Rabu, 20 September 2017

Memaknai Hijrah Sebagai Proses Transformasi

Istilah hijrah umumnya dipakai untuk pengertian meninggalkan suatu negeri yang tidak aman menuju negeri lain yang menjanjikan keselamatan dan kenyamanan, khususnya dalam menjalankan ajaran agama. Meskipun secara fisik peristiwa hijrah dikaitkan dengan aktivitas Nabi saw dan para sahabat, namun bagi umat Islam masa kini tetap terbuka kesempatan melakukan hijrah. Dalam konteks ini hijrah bermakna melakukan upaya-upaya transformasi dan rekonstruksi diri dan masyarakat menuju kualitas yang lebih beradab.

Ragib Al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), pakar leksikografi Al-Qur'an berpendapat, istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri dimana penduduknya sangat tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. al-Ankabut, 29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu). Sungguh tepat hadist Nabi: "Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan segala yang dibenci Allah" (Riwayat Bukhari).

Sejumlah ayat Al-Qur’an secara tegas memotivasi orang-orang beriman agar berjuang dan berusaha meningkatkan kualitas hidup, kalau perlu berpindah lokasi mencari tempat kehidupan yang lebih baik, lebih kondusif, jangan terpaku hanya pada satu tempat saja. Perspektif ini mengesankan Islam sangat mengapresiasi perkembangan global yang ditandai tingginya dinamika dan mobilitas penduduk. Islam menghendaki umat yang dinamis dan progres, bukan umat yang terbelakang dan terkungkung, apalagi statis, apatis, pasif dan pasrah menerima nasib.

Pesan penting hijrah adalah umat Islam harus berani dan mampu melakukan transformasi diri ke arah yang lebih positif dan konstruktif sehingga menjadi umat yang rahmatan lil alamin. Umat yang selalu membawa manfaat bagi semua makhluk di alam semesta, bukan membawa bencana dan berbagai kondisi destruktif.

Khalifah Umar bin Khattab adalah figur yang amat berjasa dalam penetapan awal tahun hijriyah atau penanggalan tahun hijrah. Penanggalan tersebut tidak dibuat berdasarkan hari lahir Nabi Muhammad saw, bukan pula hari wafat beliau, melainkan pada suatu peristiwa bersejarah yakni hijrah beliau dari Mekah ke Madinah (waktu itu bernama: Yasrib). Peristiwa itu terjadi pada tanggal 2 Juli 622 M  bertepatan dengan 12 Rabiul Awal.

Hijrah ke Madinah meski bukanlah hijrah pertama bagi umat Islam -sebelumnya sekelompok Muslim melakukan hijrah ke Habasyah (Ethiopia)- namun peristiwa tersebut merupakan tonggak sejarah yang sangat strategis. Ia merupakan awal dari babak baru perjuangan Nabi saw. Masa kenabian bisa dibagi atas dua babak: masa Mekah dan masa Madinah. Pada masa Mekah, Nabi mengadakan revolusi aqidah atau revolusi mental. Kemusyrikan diganti dengan tauhid. Dengan tauhid manusia menentukan pilihan, Tuhanlah yang menjadi objek kecintaan dan pengabdian, bukan manusia apalagi materi. Tiga belas tahun lamanya Nabi berdakwah dan berjuang di Mekah menghadapi masa-masa berat penuh ancaman dan penderitaan.

Hijrah ke Madinah merupakan momentum perubahan dan pembebasan umat Islam dari semua belenggu diskriminasi dan kezaliman. Orang-orang Muslim yang berhijrah dari Mekah disebut Muhajirin, sedangkan penduduk Muslim Madinah yang menolong mereka dinamakan Anshar (kaum penolong). Hijrah Rasul ke Madinah bersama sahabatnya (laki dan perempuan) membawa perubahan signifikan dalam sejarah Islam. Ketika di Mekkah umat Islam teraniaya, tertindas, diboikot, berada di bawah kuasa politik kaum musyrik Quraisy. Sebaliknya, di Madinah umat Islam menjadi pemegang kendali politik kekuasaan. Nabi saw diangkat menjadi kepala negara dengan masyarakat yang heterogen: umat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar; penganut Yahudi dan penganut paganisme.

Kota Yasrib diganti menjadi Madinat ar-Rasul (kota Rasul), lalu disingkat dengan Madinah. Kata Madinah mengandung dalam dirinya makna peradaban. Perubahan nama tersebut mencerminkan suatu komitmen kuat dari umat Islam untuk mengubah diri menjadi umat yang beradab dengan mengedepankan nilai-nilai keadaban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada masa Madinah, Nabi saw mengadakan reformasi jamaah, reformasi sosial, kefanatikan suku diganti dengan faham kemanusiaan yang lebih luas. Kehidupan yang tak mengenal aturan diganti dengan kehidupan bermasyarakat yang diikat oleh nilai-nilai moral dan norma-norma sosial.

