Rabu, 02 November 2016

Menentang Kekerasan dan Memperjuangkan Rasa Aman Bersama

DEKLARASI  KYOTO

Menentang Kekerasan dan Memperjuangkan Rasa Aman Bersama



Tak terasa sudah sepuluh tahun lalu saya menghadiri World Conference of Religions for Peace di Kyoto, Jepang. Mengapa di Jepang? Karena negeri ini pernah mengalami penderitaan luar biasa akibat serangan bom atom yang meluluhlantakkan manusia dan kemanusiaan.

Pertemuan itu dihadiri lebih dari delapan ratus pemimpin agama-agama dari lebih seratus negara di dunia. Mereka berkumpul untuk satu tujuan, menjadikan agama sebagai sumber inspirasi perdamaian. Karena itu, temanya adalah: menentang kekerasan dan memperjuangkan rasa aman bersama. Para delegasi dalam pertemuan ini, datang dari jejaring lembaga dan kelompok antar-iman sedunia Religions for Peace baik pada tingkat lokal, nasional, regional dan international, juga jejaring antar-iman orang muda dan perempuan.

Pertemuan besar itu merumuskan komitmen mulia: “Kami bersama meyakini kesatuan mendasar keluarga manusia, dan kesetaraan dan derajat setiap warga umat manusia. Kami memegang teguh kesucian setiap orang dan pentingnya kebebasan hati nuraninya. Kami berketetapan teguh akan nilai-nilai moral dan luhur yang bersama-sama ada pada tradisi-tradisi keagamaan kami. Kami menjunjung nilai kehidupan yang mewujud dalam komunitas manusia dan dalam setiap ciptaan. Kami mengakui pentingnya lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan yang berkesinambungan untuk seluruh keluarga manusia. Kami menyadari bahwa kekuatan manusia sama sekali tidak mampu mencukupi diri sendiri secara mutlak, dan bahwa  cinta kasih, rasa sepenanggungan, semangat tidak mementingkan diri sendiri dan kekuatan kebenaran spiritual justru memiliki daya yang lebih besar. Semua itu pasti mengalahkan kecurigaan, kebencian, permusuhan ataupun kekerasan.

Pertemuan pertama Religions for Peace tahun 1970 menegaskan: sebagai insan agama-agama, kami mengakui akan kemanusiaan dan menyesali bahwa kami telah sering mengingkari cita-cita keagamaan kami dan tekat kami akan perdamaian. Bukanlah agama yang telah gagal dalam memperjuangkan perdamaian, tetapi kami, kaum beragama. Ketidaksetiaan atas agama ini dapat dan harus diluruskan.

Sekarang ini, kita hidup dalam dunia yang dicengkeram oleh pelbagai bentuk kekerasan, langsung dan secara struktural. Konflik dengan kekerasan baik dalam suatu negara dan antar-negara yang dilakukan oleh negara maupun bukan telah merenggut hidup dan menghancurkan masyarakat. Konflik-konflik ini pada umumnya lebih banyak membawa korban pada pihak warga negara dibandingkan militer dan akibat yang ditimbulkan secara tidak seimbang akan mengena pada penduduk yang rentan, pada orang-orang biasa yang tak bersalah.



Komunitas agama-agama secara khusus harus memainkan peran utama untuk mengenali dan menentang kekerasan dalam segala bentuk maupun manifestasinya. Agama-agama dunia telah mengalami penyalahgunaan oleh mereka yang memanfaatkan agama untuk kepentingan mereka sendiri. Dalam konflik berkekerasan yang masih terus berlangsung selama ini di seluruh penjuru dunia, agama telah dipakai sebagai pengesahan ataupun pembenaran kekerasan.

Kita harus berani mengakui bahwa beberapa kelompok dalam komunitas agama kita telah melakukan tindak kekerasan. Kita harus menolak hal ini dan menegaskan kembali bahwa agama adalah semata untuk perdamaian. Komunitas agama-agama dan para pemimpinnya harus berdiri tegak, berseru dan melakukan tindakan menentang penyalahgunaan agama.

Ancaman-ancaman yang dialami oleh banyak warga umat manusia, baik terpisah maupun yang saling berhubungan, menuntut pemahaman yang lebih luas terhadap kekerasan di dunia. Komunitas agama-agama dunia bersama-sama dan dengan bekerja sama dengan semua sektor dalam masyarakat haruslah memainkan peran utama untuk menghindari dan menghentikan perang, menelanjangi ketidakadilan, melawan kemiskinan dan melindungi bumi. Sekaranglah waktunya untuk melakukan hal tersebut; dan kunci kita untuk menentang kekerasan adalah kerja-sama berdasarkan saling hormat dan saling menerima.
Sekarang ini, genosida, penindasan oleh negara, terorisme dan pelbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia melanggar hukum-hukum international, menjadikan penduduk tak berdosa sebagai sasaran dan mengancam rasa aman banyak komunitas.

