Jumat, 04 November 2016

Konferensi Women Deliver ke-4

Konferensi Women Deliver ke-4
di Copenhagen, Denmark, 2016


Women Deliver merupakan organisasi payung menghimpun beragam organisasi perempuan yang fokus pada upaya-upaya mencari solusi demi kemajuan dan kesejahteraan perempuan di seluruh dunia. Women Deliver percaya bahwa jika negara memberikan investasi pada kemajuan perempuan dan anak perempuan, maka semua orang akan sukses. Lebih dari 5000 peserta hadir dalam konferensi dunia tersebut, mereka datang dari 176 negara, mewakili ratusan organisasi perempuan dan pemerhati isu perempuan. 

Konferensi ke-4 sengaja memilih Denmark karena negara ini memberikan perlindungan paling optimal bagi kehidupan perempuan dan anak perempuan. Di negara ini semua perempuan terpenuhi hak-hak dasarnya yang paling asasi, baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia utuh. Tidak ditemukan kasus-kasus kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan, negara ini berturut-turut selama tiga tahun menempati rangking pertama dalam indeks negara yang penduduknya paling bahagia.

Denmark hanyalah sebuah negara kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 6 juta jiwa, dipimpin oleh seorang ratu bernama Margrethe II. Sang Ratu amat peduli terhadap kebutuhan hidup warganya, tidak heran jika negara ini menjadi tempat paling nyaman untuk ditempati karena semua fasilitas publik: khususnya terkait pendidikan, kesehatan dan transportasi tersedia dan terjangkau untuk semua warga. Juga dikenal sebagai negara dengan pendapatan penduduk paling tinggi dan tentu saja menjadi negara paling makmur di dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran penduduknya berawal dari pendidikan yang amat menekankan pada nilai kejujuran. Sebelum mengajarkan calistung pada anak, hal utama dan pertama ditanamkan pada diri anak adalah sipat jujur. Orang Denmark percaya bahwa semua kebaikan yang ada di negaranya berawal dari kejujuran manusia.




The Little Mermaid, putri duyung merupakan ikon kota Kopenhagen, ibu kota Denmark



Dalam perhelatan akbar ini saya diminta berbicara mengenai isu hak dan kesehatan reproduksi. Isu kesehatan reproduksi mulai gencar diperbincangkan di tingkat internasional sejak Konferensi Kairo 1994. Konferensi tersebut merumuskan upaya-upaya yang serius bagi penegakan dan perlindungan hak-hak reproduksi perempuan yang pada hakikatnya juga merupakan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia.

Yang dimaksudkan dengan hak-hak reproduksi adalah hak-hak asasi manusia yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia dalam menghasilkan dan menjaga keturunan demi kelestarian hidup manusia. Tercakup di dalamnya, hak berkeluarga, hak selamat dalam menjalani kehamilan dan kelahiran, hak terbebas dari penyakit menular seksual, HIV/Aids, hak menggunakan alat kontrasepsi, hak menikmati hubungan seksual, dan hak menentukan jumlah anak, serta hak mendapatkan informasi akurat dan pelayanan yang memadai berkaitan dengan fungsi-fungsi dan kesehatan reproduksi mereka. 

Adapun kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit atau gangguan di segala hal berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri. Kesehatan reproduksi mencakup arena yang sangat luas dan juga mencakup rentang waktu yang panjang, sepanjang hayat manusia, mulai sejak bayi sampai manula (manusia lanjut usia).

Sayangnya di masyarakat persoalan kesehatan reproduksi masih dilihat dari perspektif  bias gender, paling tidak terlihat pada tiga alasan berikut. Pertama, umumnya masyarakat masih menganut pendapat yang membedakan preferensi berdasarkan seks. Laki-laki dalam segala hal lebih didahulukan atas perempuan, anak laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan. Demikian juga dalam hal pengambilan keputusan di rumah tangga, hanya suami yang berhak memutuskan, kendatipun dalam hal yang berkaitan dengan nyawa seorang perempuan. Kedua, umumnya masyarakat masih menganut pandangan bahwa hamil dan melahirkan merupakan kodrat perempuan. Karena itu, penderitaan dan kesakitan, bahkan kematian  yang dialami perempuan berkaitan dengan tugas dan fungsi reproduksinya juga dianggap "kodrat" yang sudah seharusnya ditanggung oleh perempuan. Akibatnya, penanganan kesakitan dan penderitaan selama hamil dan penurunan angka kematian ibu bersalin sangat lambat dan kurang mendapat perhatian serius dari masyarakat. Ketiga, umumnya masyarakat masih memandang tanggung jawab ber-KB merupakan tanggung jawab perempuan. Tidak heran jika jumlah laki-laki yang menjadi akseptor KB hanya sedikit. Padahal, organ reproduksi laki-laki yang berada di luar mestinya lebih aman memakai alat kontrasepsi dari pada perempuan.



Selain itu, sejumlah hasil penelitian membuktikan bahwa kematian ibu melahirkan dipercepat dengan adanya tiga keterlambatan, yaitu keterlambatan ibu memutuskan untuk datang ke tempat pelayanan kesehatan;  keterlambatan mencapai fasilitas kesehatan;  dan keterlambatan mendapatkan pertolongan gawat darurat di fasilitas kesehatan. Tidak jarang ibu yang "sekarat" dan harus cepat dirujuk, tidak pernah muncul di rumah sakit atau Puskesmas karena suami yang harus membuat keputusan tidak di tempat.

Banyak yang menduga ajaran agama merupakan salah satu hambatan bagi upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Menurut saya bukan agama yang menjadi hambatan, melainkan interpretasi keliru tentang agama. Interpretasi keliru tersebut digunakan secara luas oleh masyarakat karena umumnya mereka kurang kritis dalam memahami agama. Misalnya, interpretasi keliru tentang perkawinan dianggap kewajiban yang harus dilakukan setiap perempuan. Karena anggapan keliru bahwa kawin itu wajib, maka tidak sedikit orang tua memaksa anak untuk menikah, meski dengan orang yang tidak disukainya.

Interpretasi keliru ini berimplikasi terhadap maraknya perkawinan anak-anak, perkawinan paksa, perkawinan tak tercatatkan, dan poligami. Semua bentuk perkawinan tersebut umumnya berakhir dengan perceraian, kekerasan, dan kehancuran, terutama bagi remaja perempuan yang pada akhirnya membawa mereka kepada narkoba, obat terlarang, HIV/Aids, prostitusi, pekerja migran, dan pelaku aborsi. Kondisi buruk tersebut menyumbang kepada meningkatnya kemiskinan, pengangguran, tingginya angka kehamilan tak diinginkan,  kematian ibu melahirkan, putus sekolah dan illiterasi.

Ke depan diperlukan upaya-upaya serius untuk mengubah budaya patriarki menjadi budaya egalitarian sehingga perempuan menjadi berdaya dan dapat berpartisipasi dalam semua pengambilan keputusan, terutama terkait dengan kesehatan organ dan fungsi reproduksi mereka. Selain itu diperlukan berbagai kebijakan baru yang lebih kondusif dan lebih memberikan perlindungan terhadap hak-hak reproduksi perempuan dan anak perempuan. Terakhir, namun sangat penting adalah diperlukan upaya bersama untuk mengedepankan interpretasi keagamaan yang humanis, pluralis dan ramah terhadap perempuan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar