsiran yang inklusif ini perlu dilakukan sejak di PAUD. Sangat penting menolak semua bentuk perilaku intoleran sekecil apa pun. Jangan memandang sepele sikap dan perlakuan intoleran terhadap siapa pun. 

Ketiga, rasa teralienasi dan tersingkirkan dari kelompoknya membuat mereka tidak punya banyak pilihan dalam hidup, sehingga pilihan menjadi teroris merupakan satu-satunya pilihan. Tampaknya perlu mengembangkan budaya-budaya damai dan menghargai sesama, khususnya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga. Terakhir dan sangat penting, negara perlu mendorong agar interpretasi agama dan pandangan ideologi yang inklusif, demokratis dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan menjadi dominan di masyarakat.



Minggu, 06 Januari 2019

Klub Kajian Salam Tema: Memahami Kembali Rukun Islam

Klub Kajian Salam

Tema: Memahami Kembali Rukun Islam
ICRP, 5 Januari 2019
(Musdah Mulia)

Sebagian peserta Kajian Salam bersantai sambil menikmati hidangan ringan usai kegiatan

Kajian Salam kali ini mengawali Tahun Baru 2019 dengan menyegarkan kembali pemahaman keislaman dengan mengulas hal-hal yang sangat mendasar, yaitu Rukun Islam. Semua yang megaku umat Islam pasti tahu Rukun Islam. Persoalannya, apakah pengetahuan tentang rukun Islam itu sekedar hapalan atau sudah meningkat ke level pemahaman dan penghayatan atau bahkan sudah sampai pada tahap implementasi dan pengamalan nyata.

Penjelasan tentang rukun Islam terambil dari sebuah hadis Rasulullah saw. Dikisahkan bahwa malaikat Jibril datang menemui Rasul dan bertanya tahukan Anda, apa itu rukun Islam. Rasul yang sadar bahwa yang menemuinya itu Jibril dengan tegas  menjawab, yang bertanya jauh lebih tahu daripada yang ditanya. Jibril lalu menjelaskan: Islam dibangun di atas lima fondasi: Pertama, syahadat atau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya; Kedua, mendirikan shalat; Ketiga, membayarkan zakat; Keempat, melaksanakan puasa Ramadhan dan Kelima, menunaikan haji bagi yang mampu. Kelima hal tersebut wajib dijalankan oleh mereka yang mengaku beragama Islam.

Rukun pertama, syahadat. Dengan syahadat tersebut umat Islam berkomitmen hanya menuhankan Allah swt dan meyakini Muhammad saw sebagai Rasul-Nya. Umat Islam berkomitmen tidak menuhankan tuhan-tuhan lain berupa manusia (penguasa, pengusaha, pemimpin agama dan seterusnya), atau berupa kekuasaan, harta, ideologi, kemampuan akal, partai politik, organisasi, suku, dan sebagainya. Tauhid adalah penghambaan diri hanya kepada Allah swt dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa pasrah, cinta, harap dan takut hanya kepada-Nya. Gambaran Allah yang kita imani termaktub dalam surah Al-Fatihah. Dialah Tuhan yang Maha Pencipta alam semesta, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Penguasa Hari Kemudian, Dialah satu-satunya tempat mengabdi dan memohon bantuan serta memohon petunjuk ke jalan yang lurus.

Memahami tauhid dengan benar akan mengantarkan kita kepada prinsip kesetaraan manusia. Tauhid dengan tegas mengajarkan, hanya ada satu Tuhan, selain Dia semuanya hanyalah makhluk. Berarti semua manusia adalah setara, yaitu setara sebagai makhluk Tuhan. Prinsip kesetaraan manusia tidak menghendaki adanya pembedaan, diskriminasi, apalagi eksploitasi terhadap manusia, apa pun alasannya. Semua manusia harus dihormati karena martabat kemanusiaannya (dignity). Keyakinan bahwa hanya Allah yang patut dipertuhankan dan tidak ada siapapun dan apapun yang setara dengan Allah, meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di hadapan Allah, baik sebagai hamba-Nya maupun sebagai pemimpin di muka bumi (khalîfah) ini. Manusia, apa pun identitasnya mengemban tugas ketauhidan yang sama, yakni menyembah hanya kepada Allah Swt (Q.S. Al-Dzâriyât [51]: 56.)

