Senin, 31 Oktober 2016

Visi-Misi Islam dalam Penciptaan Manusia


Visi-Misi Islam dalam Penciptaan Manusia



Problem paling mengemuka dari umat beragama adalah mereka tidak menganggap keberagamaan (religiosity) sebagai bagian esensial dari kemanusiaan. Tidak heran jika dewasa ini kita menjumpai orang-orang yang mengklaim diri sebagai  beriman, namun sangat tidak manusiawi.

Dalam Islam contohnya, dijumpai orang-orang yang rajin shalat dan puasa, tapi tidak peduli pada ketidakadilan yang merajalela di masyarakatnya, tidak peduli pada sampah yang menumpuk di sekelilingnya, tidak peduli pada kelaparan tetangganya, tidak peduli pada penderitaan dan kekerasan yang dialami keluarganya, demikian seterusnya.

Akibatnya, agama gagal menjawab pelbagai masalah kemanusiaan yang krusial seperti ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, konsumerisme, hedonisme, kekerasan, korupsi dan beragam penyakit sosial lainnya. Agama pun tidak mampu mengikis stigma, prejudice dan perilaku diskriminatif, khususnya terhadap kelompok marjinal, minoritas, dan tertindas. Ajaran tentang keadilan, kejujuran, solidaritas, kepeduliaan, dan kasih sayang hanya terukir indah dalam Kitab Suci, tapi sangat sulit dijumpai dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Semua agama dan kepercayaan seharusnya fokus membawa umat mereka kepada peningkatan kualitas spiritualitas diri yang terefleksi dalam aktivitas dan kerja-kerja konkret yang membebaskan manusia dari semua bentuk penyakit sosial tersebut.

Agama harus mampu mengubah umatnya menjadi lebih peka pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan lebih professional dalam memberikan pelayanan kemanusiaan, khususnya terhadap kelompok rentan dan tertindas yang dalam terminologi Al-Qur’an disebut  kelompok mustadh’afin.

Sebagai perempuan Muslim, saya amat yakin bahwa Visi Islam mengenai penciptaan manusia adalah menjadi khalifah fil ardh (pemimpin di bumi). Sebagai pemimpin, manusia diharapkan menjadi the agent of moral. Sebagai agen moral manusia harus mampu menata dan mengelola kehidupan di bumi ini dengan sebaik-baiknya demi kemashlahatan semua manusia, dan hal itu harus dimulai dari menata diri sendiri, keluarga dan masyarakat luas.


Adapun misi utama penciptaan manusia adalah amar ma’ruf nahy munkar, yakni melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi demi kesejahteraan dan kemashlahatan manusia yang tentunya dimulai dari diri sendiri dan keluarga inti, lalu kemudian masyarakat luas.

Upaya transformasi juga mencakup rekonstruksi budaya agar terbangun budaya yang lebih memanusiakan manusia.  Selain itu, upaya revisi sejumlah kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang masih mengandung unsur diskriminatif terhadap kelompok minoritas karena alasan gender, agama, dan etnis harus masuk dalam kerja-kerja transformasi.

Upaya humanisasi mencakup semua upaya untuk menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi, termasuk diri sendiri. Upaya ini mencakup kegiatan edukasi, komunikasi, dan yang senada dengan itu demi menghindari kejahatan dan kemungkaran. Termasuk di dalamnya upaya perbaikan kualitas pendidikan di semua tingkatan sehingga mewujudkan masyarakat terdidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Itulah makna perintah amar ma’ruf nahy munkar bagi semua manusia tanpa kecuali. Karena itu, semua manusia tanpa ada sekat sedikit pun diharapkan mampu bekerjasama secara tulus dan dengan penuh kasih sayang, bahu-membahu, bergotong-royong mewujudkan masyarakat yang damai, bahagia dan sejahtera (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur), seperti diilustrasikan Al-Qur’an dalam surah Saba’.

Bagi umat Islam, mengkaji Al-Quran untuk memahami dan mengimplementasikan pesan-pesan moral dan spiritual yang terkandung di dalamnya adalah suatu keharusan. Agaknya, kita umat Islam bukan hanya membutuhkan interpretasi baru yang lebih humanis, tetapi juga metodologi baru dalam memahami Al-Quran. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Minggu, 30 Oktober 2016

Tradisi Menutup Kepala Dalam Berbagai Agama

Tradisi Menutup Kepala Dalam Berbagai Agama



Sangat menyenangkan hadir dalam Internasional Congress on Listening to Asia di Universitas Urbaniana, Roma. Presentasi saya berjudul Questioning The Book in the World of to Day, Faith and Hermeunetics: the Contemporary Islamic Thought. Pertemuan berlangsung di Universitas Urbaniana, Roma, Italia yang dikenal sebagai sekolah para suster dan pastor.