Di Madinah Nabi saw mulai menata kehidupan umat yang diikat oleh ukhuwah atau tali persaudaraan. Menarik dicatat, Nabi saw bukan hanya memperkenalkan ukhuwah islamiyah (persaudaraan seiman), melainkan juga ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Melalui ikatan persaudaraan kemanusiaan tersebut, Nabi saw mengajarkan umatnya agar menghayati keragaman dan perbedaan di antara mereka sebagai rahmat Tuhan, bukan suatu ancaman apalagi bencana. 

Kondisi masyarakat Madinah yang heterogen dimana terdapat berbagai kelompok yang satu sama lain berbeda keyakinan hidupnya, berbeda kepentingannya, berbeda cita-citanya, namun semuanya dipersatukan oleh ikatan kemanusiaan, sama-sama makhluk Tuhan. Melalui peristiwa hijrah, Nabi saw memberi teladan bagaimana membina masyaraka yang sangat majemuk, yang berbeda agamanya, Islam, Yahudi dan bahkan kaum musyrik, dan juga berbeda kebangsaannya, Arab dan Yahudi. Mereka dibebani tanggung jawab yang sama, memelihara keamanan dan ketertiban bersama. Mereka diberi hak yang sama, mendapatkan kesempatan dan jaminan yang sama. Satu sama lain tidak mendominasi, satu sama lain tidak memaksakan kehendaknya.

Untuk konteks Indonesia, dengan spirit hijrah umat Islam harus menjadi contoh teladan dalam mengikis semua bentuk intoleransi, radikalisme dan terorisme yang menghancurkan peradaban manusia. Demikian pula, umat Islam harus berjuang paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme dan semua praktek oligarki politik yang menjijikkan. Umat Islam harus menjadi pionir dalam berbagai upaya eliminasi semua bentuk perilaku diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis apa pun. Terakhir, tapi tidak kurang pentingnya adalah umat Islam harus menjadi terdepan dalam upaya-upaya peningkatan sains dan teknologi demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia.

Akhirnya, Selamat Tahun Baru 1439 Hijriyah, semoga semua manusia merasa damai sepanjang tahun.



Kamis, 14 September 2017

Perspektif Perempuan Terhadap Ayat-ayat Jihad

Perspektif Perempuan Terhadap Ayat-ayat Jihad[1]
Musdah Mulia[2]

Pendahuluan

Para ulama membagi ajaran Islam dalam dua kategori; ajaran dasar dan non-dasar. Ajaran dasar Islam termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw. Inilah yang disebut teks-teks suci. Teks-teks suci bersifat absolut, mutlak dan tidak dapat diubah dengan alasan apa pun karena diyakini berasal dari Allah swt.
Adapun ajaran non-dasar berbentuk pemahaman dan penafsiran manusia terhadap teks-teks suci tersebut dan itulah yang dimaksud ijtihad. Tentu saja ijtihad tidaklah bersifat mutlak karena hasil pemikiran manusia sejak Nabi masih hidup sampai sekarang. Ajaran non-dasar itu ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, kitab tafsir, dan kitab-kitab keagamaan lainnya sejak zaman klasik Islam. Ajaran jenis kedua ini bersifat relatif, nisbi, dan bisa diubah.  

Salah satu hasil ijtihad yang paling banyak disalahpahami umat Islam adalah terkait isu jihad. Kata jihad di masyarakat lebih banyak berkonotasi negatif dalam bentuk kekerasan dan upaya-upaya destruktif menghancurkan bangunan kebudayaan dan peradaban serta nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, akhir-akhir ini kata jihad cenderung digunakan dalam kaitan dengan aksi-aksi radikalisme dan terorisme. Fatalnya lagi, tidak sedikit perempuan Muslim menjadi teroris dengan alasan jihad.
Karena itu, sangat mendesak melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep jihad agar umat Islam kembali mengedepankan inti sari ajaran Islam yang penuh kasih sayang dan nilai-nilai perdamaian abadi. Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah ijtihad agar makna jihad dipahami secara proporsional sesuai esensi Islam yang penuh damai.

Analisis makna jihad dalam tulisan ini menggunakan perspektif perempuan, yakni sebuah pendekatan yang menggunakan prinsip kesetaraan dan keadilan gender. Mengapa prinsip kesetaraan dan keadilan gender penting dalam melihat makna ayat-ayat jihad? Sebab, berdasarkan laporan banyak negara, PBB menyimpulkan, masalah diskriminasi atau ketidakadilan gender merupakan faktor penting kemunduran peradaban suatu bangsa. Solusi mengatasi masalah itu harus dengan menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam penafsiran keagamaan.

Kemunduran peradaban akibat ketimpangan gender terlihat pada sejumlah indikasi berikut: rendahnya kualitas hidup masyarakat, khususnya kaum perempuan; tingginya angka kemiskinan, tingginya angka kebodohan dan keterbelakangan, banyaknya anak-anak mengalami kondisi gizi buruk, rendahnya tingkat kesehatan reproduksi perempuan, banyaknya penderita HIV/aids dan penyakit menular seksual lainnya, serta rendahnya kesadaran lingkungan.

Indikasi lain berupa tingginya pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam bentuk kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan, maraknya perkosaan dan perdagangan perempuan dan anak perempuan, tingginya angka perkawinan anak dan  perkawinan paksa, tingginya angka perceraian dan poligami, banyaknya kasus inces, tingginya angka penelantaran anak dan pengabaian hak-hak asasi manusia lanjut usia, terutama perempuan.

Memaknai ulang pengertian jihad

Kata  jihad pada masa awal-awal Islam digunakan secara signifikan untuk mendorong umat Islam mencapai puncak kejayaan kebudayaan dan peradaban. Perintah berjihad dimaknai sebagai upaya-upaya positif-konstruktif dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan politik demi membangun kualitas diri dan masyarakat. Tidak heran jika umat Islam segera dikenal sebagai umat yang membawa rahmat dan kemashlahatan bagi manusia dan lingkungannya. Namun, dalam perkembangannya jihad mengalami degradasi makna, lebih banyak diartikan sebagai perintah berperang. Kata jihad kemudian identik dengan makna negatif dalam bentuk kekerasan dan upaya-upaya destruktif menghancurkan bangunan peradaban dan kemanusiaan.
Istilah jihad dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 41 kali dalam Al-Qur'an. Akar kata jihad berasal dari juhd dan jahd, berarti "kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelelahan". Maknanya, jihad membutuhkan kekuatan dalam bentuk tenaga, pikiran dan harta atau materi. Berjihad pada umumnya mengandung resiko kesulitan dan kelelahan dalam pelaksanaannya.

Kata al-juhd` hanya dijumpai sekali dalam Al-Qur'an yakni dalam Q.S. at-Taubah, 9:79. Ayat ini berbicara mengenai sikap dan penghinaan orang munafik terhadap orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan kata al-jahd, ditemukan 5 kali dalam Al-Qur'an, masing-masing dalam surah al-Maidah, 5:53, al-An’am, 6:109, an-Nahl, 16:38, an-Nuur, 24:53, dan Faatir, 35:42. Kelima ayat tersebut berbicara dalam konteks sumpah, baik sumpah yang benar maupun sumpah palsu.

Dalam terminologi Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan secara sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Dengan begitu, istilah jihad tidak selalu berkonotasi perang fisik.  Menarik dicatat bahwa tidak semua ayat jihad berkonotasi perang, khususnya ayat-ayat Makkiyah, seperti al-'Ankabuut, 29:6 dan 69. Jihad dalam ayat-ayat tersebut bermakna mencurahkan seluruh kemampuan demi mencapai ridha Allah. Mencurahkan segenap kemampuan tidak selamanya berarti perang, melainkan lebih banyak mengarah kepada upaya-upaya rekonstruksi sosial untuk meningkatkan kualitas kehidupan dalam berbagai bidang, seperti agama, pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, perdagangan, sains dan teknologi serta bidang antariksa.

Faktanya, selama Nabi saw berada di Mekkah mengembangkan misi kerasulan, beliau tidak pernah melakukan kontak senjata, termasuk dengan orang-orang musyrik dan kafir yang selalu menghalangi dakwah Nabi. Bahkan, ketika mereka melakukan tekanan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin, Nabi tetap bersikap damai, tidak melawan dengan berperang. Beliau menyatakan kepada sahabatnya: “bersabarlah kalian karena aku belum mendapat perintah berperang”. Dengan begitu, perintah berjihad dalam ayat-ayat Makkiyah bukanlah berarti berperang. 

Perintah berjihad terhadap orang-orang kafir diimplementasikan dalam bentuk berdakwah menyampaikan ajaran Islam dengan cara-cara bijak dan santun atau dengan pendekatan lainnya yang dapat menarik perhatian mereka kepada Islam. Dan terbukti banyak orang kafir  masuk Islam karena pendekatan yang lembut dan simpatik.

Jihad disalahpahami sebagai hanya kewajiban berperang

Kata jihad sering disalahpahami maknanya sebagai qital. Kata ini dengan berbagai derivasinya, baik fi`il (kata kerja) maupun isim (kata benda) ditemukan dalam berbagai tempat di dalam Al-Qur'an. Kata qital disebut 13 kali dalam 7 surat. Semua kata qital digunakan Al-Qur'an hanya untuk pengertian "perang" atau "peperangan", dan digunakan dalam berbagai konteks pembicaraan. Di antaranya, dalam surat al-Baqarah, 2: 116 dan 117, perang atau peperangan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang-orang beriman. Kewajiban itu dipahami dari adanya kata kutiba yang dihubungkan dengan kata qital. Meski peperangan adalah kewajiban, namun pada waktu-waktu tertentu seperti bulan Ramadhan, perang tidak boleh dilakukan. Berperang pada bulan itu termasuk kategori dosa besar (al-Baqarah, 2: 117).

