Senin, 29 Mei 2017

MEMAKNAI KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

Prof. Dr. Musdah Mulia[1]

Diskursus  Islam dan Negara 
Pemikiran politik Islam kontemporer, khususnya kajian agama dan negara, menampilkan tiga pola pemikiran: sekularis, tradisionalis, dan reformis.[2] Pola sekularis berbasiskan pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sehingga di dalam ajarannya tidak ditemukan aturan tentang masalah kenegaraan dan karena itu aturan kenegaraan sepenuhnya menjadi wewenang manusia. Pemikiran ini melahirkan bentuk negara sekuler yang memisahkan urusan politik dan agama. Politik menjadi urusan publik atau negara sedangkan agama menjadi urusan pribadi.
Sebaliknya, pola tradisionalis berangkat dari pemahaman bahwa Islam agama paripurna seperti supermarket menyediakan semua keperluan manusia. Islam mengandung semua aturan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, termasuk aturan tentang hidup kenegaraan. Umat Islam tidak perlu meniru aturan dari mana pun, tak terkecuali aturan Barat, mereka harus kembali kepada aturan yang digariskan Islam. Ajaran Islam meliputi urusan agama dan negara sekaligus (al-Islam din wa daulah). Karena itu, menjadi kewajiban umat Islam mendirikan negara Islam dan melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam bentuk formalisasi hukum Islam, baik dalam hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyah) maupun dalam hukum pidana (hudud).
Adapun pola reformis menolak kedua pendapat ekstrim tersebut. Pola ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan pula agama yang serba lengkap dalam arti ajarannya mencakup segala aturan secara rinci dan mendetail, termasuk aturan mengenai hidup kenegaraan. Islam cukup memberikan prinsip-prinsip dasar yang dapat dipedomani manusia dalam mengatur prilaku dan hubungannya dengan sesama manusia dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Al-Qur'an dan Sunah sebagai sumber utama hukum Islam tidak menyediakan aturan-aturan yang langsung dan rinci mengenai persoalan kenegaraan, yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya, yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi pengelolaan hidup bernegara. Seperangkat tata nilai etika dimaksud adalah prinsip keadilan (al-'adalah), kejujuran dan tanggung jawab (al-'amanah), kebebasan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ukhuwah), kemajemukan (al-ta'adudiyah), musyawarah (al-syura'), kedamaian (al-silm), dan kontrol sosial (amar ma'ruf nahy mungkar). Mereka yang menganut pola pemikiran ini merasa tidak perlu mendirikan negara Islam, juga tidak perlu menformalkan syariat Islam dalam bentuk hukum positif. Bagi mereka yang terpenting adalah merealisasikan nilai-nilai ideal Islam dalam semua bidang kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Faktanya, tuntunan Al-Qur'an mengenai kehidupan bernegara tidaklah menunjuk kepada suatu model tertentu. Soal negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada ijtihad umat Islam. Al-Qur'an hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam mengelola negara, yaitu prinsip  persaudaraan (الإخاء ), persamaan (المساواة ), dan kebebasan (الحرية ).   Ketiga prinsip tersebut harus tetap mengacu kepada prinsip tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Mengapa ketiga prinsip itu menjadi penting dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara? Jawabannya sangat sederhana. Prinsip persaudaraan sesama manusia selalu melahirkan persatuan kebangsaan yang kokoh dan toleransi beragama di antara warga negara yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Penerapan ajaran persaudaraan dalam kehidupan bernegara dimaksudkan agar para penguasa memperlakukan semua warga negaranya, tanpa kecuali, sebagai saudara. Para penguasa tidak boleh berbuat sewenang-wenang atau bersikap despotis terhadap rakyatnya. Sebaliknya, rakyat pun menjauhi sikap anarkis terhadap penguasa. Rakyat dan penguasa dengan penuh rasa persaudaraan bergandeng tangan membangun kehidupan damai dan harmoni.
Selanjutnya, prinsip persamaan antarmanusia menjanjikan pelaksanaan musyawarah dan penegakan keadilan. Dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan yang penting, para penguasa hendaknya terlebih dahulu bermusyawarah dengan rakyat atau wakil-wakil rakyat atau dengan orang-orang yang dipandang ahli dalam bidang tersebut. Selain itu, para penguasa juga hendaknya memperlakukan rakyatnya secara adil tanpa pandang bulu, bahkan, tanpa membedakan  agamanya. Para penguasa Muslim harus bisa menjamin tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap warganya yang non-Muslim.
