Senin, 25 Juni 2018

Halal bi halal dan Saling Memaafkan

Musdah Mulia 


Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan kegiatan halal bi halal adalah berkumpulnya sejumlah orang pada suatu tempat tertentu yang diadakan setelah hari lebaran untuk saling bersalaman sebagai ungkapan maaf-memaafkan. Menarik dicatat, tradisi halal bi halal  hanya dijumpai di Indonesia. Karena itu, kegiatan ini tidak dikenal di negara-negara Islam lainnya, bahkan di Arab Saudi tempat asal agama Islam. 

Walaupun tidak dilakukan di lingkungan masyarakat Muslim lain, namun tradisi ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, khususnya ajaran mengenai perlunya mempererat hubungan silaturahim dan saling memaafkan di antara sesama manusia (Q.S an-Nur, 24:22al-Baqarah, 2:237, dan  al-Maidah, 5:13).

Sulit memastikan kapan tradisi ini muncul, tetapi yang jelas tradisi ini mulai dilembagakan di tanah air dalam bentuk upacara sekitar tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah 1950-an. Kini penyelenggaraan halal bi halal dijumpai pada seluruh lapisan masyarakat Muslim, baik di lingkungan instansi negara maupun swasta, serta di lingkungan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya.

Secara linguistik halal bi halal adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal dan diantarai oleh sebuah kata penghubung. Kata halal berasal dari akar kata halla atau halala yang mengandung beberapa pengertian. Di antaranya dapat berarti 'melepaskan ikatan', 'mengurai benang kusut', 'mencairkan kebekuan', dan 'menyelesaikan masalah'. 

Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik suatu benang merah yang merupakan esensi halal bi halal, yaitu aktivitas silaturahim yang dilakukan setelah puasa Ramadhan dan setelah shalat Idul Fitri untuk lebih mempererat hubungan persaudaraan dan kekeluargaan serta hubungan kemanusiaan di antara anggota keluarga, tetangga, kerabat dan kolega.Tujuannya, agar tidak ada lagi belenggu yang mengganggu, tidak ada lagi kebekuan dan masalah yang merintangi hubungan dan komunikasi di antara sesama.

Perlunya mensucikan jiwa
Islam secara tegas mengajarkan bahwa manusia itu pada dasarnya suci. Hanya saja dalam perjalanan hidupnya manusia tercemar oleh berbagai dosa. Pencemaran terjadi karena dalam diri manusia ada tendensi untuk mengikuti hawa nafsu yang bersifat irasional dan senantiasa membujuk manusia berpaling dari fitrah kesucian. Hawa nafsu merupakan pangkal dari semua penyakit hati dalam kehidupan manusia, yaitu sombong, arogan, dengki, dendam, benci, iri, rakus, serakah harta dan kekuasaan serta semua bentuk sifat keji lainnya. 

Hawa nafsu pada dasarnya adalah kecenderungan jiwa yang salah. Allah swt. berfirman: "Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini (QS. al-Mukminun, 23:71). Di kalangan sufi dikenal ungkapan: "musuh manusia yang paling berbahaya adalah nafsunya sendiri". Ketika usai perang Badr yang terkenal sangat dahsyat, Nabi saw. berkata kepada para sahabatnya: "kita baru saja selesai dengan perang yang kecil menuju perang yang lebih besar", para sahabat terperanjat dan bertanya perang apakah gerangan yang lebih dahsyat dari perang Badr, Nabi pun menjawab: perang melawan hawa nafsu".

Anehnya, sekalipun telah dianugerahi fitrah yang hanif, manusia tetap merupakan makhluk lemah. Kelemahan utama manusia justru terletak pada dua sifat yang menonjol, yakni kepicikan atau sempit pikiran (al-dha`f) dan kekikiran (al-qatr). Hampir semua bentuk kesalahan, kekhilafan, dan dosa yang diperbuat manusia timbul akibat dua sifat tersebut (Perhatikan kandungan QS. al-Ma`rij, 70:19-21,  an-Nisa`, 4:128,  al-Hasyr, 59:9, at-Taghabun, 64:16,  al-Isra`, 17:100).