Tauhid juga membawa kepada prinsip kebebasan. Semua manusia diberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya. Manusia bebas memilih untuk beragama dan tidak beragama, beriman atau tidak beriman, manusia bebas memilih untuk melaksanakan amal saleh atau tidak. Namun, manusia yang bijak pasti memilih menjadi orang beragama dan beriman dengan melakukan amal-amal saleh, bukan sebaliknya. Karena itu tidak boleh ada pemaksaan dalam bentuk apa pun terhadap manusia terkait agama dan kepercayaannya. Sebagai manusia, tugas kita hanyalah mengingatkan dengan cara-cara damai dan bijak, bukan memaksa apalagi bersikap anarkis. Penghayatan rukun pertama inilah yang mendasari pengamalan rukun Islam lainnya.

Rukun kedua, shalat lima waktu. Shalat adalah rangkaian kegiatan ibadah yang terdiri atas ucapan (bacaan) dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ada beragam jenis shalat, tapi yang diwajibkan hanyalah shalat lima waktu. Fungsi shalat sangat banyak, di antaranya menjauhkan pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (Q.s. 29:45). Ini yang terpenting, kita harus introspeksi setiap saat, apakah shalat mengubah kita menjadi manusia yang baik dan bijak? Shalat juga sebagai media memohon pertolongan Allah dalam menjalani kehidupan (Q.s. 2:45, 153), sarana mengingat Allah (Q.s. 20:14), sarana mendapatkan ketenangan jiwa (Q.s. 70:22, 23, 34), sarana mendapatkan kemuliaan di sisi Allah (Q.s. 4:162; 13:22; 23:2,9; 24:37); 35:29, 87:15), dan agar terhindar dari siksa neraka (Q.s. 74:43, 107:4,5).

Shalat juga dapat menanamkan rasa solidaritas di antara sesama jamaah yang melakukan shalat. Seorang imam shalat, walaupun ia pemimpin di dalam shalat itu, harus memiliki rasa solidaritas terhadap sesamanya. Imam tidak boleh membaca bacaan-bacan yang terlalu panjang jika dia mengetahui bahwa ada di antara makmumnya yang sudah udzur yang tidak memungkin baginya untuk berdiri berlama-lama di dalam shalat. Shalat mengajarkan kesabaran, kedisiplinan dan solidaritas kemanusiaan.


Rukun ketiga, zakat. Islam tidak melarang manusia menikmati kesenangan dunia, termasuk memiliki harta yang banyak, bahkan dilansir sebagai hal yang alamiah dalam diri manusia. Islam hanya menjelaskan bahwa kehidupan di dunia dengan segala kenikmatannya bukanlah kehidupan yang kekal, melainkan kehidupan yang bersifat sementara. Masih ada kehidupan lain yang lebih panjang dan abadi, itulah kehidupan akhirat. Penjelasan ini mengarahkan manusia agar tidak terjebak pada pola hidup konsumeristik, materialistis dan hedonistis, serta lebih mengorientasikan kehidupannya pada kehidupan di akhirat nanti. Dengan ungkapan lain, kepemilikan mutlak hanya ada pada Allah, sementara kepemilikan manusia bersifat relatif. Manusia mendapatkan hak kepemilikan tersebut dalam fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai mustakhlif (pihak yang diberi kepercayaan), manusia diberi wewenang untuk mengolah, mengelola, dan mengambil manfaat dari apa yang ada di muka bumi ini sesuai dengan pesan atau titipan yang memberinya demi kemaslahatan manusia dan alam semesta.

Islam mengajarkan bahwa dalam setiap harta yang kita peroleh didalamnya terkandung hak orang lain dan ini mengindikasikan pentingnya menyalurkan harta untuk kepentingan social, kepentingan kemanusiaan. Keimanan seorang Muslim belum sempurna selama ia belum mendistribusikan hartanya. Ini semua menyimpulkan betapa Islam sangat memperhatikan keadilan sosial (social justice).  Adapun mengenai pendistribusian harta, ada beberapa cara yang ditunjukkan, dan  secara umum dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori, yakni pengeluaran wajib dalam bentuk zakat, dan pengeluaran sukarela dalam bentuk infak dan sadaqah. Idealnya, pendistribusian harta melalui zakat, infak dan sadaqah dilakukan dengan motif semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah demi mendapatkan ridha-Nya. Namun, sangat disayangkan dalam realitasnya masih banyak dijumpai orang-orang yang mendistribusikan harta demi kepentingan duniawi, seperti untuk mendapatkan pujian manusia, untuk mendapatkan promosi dan peningkatan status sosial.