Mengenai perang, Al-Qur'an menggariskan beberapa ketentuan sebagai berikut: Pertama, perang hanya boleh dilakukan demi mempertahankan diri dari serangan musuh, jadi dilarang mendahului peperangan  (al-Baqarah, 2: 190); Kedua, untuk membalas serangan musuh (al-Hajj, 22:39); Ketiga, menentang semua bentuk ketidakadilan dan penindasan (an-Nisa', 4: 75);  Keempat, mempertahankan kemerdekaan beragama (al-Baqarah, 2: 191); Kelima, menghilangkan semua bentuk diskriminasi dan eksploitasi (al-Baqarah, 2: 193); Keenam, menegakkan kebenaran (al-Bara'ah, 9:12).

Penjelasan tersebut menggarisbawahi bahwa pada prinsipnya perang dalam Islam bersifat defensif (mempertahankan diri). Umat Islam tidak diperkenankan mengambil inisiatif untuk berperang terlebih dahulu. Akan tetapi, bila terjadi perang, umat Islam harus berjuang menegakkan kebenaran. Walau dalam perang sekali pun, tetap harus memperhatikan kondisi anak-anak, perempuan, kaum lansia, serta dilarang menghancurkan sumber-sumber daya alam yang vital dan kelestarian lingkungan. Jika dalam suatu peperangan umat Islam berada di pihak yang menang, Islam mengajarkan agar tidak berlaku semena-mena terhadap pihak yang kalah (al-Mumtahinah, 60: 7-8).

Kemudian terhadap tawanan perang, Islam memberi dua alternatif, yaitu membebaskan mereka tanpa tebusan atau membebaskan dengan meminta tebusan (Muhammad, 47: 4). Islam menjelaskan tentang harta rampasan perang, antara lain pada al-Anfal, 8: 1-10, Ali `Imran, 3: 140, dan al-Baqarah, 2: 143. Di dalam ayat-ayat ini disebutkan bahwa seperlimanya diperuntukkan bagi Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Sedang bagian terbanyak, yaitu empat perlima diberikan kepada mereka yang berperang.

Kata jihad dapat pula mengambil bentuk peperangan, tetapi jihad dalam pengertian ini bersifat kondisional, bukan pengertian satu-satunya. Yang jelas bahwa jihad sebagai cara untuk memelihara dan mempertahankan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat harus dilaksanakan secara terus menerus dalam bentuk dakwah yang santun dan penuh hikmah.

Al-Qur'an selalu menggarisbawahi bahwa jihad dalam bentuk pengerahan tenaga, pikiran, dan harta benda secara optimal tetap tidak boleh menyimpang dari ketentuan Allah, seperti diisyaratkan dalam beberapa ayat, misalnya: Q.S. al-Baqarah, 2:218, al-Ma'idah, 5:35, al-Taubah, 9:19, 24, dan 41, al-Hajj, 22:78, al-Hujurat, 49:15, dan surat as-Saff, 61:11. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk bahwa orang yang mengerahkan tenaga, pikiran, dan harta benda dengan niat yang tulus dan ikhlas akan memperoleh ridla Allah swt.

Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Zar menjelaskan dengan sangat konkret bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu. Hadis itu justru dijelaskan Rasul seusai Perang Badar, dimana umat Islam mendapatkan kemenangan luar biasa. Bagi Rasul, kedahsyatan perang tersebut tidak seberapa bermakna dibandingkan dahsyatnya perang melawan hawa nafsu.

أفضـل الجهـاد أن يجـاهـد الـرجـل نفسـه وهـواه.  (رواه ابن الثجـاز عن أبى  ذ ر)
انمـا المـؤمنـون الـذ ين  آمنـوا باللـه ورسـوله لم يرتابـوا وجـاهدوا بأمـوالهـم  وأنفسهـم فى سبيـل اللـه ألئـك هـم الصـادقـون.  (الحجـرات: 15)

Manusia sebagai khalifah fil ardh

Islam memandang manusia sebagai makhluk terhormat dan bermartabat. Satu-satunya makhluk Tuhan yang diberi tanggung jawab untuk mengelola kehidupan di muka bumi atau dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai khalifah fil ardh. Sebagai khalîfah, tugas utama manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan li al-‘âlamîn). Sebagai manusia yang mengemban tugas kekhalifahan yang sama, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Tuhan untuk bekerja sama melaksanakan misi kemanusiaan. Misi dimaksud adalah melakukan amar ma’rûf (upaya-upaya transformasi dan rekonstruksi) dan nahyi munkar (upaya-upaya humanisasi) demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik, dan indah dalam naungan ridha Allah.

Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks suci, baik al-Quran maupun al-Hadits. Kata rahmah, rahmân, rahîm, dan derivasinya disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90 ayat. Makna genuine kata itu adalah kasih sayang atau cinta kasih.