Kesimpulan dari presentasi tersebut adalah penting bagi semua umat beragama untuk mengkaji kembali pesan-pesan moral dalam kitab suci sehingga mereka dapat hidup bersama dalam keberagaman dengan penuh damai dan harmoni.


Pertemuan akbar ini dihadiri peserta dari berbagai bangsa, agama dan kepercayaan, warna kulit dan model pakaian. Pluralitas manusia sungguh suatu fakta yang tidak dapat disangkal. Pluralitas itulah yang abadi. Semua upaya untuk menyeragamkan manusia, termasuk menyeragamkan busana, pasti berakhir sia-sia.

Saya duduk di tengah-tengah biarawati yang menggunakan tutup kepala. Warnanya ada yang putih, coklat, krem, hitam, abu-abu, dan lain-lain. Bentuk tutup kepala pun beragam beberapa di antaranya sedikit terbuka sehingga rambut di kepala bagian depan kelihatan. Namun, tidak sedikit pula yang tutup kepalanya menutup rapat seluruh kepala sampai ke pundak. Ada tutup kepala yang hanya satu lapis, lalu ada juga yang berlapis-lapis sehingga terkesan berat di kepala.



Para biarawati itu berasal dari berbagai belahan dunia. Dari Eropa, Afrika, Australia, Amerika, dan tidak sedikit dari bangsa-bangsa di Asia, seperti China, India, Melayu, bahkan beberapa dari Indonesia. Saya memerhatikan mereka dapat hidup bersama dalam damai, melampaui perbedaan etnik, bangsa, warna kulit, dan tradisi.


Gereja ternyata mampu menjadikan perbedaan dan keanekaragaman tersebut menjadi landasan untuk hidup bersama dalam pelayanan manusia. Mestinya, hal serupa dapat pula diciptakan di luar gereja. Hanya dengan cara itu, masa depan kemanusiaan yang penuh damai dapat terwujud.

Realitas sosial di seluruh dunia mengungkapkan, perempuan yang menutup kepala dijumpai dalam berbagai komunitas agama: Islam, Khatolik, Kristen Orthodox, Kristen Koptik, Jana, Jahudi Orthodox. Karena itu, mengklaim tradisi tutup kepala sebagai monopoli suatu komunitas adalah keliru besar.

Karena itu, dalam urusan tutup kepala, berilah kebebasan seseorang memilih secara kritis dan cerdas apakah akan memakai tutup kepala atau tidak. Faktanya, tidak sedikit yang memakai tutup kepala hanya sebagai fashion belaka. Bahkan, ada trend di Indonesia jika sudah berurusan dengan hukum barulah pakai tutup kepala untuk membangun image bahwa dirinya tidak bersalah.

Yang jelas, keimanan dan kesalehan seseorang tidak bisa hanya diukur dari tutup kepala yang dikenakannya, melainkan sejauh mana dia sebagai manusia berguna dan memberikan manfaat bagi sesama serta peduli pada lingkungan sekitarnya.

Sudah waktunya mengajak masyarakat beragama secara esensial, tidak terpaku pada hal-hal yang artifisial dan simbolik. Mari saling memahami satu sama lain sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang harmoni dan saling menghargai. Agama harus dapat membimbing manusia menjadi lebih manusiawi. Wallahu a’lam bi al-shawab.





Jumat, 28 Oktober 2016

Mengenal Islam Bektasyi

Mengenal Islam Bektasyi


Para Imam Bektasyi (Salah Satu sekte Syi'ah) Kelompok Islam Mayoritas di Albania

Mengunjungi Masjid terbesar dan termegah Muslim Bektasyi di Tirana, Albania. Albania merupakan salah satu negara di Eropa Timur yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih pesat dari negara2 di sekitarnya. Sekitar 60% penduduknya beragama Islam. Bektasyi merupakan aliran Islam yang sangat populer di wilayah Albania. Bektasyi adalah salah satu sekte dalam Syiah.

Patung Pendiri Bektasyi

Mengunjungi Muslim Bektasyi semakin menyadarkan saya betapa beragamnya implementasi Islam di berbagai belahan dunia. Islam memang hanya satu, namun perwujudannya dalam kehidupan sosial masyarakat amatlah beragam. Kondisi demikian menuntut kita untuk saling menghargai.