Ketiga prinsip dasar yang menjadi acuan bagi pengelolaan hidup berbangsa dan bernegara itu tetap dalam koridor prinsip tauhid. Mengapa? Sebab, prinsip tauhid menjamin terwujudnya masyarakat yang bermoral dan menghayati nilai-nilai spiritual yang sempurna dan pada gilirannya nanti secara bertahap dapat mewujudkan pola hubungan antarmanusia dalam semangat egalitarianisme. Implementasi tauhid dalam kehidupan bermasyarakat akan membuat setiap individu dalam masyarakat menyadari jati diri mereka masing-masing sebagai hamba Allah swt., memahami harkat dan martabat kemanusiaannya sehingga dengan demikian mereka dapat terbebas dari berbagai macam belenggu yang merusak martabat kemanusiaan, yang pada gilirannya membuat mereka mampu mengembangkan potensinya secara wajar dan layak. Prinsip tauhid pada hakikatnya mendukung sistem demokrasi, dan sebaliknya, menolak sistem totaliter, otoriter, dan tiranik.[3]
Melihat ketiga pola hubungan agama dan negara tersebut dan kemudian menyimak konteks Indonesia, dapat dipastikan bahwa pola ketiga atau pola reformislah yang paling kondusif diterapkan, bukan pola sekularis atau tradisionalis. Paling tidak ada dua alasan, pertama, bangsa Indonesia sejak awal telah dikenal sebagai bangsa yang religious atau akrab dengan nilai-nilai agama, tidak mungkin dapat menerima pola sekularis dalam pengelolaan hidup berbangsa dan bernegara. Alasan kedua, sejak zaman kerajaan Majapahit, masyarakat di Nusantara yang kemudian menjadi cikal bakal bangsa Indonesia, telah dikenal sangat heterogen: terdiri dari berbagai suku bangsa, warna kulit, bahasa, budaya, dan bahkan beragam agama dan kepercayaan sehingga sulit sekali dapat membangun negara yang berbasiskan satu agama tertentu. Nilai-nilai Islam yang ideal tentu saja dapat dipakai, demikian pula nilai-nilai agama lainnya sebagai prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan itulah kemudian terlihat dalam Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia.

Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Dalam konteks Agama dan negara, Indonesia merupakan kasus yang unik. Meskipun merupakan negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, yakni sekitar 180 juta, namun para pendiri republik ini (the founding fathers and mothers) tidak memilih Islam sebagai dasar negara. Mereka ternyata lebih memilih Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Tentu saja pilihan itu bukan tanpa alasan dan juga bukan pilihan yang mudah. Rekaman sejarah mengenai perdebatan kelompok nasionalis sekuler dan kelompok nasionalis Islam di konstituante tahun 1945 menjelaskan hal itu secara terang benderang.
Masalah hubungan Islam dan negara dalam konteks Indonesia pertama kali muncul dalam perdebatan tentang weltanschauung (dasar negara) di dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ketika itu, Dr. Rajiman Wedyoningrat selaku ketua BPUPKI mempertanyakan tentang weltanschauung atau dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Pertanyaan tersebut mendapatkan respon beragam dari anggota BPUPKI, bahkan menimbulkan perdebatan panas dalam sidang-sidang BPUPKI selanjutnya. Respon yang muncul terhadap pertanyaan tersebut sangat beragam. Namun, pada umumnya dipengaruhi oleh tiga ideologi: ideologi Islam, ideologi kebangsaan, dan ideologi Barat sekuler.
Kelompok pendukung ideologi Islam mengusulkan agama Islam menjadi dasar negara sekaligus juga menjadi agama resmi negara dan konsekuensinya harus ada kewajiban negara menjalankan syariat Islam. Bukan itu saja, juga mengusulkan agar presiden harus beragama Islam. Sementara itu, kelompok ideologi kebangsaan mengusulkan prinsip-prinsip kebangsaan, persatuan Indonesia, kekeluargaan, kerakyatan, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar negara, bukan agama tertentu. Karena itu, negara tidak perlu didasarkan pada agama tertentu dan tidak perlu pula mengakui agama tertentu sebagai agama resmi negara. Sebaliknya, pengusung ideologi Barat sekuler menghendaki adanya pemisahan yang tegas antara urusan negara dan agama.[4]
Perdebatan panjang seputar isu dasar negara tadi melahirkan dua kelompok besar dalam BPUPKI: kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Kelompok pertama menginginkan ideologi kebangsaan bagi negara yang akan dibentuk itu, sebaliknya kelompok kedua menghendaki ideologi agama, yaitu Islam Menarik dicatat bahwa meskipun penduduk beragama Islam di Indonesia jumlahnya sangat besar, namun pendukung kelompok nasionalis Islam dalam BPUPKI hanya 25%.[5] Bahkan, perkiraan Syafii Ma'arif hanya 20% atau sekitar 15 orang saja dari anggota BPUPKI yang menyuarakan aspirasi Islam bagi dasar negara yang akan terbentuk itu.[6] Tidak heran jika keputusan BPUPKI mengenai dasar negara Indonesia adalah ideologi kebangsaan, bukan Islam.

Isu Kebebasan Beragama
Salah satu isu penting yang menjadi perdebatan hangat dalam tubuh BPUPKI adalah tentang kebebasan beragama seperti tercantum dalam pasal 29 UUD 1945. Menarik sekali bahwa persoalan kebebasan beragama ini tidak pernah tuntas diperdebatkan sejak rapat-rapat di BPUPKI tahun 1945 sampai sekarang, perdebatan mengenai hal ini tidak pernah surut. Akibatnya, rumusan pasal 29 itupun selalu dipermasalahkan.
Rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: " Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Rumusan ini kemudian mengalami perubahan dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menjadi: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Rumusan tersebut menghilangkan tujuh kata, yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“. Rumusan terakhir itulah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia sampai sekarang, tidak mengalami perubahan meskipun telah empat kali terjadi amandemen  terhadap UUD 1945, yaitu pada tahun-tahun: 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Perjalanan sejarah Indonesia mencatat bahwa tarik ulur kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara bukan hanya berlangsung di lembaga Konstituante tahun 1945 seperti diuraikan tadi, melainkan berlangsung sepanjang sejarah republik ini, baik dalam bentuk perjuangan membentuk negara Islam ataupun dalam bentuk perjuangan mengembalikan atau memasukkan "tujuh kata" Piagam Jakarta ke dalam konstitusi, seperti dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 di era Reformasi. Bahkan, ada pula yang mecoba memaksakannya melalui gerakan bersenjata.[7]
Tidak berubahnya rumusan pasal 29 UUD 1945 bukan berarti tidak ada upaya serius dari kalangan yang mengatasnamakan umat Islam untuk mengubahnya. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan hal itu secara jelas dan nyata. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan Pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apa pun;  kedua, mengubah ayat 1 pasal 29 dengan memasukkan "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta kedalamnya seperti rumusan hasil sidang BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari Pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: "Penyelenggara negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama" (diusulkan oleh Golkar); "Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa" (diusulkan oleh partai PPP); dan "Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing" (diusulkan oleh Partai Reformasi).
Menarik juga dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata "kepercayaannya itu" dari rumusan yang ada karena kata-kata itu dianggap membingungkan. Hasil dari perdebatan panjang di MPR dalam rangka amandemen UUD 1945 menyimpulkan bahwa pada akhirnya Pasal 29 diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti yang ditetapkan dalam sidang PPKI. [8]
Pilihan para pendiri republik untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, demikian pula dengan kenyataan hasil perdebatan di MPR tahun 1999-2002 yang memilih untuk tetap mempertahankan redaksi awal Pasal 29 UUD 1945 menunjukkan bahwa pada umumnya para pemimpin Islam Indonesia lebih memilih pola reformis, ketimbang pola sekularis dan tradisionalis. Dengan pilihan itu yang dikehendaki sesungguhnya adalah bagaimana menjadikan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang sudah terangkum dengan sangat indah dalam Pancasila menjadi landasan berpijak bagi pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara di Indonesia sehingga terwujud sistem pemerintahan yang adil, terbuka, demokratis dan egalitarian. Sistem yang islami itu dapat diwujudkan tanpa harus mendesakkan Islam sebagai dasar ideologi negara dan juga tanpa harus mendesakkan Piagam Jakarta masuk ke dalam tubuh undang-undang dasar negara.

Jaminan Islam Terhadap Kebebasan Beragama
Islam diyakini pemeluknya sebagai agama sempurna. Ajarannya mencakup semua tuntunan bagi kehidupan manusia di muka bumi agar selamat dan bahagia menuju kehidupan akhirat yang lebih kekal dan abadi. Hanya saja, ajaran Islam tidak menjelaskan secara rinci dan detail mengenai setiap masalah dalam kehidupan manusia, melainkan cukup merumuskan prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin hikmahnya agar manusia menggunakan akal budi dan daya nalarnya secara kritis dan seoptimal mungkin atau dalam terminologi fikih disebut berijtihad untuk menjelaskan pedoman yang sifatnya global tersebut dan kemudian mengelaborasinya sesuai dengan kondisi kehidupan mereka yang  dinamis dan selalu berubah.
Dalam prakteknya semakin rinci dam mendetail sebuah aturan akan semakin sulit diimplementasikan dalam kehidupan yang dinamis dan berubah. Itulah sebabnya mengapa ajaran Islam tidak akan ketinggalan zaman, melainkan selalu dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi manusi yang berubah-ubah dari satu generasi ke generasi yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Itulah yang dimaksudkan dengan kaedah al-Islam shalih li kulli makan wa zaman (ajaran Islam kompatibel dengan perkembangan zaman dan perubahan waktu).
Para ulama membagi ajaran Islam dalam dua kategori; ajaran dasar dan non-dasar. Ajaran dalam kategori pertama termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadis Nabi yang diyakini kebenarannya secara absolut. Teks-teks suci inilah yang bersifat sakral, mutlak dan tidak dapat diubah dengan alasan apapun. Sedangkan ajaran non-dasar mengambil bentuk hasil ijtihad para ulama. Sesuai dengan bentuknya, tentu saja jenis ajaran kedua ini tidak bersifat mutlak dan absolut, melainkan bersifat relatif, nisbi, dan bisa diubah. Ajaran non-dasar itu banyak dijumpai dalam kitab fiqh, kitab tafsir, dan kitab-kitab keagamaan lainnya sejak zaman klasik Islam.
Selain itu, ajaran Islam juga terbagi ke dalam dua aspek: aspek vertikal dan aspek horinzontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horinsotal merupakan ajaran yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya aspek horisontal itu  kurang banyak diimplementasikan, bahkan sering tertutupi oleh aspek vertikal, sehingga dimensi humanisme yang merupakan refleksi aspek horisontal Islam kurang mendapat perhatian umat Islam. Akibatnya, Islam  sering tampil dalam wajah yang tidak humanis, sangar, dan tidak kondusif pada nilai-nilai kemanusiaan. Realitas sosiologis di masyarakat menunjukkan bahwa agama Islam lebih banyak dijadikan alat untuk “memuaskan Tuhan” ketimbang memanusiakan manusia. Tidak heran jika ajaran Islam yang luhur dan ideal tersebut tidak banyak membawa efek positif bagi kehidupan umatnya.
Inti ajaran Islam, yaitu tauhid mengajarkan kepada manusia bahwa hanya ada satu pencipta, yaitu Allah swt. Selain Dia, semua hanyalah makhluk. Oleh karena itu, hanya Dia yang mutlak disembah, dipuji dan diagungkan serta tempat menggantungkan seluruh harapan dan kebutuhan. Di antara makhluk ciptaan-Nya manusia adalah makhluk  paling sempurna (Q.S. al-Isra’, 17:70). Makhluk lain patut memberikan penghormatan kepada manusia sebagai tanda pengabdian kepada Sang Pencipta. Manusia adalah makhluk  bermartabat dan harus dihormati tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, gender, dan berbagai ikatan primordial lainnya.
Keragaman manusia adalah sunatullah dan hal itu, antara lain dimaksudkan agar manusia saling mengenal satu sama lain untuk selanjutnya saling mengasihi, saling membantu, saling melengkapi menuju kehidupan sosial yang damai dan sejahtera. Kondisi inilah yang dijelaskan  dalam perintah Tuhan agar sesama manusia saling "ta'aruf" (mutual understanding). Menarik bahwa dalam perintah itu Tuhan juga menegaskan tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali berkaitan dengan prestasi takwanya (Q.S. al-Hujurat 49:13) dan bicara soal takwa hanya Allah swt. yang berhak memberikan penilaian. Keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta dan hanya Dia yang mampu menilai baik-buruk perbuatan manusia merupakan ajaran Islam yang hakiki dan itulah yang disebut dengan ajaran tauhid. Pemahaman tauhid yang benar bukan hanya akan membawa manusia kepada pola berketuhanan yang benar melainkan juga pola berkemanusiaan yang benar. Itulah yang dimaksudkan dengan ajaran hablun minallah dan hablun minannas.[9]
Berkaitan dengan relasi antar manusia, Nabi sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam tersebut pada intinya menggarisbawahi lima hal pokok sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertama, prinsip persaudaraan dalam Islam (ukhuwah Islamiyah), semua umat Islam dari berbagai latar belakang dan dari berbagai suku pada hakikatnya bersaudara. Kedua, prinsip saling menolong dan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari beragam suku, agama, dan bahasa harus saling membantu dalam menghadapi lawan. Ketiga, prinsip melindungi yang teraniaya. Keempat, prinsip saling kontrol. Kelima, prinsip kebebasan beragama.
Khusus tentang prinsip kebebasan beragama dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur'an, seperti QS. Al-Baqarah, 2:256 (tidak ada paksaan dalam beragama); al-Kafirun, 1-6 (pengakuan terhadap pluralisme agama); Yunus, 99 (larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapai kalimatun sawa’); dan al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong orang-orang non-Muslim yang tidak memusuhi dan tidak mengusir mereka). Sayangnya, ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai humanisme, pluralisme, dan inklusifisme itu tidak banyak disosialisasikan di masyarakat sehingga tidak heran jika wajah masyarakat Islam di berbagai wilayah tampak sangar dan tidak bersahabat, sangat jauh dari potret yang ditampilkan umat Islam generasi awal, khususnya di masa Nabi dan Khulafa Rasyidin, yang dikenal penuh toleransi, persahabatan, dan persaudaraan.
Para ulama telah mencoba merumuskan ajaran Islam agar kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Imam al-Ghazali (w. 1111 M), ulama besar abad ke-12 mencoba merumuskan tujuan dasar syariat Islam atau yang disebutnya dengan maqashid al-syari’ah, yaitu penghargaan terhadap lima hak kebebasan dasar manusia (al-kulliyah al-khamsah), yaitu:  hak hidup (hifz al-nafs); hak kebebasan beropini dan berekspresi (hifz al-aql); hak kebebasan reproduksi (hifz an-nasl); hak kebebasan memiliki properti (hifz al-maal), dan terakhir adalah hak kebebasan beragama (hifz ad-din). Islam diturunkan untuk menjamin paling tidak lima hak mendasar tadi. Artinya, seluruh keberagamaan manusia dibangun untuk melindungi kelima hak kebebasan dasar tersebut. Oleh karena itu, jika ditemukan ajaran Islam yang bertentangan dengan pemeliharaan lima hak dasar tadi, maka ajaran tersebut perlu direvisi dan diinterpretasi ulang demi menjawab tuntutan kemaslahatan manusia.
Konsep al-Kulliyah al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut. Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.[10]  Pernyataan yang tidak kurang tegasnya dilontarkan oleh Ibnu Rusyd: bahwa kemashlahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[11] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi  kemaslahatan manusia.[12] Kalau begitu, setiap ajaran yang tidak mendatangkan kemaslahatan bagi manusia patutlah dicurigai sebagai bukan ajaran Islam meskipun dibungkus dengan dalil-dalil agama.