Penyakit akibat terjadinya konflik, kelaparan, pengungsian dan bencana lingkungan menjadi ancaman serius terhadap kehidupan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, termasuk perkawinan anak-anak, perkawinan paksa, perkosaan, kehamilan paksa, perbudakan, kerja paksa, pelacuran, serdadu anak-anak dan trafficking telah menjadi salah satu taktik perang di banyak daerah konflik.

Ketidakadilan ekonomi membawa kepada kemiskinan mutlak dan kelaparan membunuh 50 ribu orang setiap hari. Penyakit-penyakit yang sebetulnya dapat dihindari ataupun disembuhkan telah membunuh jutaan umat manusia. 25 juta orang karena AIDS, sementara sekitar 40 juta atau lebih hidup dengan HIV positif dan AIDS; dan akibat yang ditimbulkannya menghancurkan komunitas-komunitas kita. Banyak perusahaan, khususnya pada tingkat multi-nasional, menjalankan usaha mereka tanpa memperhatikan nilai-nilai yang mengetengahkan perkembangan yang berkesinambungan. Degradasi lingkungan hidup dan kemerosotan sumber-sumber alam mengancam kemampuan planet kita untuk mendukung kehidupan.

Kaum  miskin papa, mereka yang tak berdaya dan orang kebanyakan menderita secara tidak proporsional sebagai akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam semua bentuknya, mulai dari konflik bersenjata, kemiskinan mutlak sampai kehancuran lingkungan hidup.

Malangnya, agama memainkan peran secara mencolok dalam konflik-konflik yang paling kejam di seluruh dunia. Agama telah dibajak oleh para ektrimis, radikalis dan sangat sering oleh para politisi dan mass-media. Para ekstrimis menggunakan agama untuk mendorong kekerasan dan kebencian serta mendorong konflik sektarian yang bertentangan dengan esensi agama yang paling dalam.

Para politisi sering memanipulasi dan memanfaatkan perbedaan-perbedaan sektarian guna kepentingan mereka sendiri, sering menyeret agama ke dalam pertentangan sosial, ekonomi dan politik. Mass-media juga menyumbang pengambinghitaman agama-agama dalam situasi konflik melalui pemberitaan yang tidak layak.  Mereka juga dengan mudah menengarai pihak-pihak yang berkonflik dengan label agama dan menampilkan agama sebagai sumber konflik tanpa melaporkan keragaman dalam tradisi keagamaan dan pelbagai cara yang dilakukan oleh komunitas agama-agama dalam menentang kekerasan dan memperjuangkan perdamaian.

Sebagai orang beriman, kita bertanggung jawab untuk secara tepat sasaran menentang kekerasan dalam komunitas-komunitas kita sendiri apabila agama disalahgunakan sebagai alat pembenar tindak kekerasan. Komunitas agama-agama perlu mengungkapkan sikap menentang bilamana agama dan prinsip-prinsip mereka yang suci diselewengkan untuk kepentingan kekerasan. Mereka harus mengambil langkah yang tepat untuk menolak semua upaya penyalahgunaan agama.

Akhirnya, kami bertekat untuk menegakkan rasa aman bersama sambil menguatkan jejaring multi-agama dalam usaha mengatasi konflik, membangun perdamaian, memperjuangkan keadilan dan mencapai kemajuan yang berkesinambungan untuk semua manusia tanpa kecuali.

Untuk itu kami menyerukan kepada Komunitas Agama-Agama, sebagai berikut:

v Menolak dan menentang setiap penyalahgunaan agama untuk kepentingan-kepentingan tindak kekerasan;
v Menegakkan keadilan, membangun perdamaian dan kemajuan yang berkesinambungan;
v Menguatkan pendidikan perdamaian di setiap lapisan;
v Menjaga akuntabilitas pemerintah dalam kesungguhan mereka bekerja demi rakyat;
v Membentuk jejaring pada tingkat lokal, nasional, regional dan sedunia untuk memajukan kerjasama secara multi-agama; dan
v Memperkuat kerjasama dengan semua pihak untuk menentang kekerasan dan memajukan suatu model yang baru atas rasa aman bersama.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Harus diakui  sejumlah kemajuan telah dicapai di berbagai negara, tapi belum untuk Indonesia karena sebagian besar isi deklarasi Perdamaian Kyoto masih merupakan angan-angan, belum mewujud dalam kehidupan nyata. Mau tahu alasannya? Karena kebanyakan kita belum bersikap dewasa dalam beragama. Dan yang paling menyedihkan, keberagamaan kita belum sepenuhnya direfleksikan untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar