Minggu, 14 April 2019

Kajian SALAM ke-8, Kantor ICRP tanggal 14 April 2019


Kajian SALAM ke-8, Kantor ICRP tanggal 14 April 2019
Narasumber: Musdah Mulia
Tema: Feminisme dalam Islam




Apa itu Feminisme ?

Feminisme adalah gerakan emansipasi perempuan yang mulai dikenal sekitar abad ke-18. Timbulnya revolusi Perancis (1789) dan revolusi Industri abad ke-18 telah mempengaruhi tata hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menyebabkan tidak sedikit laki-laki terserap di sektor industri, sementara perempuan hanya berkutat dalam sektor domestik (rumah tangga). Ketidakberdayaan perempuan di tengah struktur dan kultur masyarakat industri inilah yang antara lain mendorong lahirnya gerakan feminisme.

Berbeda dengan banyak "isme" lainnya, feminisme bukanlah suatu  konsep dan teori yang tunggal. Meskipun demikian, tetap ada pemaknaan yang dapat disepakati bersama mengenai apa itu feminisme. Setiap gerakan feminisme selalu mengandung dalam dirinya suatu “kesadaran feminis” yaitu kesadaran akan adanya perlakuan tidak adil terhadap perempuan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik, serta suatu tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah ketidakadilan tersebut.

Pengertian sederhana dari feminisme adalah ide atau pemikiran untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan. Orang yang memperjuangkannya disebut feminis. Feminis bukan hanya terdiri dari perempuan, terdapat banyak laki-laki yang  berjuang untuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, sebenarnya feminisme itu ada dan tumbuh di setiap komunitas, wilayah, ras, agama,dan negara, walau mungkin menggunakan istilah yang berbeda. Konsep dan gagasan feminisme tidak tunggal, ia beragam, tergantung kepada cara kita memandang sumber ketertindasan perempuan. Maka kita mengenal feminisme liberal, radikal, sosialis, marxis, eco-feminis, feminis Islam dan banyak lagi.

Apa yang diperkenalkan oleh Charles Fourier, aktivis sosialis pada tahun 1837 mengenai feminisme adalah bentuk emansipasi secara lebih radikal. Dengan latar belakang kejenuhan akan nasib kaum perempuan yang terjadi di Eropa, feminisme lahir dan mendukung persamaan mutlak hak serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, mulai dari sosial, politik, hingga ekonomi. Inti dari feminisme adalah bagaimana perempuan dapat memiliki akses dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan diri.

Gerakan feminisme mengalami perkembangan dan dinamika seiring dengan tuntutan kemajuan zaman dan kemajuan sains dan teknologi. Feminisme gelombang pertama di abad 19 fokus terhadap kesetaraan hak sipil dan politik. Kini ketika feminisme telah mencapai gelombang keempat, feminisme sudah jauh berkembang menjadi paham yang melawan penindasan yang berkaitan terhadap ras, seksualitas dan jenis kelamin. Gerakan feminisme saat ini sudah lebih cenderung kepada memberi kesadaran dan pengertian pada masyarakat untuk berempati kepada kelompok minoritas tertindas, baik secara ekonomi, sosial, gender, preferensi seksual, ras, dan lain-lain.

Kelas Kajian Salam 8 : Feminisme Dalam Islam
Sebelum menerangkan lebih jauh tentang feminisme, perlu mengetahui terlebih dahulu sejumlah mitos yang dikembangkan di masyarakat, khususnya melalui medsos. Mitos-mitor tersebut sengaja dibangun dan dimaksudkan untuk menggiring opini masyarakat agar menolak dan melawan ide-ide feminisme. Setidaknya terdapat 7 Mitos tentang Feminisme.

1.   Mitos: Feminis membenci laki-laki. Fakta: Feminis hanya membenci laki-laki brengsek dan tidak bertanggungjawab.
2.   Mitos: Feminis harus lebih tinggi derajatnya dari laki-laki. Fakta: Feminis hanya menginginkan kesetaraan gender.
3.   Mitos: Feminisme melawan kodrat alami manusia. Fakta: Feminisme diciptakan untuk melawan kebodohan dan ketidakadilan.
4.   Mitos: Feminis pasti tidak ingin memiliki anak. Fakta: Feminis tidak ingin menganggap bahwa memiliki anak adalah kewajiban karena punya anak adalah sebuah pilihan yang sarat dengan tanggungjawab.
5.   Mitos: Feminis tidak percaya pada institusi pernikahan. Fakta: Feminis mampu membangun keluarga dengan ikatan pernikahan yang bahagia.
6.   Mitos: Feminisme belum berubah seiring waktu, masih kolot dan kuno. Fakta: Feminisme telah berkembang pesat sesuai tuntutan kemajuan zaman dan konteks lokal.
7.   Mitos: Feminisme tidak diperlukan lagi karena saat ini perempuan sudah setara dengan laki-laki. Fakta: Perhatikan berita-berita di koran dan medsos serta amati lingkungan sekitar, terbukti masih banyak kasus pelecehan seksual, kekerasan, perkosaan, persekusi dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Hal itu mengindikasikan bahwa masih banyak perempuan belum diperlakukan setara dengan laki-laki. Perlu perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan demi kemashlahatan dan kemajuan seluruh masyarakat.

Tauhid: Gagasan Feminisme Islam

Islam memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada manusia sebagai khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30). Sebagai khalifah, tugas manusia (perempuan dan laki-laki) adalah sama, yakni menjadi agen moral untuk melakukan amar ma’ruf nahy munkar, yakni upaya-upaya transformasi dan humanisasi. Upaya tersebut bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk keluarga dan masyarakat luas sehingga terwujud kondisi masyarakat ideal yang diistilahkan dalam Qur’an dengan baldatun thayyibah wa rabbun ghafur (masyarakat yang damai dan bahagia, penuh dilimpahi rahmat Tuhan).

Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan yang benar dan selanjutnya menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan yang benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Ber­tauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehi­dupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.

Tauhid menghapuskan semua bentuk eksploitasi, diskriminasi dan penghinaan martabat manusia. Keyakinan bahwa hanya Allah yang patut dipertuhankan dan tidak ada siapa pun dan apa pun yang setara dengan Allah, meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di hadapan Allah, baik se­bagai hamba Allah maupun sebagai khalifah. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mengemban tugas ketauhidan yang sama, yakni menyembah hanya kepada Allah swt. Atas dasar keadilan dan kesetaraan, semua manusia di­persaudarakan dalam tauhid.

Tauhid mempersaudarakan laki-laki dan perempuan ibarat saudara kandung, seperti ditegaskan dalam hadis Nabi: "laki-laki adalah saudara kandung perempuan" (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Karena itu, mereka tidak boleh saling menyakiti dan merendahkan. Mereka harus bekerja sama, saling menolong dan bahu-membahu demi tercapainya cita-cita Bersama. Dalam hadis tersebut ditegaskan makna “saudara” mengandung arti kesetaraan, kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas hak-hak asasi manusia, pembelaan atas orang-orang yang mengalami kezaliman, serta rasa senasib dan sepenanggungan.

Makna mendalam dari sabda Nabi di atas merupakan se­mangat yang harus mendasari setiap gerak langkah masya­rakat yang selalu terdiri atas laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa ibarat saudara, laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dalam seluruh aspek kehidupan agar cita-cita masya­rakat bisa tercapai dan dirasakan manfaatnya oleh semua. Laki-laki tidak boleh merendahkan saudaranya yang perempuan, demikian pula sebaliknya. Perempuan tidak boleh apatis dan asyik dengan dirinya sendiri sehingga tidak tahu apa yang dilakukan oleh sau­daranya, laki-laki. Dalam semangat persaudaraan ini, laki-laki dan perempuan didorong untuk bekerjasama dan bersinergi menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridha Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr (Q.S. Saba’,  34:15).

Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Allah dan tidak ada anak dan titisan Tuhan pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada manusia nomor satu dan manusia nomor dua. Manusia pada hakikatnya setara. Tidak ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, di­sembah dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat. Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang mis­kin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka rakyat tidak boleh mempertuhankan rajanya dan pemimpinnya, bawahan tidak boleh mempertuhankan atasannya dan istri tidak boleh mempertuhankan suaminya. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran terhadap tauhid.

Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang statis. Tauhid adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tu­han dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan kese­lamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan ma­syarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari semua perilaku ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan semua bentuk penindas­an. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw.!

Dari perspektif kesadaran feminis tersebut, Nabi Muhammad Saw. dapat digolongkan sebagai feminis. Beliau adalah pemimpin revolusioner yang mengangkat derajat perempuan dan menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi dengan melawan mainstream kultur pada masanya. Perombakan dan perubahan radikal terhadap posisi perempuan dilakukan setidaknya melalui tiga isu, yakni isu mahar, poligami dan waris. Sebelum Islam atau masa Jahiliyah, perempuan adalah objek yang tidak punya hak untuk bersuara, berkarya dan berharta. Tradisi mahar yang diperkenalkan Islam pada substansinya untuk mengingatkan masyarakat ketika itu bahwa perempuan adalah makhluk bermartabat. Mahar menempatkan perempuan sebagai subjek, sebagai manusia yang memiliki hak properti. Mahar menjadi milik perempuan yang dinikahi, dan milik itu tidak boleh dirampas oleh siapa pun termasuk orang tua mereka.

Poligami sudah menjadi tradisi masyarakat Jahiliyah, dan bahkan tradisi berbagai masyarakat dunia jauh sebelum Islam. Sebelum Islam, laki-laki dapat menikahi perempuan dalam jumlah yang tidak terbatas dan tanpa syarat apa pun. Islam datang dan melakukan koreksi total secara radikal terhadap tradisi jahiliyah tersebut dengan menetapkan jumlah maksimal perempuan yang dapat dijadikan istri, yaitu maksimal hanya empat, itupun disertai dengan syarat yang sangat ketat, yakni dapat berlaku adil terhadap mereka, suatu syarat yang hanya orang setingkat Nabi dapat memenuhinya.

Sebelum Islam, perempuan tidak mendapatkan hak waris, bahkan dirinya sendiri menjadi bagian dari harta yang diwariskan. Demikianlah, jika seorang  suami meninggal, istri-istrinya dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Islam menghapus tradisi yang tidak manusiawi itu dan menetapkan hak kewarisan bagi perempuan. Meskipun jumlah yang diberikan belum sebanyak bagian kaum laki-laki, mengingat kaum perempuan mada masa itu belum memiliki akses dalam aktifitas ekonomi. Namun, spirit yang dibangun Islam adalah pengakuan terhadap eksistensi perempuan sebagai manusia yang utuh, bermartabat, setara dan sederajat dengan saudara mereka yang laki-laki.

Kelas Kajian Salam 8 : Feminisme Dalam Islam



Pesan Persaudaraan dan Kemanusian Jakarta



Ditengah makin terkikisnya rasa persaudaraan dan keadaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, usaha-usaha memperkuat nilai-nilai tersebut sesungguhnya bukan hanya penting tetapi wajib dilakukan setiap orang sebagai manusia apa pun agama dan keyakinan. Fenomena pengikisan rasa persaudaraan dan keadabaan ini dapat dilihat dengan menguatnya prasangka buruk, intoleransi, berita palsu, dan ujaran kebencian, yang seringkali dipengerahi faktor politik terutama menjelang momen-momen politik.

Tantangan ini bukan hanya dihadapi di Indonesia, tetapi juga dihadapi banyak negara di dunia ini. Namun begitu kita juga juga menyaksikan langkah-langha penting dalam merespons tantangan kontemporer ini. Salah satunya pertemuan Imam Besar Al Azhar, Sayyed Ahmed al Thayeb dengan Pemimpin Gereja Katolik Dunia Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi yan melahirkan Dokumen Persaudaraan.  

Dalam usaha merespons tantangan sekaligus menegaskan dan menyebarluaskan pesan-pesan yang termaktub dalam dokumen tersebut, kami terdiri dari tokoh agama, akademisi, dan budayawan, yang tergabung dalam FORUM TITIK TEMU menyerukan Pesan Persaudaraan dan Keadaban sebagai berikut: 

Pertama, menegaskan dan menyerukan kembali kewajiban setiap manusia untuk menjalankan nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan sebagai langkah mendasar mengurangi prasangka buruk, intoleransi, berita palsu, dan ujaran kebencian yang bukan hanya dihadapi di Indonesia tetapi juga di dunia. Nilai persaudaraan dan kemanusiaan ini merupakan titik temu setiap agama dan keyakinan yang bersifat abadi. 

Kedua, menyerukan kepada institusi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), organisasi masyarakat sipil, dan sektor usaha dengan kemampuan dan perannya masing-masing memberi perhatian secara serius merespons dua faktor kunci penyebab mengikisinya persaudaraan dan kemanusia: perasaan tidak adil dan penciptaan kesejahteraan umum. 

Ketiga, menyerukan kepada komunitas masyarakat, agama, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat sinergi gerakan bersama dan memaksimalkan upaya-upaya nyata di berbagai bidang dari mendorong kebijakan yang adil, pendidikan, hingga pendampingan masyarakat di akar rumput. 

Keempat, mendorong upaya-upaya pemerintah dalam perlindungan dan jaminan terhadap kebebasan dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk kebebasan beragama, berkeyakinan, berpikir, dan melakukan penegakan hukum secara adil dan transparan terhadap pihak yang melanggar.

Kelima , mendorong lembaga-lembaga pendidikan dan institusi keluarga sebagai institusi strategis masyarakat dalam membudayakan dan meningkatkan persaudaraan dan kemanusiaan.  

Ditandatangani di Jakarta, 10 April 2019

1. Omi Komaria Madjid
2. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif  
3. Mgr. Ignatius Suharyo    
4. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid 
5. Alissa Wahid     
6. Yudi Latif, Ph.D    
7. DR. K.H. Husein Muhammad   
8. Prof. Dr. Oman Fathurahman  
9. Bhante Dhammasubho Mahathera 
10. HS. Dillon     
11. Pdt. Gomar Gultom, M.Th   
12. Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD  
13. Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A.  
14. Sudhamek AWS, S.H    
15. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat  
16. Ws. Dr. Chandra Setiawan, M.M., Ph.D 
17. Ir. Arief Harsono, M.M, M.Pd.B  
18. Pdt. Dr. Ronny Mandang, M.Th  
19. Irjen (Pol) Drs. Muktiono, S.H, M.H   
20. Ulil Abshar Abdalla    
21. JM Astono Chandra Dana, S.E., M.M 
22. Dr. Ruhaini Dzuhayatin    
23. K.H. Ahmad Ishomuddin  


Senin, 08 April 2019


Memahami Bahaya HIV/Aids dan Narkoba
Musdah Mulia


وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ.
{الأنفال، 8: 25}
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang zalim saja di antara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya.”  (QS. al-Anfal, 8: 25).

HIV/AIDS dan narkoba telah menjadi epidemi bagi masyarakat dunia. Dari aspek manapun kita melihatnya -aspek kesehatan fisik dan jiwa, aspek sosial, aspek ekonomi dan politik dan berbagai aspek lainnya- kita sepakat bahwa keduanya merupakan bencana terbesar bagi peradaban umat manusia di muka bumi, bahkan bahaya keduanya diprediksikan jauh lebih dahsyat dari dua Perang Dunia yang pernah terjadi.

Tulisan ini khusus membicarakan masalah HIV/AIDS dan narkoba dari sisi  preventif (pencegahan), bukan dari sisi kuratif (pengobatan) nya. Sebab, realitas yang ada membuktikan bahwa dibandingkan pengobatan, upaya-upaya pencegahan terhadap HIV/AIDS dan narkoba jauh lebih mudah dan murah sehingga dengan demikian menjadi jauh lebih signifikan untuk dilakukan.

Para pemuka agama dituntut untuk proaktif mensosialisasikan upaya-upaya pencegahan terhadap kedua epidemi ini karena sebagaimana disinggung dalam ayat pembuka di atas, fitnah yang boleh jadi mengambil bentuk HIV/AIDS dan narkoba, bukan hanya menimpa mereka yang dzalim, melainkan juga akan menimpa orang-orang baik di antara kita.  Bahkan, hadis Nabi berikut memberikan sinyal yang lebih kuat akan munculnya suatu fenomena yang sangat memprihatinkan itu. Diriwayatkan dari Ummi Salamah bahwa Nabi saw bersabda:

إِذَا ظَهَرَتْ الْمَعَاصِى فِى أُمَّتِىْ عَمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْ عِنْدِهِ، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ الله أَمَا فِيْهِمْ يَوْمَئِذٍ نَاسٌ صَالِحُوْنَ؟ قَالَ: بَلَى. قُلْتُ: كَيْفَ يَصْنَعُ بِهِمْ؟ قَالَ: يُعِيْبُهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ.

“Apabila kemaksiatan telah nampak di kalangan umatku, maka Allah swt. akan menurunkan bencana dari sisi-Nya kepada mereka semua. Saya (Ummi Salamah) bertanya: Wahai Rasulullah apakah ketika itu masih ada juga orang-orang saleh?, Nabi menjawab: masih ada, lalu bagaimana nasib mereka?,  Nabi menjawab: Allah pun akan menimpakan bencana kepada mereka sebagaimana ditimpakan kepada pelaku-pelaku maksiat itu (HR. Imam Ahmad).”

Hadis di atas secara jelas menggambarkan bahwa dampak epidemi itu tidak bersifat "lokal", melainkan bersifat universal. Wabah epidemi dapat menjangkiti seluruh masyarakat, baik yang dzalim maupun yang saleh. Mereka yang dzalim ditimpa wabah  karena kedzaliman mereka, sementara bagi mereka yang saleh juga akan ditimpa wabah karena ketidakpedulian mereka untuk mencegah meluasnya wabah tersebut. Karena itu, dalil-dalil di atas menjadi landasan bagi kita umat Islam, khususnya bagi para pemuka agama, untuk segera peduli dan dan berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS dan narkoba agar masyarakat terhindar dari bencana yang mengerikan tersebut.

Memahami HIV/AIDS dan Proses Penularan
Sejauh ini hasil penelitian mengenai HIV/AIDS menyimpulkan bahwa penularan virus HIV dapat terjadi melalui tiga cara. Pertama, melalui hubungan seksual; kedua, melalui parental (alat tusuk atau suntikan); dan ketiga, melalui perinatal (penularan dari ibu hamil yang terinveksi HIV/AIDS kepada anak yang dikandungnya).

Hasil penelitian juga menggarisbawahi bahwa penularan virus HIV lebih banyak terjadi melalui kontak seksual, sedang melalui parental dan perinatal sangat sedikit prosentasenya.  Karena itu, dapat dipahami jika hubungan seksual di luar nikah (baca: perzinahan) dan perilaku seksual yang menyimpang menjadi perhatian yang serius bagi langkah preventif dan kuratif terhadap menjalarnya virus tersebut di masyarakat.

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, sementara syariat Islam secara kuat dan tegas melarang hubungan seksual di luar nikah (Q.S. Al-Isra`, 17:32), demikian pula dengan segala bentuk perilaku seksual menyimpang. Dengan demikian, upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Islam diharapkan akan lebih berhasil jika dilakukan secara sistematik, dengan bahasa dan pendekatan agamis.

Akan tetapi, perlu ditegaskan di sini bahwa meskipun diketahui virus HIV itu lebih banyak menular melalui kontak seksual, khususnya kontak seksual di luar perkawinan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit yang mengerikan itu juga akan menjangkiti orang-orang baik atau orang-orang yang tidak berdosa di antara kita. Misalnya bayi-bayi yang tertular melalui ibunya, atau penularan melalui transfusi darah, atau penularan dari suami atau isteri yang mengidap HIV/AIDS, atau melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril  dan sebagainya.  

Karena itu, sungguh suatu sikap yang sangat tidak etis memberi cap "pembuat dosa" kepada para pengidap HIV/AIDS tanpa mempertimbangkan tekanan sosial yang dialami penderita. Kita umat beragama hendaknya tidak memahami agama hanya dari perspektif tekstual semata, melainkan lebih melihatnya sebagai suara hati nurani dalam meresponi kehidupan sehari-hari yang kompleks. Itu berarti kita perlu menumbuhkan kesadaran untuk tidak selalu menganggap diri kita benar, sedang orang lain salah dan karenanya harus dikutuk. Dengan cara demikian, kita dapat membangun konsep agama yang lebih santun terhadap persoalan-persoalan manusia.

Memahami Narkoba
Narkoba adalah sejenis zat yang dapat menyebabkan sipemakai terganggu akal sehatnya dan hilang ingatan sesuai dengan dosis yang digunakan. Jika dikonsumsi tanpa dosis yang tepat akan membuat si pemakai kehilangan stamina tubuh dan kehilangan keseimbangan jiwa. Dalam kondisi yang sudah parah, jiwa pemakai biasanya tidak  tertolong.

Secara umum narkoba dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis. Pertama, narkotika natural (alami), yaitu terbuat dari tumbuh-tumbuhan, seperti ganja, opium, koka, alkot, dsb. Kedua, narkotika semi sintetis. Jenis ini merupakan modifikasi dari bahan-bahan alami yang kemudian diproses secara kimiawi supaya memberikan pengaruh lebih kuat, seperti morfin, heroin, kokain, dsb.  Ketiga, narkotika sintetis, yaitu segala macam obat yang terbuat dari bahan kimia murni yang mempunyai pengaruh dan efek seperti narkotika alami dan semi sintetis. Dikemas dalam beragam bentuk, seperti pil, kapsul, tablet, minuman, serbuk, cairan injeksi dsb. Di antaranya mengambil bentuk obat tidur, seperti kapsul signal, Valium 5, obat penenang, pil-pil perangsang, seperti kiptagon atau amphetamine, dsb.  Menurut data terakhir yang dicatat dari Perancis, jumlah obat-obat terlarang mencapai lebih dari 500 jenis. Fatalnya, obat-obat terlarang itu dapat diperoleh dengan mudah di sekeliling kita, bahkan  dengan harga yang relatif murah

Narkoba secara hukum dilarang penggunaannya, baik bagi pemakai, penjual maupun pengedar. Akan tetapi, barang terlarang itu tetap saja diproduksi karena sekelompok masyarakat masih membutuhkannya sebagai obat, misalnya sebagai obat bius, obat perangsang (stimulant) atau obat penahan rasa sakit bagi penderita penyakit tertentu. Persoalannya adalah bagaimana menertibkan agar zat terlarang dan mematikan itu betul-betul hanya dimanfaatkan untuk hal-hal positif demi kepentingan kelompok tertentu yang dilindungi undang-undang. Karena itu, undang-undang yang mengatur soal penggunaan narkoba harus tegas dan sanksi bagi pelanggarnya pun harus berat dan  ketat tanpa pandang bulu. Namun, yang tidak kurang pentingnya adalah komitmen politik (political will) yang sungguh-sungguh dari elit penguasa.

Selanjutnya, bagi para orang tua hendaknya mengenal dengan baik untuk kemudian bersikap waspada terhadap semua yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba. Di antaranya, mengenal bentuk-bentuk narkoba serta efeknya yang negatif bagi tubuh, mengenal ciri-ciri orang yang kecanduan narkoba, dan mengetahui cara-cara yang biasa dipakai dalam pengedaran narkoba. Pengetahuan terhadap hal-hal tersebut sedikit banyaknya bermanfaat dalam upaya menghindarkan  anak-anak atau bahkan orang lain dari ancaman bahaya narkoba. Pemahaman yang benar akan bahaya narkoba dapat membangun solidaritas dalam masyarakat untuk membangun gerakan anti narkoba secara efektif di seluruh lapisan masyarakat.

Islam Harus Mampu Mencegah Bahaya HIV/Aids dan Narkoba
Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. untuk umat manusia seluruhnya dan berlaku universal sampai di akhir zaman. Islam diturunkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). Ajaran Islam mengandung seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur hidup manusia agar mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin di dunia, serta keselamatan di akhirat nanti.

Oleh karena itu, fungsi pokok Islam adalah membina manusia agar baik dan sehat,  secara fisik, psychis, mental dan sosial. Ajaran Islam secara jelas menunjukkan mana perbuatan  yang baik dan membawa kepada kemaslahatan dan kebahagiaan, dan mana perbuatan yang buruk dan membawa kepada kemudaratan dan kesengsaraan. Dengan ungkapan lain, tujuan Islam adalah kemaslahatan manusia dan karenanya semua yang membawa kepada mudarat dan mafsadat bertentangan dengan hakikat Islam.

Menurut Imam Al-Ghazali, kemaslahatan itu diukur pada lima hal yang disebutnya dengan Al-Kulliyat Al-Khams, yakni terpenuhinya lima hak dasar manusia. Kelima hak tersebut adalah terpenuhinya hak hidup (hifz an-nafs); terpenuhinya hak berpendapat atau kesehatan akal (hifz al-`aql); terpenuhinya hak kebebasan beragama (hifz ad-din); terpenuhinya hak reproduksi (hifz an-nasl); dan terpenuhinya hak kehormatan diri (hifz al-ardl). HIV/AIDS dan narkoba jelas mengganggu perlindungan terhadap lima hal mendasar dalam diri manusia; mengganggu kelangsungan hidup manusia, kesehatan akal, pelaksanaan agama, kesehatan reproduksi, dan kehormatan manusia. Nilai-nilai Islam itu harus menjadi acuan, baik dalam interaksi manusia dengan penciptanya (hablun min Allah), maupun dengan sesamanya manusia (hablun min al-naas), bahkan, dengan alam semesta (hablun min al-alamin).
Islam mengatur hidup manusia dengan sejumlah ajaran yang harus ditaati sehingga tujuan tadi tercapai. Di antara ajaran-ajaran yang dimaksud yang paling penting adalah ajaran moral atau disebut juga ajaran akhlak. Pendidikan akhlak menduduki posisi sentral dalam Islam. Begitu pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam sehingga Nabi saw. mengatakan: "Aku semata-mata diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." Dalam hadis lain Nabi bersabda pula: "Tuhan telah memilih Islam menjadi agamamu maka hiasilah agama itu dengan akhlak mulia."