Di perpustakaan masjid Bektasyi inilah, saya pertama kali melihat keempat kitab suci yang disebutkan dalam Qur'an dipajang bersamaan dalam satu bingkai, sungguh indah. Subhanallah!!!

4 Kitab Suci terpampang di Perpus Mesjid Bektasyi, Tirana,

Rabu, 26 Oktober 2016

Sikap Terhadap ODHA

Sikap Terhadap ODHA, Belajar dari Pengalaman Nyata

   Ada perasaan sedih mendalam membaca laporan Komisi Nasional Penanggulangan HIV/Aids. Di dalam laporan itu dinyatakan bahwa penderita HIV/Aids justru merebak di kalangan ibu-ibu yang sehari-hari dikenal sebagai “orang baik-baik”, mereka bukanlah seperti diduga banyak orang.
   Pengalaman saya berkaitan dengan HIV/Aids dan mereka yang terinfeksi virus HIV (ODHA) dimulai sejak  27 tahun lalu, persisnya tahun 1989 ketika saya masih aktif di Fatayat NU, sebuah organisasi perempuan Islam di lingkungan Nahdlatul Ulama yang  memiliki cabang di seluruh Indonesia. 
   Fatayat NU sangat intensif melakukan upaya-upaya penguatan hak-hak perempuan dengan perspektif kesetaraan gender. Waktu itu Fatayat sedang mengelola program kelangsungan hidup ibu dan anak bekerjasama dengan UNICEF. Sasaran utama program ini adalah kaum perempuan yang berada dalam usia subur, dan karena tuntutan program saya berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia menjumpai kaum perempuan, terutama terdiri dari ibu-ibu muda untuk memberikan penyuluhan dan pemberdayaan. 
   Program ini menggunakan pendekatan keagamaan dalam mempromosikan pentingnya menjaga kelangsungan hidup ibu dan anak melalui kegiatan penyadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi, pentingnya imunisasi bagi ibu dan anak, serta pentingnya makanan bergizi bagi ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita. Melalui pendekatan agama, program ini diterima dengan baik oleh seluruh elemen masyarakat, khususnya di tingkat pedesaan di mana mayoritas anggota Fatayat berdomisili. 
   Dalam pelaksanaan program itulah, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan tiga orang  ibu yang terinfeksi virus HIV dan anehnya mereka semua awalnya tidak tahu dan bahkan tidak pernah menyangka kalau dirinya telah terinfeksi. Ketika itu masih kuat anggapan bahwa penyakit HIV hanya menghinggapi mereka yang dikenal memiliki reputasi moral yang buruk dan sering berganti-ganti pasangan. Sementara ketiga ibu itu dikenal luas di masyarakat sebagai perempuan baik-baik. Perempuan yang sehari-harinya mengabdikan hidup untuk mengurus keluarga, melayani suami dan merawat anak-anak. 
   Dari wawancara mendalam terhadap ketiganya, terungkap bahwa perempuan pertama terinfeksi HIV karena transfusi darah yang dijalaninya ketika melahirkan anak pertama; perempuan kedua terinfeksi karena tertular oleh suaminya yang suka ganti-ganti pasangan; dan yang ketiga terinfeksi karena perkosaan yang dilakukan oleh majikan dimana dia bekerja sebelum menikah. Ketiga ibu tadi baru tahu penyebabnya setelah mereka dinyatakan positif mengidap HIV. 
   Sejumlah pertanyaan kritis muncul: Apakah ibu-ibu yang tidak bersalah itu harus menanggung resiko dipermalukan karena sesuatu yang terjadi di luar kemauan mereka? Apakah pantas ibu-ibu itu dicap sebagai pendosa? Atau andaikata seseorang menderita HIV karena perbuatan dosa yang dilakukannya apakah mereka akan kita stigma lagi? Apakah adil jika orang sakit (ODHA) masih harus menderita akibat stigma dan berbagai label negatif yang dilekatkan pada dirinya? Apakah manusiawi menghakimi orang sakit (ODHA)? Apakah manusiawi mengucilkan mereka (ODHA) dari keluarga dan masyarakatnya? 
  Pengalaman nyata itu menyadarkan saya akan perlunya memahami secara holistik tentang HIV/Aids; perlunya melakukan advokasi dan pendampingan terhadap mereka yang terinfeksi HIV (ODHA), termasuk anak-anak mereka yang pasti tidak bersalah. 
  Sejak itu rasa empati terhadap kelompok ODHA tertanam kuat dalam diri saya dan juga komitmen kemanusiaan untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat agar semua stigma dan perlakuan negatif serta merugikan terhadap kelompok ODHA harus diakhiri.
    Karena itu, waspadai penularan HIV/Aids, namun tetap sayangi mereka yang telah menjadi korban. Lakukanlah sesuatu yang dapat meringankan beban penderitaan mereka. 
Mari mengasihi sesama manusia!!