Rukun keempat, puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan adalah sebuah mekanisme pensucian diri agar mendapatkan posisi sebagai manusia takwa. Qur’an menegaskan, kewajiban puasa dimaksudkan agar orang beriman menjadi lebih takwa. (al-Baqarah, 2:183). Ketakwaan seseorang tercermin dalam perilaku sehari-hari atau akhlaknya.

Salah satu fungsi utama puasa Ramadhan adalah mensucikan jiwa manusia dari semua godaan hawa nafsu. Logikanya, semakin banyak puasa dilakukan, semakin suci pulalah jiwa manusia pelakunya. Sebab, puasa mendisiplinkan diri manusia agar tidak memperturutkan hawa nafsu. Membiasakan puasa dalam kehidupan keluarga, khususnya terhadap anak-anak, akan mengeliminasi rasa permusuhan dan kebencian. Sebaliknya, puasa memupuk rasa cinta dan kasih sayang di antara anggota keluarga.

Islam secara tegas mengajarkan bahwa jiwa manusia pada dasarnya suci. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya manusia tercemar oleh berbagai dosa. Pencemaran terjadi karena dalam diri manusia selalu ada tendensi mengikuti hawa nafsu yang irasional, dan senantiasa membujuknya berpaling dari fitrah kesucian. Hawa nafsu merupakan pangkal dari semua penyakit dalam kehidupan manusia. Hawa nafsu, antara lain berwujud sifat takabur, sombong, arogan, dengki, iri hati, tamak, serakah, dan semua bentuk perilaku pemenuhan syahwat tanpa batas.

Rukun kelima, haji bagi mereka yang mampu secara fisik, psikis dan ekonomi. Ibadah haji yang dilaksanakan di tanah haram pada bulan Zulhijjah adalah wadah pertemuan internasional antara seluruh masyarakat muslim yang berasal dari seluruh dunia. Mereka pada saat itu berkumpul di tempat yang sama, dengan pakaian yang sama, dan tujuan yang sama, yaitu mengaharap keridaan dan pengampunan Allah swt., tanpa ada diskriminasi karena perbedaan bangsa, warna kulit, dan bahasa yang digunakan.

Ibadah haji tidak hanya semata-semata ditujukan untuk menjaga hubungan baik dengan Allah, tetapi juga menjaga hubungan baik dengan diri sendiri, sesama manusia, dan menjaga hubungan baik dengan alam. Pada saat berihram, dilarang membunuh hewan sekecil apapun, dilarang memotong pohon-pohon yang ada di sekitar kita. Larangan ini terkait dengan upaya menjaga hubungan baik dengan alam dan lingkungan sekitar. Pada saat berihram, kita juga dilarang bertengkar dengan sesama, tidak boleh menyakiti orang lain. Larangan ini terkait upaya menjaga hubungan baik dengan sesama. Rasulullah menyatakan bahwa “Siapa yang melaksanakan ibadah haji, lalu tidak mengucapkan kata-kata kotor, dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama, maka ia dibersihkan dari dosanya bagaikan seorang bayi yang baru lahir”.
  
Jelas terlihat bahwa seluruh rukun Islam berujung pada upaya perbaikan dan peningkatan moralitas manusia (akhlak karimah), sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah saw: “Saya diutus ke dunia semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Seyogyanya, semakin seseorang bertekun dalam menjalankan rukun Islam, maka ia semakin bermoral, semakin berempati kepada sesama dan semakin peduli pada lingkungan. Itulah ciri-ciri utama orang takwa. Pengamalan rukun Islam sepenuhnya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia serta kedamaian dan keharmonisan semua makhluk di alam semesta. Wallahu a’lam bi shawab.