Karena dua sifat buruk: kepicikan dan kekikiran itu lah manusia mudah tergoda oleh daya tarik jangka pendek suatu perbuatan sambil melupakan akibat jangka panjangnya yang seringkali merugikan dan membahayakan, bukan hanya dirinya melainkan juga keluarga dan orang banyak. Tidak heran jika manusia mudah tergoda untuk berdusta dan menipu secara licik dan keji demi mendapatkan harta, meraihjabatan dan kekuasaan, korupsi, menebar berita hoax dan fitnah, mudah terpicu provokasi yang berakhir konflik.

Kedua sifat buruk itulah yang menjadikan manusia mempunyai sifat tergesa-gesa (panik dan tidak sabaran), dan tidak suka merenungkan akibat jangka panjang dari semua tindakannya (QS. al-Anbiya`, 21:37, al-Isra`, 17:11, al-Qiyamah, 75:20-21,  al-Baqarah, 2:10, dan al-Muzammil, 73:20). Manusia cenderung sulit menahan diri dari godaan dosa dan zulm (kegelapan) sehingga menjadi pelaku dosa dan dirinya diliputi kegelapan. Makin parah manusia bergelimang dosa makin gelaplah hatinya dan pada akhirnya hati itu akan berubah dari nurani(terang benderang) menjadi  zulmani (gelap gulita).

Sifat tergesa-gesa membuat seseorang mudah menebar berita hoax dan fitnah tanpa merasa perlu tabayun atau klarifikasi terlebih dahulu. Akibatnya, bagai sumbu pendek yang mudah meledak, manusia mudah sekali terjerumus dalam konflik, permusuhan dan perseteruan lantaran berita hoax dan fitnah tadi. 

Sifat  tergesa-gesa juga membawa kepada sifat sombong dan arogan, serta mudah putus asa atau frustrasi. Tidak ada makhluk lain di jagad raya yang demikian mudahnya menjadi arogan dan frustrasi seperti halnya manusia. Al-Qur`an berulang kali menandaskan kedua sifat tercela ini, yakni jika memperoleh rahmat dari Tuhan manusia lalu bersikap sombong dan arogan karena merasa rahmat itu datang karena ikhtiarnya semata, bukan karena anugerah Tuhan Sang Pencipta.  Sebaliknya, jika rahmat Tuhan  ditarik kembali dari dirinya atau mereka ditimpa bencana dan musibah mereka pun menjadi putus asa dan kecewa, seolah-olah Tuhan tidak pernah menganugerahinya rahmat (QS. al-Fussilat, 41:49-51,  dan al-Isra` 17:83, 10:12).

Semua ibadah yang diperintahkan Allah pada hakikatnya bertujuan melatih jiwa manusia untuk mengekang dan mengendalikan hawa nafsu. Puasa, misalnya merupakan media pensucian ruhani sebagai latihan pengendalian diri dari berbagai godaan hawa nafsu sehingga menjadi manusia yang bertaqwa, yaitu manusia yang menang dalam perjuangan menghadapi segala macam godaan. 

Penyucian jiwa melalui puasa tidak terbatas pada aspek pengekangan diri terhadap kebutuhan fisik material belaka (makan, minum, dan hubungan seksual), melainkan mencakup juga sikap positif yang ditandai dengan sikap syukur kepada-Nya. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur`an menegaskan bahwa puasa yang produktif adalah puasa yang mampu mengantarkan pelakunya menjadi orang yang bertakwa dan bersyukur. 

Puasa membimbing manusia untuk kembali kepada fitrah, yakni asal kejadiannya. Itulah sebabnya setelah usai berpuasa selama bulan Ramadhan umat Islam ber`idul fitri atau kembali ke fitrahnya. Diharapkan pada `Idul fitri ini setiap individu berhasil tampil kembali sebagai manusia suci seperti ketika ia dilahirkan. 

Selanjutnya diharapkan melalui tradisi halal bi halal tersebut, manusia dapat terus-menerus menyadari bahwa kesucian adalah pembawaan alami dirinya yang harus dipertahankan dengan ucapan, sikap, dan perilaku yang baik, positif dan konstruktif. 
Mengapa harus saling memaafkan?
“Mohon maaf lahir batin”. Apa makna ucapan seperti itu bagi seseorang? Para ahli psikologi agama menyebutkan bahwa ucapan maaf itu besar maknanya, yakni sebagai langkah awal untuk menyatakan penyesalan. Itulah tindakan paling sederhana untuk menunjukkan sikap penyesalan seseorang terhadap berbagai kesalahan yang pernah diperbuatnya. Namun, yang lebih berarti bagi seseorang yang melakukan kesalahan adalah bahwa penyesalan yang diucapkan itu sungguh-sungguh merupakan refleksi batin dan sebagai komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan lagi. 

Al-Qur`an mengajarkan tiga hal yang harus dilakukan oleh seorang Muslim yang bertakwa berkenaan dengan orang yang berbuat kesalahan terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik kepadanya (QS. al-Maidah, 5:134). Bahkan, sekalipun orang lain bersumpah untuk tidak berbuat baik kepadanya, ia pun tetap dianjurkan untuk memaafkan dan menghapuskan kesalahannya (QS. an-Nur, :22). 

Ber`idul fitri pada hakikatnya bermakna merayakan kembalinya sifat kemanusiaan sejati. Manusia hendaknya diliputi rasa cinta kasih dan kemurahan hati yang disertai dengan kemampuan menahan marah serta keinginan tulus untuk meminta maaf dan memaafkan sesama. Sikap-sikap terpuji inilah yang sesungguhnya merupakan wujud nyata dari fitrah manusia yang dituliskan Allah dalam diri manusia pada awal penciptaannya (QS. ar-Rum, 30:30).

Kesadaran akan fitrah manusia dan kenyataan bahwa dalam realitas tidak ada manusia yang luput dari dosa dan kesalahan membawa kepada kesadaran baru akan perlunya meminta maaf kepada sesama manusia, terutama kepada orang tua: ibu dan bapak serta kerabat dekat. Bukan hanya meminta maaf, tetapi juga memberi maaf kepada sesama tidak kalah pentingnya. Sebesar apa pun kesalahan orang lain tidak perlu dihitung. Berpasrahlah hanya kepada Allah karena Dia lebih tahu hitungannya. Yang penting bagi kita adalah memberi maaf dan tunjukkan sikap yang lebih baik. Memang sangat tidak mudah melakukan ini, tapi itulah perintah agama demi membangun kehidupan damai dan harmoni dengan sesama.

Dalam interaksi antar-sesama manusia sulit dihindarkan adanya saling benturan kepentingan, salah faham, dan salah persepsi. Namun kenyataan ini tidaklah membuat manusia mudah melupakan kesalahan orang lain atau meminta maaf. Orang umumnya lebih suka membayar ganti rugi atau membayar sanksi daripada harus meminta maaf sebab meminta maaf diidentikkan dengan kehilangan harga diri atau kehilangan muka. 

Untuk menghapus keengganan meminta maaf dan memaafkan sesama, agaknya perlu direnungkan sifat-sifat Tuhan yang baik (al-asma`ul husna). Di antara 99 al-asma`ul husna empat yang berkaitan dengan sifat pemaaf, yakni sifat-sifat al-Ghaffaral-Ghafural-Thawwab, dan al-Afwu. Sebagai al-Ghaffar, Allah senantiasa berjanji menutupi kesalahan dan dosa orang-orang yang bertaubat, bahkan kesalahannya akan ditukar dengan kebajikan (QS. al-Furqan, 25:70). 
  
Tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diutamakan.


Allah swt. menyambut permohonan tulus hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapa pun besar dan banyak dosanya selama yang bersangkutan tidak mempersekutukan Allah (QS. al-Furqan, 25:70). Allah swt. memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maaf dan ampunan (Q.S. al-Jatsiyah, 45:15), bahkan ditegaskan bahwa: "siapa yang bersabar dan memaafkan kesalahan orang lain maka hal demikian termasuk sifat utama" (asy-Syura`, 42:43). 

Ampunan Tuhan tak terbatas dan tak ternilai oleh apa pun. Hanya satu syarat yang digariskan, yaitu tidak mempersekutukan Allah dengan suatu apapun. Mari kita renungkan bunyi suatu hadis qudsi sebagai berikut: "Hamba-Ku, seandainya kalian datang kepada-Ku dengan membawa sepenuh isi bumi dosa, Aku pasti menyambut kalian dengan sepenuh bumi ampunan, asalkan kalian tidak mempersekutukan Aku"(HR Tarmizi dari Anas ibn Malik).

Sebagai konklusi dapat disimpulkan bahwa halal bi halal bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, melainkan lebih dari pada itu, yakni agar setiap orang berbuat lebih baik, bahkan yang terbaik kepada siapa pun. Itulah landasan filosofis dari halal bi halal. Dengan demikian, esensi halal bi halal tidak terhenti hanya sesudah lebaran, tetapi hendaknya berlangsung sepanjang hayat

Untuk itu, marilah kita pada halal bi halal kali ini membuat komitmen baru pada diri kita masing-masing. Komitmen tersebut adalah kita bertekad menjaga jiwa agar tetap bersih dan senantiasa berada dalam koridor fitrahnya sehingga kita semua tergolong dalam kelompok al-a`idin wal faizin (orang-orang yang kembali ke fitrah dan menggapai kemenangan abadi). Amin, ya rabbal alamin.

Kamis, 14 Juni 2018

Idul Fitri dan Spiritualitas Baru

Musdah Mulia



Setelah berpuasa selama sebulan penuh, beberapa hari lagi umat Islam merayakan hari kemenangan yang populer dengan sebutan `Idul Fitr, 1 Syawal. Biasanya, ada dua ungkapan populer terdengar saat `Idul Fitri, yaitu min al-`aidin wa al-faizin (biasa ditulis: minal ‘aidin wal faizin) dan mohon maaf lahir batin. Banyak mengira, kalimat kedua adalah terjemah dari kalimat sebelumnya, padahal bukan. Ungkapan “mohon maaf lahir batin” merupakan tradisi khas umat Islam Indonesia, tidak dikenal di negara-negara Arab.

Min al-`aidin wa al-faizin sejatinya adalah do`a yang selengkapnya berbunyi: ja`alana Allah wa iyyakum min al-`aidin wa al-faizin. Artinya: semoga Allah menjadikan kita semua tergolong orang-orang yang kembali  dan memperoleh kemenangan. Do`a tersebut mengandung dua konsep, yakni al-`aidin (orang-orang yang kembali) dan al-faizin (orang-orang yang memperoleh kemenangan). Muncul pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan mereka yang kembali dan memperoleh kemenangan?

Puasa Ramadhan berakhir dengan `Idul FitriKata `id bahasa Arab artinya kembali, jadi al-`aidinorang yang kembali. Adapun fithr berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian. `Idul Fitri berarti kembali kepada asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian yang merupakan fitrah manusia. Sedangkan al-fa`izin berarti orang-orang yang menang (QS. al-Hasyr, 59:20 dan Ali-Imran, 3:185). 
   
Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah Itulah orang-orang yang beruntung.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

Puasa Ramadhan hakikatnya adalah suatu  mekanisme pengendalian diri demi menyucikan hati dan jiwa, kembali ke jati diri manusia yang fitri yang selalu cenderung pada kebaikan dan kedamaian. Mereka yang puasa dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, bukan karena terpaksa atau riya (pamer) dinamakan orang-orang yang menang. 

Melalui aktivitas puasa, diharapkan manusia menjadi lebih suci, lebih beriman dan lebih takwa. Dengan begitu, puasa menjadi media transformasi diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik, positif dan konstruktif. Sekaligus juga menjadi media pembebasan diri dan masyarakat dari musuh-musuh agama yang konkret, seperti ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan.

Mengapa manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrah yang suci? Islam sangat optimis memandang manusia dan meyakini setiap individu dilahirkan dalam kondisi fitrah. Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan (tauhid) yang tertanam dalam lubuk hati (nurani) yang merupakan pusat kedirian manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan alamiah mencari kebenaran, kedamaian dan kebaikan sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk hanif(lurus). 

Ditemukan cukup banyak ayat menegaskan, dalam hati nurani manusia telah dituliskan komitmen suci untuk selalu mengikuti kebenaran dan kebaikanTugas para Nabi dan Rasul hanyalah mengingatkan kembali akan komitmen suci tadi. Supaya selamat dan tidak melanggar komitmen, seharusnya setiap individu selalu mendengarkan hati nuraninya. Setiap bentuk penyimpangan dari komitmen tersebut adalah dosa, dan itulah mengapa manusia perlu bertobat. 

Menarik dicermati, kata taubat dalam Bahasa Arab artinya kembali, kembali kepada fitrah. Manusia yang baik bukankarena tidak pernah menyimpang dari komitmen sucinya karena hal itu mustahil. Tidak ada manusia luput dari kesalahan dandosa. Akan tetapi, manusia yang baik adalah jika menyimpang, dia segera sadar dan bertobat sambil bertekad tidak mengulangi kesalahan lagi (QS. Ali Imran, 3:135). Puasa Ramadhan dan segala amal saleh di dalamnya merupakan bentuk pertobatan manusia. Setelah sebulan berpuasa (tentu dengan memenuhi semua persyaratannya) seseorang dapat suci kembali, seperti sucinya seorang bayi yang baru lahir, demikian hadis Nabi.

Seharusnya dengan puasa umat Islam menjadi lebih meningkat kekuatan spiritualnya, dan itu harus tercermin dari perilaku sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Spiritualitas mendorong manusia selalu aktif melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi, antara lain melalui kegiatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya agar diri sendiri atau masyarakat semakin memahami agama secara kritis dan rasional.  Hal itu dapat juga dilakukan melaluiaktivitas pemberdayaan bagi kelompok lemah, miskin, rentan dan marjinal; dan juga aktif melakukan kegiatan advokasi terhadap kelompok tertindas; melawan semua bentuk kezaliman, ketidakadilan dan kekerasan, terutama dilakukan oleh kelompok yang berkuasa.

Ironisnya, dalam realitas sosiologis banyak orang mengaku berpuasa, tetapi tidak memiliki kesadaran spiritualitas. Indikasinya, mereka tidak memiliki kepekaan untuk melawan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan, bahkan menjadi pelakunya. Mereka tidak tergerak untuk menghapus segala bentuk perilaku diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan, juga tidak terpanggil untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan demi kemaslahatan orang banyak. Hal itu karena puasa dipahami sebatas ajaran bersifat ritual formal.

Kekuatan spiritual amat penting dalam diri manusia karena mendorong manusia selalu berbuat kebaikan dan kemashlahatan. Bahkan, juga mendorongnya untuk memperindah akhlak mulia secara terus menerus, serta membentengi diri dari semua perbuatan keji dan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik dalam relasi vertikal dengan Allah, maupun dalam relasi horizontal dengan sesama manusia, bahkan sesama makhluk, termasuk lingkungan sekitarnya

Umat Islam sebagai kelompok terbanyak di negeri ini seharusnya mampu memberi warna positif dan konstruktif padakehidupan bangsa dan negara. Makna puasa Ramadhan harus terefleksi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Puasa dan semua ibadah lainnya hendaknya bukan hanya mewujudkan kesalehan individual, melainkan juga kesalehan sosial yang berdampak pada kemashlahatan seluruh masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan dan marjinal. 

Yang jelas, identitas al-`aidin wa al-faizin dapat terlihat pada mereka yang sudah berkomitmen untuk tidak mengeksploitasi sesama manusia melalui kerja-kerja yang koruptif dan manipulatif. Ciri-cirinya antara lain: mereka tidak berperilaku anarkis, tiranik dan despotik; tidak mendiskriminasikan sesama atas dasar gender, etnis, agama dan sebagainya; tidak merusak dan mengeksploitasi lingkungan atas nama pembangunan dan atas nama apa pun; tidak menjual agama demi kepentingan apa pun; tidak mencuri kekayaan negara demi kesenangan diri, keluarga dan kelompok; dan tidak tergoda hidup mewah, konsumtif dan hedonistik. Sebaliknya, al-`aidin wa al-faizinadalah mereka yang terpanggil untuk sepenuhnya mendonasikan hidup dan karya demi kemashlahatan dan kebaikan orang banyak. 

Apakah kita sungguh-sungguh tergolong al-`aidin wa al-faizin?Jawabnya, ada pada nurani masing-masing. Akhirnya, mari bersama mengucapkan min al-`aidin wa al-faizinsemoga Allah swt menerima semua amalan kita di bulan Ramadhan, juga semoga Allah swt memberkati semua manusia.

Mensyukuri Usia Panjang




Umumnya, kita semua bangga dengan umur yang panjang. Namun, perlu kita sadari sepenuhnya bahwa tidak semua umur panjang itu baik, ada umur panjang yang tidak baik. Untuk itu, marilah kita perhatikan sebuah hadis Rasulullah sebagai berikut:

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ.

Orang yang paling baik di mata Allah dan rasul-Nya adalah orang yang umurnya panjang dan amalnya baik, sedangkan orang yang paling buruk adalah orang yang diberi usia pajang, tetapi amalnya buruk.

Hadis tersebut menegaskan bahwa meskipun manusia mempunyai jumlah umur yang sama dari sisi kuantitasnya, tetapi yang akan dilihat dan dijadikan patokan adalah pada amalnya. Kalau umur panjang itu diisi dengan amal-amal yang baik, maka itulah manusia terbaik. Sebaliknya, kalau usia yang panjang itu padat dengan perilaku jahat, maka itulah manusia yang paling jahat.

Kita semua tentu tidak ingin masuk pada kelompok yang kedua, yang usianya panjang, tetapi isinya melulu kejahatan. Yang kita inginkan adalah agar kita termasuk dalam kelompok pertama, sebagai manusia terbaik: dianugerahi usia panjang dan juga kemampuan mengamalkan amal-amal yang baik.

Kita harus memanfaatkan umur dengan sebaik-baiknya, yakni mengisinya dengan aktivitas dan kerja-kerja yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan kita secara individual, bermanfaat bagi keluarga, bermanfaat bagi masyarakat, bermanfaat bagi bangsa dan Negara, dan juga bermanfaat bagi kehidupan alam semesta. 

Dunia adalah tempat untuk menciptakan amal-amal baik, sedangkan akhirat untuk menikmati hasil dari amal baik.Kalau ajal kita tiba, maka tidak akan mungkin beramal lagi,tidak mungkin memperbaiki kekurangan diri, sesuai hadis Rasulullah yang sangat popular:

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: 1) حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ 2) شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ 3) صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ 4) فِرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ 5) غِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ.

Gunakanlah 5 hal sebelum 5 hal lainnya datang: 1)gunakan masa hidupmu sebelum kematian datang, 2) gunakan masa mudamu sebelum masa tuamu datang, 3) gunakan masa sehatmu sebelum sakit datang, 4) gunakan masa luangmu sebelum masa sibukmu datang, dan gunakan masa kayamu sebelum masa miskinmu datang.
Mengapa pada saat kita berada pada 5 hal yang pertama itu diperintahkan untuk dimanfaatkan, karena pada saat itulah kita memiliki kekuatan, kemampuan, dan kesempatan, sementara pada 5 keadaan lainnya kita menjadi lemah, tidak berdaya, dan kita tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berkarya dan beramal. Pada kondisi yang kedua biasanya manusia hanya berangan-angan dan berandai-andai penuh penyesalan.

Di dalam mengisi dan menjalani usia kita yang panjang itu, diakui atau tidak, pasti ada dua kategori perbuatan yang dilakukan, sesuai dengan kandungan hadis di atas, yaitu amal baik dan amal buruk. Setiap manusia dapat melakukan itu, baik atau buruk. Tidak ada satu pun manusia yang bisa lepas dari 2 kategori itu, ada kebaikannya ada pula keburukannya. 

Kalau ada manusia yang hanya melakukan kebajikan, itu pada hakikatnya bukanlah manusia, tetapi malaikat. Malaikat tidak pernah berbuat kesalahan dan maksiat kepada Allah. Kalau ada manusia yang hanya melakukan kejahatan, tidak ada kebaikannya sedikit pun, ia pada hakikatnya bukanlah manusia, melainkan syetan.

Dalam pandangan Islam, setiap manusia secara fitri memiliki 2 potensi yang berlawanan, seperti disebutkan dalam S. al-Syams [91]: 7

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Dua potensi tersebut selalu mendorong manusia untuk berbuat. Potensi buruk akan mendorong manusia untuk berbuat buruk, sedangkan potensi baik mendorong manusia untuk berbuat baik. Kedua potensi ini selalu berusaha untuk berebut kemenangan dan kekuasaan terhadap jiwa manusia. Potensi buruk mencoba merebut kemenangan dan saat itulah ia mengantar manusia kepada keburukan dan potensi baik mengantar manusia kepada kebaikan. 

Manusia dapat selalu menjaga dirinya agar berbuat kebajikan, dan terhindar dari kejahatan. Upaya membentengi diri dari perbuatan jahat dan tercela itu diungkapkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadisnya:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. رواه الترمذي.

Dari Abu Dzarri, ia berkata bahwa Rasulullah saw pernah berpesan kepadaku: bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, setiap kejahatan yang pernah dilakukan hendaknya diikuti dengan amal kebaikan. Sebab, kebaikan itu akan menghapusnya, dan bergaullah kepada sesama dengan pergaulan yang baik. HR. Tirmidzi).

Bertakwa artinya menjaga diri dari siksaan Allah swt dengan cara mentaati dan melaksanakan segala perintahnya, dan menjaga diri dan meninggalkan hal-hal yang dilarang. Ketakwaan itu yang selalu mengingatkan kita untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Ketakwaan itu membuat kita takut dan malu kepada Allah jika melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah, dan ketakwaan itu pula yang membuat kita selalu menjaga diri dari perbuatan buruk, perbuatan tercela, dan perbuatan dosa.

Rasulullah selalu berpesan untuk menjaga hubungan yang baik dengan Allah. Hubungan itu harus tetap langgeng (istiqamah), setiap waktu, setiap saat, kapan saja dan di mana saja kita berada. Takwa kepada Allah tidak mengenal batas waktu dan tempat. Rasulullah juga memerintahkan umatnya untuk berbuat dan bergaul dengan sesama manusia dengan pergaulan yang baik. Pergaulan yang baik itu dalam rangka menjaga hubungan yang baik dengan sesama. Menjaga hubungan dengan Allah sama pentingnya dengan menjaga hubungan dengan sesama manusia. Tindakan inilah yang disebut dengan menjaga hablun minallah dan hablun minan-nas.

Waktu hidup dalam bentuk umur yang dianugerahkan kepada kita menjadi sia-sia dan tidak berguna apabila tidak diisi dan digunakan dalam rangka beriman dan beramal shaleh. Waktu berjalan terus, usiapun bertambah terus, dan berkurang terus dari hari ke sehari, dari waktu ke waktu, tanpa terasa. Yang jelas bahwa orang-orang yang tidak memanfaatkan waktu dengan baik pastilah sangat merugi. Hal ini seperti yang ditegaskan oeh Allah di dalam S. al-Ashr [103]: 1-3:

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan juga saling naseha-menasehati supaya teguh dalam kesabaran.

Waktu berjalan terus, dan tidak akan pernah datang lagi. Waktu yang sudah melewati umur kita tidak akan pernah kembali lagi, dan kita pun akan menjalani umur kita dengan waktu yang lain, dan tak akan lama lagi (tidak ada satu pun di antara kita yang tahu) kita akan mengakhiri perjalanan umur kita dengan datangnya ajal yang menjemput. Boleh jadi sore ini di antara kita ada yang dipanggil kembali oleh Allah, dan ini pertanda bahwa waktu kita tinggal beberapa jam lagi. Boleh jadi di antara kita, malam nanti, besok pagi, besok siang dan seterusnya. Semuanya tidak ada yang dapat memastikan. Itulah rahasia Tuhan.

Kematian biasanya datang dengan tiba-tiba, tak ada pemberitahuan awal kepada kita. Semua kekuatan yang kita miliki tidak akan mampu menghalangi kedatangan maut kepada. Kalau maut sudah datang, tidak ada yang mampu menundanya. Kita tidak akan dapat menyembunyikan diri sekalipun berada di dalam benteng yang kokoh dan tinggi. Sebagaimana digambarkan Allah dalam S. al-Nisa’ [4]: 78: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokokh.”

Marilah mengisi hidup kita masing-masing, yang tua dengan segala keterbatasannya, dan yang muda dengan segala kekuatannya yang masih prima, untuk melakukan kebajikan-kebajikan yang tertuang di dalam 3 perintah Rasulullah dalam sabdanya sebagai berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا وَبَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ قَبْلَ أَنْ تُشْغَلُوا وَصِلُوا الَّذِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ بِكَثْرَةِ ذِكْرِكُمْ لَهُ وَكَثْرَةِ الصَّدَقَةِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ تُرْزَقُوا وَتُنْصَرُوا وَتُجْبَرُوا. رواه ابن ماجه.

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah pernah berpesan kepada kami melalui sebuah khutbahnya, yang berbunyi: Wahai segenap manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah sebelum kalian mati; segeralah berbuat kebajikan sebelum kalian mendapat kesempitan; dan jalinlah hubungan yang baik dengan sesama kalian dan dengan Tuhan kalian dengan cara memperbanyak berzikir kepada-Nya, dan dengan memperbanyak bersedekah kepada sesama kalian, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Jika kalian melakukan hal demikian, maka kalian akan diberi rezeki oleh Allah, mendapat pertolongan dari-Nya, dan mendapatkan keberkahan”. HR Ibn Majah. 

Ketiga perintah Rasulullah tersebut merupakan kunci kehidupan, yakni bertaubat setiap saat, selalu berbuat kebajikan, dan selalu menjalin hubungan baik dengan sesama manusia dan juga dengan Tuhan melalui zikir dan sedekah. Mereka yang memegang kunci itu dengan baik dalam kehidupannya akan mendapatkan keuntungan dan kemenangan dunia dan akhirat. Mereka inilah orang-orang yang sangat berbahagia dalam hidupnya. Semoga kita semua termasuk di dalamnya. Amin.