Selasa, 25 Oktober 2016

Agama Otoritarian dan Agama Humanistik


Pertanyaan yang akhir-akhir ini banyak muncul adalah jika agama betul menjadi sumber kekerasan, apakah manusia harus dilarang beragama? Tampaknya sangat mustahil. Sebab, manusia tidak mungkin lepas sama sekali dari agama, setinggi apa pun kemajuan yang dicapainya. Ada ruang spiritualitas dalam diri manusia, karena ia bukan hanya homo-sapiens melainkan juga homo-religious.
Mungkin pertanyaan yang relevan adalah mengapa muncul ekspresi keagamaan yang berwujud perilaku negatif, biadab, sadis dan destruktif? Bukankah sebaliknya, ekspresi keagamaan harus melahirkan perilaku positif, sejuk, damai dan konstruktif? Fenomena Ilahiyah seperti apa dalam bentuk teks, ritual, image tentang Tuhan yang ada di benak pemeluk agama tertentu sehingga mereka merasa bangga melakukan kekerasan terhadap orang yang berbeda (khususnya perempuan)? Demikian juga sebaliknya, sehingga mengadvokasi pendekatan konsiliatoris (damai)?
Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan agama humanistik. Unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan merupakan dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani dalam agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti dan serba-dependen. Sikap submisif kepada otoritas ini dianggap sebagai suatu jalan lurus bagi manusia untuk melepaskan dirinya dari keterasingan, ketersendiriaan dan keterbatasan dirinya.  Dalam proses submisi (kepasrahan total) ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.
Problemnya, ketaatan kepada Tuhan dalam agama otoritarian seringkali diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan organisasi keagamaan, termasuk di dalamnya taat pada semua bentuk interpretasi keagamaan yang dikembangkan. Jadi, sesungguhnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan,  bukan pada Tuhan itu sendiri. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung pada pemimpin dan sangat loyal pada organisasinya. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus dan fundamentalisme. Akibatnya, para pemimpin agama cenderung bersikap otoritarian, berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun cenderung bersikap anarkis, melakukan kekerasan dan kezaliman. Dan itu dilakukan atas nama Tuhan.
Dalam kasus ini, sikap otoritarian lalu dikembangkan hanya boleh bagi kaum lelaki yang selalu ditempatkan lebih tinggi dari perempuan. Berbagai interpretasi keagamaan digunakan sebagai pembenaran, yang sudah sangat umum adalah interpretasi keagamaan terkait penciptaan, kepemimpinan, perkawinan, perceraian, pewarisan, persaksian, dan bahkan kematian.
Sebaliknya, agama humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk mulia dan memiliki pilihan bebas. Manusia selalu diingatkan pada tanggung jawab individu dan sosial sekaligus. Dalam agama bercorak humanistik, keyakinan selalu didasarkan pada nalar kritis dan pertimbangan hati nurani manusia, bukan dengan bertaqlid buta kepada otoritas agama. Selain itu, suasana keagamaan humanistis adalah damai, sejuk, gembira dan optimis.
Sebaliknya, keberagamaan humanistik menekankan pada pengakuan secara tulus-ikhlas terhadap adanya kesamaan dan kesatuan manusia (humanisme universal). Beragama secara humanistik adalah menghayati agama secara mendalam dalam kerangka membangun peradaban manusia. Model keberagamaan inilah yang mendorong manusia menciptakan lingkungan damai, penuh kasih sayang. Bukan lingkungan yang membiarkan kekerasan, apapun bentuknya.
Berbagai penelitian menjelaskan, pelaku kekerasan agama selalu berasal dari kelompok keagamaan yang bercorak otoritarian dan ekstrinsik. Karena itu, ke depan tugas kita adalah bagaimana mendorong masyarakat agama, apa pun agama dan kepercayaan mereka, agar memilih dan mengembangkan interpretasi keagamaan yang humanistik dan intrinsik.
Dan hal yang tidak kurang pentingnya adalah negara berkewajiban mendorong semua umat beragama di negeri ini agar mempromosikan corak agama yang humanistik. Selain itu, negara juga harus memastikan tersosialisasinya interpretasi keagamaan yang humanistik sesuai nilai-nilai Pancasila dan amanat Konstitusi. Hanya dengan cara itu, kekerasan berbasis agama terhadap perempuan dapat dieliminasi, insya Allah.

Wallahu a’lam bi shawab.