Al-Qur`an mengandung sejumlah ayat yang mengajarkan bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam pergaulan sehari-hari. Hadis Nabi juga banyak membawa ajaran-ajaran moral. Bahkan, seluruh ibadah, termasuk di dalamnya salat, puasa, zakat, dan haji pada hakikatnya mengandung ajaran moral, yang pada intinya mengajarkan agar manusia senantiasa mengerjakan hal-hal yang baik dan terpuji, dan sebaliknya menghindari hal-hal yang buruk dan tercela.

Di antara perilaku yang baik dan terpuji adalah memelihara kebersihan diri, baik fisik maupun mental, menjaga kesucian diri, menjaga pandangan mata dari hal-hal yang tidak bermanfaat, menghindari pergaulan bebas, menjauhkan diri dari mengkonsumsi zat-zat yang membahayakan, seperti minuman keras, obat-obat terlarang, dan narkoba, serta yang tidak kurang pentingnya adalah memelihara rasa malu. Rasa malu dapat dibangun dengan menghindari segala bentuk perilaku tercela, seperti mengumbar keinginan hawa nafsu, menonton hiburan porno,  membaca tulisan porno, dan berlebihan dalam memenuhi hasrat badani.

Dalam kaitan dengan HIV/AIDS dan narkoba, Islam melihat hal ini sebagai akibat dari perilaku manusia sendiri, yaitu akibat dari ketidaktaatan mereka terhadap aturan-aturan yang telah digariskan Allah swt. dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi-Nya. Kondisi ini telah diisyaratkan oleh Allah swt. dalam Q.S.ar-Ruum, 30:41, yang berbunyi:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْ النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ. {الروم، 30: 41}
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Wabah HIV/AIDS dan narkoba boleh jadi merupakan peringatan Allah swt. terhadap umat manusia akibat kelalaian dan pelanggaran yang mereka perbuat, sebagaimana diungkap dalam Q.S. al-An`aam, 44 :

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَئٍْ حَـتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ. { الأنعام، 6: 44}
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.

Dua ayat di atas pada prinsipnya menghimbau manusia agar senantiasa berbuat kebajikan dan kemaslahatan, dan sebaliknya mengingatkan agar tidak berbuat mudarat dan maksiat dalam keadaan apa pun. Manusia harus berusaha mengatasi berbagai problem social di sekitarnya sejak dini. Itulah sebabnya, kita tidak boleh bersikap masa bodoh atau apatis terhadap masyarakat di sekitar kita. Kita tidak boleh diam atau membisu melihat gejala kemaksiatan terjadi di tengah kita. Kita harus berbuat paling tidak berdoa secara sungguh-sunguh memohon bantuan Yang Maha Kuasa.  

Sebab, jika kemaksiatan telah merajalela di tengah-tengah masyarakat, maka bukan hanya para pelaku kemaksiatan itu yang akan merasakan dampak negatifnya, melainkan juga masyarakat di sekitarnya akan turut mengalami akibatnya. Realitas yang ada di masyarakat menjelaskan kondisi tersebut sepenuhnya. Wallahu a’lam.



Perjuangan Perempuan Dalam Mengmbangkan Dakwah Islam

Musdah Mulia



Tidak banyak yang mengetahui bahwa Rasul saw memiliki sahabat bukan hanya berjenis kelamin laki-laki melainkan juga perempuan. Para sahabat perempuan tersebut ikut berjuang bersama Rasul menegakkan syiar Islam, bukan hanya berdakwah, melainkan turut berjuang secara fisik di medan peperangan. Di antara perempuan sahabat tersebut, ada yang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi dan Rasulullah biasa berkumpul dengan mereka dan memberikan bimbingan terkait agama secara rahasia, karena dakwah pada masa-masa awal keislaman masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan bersifat individual. 

Sa’id bin Zaid berkata, “Kami merahasiakan dakwah Islam selama setahun.  Kami tidak shalat kecuali di dalam rumah dengan pintu tertutup rapat atau di jalan setapak di antara dua bukit yang sepi, dimana sebagian sahabat mengawasi sebagian yang lain. Jika tiba waktu Ashar, Rasulullah dan para sahabat menyebar ke sela-sela bukit dan mendirikan shalat secara sendirian atau dua orang.  Ibnu Ishaq berkata, ”Kemudian manusia masuk Islam, awalnya hanya sebagian kecil saja dari kalangan laki-laki dan perempuan, hingga lama-kelamaan Islam menyebar di Makkah dan ramai dibicarakan.”

Peranan perempuan pada periode dakwah secara sembunyi-sembunyi ini sangat nyata. Mayoritas pemuda yang sudah menikah di masyarakatnya, masuk Islam bersama istrinya. Mereka hidup pada masa itu secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui siapa pun. Mereka benar-benar merahasiakan keadaan hingga tak seorang pun yang mengetahuinya.

Sebenarnya selentingan kabar sempat didengar orang kaum Quraisy. Namun mereka tidak peduli.  Boleh jadi mereka mengira Muhammad hanyalah salah seorang yang biasa membicarakan masalah-masalah agama, yang berbicara tentang ketuhanan dan hak-haknya, seperti Ummayah bin Abu ash-Shalat, Qis bin Sa’idah, Amr bin Nufail dan siapa pun yang serupa dengan mereka.

Meski ada pula rasa ketar-ketir yang menghantui mereka, hingga mereka mulai mengawasi sepak terjang dan dakwah beliau. Tiga atau empat tahun sudah berlalu, namun yang masuk Islam tidak lebih dari delapan puluh orang. Pasalnya, Rasulullah saw tidak memaksakan diri untuk menampakkan dakwah.  Tentu saja itu merupakan jumlah  yang amat sedikit bila dibandingkan dengan penduduk Makkah yang mencapai ribuan.

Peranan perempuan tidak berhenti pada upaya dakwah secara sembunyi-sembunyi, tapi kemudian mereka sudah berani menampakkan diri dan hal itu dimulai semenjak permulaan dakwah. Ummu Syarik sebagai contoh, setelah masuk Islam dia menemui beberapa perempuan Quraisy secara sembunyi-sembunyi, mengajak dan menganjurkan mereka untuk masuk Islam. Cukup lama sehingga tindakannya ini diketahui beberapa penduduk Makkah.

Para perempuan Musliman telah memahami agama pada saat itu dengan suatu pemahaman yang didasari kesadaran dan tanggung jawab. Mereka sangat yakin tanggung jawab dakwah bukan hanya khusus terhadap diri sendiri, melainkan juga tanggung jawab bersifat umum berhubungan dengan dakwah kepada agama, yang sekaligus itu merupakan amar ma’ruf nahy munkar.  Ini merupakan tanggung jawab yang paling besar dalam pandangan Islam, bahkan merupakan substansi segala tanggung jawab yang lain.

Para perempuan memiliki pemahaman semacam itu dan tidak melandaskan tanggung jawab itu kepada anggapan atau dugaan, bahwa ini merupakan kondisi khusus pada seseorang. Tidak ada alasan yang layak disampaikan bahwa laki-laki lebih mampu daripada perempuan atau bahwa perempuan memiliki tabiat yang tidak memungkinkannya melaksanakan tugas.

Allah memerintahkan Rasul saw, selang tiga tahun setelah ayat pertama turun, agar menampakkan dakwah secara terang-terangan dan menyeru mereka agar masuk Islam. Firman-Nya, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik  (Al-Hijr: 94).

÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚ̍ôãr&ur Ç`tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÒÍÈ  

Setelah Rasulullah menampakkan dakwah, maka orang-orang Quraisy menentang, mencela, memperlihatkan permusuhan dan kebencian kepada beliau. Bahkan, mereka mengganggu dan menyiksa orang-orang yang mengikuti beliau, degan cara apa pun yang dapat mereka lakukan.  Namun beliau tetap tegar dalam ketaatan kepada Allah, siapa pun diseru kepada Allah, baik anak-anak, orang lanjut usia, orang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.

Semenjak hari pertama beliau menampakkan dakwah, laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu tanggung jawab yang dibebankan ke pundak perempuan.  Ada dalil yang menguatkan persamaan nilai kemanusiaan antara perempuan dan saudaranya kaum laki-laki, seperti yang juga ditegaskan pandangan Islam tentang perempuan sebagai khalifah di muka bumi dan yang layak memanggul amanat.1  Dari Abu Hurairah R.A, dia berkata, “Setelah turun firman Allah,  “Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”, Rasulullah saw bersabda: “Wahai semua orang Quraisy, juallah diri kalian kepada Allah, karena aku tidak berkuasa sedikit pun terhadap kalian dari siksa Allah.  Wahai Bani Abdul-Muththalib, aku tidak berkuasa sedikit pun terhadap kalian dari siksa Allah.  Wahai Abbas bin Abdul-Muththalib, aku tidak berkuasa sedikitpun terhadap dirimu dari siksa Allah.  Wahai Shafiyah bibi Rasululah, aku tidak berkuasa sedikitpun terhadap dirimu dari siksa Allah.

Wahai Fathimah putri Rasulullah, aku tidak berkuasa sedikit pun tehadap dirimu dari siksa Allah.2 Pengkhususan beliau yang menyebutkan Fathimah di antara putri-putri beliau, padahal dia yang paling muda di antara mereka, begitu pula pengkhususan beliau dengan menyebut nama Shafiyah di antara bibi-bibi beliau yang lain, terkandung hikmah yang mudah diketahui.  Beliau menyebutkan perempuan yang lebih muda agar perintah ini mencakup perempuan-perempuan yang lebih tua dan lebih layak untuk itu.  Rasulullah mengkhususkan orang-orang yang paling dekat dengan beliau, laki-laki maupun perempuan, sehingga tanggung jawab yang lainnya lebih layak.

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata,” Setelah turun ayat,”Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang tedekat”, Rasulullah memanggil orang-orang Quraisy, secara umum maupun khusus…..”Terlepas dari keumuman dan kekhususan yang berarti juga mencakup kaum perempuan, yang ditunjukkan dengan disebutkannya Shafiyah dan Fathimah secara khusus.

Semua referensi sejarah sepakat menyebutkan semua kerabat Rasul. Rasulullah saw mengumpulkan kerabat-kerabat beliau, yang jumlahnya sekitar empat puluh orang. Sementara pengarang As-Sirah Al-Halabiyah menyebutkan di dalam buku Al-Imta’, jumlah mereka empat puluh orang laki-laki dan dua perempuan.

Menurut hemat kami, ini satu-satunya riwayat yang tidak disebutkan dalam riwayat lain.  Kami tidak akan mengutak-atik apa yang disebutkan di dalam Al-Imta’. Dua riwayat ini menyebutkan jumlah yang bebeda, disamping adanya riwayat-riwayat lain yang kami sebutkan dalam keumuman seruan dan kekhususannya. 

Yang menjadi perhatian kami, dimana posisi perempuan di dalam berbagai referensi ini?  Apakah mereka juga masuk di dalam keumuman ini ataukah mereka diabaikan dalam kondisi yang samar-samar saat itu, bahwa masalah akidah tidak menjadi perhatian mereka?  Di sini kami perlu mengulang lagi saat ungkapan bahwa tarikh bagi perempuan bukan merupakan gambaran yang riil tentang apa yang terjadi.

Seruan Rasulullah di tengah kaum perempuan dan laki-laki pada permulaan dakwah secara terang-terangan, seperti yang juga dinyatakan dalam berbagai referensi yang shahih, merupakan puncak tataran risalah kemanusiaan yang mencakup kaum laki-laki dan perempuan, dengan derajat yang sama. Beliau disamping menetapkan tanggung jawab individual bagi masing-masing pihak laki dan perempuan.

Seruan Nabawy di tengah kaum laki-laki dan perempuan semenjak seruan dakwah yang pertama, sebuah seruan yang mengaplikasikan perintah Ilahy untuk menyampaikan peringatan kepada kaum kerabat, merupakan bukti paling besar tentang apa yang diinginkan Islam. Karena itu, larangan bagi perempuan untuk aktif di arena publik seperti kita dengar sekarang sungguh suatu kesalahan terbesar dalam kehidupan individu dan sosial masyarakat Islam.

Seruan dakwah jelas menandaskan dan menegaskan satu prinsip mendasar yang harus diperhatikan siapa pun yang menangani sendi-sendi kehidupan sosial dan hubungan yang didasarkan keimanan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, yaitu prinsip tolong-menolong di antara sesama orang Mukmin, laki-laki mapun perempuan karena hubungan amal dan bukan karena hubungan individu, apakah dia laki-laki ataukah perempuan.1

Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Islam mulai didakwahkan secara terang-terangan, mereka para kafir Quraisy memburu orang-orang yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah dari kalangan shahabat. Bukan hanya itu,  setiap kabilah mengamankan siapa pun orang Muslim di kalangannya, lalu mereka menyekap dan menyiksa, entah dengan cara memukuli, membiarkannya kelaparan dan kehausan atau dengan memanggangnya di atas hamparan pasir jika hari terik panas.  Di antara mereka ada pula yang dapat dibujuk karena kerasnya siksaan yang dialaminya, ada pula yang tetap tegar dan akhirnya dilindungi Allah swt.

Tentu saja itu merupakan ujian yang mengguncang orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan yang masuk Islam. Orang-orang kafir memburu siapa pun yang memeluk Islam, dan yang paling keras ditujukan kepada para budak, kareka tak seorang pun membela diri mereka.  Mereka menyiksanya dengan siksaan yang pedih.

Dari Sa’id  bin Jubair, dia berkata, “Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas, “Benarkah orang-orang musyrik kelewatan dalam menyiksa para shahabat Rasulullah saw karena mereka meninggalkan agama kaumnya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Benar.  Demi Allah, mereka benar-benar memukuli salah seorang di antara mereka, membiarkannya kelaparan dan kehausan, sampai-sampai ada yang tidak sanggup duduk karena penderitaan yang dia rasakan di sekujur tubuhnya.  Sampai-sampai mereka berkata kepadanya, ‘Lata dan Uzza adalah tuhanmu selain Allah?’ Dia menjawab,’Ya”.  Dia menjawab seperti itu karena pihak kafir benar-benar kelewatan menyiksanya. 

Tentang hal ini Allah berfirman,
`tB txÿŸ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJƒÎ) žwÎ) ô`tB on̍ò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJƒM}$$Î/ `Å3»s9ur `¨B yyuŽŸ° ̍øÿä3ø9$$Î/ #Yô|¹ óOÎgøŠn=yèsù Ò=ŸÒxî šÆÏiB «!$# óOßgs9ur ëU#xtã ÒOŠÏàtã ÇÊÉÏÈ  

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl:106)
         
Kaum perempuan dan laki-laki sama-sama harus menanggung siksaan yang mampu menggetarkan seluruh badan, karena orang-orang kafir tidak pandang bulu apakah orang yang disiksa itu laki-laki atau perempuan.  Jadi perempuan dan laki-laki harus menghadapi keadaan seperti ini.

Bani makhzum menganiaya Ammar bin Yasir beserta ayah dan ibunya.  Mereka bertiga adalah satu keluarga Islam.  Katika terik siang hari mencapai puncaknya, mereka menelentangkannya di atas pasir Makkah.  Ketika Rasulullah saw lewat di sana, beliau bersabda, “Sabar wahai keluarga Yasir.  Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga.”

Pada suatu petang hari Abu Jahal muncul, mencaci-maki Sumayyah dan meludahinya.  Kemudian dia menghunjamkan tombak ke kemaluan Sumayyah hingga menemui ajal.  Jadi dia merupakan syahid yang pertama dalam Islam. Hadits ini diriwayatkan dari Manshur, dari Mujahid.

Akhirnya mereka membunuh ibu Ammar, karena dia hanya menginginkan Islam.  Imam Ahmad meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata, “Orang yang pertama kali mati syahid dalam Islam adalah ibu Ammar, bernama Sumayyah. Dia dibunuh Abu Jahal dengan menggunakan tombak pada alat vitalnya, hingga dia mati karenanya.”

Ketentuan Allah swt menghendaki, orang yang pertama kali mati syahid dalam Islam adalah perempuan. Fakta ini dapat dianggap sebagai satu bukti terpenting tentang andil dan tanggung jawab perempuan Muslimah, dalam perjuangan di jalan Allah dan seruan kepada-Nya.  Sumayyah adalah orang ketujuh dari kelompok yang pertama kali masuk Islam. Dia termasuk pendahulu dan juga termasuk orang yang lebih dahulu menampakkan keislaman di Makkah pada awal perjalanan Islam.  Dari Ibnu Masud, dia berkata, “orang yang pertama kali menampakkan Islam ada tujuh orang, yaitu Rasulullah saw, Abu Bakar, Ammar, Ibunya Sumayyah, Shuhaib, Bilal dan Al-Miqdad.”

Tentang diri Rasulullah saw, maka Allah melindungi beliau dari aksi dan kejahatan kaum Quraisy.  Adapun yang lainnya tidak mampu membebaskan diri dari kebiadaban orang-orang musyrik. Ada yang dipasangi baju besi lalu dipanggang di bawah terik matahari, sehingga dapat dibayangkan bagaimana penderitaan yang dialaminya.

Nahdiyan dan putrinya adalah budak milik seorang perempuan dari Bani Abdid-Dar.  Ketika perempuan itu menyuruh keduanya untuk mengolah tepung, dia berkata, “Demi Allah aku tidak akan memerdekakan kalian berdua.” Abu Bakar yang kebetulan lewat di tempat itu berkata, “Wahai Ummu Fulan, cabutlah sumpahmu itu.”perempuan itu berkata, “Cabut sendiri, karena engkaulah yang telah merusak dua perempuan ini.  Karena itu merdekakan keduanya.” Abu Bakar bertanya, “Berapa nilai mereka berdua?” Setelah perempuan itu menyebutkan nilainya, Abu Bakar berkata, “Aku mengambil keduanya dan kedua perempuan itu pun merdeka. 

Abu Bakar juga memerdekakan budak Bani Al-Mu’ammal, sebuah suku dari Bani Ka’b.  Dia masuk Islam yang kemudian disiksa Umar bin Al-Khaththab, yang saat itu Umar masih berada dalam kemusyrikan.  Ketika Umar merasa bosan sendiri, dia berkata, “Aku sudah tidak sanggup lagi berbuat sesuatu kepadamu.  Aku membiarkanmu karena sudah bosan.”Perempuan itu berkata, “Begitu pula yang diperbuat Allah terhadap dirimu.”

Abu Bakar juga memerdekakan Ummu Ubais, seorang budak perempuan milik Bani Taim bin Murrah.  Dia masuk Islam dan juga termasuk mereka yang disiksa karena Allah.  Abu Bakar membelinya lalu memerdekakannya.  Begitu pula yang terjadi dengan Zanirah.  Hisyam bin Urwah berkata,  “Dia salah seorang dari tujuh orang yang disiksa karena Allah.  Abu Bakar membelinya.  Dia seorang perempuan Romawi yang menjadi budak Bani Abdud-Dar. Setelah masuk Islam, dia menjadi buta.  Maka Orang-orang Quraisy berkata, “tidak ada yang membuatnya buta selain Lata dan Uzza. Selain Lata dan Uzza tidak ada yang sanggup memberi mudharat dan manfaat.  “Lalu Allah mengembalikan penglihatannya. 

Abu Bakar juga memerdekakan Hamamah ibu Bilal.”Siksaan tidak hanya ditimpakan kepada orang-orang yang lemah dari kalangan budak laki-laki dan perempuan.  Banyak cara penyiksaan yang dilakukan setiap suku Quraisy terhadap anggotanya yang masuk Islam. Biasanya mereka menjebloskan orang Muslim ke tempat yang gelap, membelenggunya dengan tali, tidak memberinya makan dan minum, di samping siksaan-siksaan lain. Sa’id bin Zaid berkata, “Demi Allah, aku melihat Umar mengikat saudarinya gara-gara Islam, sebelum dia masuk Islam.”

Siksaan yang ditimpakan orang musyrik terhadap para perempuan Mukminah tidak hanya dilakukan di Makkah, tapi juga dialami beberapa orang yang masuk Islam dari beberapa kabilah yang jauh dari Makkah. Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa Ummu Syarik Ghaziyah binti Jabir masuk Islam bersama suaminya. 

Setelah suaminya hijrah bersama Abu Hurairah dan sekumpulan orang dari kaumnya, maka dia didatangi beberapa orang dari keluarga suaminya, Abul-Akar, lalu mereka bertanya apakah dia berada pada agama suaminya?  Dia pun menyatakan keislamannya. Lalu mereka bersumpah akan menimpakan siksaan yang keras kepadanya.  Mereka membawanya keluar kampung,  menaikkannya ke atas punggung hewan yang paling buruk dan yang paling kasar, mereka memberinya makan roti dan madu tanpa memberinya minuman seteguk pun, membiarkannya dibakar terik matahari selama tiga hari, sampai-sampai akalnya menjadi kacau, tidak dapat mendengar dan melihat.  Pada hari ketiga mereka meminta agar dia meninggalkan agamanya.  Tidak ada yang dapat dilakukannya kecuali hanya memberi isyarat dengan jari telunjuknya yang tertuju ke atas, yang menggambarkan tauhid.  Dia tidak dapat mencerna apa yang mereka ucapkan karena keadaannya antara sadar dan tidak sadar.

Islam menemukan jalan ke Madinah sebelum hijrah.  Hal ini bermula dari Hawa’ binti Yazid bin Sinan Al-Anshariyah yang masuk Islam lebih dahulu selagi Rasulullah masih berada di Makkah.  Suaminya, Qais bin Al-khathim menghalanginya masuk Islam.  Dia menganggap istrinya itu main-main. Karena itu dia suka memeluk istrinya ketika sedang sujud, memeluknya di bagian kepala.  Rasulullah saw yang saat itu berada di Makkah mengabarkan keislaman Hawa’ dan apa yang dilakukan suaminya. 

Pada musim haji, beliau menemui Qais dan mengajaknya kepada Islam, seraya bersabda, “wahai Abu Yazid, aku mendengar engkau memperlakukan istrimu Hawa’ dengan cara yang tidak baik semenjak dia meninggalkan agamamu.  Maka takutlah kepada Allah dan jagalah aku dalam urusan istrimu dan janganlah engkau membujuknya.  “Dalam suatu riwayat disebutkan, “Sesungguhnya istrimu telah masuk Islam, sementara engkau menyakitinya.  Maka aku menghendaki agar engkau tidak membujuknya.”

Satu hal yang pasti, Quraisy adalah kabilah yang paling keras terhadap beliau, mengingat mereka adalah kaum yang bersinggungan secara langsung dengan beliau.  Sikap semua kalangan Jahiliyah adalah satu, yaitu menolak la ilaha illallah dengan maknanya yang integral, yaitu ketika sejarah menetapkan atas dasar kalimat ini:  hendaknya manusia hidup merdeka di alam nyata, ataukah sebagian di antara mereka harus menjadi hamba bagi sebagian yang lain? Atas dasar kalimat ini pula mereka harus menerapkan keadilan dalam lindungan Allah.

Kita sedang dicekoki sebuah pemikiran yang meminggirkan peranan perempuan dan menganggapnya sebagai cabang dan bukan pangkal.  Karena itu kita bertanya-tanya, “Tidak adakah kesempatan bagi para perempuan karena mereka sebagai perempuan untuk tetap berada di dalam rumah dan tidak menampakkan keislaman, agar mereka tebebas dari penyiksaan ini, padahal yang demikian itu bukan sesuatu yang ditolak dalam agama, baik yang laki-laki atau yang dilakukan perempuan.”

Pada beberapa kondisi tertentu perempuan memiliki kemampuan yang justru tidak dimiliki sekian banyak laki-laki.  Para pemimpin dan pemuka yang zhalim tidak mampu mempengaruhi seorang perempuan yang sedang disiksa agar melepaskan sepatah dua patah kata dari lidahnya, apalagi dari hatinya. Kalaupun dia mengucapkan kata-kata, justru membuat orang-orang kafir itu berang, seperti yang dilakukan seorang budak perempuan Bani Al-Mu’ammil dan Zanirah. Gambaran keteguhan dan kesabaran perempuan Muslimah dalam membela akidahnya ini merupakan bukti paling kuat bahwa tanggung jawab iman yang dipeganginya merupakan bagian dari keyakinan itu sendiri.

Berbagai kisah yang dipaparkan di atas mengukuhkan kebenaran akan keterlibatan kaum perempuan dalam perjuangan penegakan Islam, baik ketika Islam masih di dakwahkan secara sembunyi-sembunyi maupun setelah Islam didakwahkan secara terang-terangan. Bahkan terungkap bahwa syahid pertama dalam perjuangan penegakan adalah perempuan, dialah Sumayyah, ibu dari sahabat Rasul bernama Amar.

Artinya, sejak awal dakwah Islam, Rasul tidak membedakan peran perempuan dan laki-laki. Keduanya bersama-sama dan saling bahu-membahu menjalankan dakwah Islam dan mengajak orang-orang musyrik kepada keimanan yang hakiki. Wallahu a’lam.


1 Perhatikan ketetapan Al-Qur’an tentang persamaan ini dalam beberapa ayat Al-Qur’an berikut ini, seperti:
“Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal dia antara kalian, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain.”(Ali Imran:195).
“Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki mapun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kani beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”(An-Nahl:97).
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah:71).
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal.  Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (Al-Hujarat;13)

2 Shahih Muslim bi syarhi An-Nawawy,1/483. Dalam suatu riwayat disebutkan, “Fatimah putri Muhammad
1 Perhatikan firman Allah,  “Jika mereka mendurhakaimu, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian kerjakan.”(Asy-Syu’ara’:216).  Pengingkaran di dalam ayat  ini didasarkan kepada perbuatan yang butuk dan bukan kepada subyek yang buruk, apalagi jenis subyek yang buruk, seperti apakah dia laki-laki atau perempuan.  Jika pelepasan tanggung jawab dari orang-orang yang durhaka ini berhubungan dengan amal seperti gambaran ini, maka tolong-menolong karena pertimbangan iman berhubungan dengan hal lain, yaitu amal.