Selain itu jika memperhatikan dengan seksama sifat-sifat Tuhan, akan terlihat bahwa sifat-sifat feminin lebih mendominasi. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah menegaskan: “Anâ ar-rahmân. Anâ ar-rahîm” (Aku Sang Maha Pengasih dan Penyayang). Hal ini jelas mengindikasikan, Islam adalah agama yang sangat mengedepankan aspek feminin dalam bentuk kelembutan, kesantunan dan kedamaian, bukan aspek maskulin yang penuh kekerasan, kebrutalan, dan kezaliman.

Tujuan hakiki Islam adalah mewujudkan damai
Hubungan antar-individu dan antar-bangsa menurut ajaran Islam adalah hubungan yang bersifat damai. Perang merupakan kondisi khusus (yakni kondisi bersyarat) yang hanya boleh dilakukan pada masa-masa tertentu dan dalam keadaan tertentu.  Tujuan Allah menjadikan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah agar manusia saling memahami satu sama lain dan hidup harmoni (al-Hujurat, 49:13). Karena itu, Allah swt mengingatkan, menabur permusuhan dan kebencian di antara manusia merupakan pekerjaan Setan: Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi (al-Maidah, 5:91).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jihad lebih dekat kepada upaya-upaya  transformasi dan rekonstruksi individu dan masyarakat (sosial) menuju kondisi yang lebih positif dan konstruktif demi mendapatkan keridlaan Allah swt. Kalaupun di dalam makna jihad terkandung pengertian memerangi orang-orang kafir maka secara historis bukanlah dimaksudkan untuk memaksa orang kafir memeluk Islam. Jihad yang dimaksudkan di sini adalah upaya perluasan wilayah dan kekuasaan politik umat Islam atau upaya pembelaan diri dari serangan musuh.

Penutup

Bagi perempuan, makna jihad adalah upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan semua potensi dan tetap mengedepankan cara-cara yang santun dan beradab, baik secara individual maupun komunal untuk mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan, kezaliman, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap sesama manusia, khususnya terhadap kelompok rentan, seperti perempuan. Semua upaya itu diyakini sebagai jihad yang hakiki atau kewajiban suci agama demi mewujudkan kemashlahatan dan kebahagiaan seluruh masyarakat.

Kesimpulannya, jihad lebih mengarah kepada semua bentuk upaya transformasi dan rekonstruksi, baik untuk meningkatkan kualitas kebaikan diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas menuju terciptanya baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Itulah  masyarakat ideal yang disebutkan Al-Qur’an, masyarakat yang adil, makmur dan beradab dalam ridha Allah swt. Jihad tiada lain upaya menegakkan Islam yang rahmatan lil alamin.

Rekomendasi
1. Menawarkan sebanyak mungkin interpretasi dan tafsir keagamaan yang kompatibel dengan nilai-nilai universal kemanusiaan, sejalan dengan ideologi Pancasila dan Konstitusi serta prinsip kesetaraan dan keadilan gender.
2. Membangun program pendidikan kewarganegaraan yang berbasis kebhinnekaaan, toleransi dan pluralisme.
3. Membangun media yang sejuk dan bertanggungjawab, serta ramah terhadap perempuan dan kelompok rentan, mengedepankan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan perdamaian.
4. Memperkuat jaringan kerjasama antar civil society dan berbagai elemen bangsa melalui kegiatan dialog kebangsaan, dialog kebudayaan, serta dialog antar-iman dan agama.
5. Membuka diskusi dengan kelompok-kelompok radikal agar secara bertahap muncul kesepahaman di antara anak bangsa yang begitu beragam.




Daftar Pustaka


Departemen Agama R.I., Al-Qur'an dan Terjemahnya, 1984/1985, Jakarta.

Gonzalez-Perez, Margaret. 2008. Women and Terrorism: Female Activity in Domestic and International Terror Groups, Routledge.
Hafez, Mohammed. 2003. Why Muslims Rebel: Repression and Resistancein the Islamic World. Boulder, CO: Lynne Rienner.
Kararah, Abbas. al-Din wa al-Mar’ah, Mesir: t.pn., 1337 H.
Kepel, Gilles. 2002. Jihad: The Trail of Political Islam. London: Tauris.
Marty, Martyn E. 1992. What is Fundamentalism? Theological Perspective, dalam Hans Kung dan Jurgen Moltmann, Fundamentalism as an Ecumenical Challenge, London: SCM Press.
Mernissi, Fatima, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, Rev. ed. Bloomington, 1987.
Mulia, Musdah, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, 2000.
---------, Potret Perempuan Dalam Lektur Agama, (Pidato Pengukuhan sebagai Professor Riset atau Ahli Peneliti Utama), Departemen Agama, Jakarta, 1999.
---------, Islam Menggugat Poligami, Gramedia, Jakarta, 2004.
---------, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005
---------, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan,  Mizan,  Bandung, 2005
---------, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, 2007.
----------, Islam dan Hak Asasi Manusia, Naufan Press, Yogyakarta, 2010.
Al-Naim, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), LKiS, Yogyakarta, 1995.
Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Qur`an, al-Haiyah al-Mishriyyah al`Ammah li al-Kitab, Kairo, 1993.
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, Aquarian, London, 1994.Nasution, Harun, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
Al-Qahthany, Muhammad Saeed. Tanpa tahun. Al-Walla wa Al-Barra’ min Mafahim ‘Aqidah Al-Salaf, Muqaddimah.
Speckhard, Anne and Khapta Akhmedova. 2004. Black Widows: The Chechen Suicide Terrorist, McLean, VA: Advances Press.
Speckhard, Anne. 2015. Bride of ISIS: One Young Women’s Path into Homegrown Terrorism, McLean, VA: Advances Press.
Tibi, Bassam. 2008. Religious Extremism or Religionization of Politics: The Ideological Foundations of Political Islam, dalam Frisch, Hillel dan Efraim Inbar (eds), Radical Islam and International Security: Challenges and Responses. London: Routledge.
Wiktorowicz, Quintan, 2006. Anatomy of the Salafi Movement, dalam studies in Conflict and Terrorism, Vol 29.
Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir, Dar al-Fikr al-Muasir, Beirut, Lebanon, 1991.
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, Dar al-Fikr, Beirut, t,t.







[1]Disampaikan pada Halaqah Kyai Nusantara bertema: Jihad Kyai Menangkal Radikalisme Agama, diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren, Hotel ARCH, Bogor, tanggal 29 Agustus 2017.
[2] Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kamis, 07 September 2017

Lima Prinsip Dasar Pernikahan Islam


1. Prinsip Mitsaqan ghaliza (Komitmen Suci)
Pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara dengan baik. Isteri adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula suami merupakan amanat Allah kepada isteri. Suami isteri telah berjanji dengan nama Allah untuk menjaga amanah itu. Janji inilah yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan mitsaqan ghaliza. Istilah itu dapat dimaknai dengan komitmen suci atau perjanjian yang teguh.
Pernikahan dalam Islam bukan hanya melibatkan aspek biologis dan hal-hal yang bersifat material semata melainkan jauh lebih luas dan dalam dari apa yang kita bayangkan. Pernikahan pun melibatkan aspek spiritual yang terdalam dari diri manusia.
Itulah sebabnya, setiap pasangan: isteri atau suami jika dalam kehidupan pernikahan mengalami hal-hal yang membuatnya sedih, galau dan cemas hendaknya segera beristighfar memohon ampunan kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Sebaliknya, jika pasangan merasakan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan hendaknya banyak bersyukur ke hadirat-Nya. Kehidupan perkawinan ibarat permainan ombak di pantai, penuh gejolak dan sering menimbulkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya.

2. Prinsip mawaddah wa rahmah (Cinta dan kasih yang tak bertepi )
Mawaddah secara bahasa berarti 'cinta kasih', sedangkan rahmah berarti 'kasih sayang', kedua istilah itu menggambarkan perasaan batin manusia yang sangat luhur. Mawaddah juga menggambarkan suasana psikologis manusia yang dapat menerima orang lain apa adanya.
Mawaddah wa rahmah terbentuk dari suasana hati yang penuh keikhlasan dan kerelaan berkorban demi kebahagiaan bersama. Sejak akad nikah suami-isteri seharusnya telah dipertautkan oleh perasaan mawaddah wa rahmah sehingga keduanya tidak mudah goyah dalam mengarungi samudra kehidupan rumah tangga yang seringkali penuh gejolak.
 Mawaddah wa rahmah merupakan anugerah  Allah swt. dan hanya dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki agar mereka dapat menikmati kehidupan suami isteri dengan penuh sakinah (kedamaian). Hal itu dipaparkan dalam firman Allah berikut: “Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan agar kalian memperoleh kedamaian dari pasangan tadi, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS. ar-Rum, 30: 21).
Pasangan suami isteri sangat dianjurkan memperbanyak doa dan tak lupa berikhtiar agar dianugerahi mawaddah wa rahmah sehingga keduanya dapat saling mengasihi dan saling mencintai secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih. Semua sikap dan perilaku suami isteri dalam kehidupan bersama semata-mata bermuara pada rasa kasih sayang dan cinta yang tulus tak bertepi.
3. Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (Prilaku santun dan beradab)
Ditemukan sejumlah tuntunan dalam Al-Qur`an dan hadis agar suami memperlakukan isterinya dengan penuh sopan santun, di antaranya berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S an-Nisa 19). Selanjutnya dari hadis: "Bertakwalah kalian kepada Allah swt. berkaitan dengan urusan perempuan. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah, dan kalian juga telah memperoleh (dari Tuhan) kehalalan atas kehormatan mereka dengan kalimat Allah" (HR. Bukhari).
Dalam relasi pernikahan, Islam mengajarkan suami agar memperlakukan atau menggauli isterinya dengan penuh kelembutan dan kesopanan, jauh dari segala bentuk kekerasan dan kebiadaban. Sebaliknya isteri pun demikian. Masing-masing hendaknya menjaga tata krama dan adab sopan santun sesuai ajaran agama. Jelas bahwa dalam pernikahan Islam tidak dibolehkan sedikit pun adanya KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Untunglah sekarang sudah berlaku UU KDRT, meskipun implementasinya masih tertatih-tatih.
Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf ini paling banyak dituntut dalam relasi seksual di antara suami isteri. Hubungan seksual di antara suami isteri merupakan kenikmatan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Agar hubungan tersebut tidak dikotori oleh pengaruh setan, dan agar dapat membuahkan anak saleh, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya agar memulainya dengan membaca doa: "Bismillah Allahumma jannibna asy-syaitan wa jannibi asy-syaitan ma ruziqna."  Artinya: Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang akan Engkau berikan kepada kami. Apabila lahir seorang anak, dia akan terlindung dari setan (HR. Bukhari dan Muslim). 
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa yang lebih banyak menikmati hubungan seks adalah suami, sedang isteri hanya melayani. Kebanyakan isteri tidak pernah mengeluhkan soal kepuasan seksual. Alasannya beragam; pertama, karena hal itu dianggap tabu dan tidak pantas dibicarakan; kedua, karena takut suaminya marah; dan ketiga, karena merasa sudah begitulah kodratnya sebagai isteri.
Seharusnya, menikmati hubungan seks bukan hanya hak suami, melainkan juga hak isteri. Berkenaan dengan ini sejumlah hadis memberikan tuntunan. Misalnya: "Jika seorang suami di antara kalian bersetubuh dengan isterinya, hendaklah ia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bila ia terlebih dahulu mencapai kepuasan (orgasme) sebelum isteri merasakannya, hendaklah ia tidak tergesa-gesa (mengeluarkan zakarnya dari vagina) sampai isteripun merasakan orgasmenya". "Jika seseorang di antara kalian hendak menggauli isterinya, janganlah ia meniru perilaku binatang atau melakukannya bagai dua ekor unta atau keledai. Hendaklah ia memulainya dengan cumbu rayu, belaian kata-kata manis dan ciuman" (HR. Ibnu Majah).
Kedua hadis tersebut pada intinya mengandung pesan moral agar suami memperlakukan isterinya dengan penuh kesopanan dan kelembutan, terutama dalam hubungan seksual. Suami hendaknya mengupayakan sedemikian rupa agar isteri juga mengalami kepuasan. Isteri bukan hanya sekedar objek dalam hubungan seksual, melainkan juga sebagai subyek. Jika keduanya sama-sama subyek dan sama-sama mengalami kepuasan tentu akan tercipta suasana bahagia yang akan mempererat jalinan kasih dan cinta di antara keduanya.
Kesimpulannya, hubungan suami isteri hendaknya selalu dibina di atas prinsip saling menghargai dan menghormati, tanpa melihat kepada asal-usul, status maupun posisi keduanya. Boleh jadi suami memiliki derajat, status dan posisi yang lebih tinggi dari isteri, demikian pula sebaliknya. Akan  tetapi, sebaiknya dalam kehidupan rumah tangga semua bentuk perbedaan itu diabaikan atau tidak  dimunculkan. Suami isteri harus mampu mengendalikan diri dan menahan emosi sehingga yang muncul hanyalah sikap dan perilaku yang sopan dan santun, bukan sikap dan perilaku yang memaksa, kasar dan bengis.

4. Prinsip Musawah (Kesetaraan dan keadilan gender)
Kebahagiaan hidup dalam pernikahan hanya dapat diwujudkan dalam kehidupan keluarga manakala suami isteri berada pada posisi yang setara dan sederajat. Itulah yang sekarang diistilahkan dengan kesetaraan dan keadilan gender. Sebab, bagaimana mungkin suami isteri bisa saling menghargai, saling menghormati, dan saling terbuka jika sang suami memandang isteri lebih rendah atau lebih tinggi. Atau sebaliknya, isteri memandang suami lebih tinggi atau lebih rendah.
Keduanya harus memandang satu sama lain sebagai manusia utuh yang harus dihargai dan dihormati apa pun posisi dan statusnya.  Keduanya harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Di hadapan Allah swt. semua manusia sama derajatnya, yang membedakan di antara mereka hanyalah prestasi takwanya, itupun hanya Allah yang berhak menilai, bukan manusia.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah: "isteri-isterimu adalah pakaian untuk kamu (para suami), demikian pula kalian (para suami) adalah pakaian mereka (para isteri)"  (QS. S. Al-Baqarah, 2:187).Ayat tersebut mengisyaratkan Perlunya suami isteri saling membantu dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba tidak sempurna. Suami isteri pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi atau menutupi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh.
Prinsip ini perlu diterapkan mengingat hubungan suami isteri hanya dapat berjalan serasi dan harmonis manakala keduanya dapat saling melengkapi dan melindungi, bukan saling mencari kelemahan dan kekurangan masing-masing. Sebagai manusia hamba Allah, setiap suami atau isteri pasti memiliki kelebihan sekaligus juga pasti ada kekurangan. Konsekuensinya, suami isteri perlu saling menutupi kekurangan dan memuji kelebihan.
Perbedaan jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, dalam hubungan suami isteri tidak perlu menyebabkan yang satu merasa lebih superior (lebih tinggi) daripada yang lain atau sebaliknya yang satu merasa inferior (lebih rendah) daripada yang lain. Keduanya memiliki posisi yang sama, yakni sama-sama manusia. Semua manusia sama derajatnya,  yang membedakan di antara mereka hanyalah takwanya, dan ukuran takwa itu hanya Allah yang dapat menilai, bukan manusia.
Hanya saja, perlu diingat bahwa dalam kehidupan suami isteri, khususnya di lingkungan rumah tangga,  Allah swt. memberikan tugas yang cukup berat kepada suami, yakni untuk bertindak sebagai pengayom atau pelindung (QS. an-Nisa`, 4:34). Sebagai pelindung atau pengayom, suami dituntut agar sungguh-sungguh memberikan perlindungan, ketentraman,  dan kenyamanan kepada isterinya, bukan sebaliknya mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan.  Fungsi sebagai pengayom atau pelindung inipun tidak melekat secara otomatis pada diri suami, melainkan hanya berlaku jika sang suami memenuhi dua syarat yang ditetapkan. Pertama, memiliki kualitas lebih dibandingkan isterinya dan kedua, mampu memberikan nafkah lahir batin (QS. an-Nisa`, 4:34). Jika kedua syarat ini tidak terpenuhi, tentu fungsinya sebagai pengayom dapat dipertanyakan.

5. Prinsip Musyawarah (Komunikasi yang hangat dan intens)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah: "Bermusyawaralah di antara kamu (suami dan isteri) mengenai segala sesuatu dengan cara yang baik" QS. at-Thalaq, 65:6). Atas dasar prinsip musyawarah ini, suami atau isteri tidak mengambil keputusan penting, khususnya menyangkut kehidupan keluarga, secara sepihak melainkan senantiasa perlu dirundingkan atau dimusyawarahkan  bersama. Dengan memegang teguh prinsip ini diharapkan bahwa manakala ada masalah, maka suami isteri bertanggung jawab. Tidak ada pihak yang akan mengelak dari tanggung jawab karena semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama demi kepentingan keluarga.
Membangun komunikasi yang hangat dan intens di antara suami-isteri menjadi kunci kebahagiaan dalam perkawinan. Masalahnya, kebanyakan kita lebih mudah dan juga lebih suka membangun hubungan yang hangat dengan orang lain ketimbang dengan pasangan sendiri. Memang tidak mudah, tapi komunikasi harus dibangun dan dilanggengkan sepanjang hayat dengan pasangan.
Khalifah Umar ibn al-Khattab mengibaratkan ikatan suami isteri dengan seutas benang yang mudah sekali putus, sangat peka. Karena itu, jika yang satu menarik, yang lain mengulur. Jika yang satu mengencangkan, yang lain mengendorkan, demikian seterusnya. Dengan ungkapan lain, diperlukan seni berkomunikasi dalam relasi pernikahan.
Rasulullah saw. seringkali menyebutkan: bayti jannati (rumahku adalah surgaku). Dibalik sabdanya itu, Rasul hendak mengingatkan kita, para pengikutnya, agar berusaha menjadikan rumah masing-masing seindah dan senyaman surga. Surga dalam kehidupan rumah tangga harus diciptakan, dan itu perlu kerjasama yang serius dan sungguh-sungguh dari kedua suami-isteri, tidak mungkin hanya sepihak saja.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa kelima prinsip pernikahan yang diuraikan di atas hanya dapat diimplementasikan dengan baik dalam perkawinan monogami, bukan poligami. Rasul pun menjalani kehidupan perkawinan monogami yang sangat bahagia bersama Siti Khadijah selama 28 tahun. Kematian Khadijah menimbulkan duka yang sangat mendalam sampai Rasul harus menduda selama tiga tahun. Setelah hijrah ke Madinah, Rasul dihadapkan pada kondisi politik yang keras, Rasul melakukan poligami dengan 11 isteri dan itu pun hanya berlangsung kurang lebih 6 tahun di akhir hidupnya.
Demikianlah lima prinsip dasar pernikahan dalam Islam, semoga dengan prinsip tersebut kita semua berhasil mewujudkan surga di bumi melalui kehidupan perkawinan yang penuh dengan sakinah, mawaddah wa rahmah.