Kebebasan beragama dijamin dalam Islam, dan hal itu dibuktikan secara nyata oleh nabi Muhammad saw. ketika membangun masyarakat Islam di Madinah yang ketika itu masyarakatnya terdiri dari beragam suku, dan beragam agama. Paling tidak, dari segi agama di sana dijumpai empat kelompok, yakni: penganut paganism (penyembah berhala), kelompok pengikut agama Yahudi, kelompok Nasrani dan kelompok Muslim yang terbagi lagi dalam dua golongan: Anshar (penduduk asli) dan Muhajirin (pendatang). Kebebasan beragama yang dipraktekkan Nabi juga tercermin dalam Piagam Madinah.[13] Pasal 25, misalnya  menyatakan secara tegas: ”bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka.”  Pasal ini juga menjamin kebebasan beragama bagi segenap penduduk Madinah yang berbeda-beda agamanya.[14] Karena Piagam Madinah  adalah konstitusi negara Madinah, ketetapan tersebut mengandung makna dan fungsi strategis. Disebut strategis  karena kebebasan melaksanakan agama dan keyakinan bagi komunitas-komunitas agama yang ada di Madinah dijamin secara konstitusional. Dengan ungkapan lain, kebebasan beragama dijamin oleh negara dan undang-undang. Nabi saw. dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan kepala negara tidak memaksa mereka yang belum muslim untuk menerima Islam. Dengan cara demikian Nabi berhasil menciptakan kerukunan antarkomunitas agama di kalangan penduduk Madinah.
Prinsip kebebasan beragama yang diundangkan dalam Piagam tersebut telah membuka babakan baru dalam kehidupan politik dan peradaban dunia saat itu.[15] Artinya, pengakuan prinsip kebebasan beragama ini sebagai hak personal manusia, baik melalui ketentuan wahyu maupun ketetapan Piagam Madinah adalah pertama dalam sejarah kemanusiaan.[16] Dengan fakta ini dapat dibuktikan betapa naifnya klaim yang mengatakan kebebasan beragama itu konsep Barat yang sengaja disusupkan ke Indonesia untuk melemahkan aqidah umat Islam.
Selain memuat prinsip kebebasan beragama, Piagam Madinah juga mengatur mekanisme hubungan antarpemeluk agama di kota Madinah. Hubungan-hubungan dimaksud berkaitan dengan soal pertahanan dan keamanan, masalah belanja peperangan, dan bidang kehidupan sosial.  Aplikasi dari pengaturan hubungan antarpemeluk agama itu, antara lain terlihat dalam pasal-pasal berikut. Pasal 37 menjelaskan bahwa: orang-orang muslim dan orang-orang Yahudi perlu bekerjasama dan saling menolong dalam menghadapi pihak musuh. Berikutnya, pasal 44 berbunyi: ”Semua warga harus saling bahu-membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yasrib.” Lalu, pada pasal 24 dinyatakan bahwa: kedua pihak: kaum muslim dan Yahudi bekerjasama dalam menanggung biaya apabila mereka melakukan perang bersama. Terakhir, pasal 38 menyebutkan: seseorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya, dan orang yang teraniaya akan mendapat pembelaan.[17] Keempat pasal yang disebutkan tadi menyebutkan secara jelas adanya kewajiban umum dari semua unsur warga Madinah, yaitu partisipasi umum dari segenap penduduk Madinah dalam usaha mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama di wilayah tersebut. Mereka juga harus bekerjasama menanggung biaya perang bila mereka mengadakan perang bersama.
Bagi negara Madinah yang masih muda usianya dan rakyatnya yang heterogen, ketentuan yang digariskan dalam piagam itu memiliki makna yang sangat strategis, terutama dalam upaya konsolidasi dan kerjasama antargolongan dalam mengantisipasi berbagai ancaman yang mungkin timbul. Bisa disimpulkan bahwa tujuan utama dari Piagam Madinah adalah membina persatuan dan kesatuan di kalangan penduduk yang berlainan agama serta menghindari terjadinya peperangan sehingga keamanan dan ketenteraman dapat diwujudkan.
Sangat disesalkan mengapa uswatun hasanah (contoh ideal) dalam wujud kebebasan beragama yang dipraktekkan Rasul pada masanya tidak mampu dijabarkan dalam realitas kehidupan umat Islam, termasuk umat Islam Indonesia dewasa ini. Bahkan, kebebasan beragama yang dicontohkan secara gamblang oleh Rasul dan sahabat-sahabatnya pada abad ketujuh menjadi asing dalam komunitas Islam. Buktinya, tafsir mainstream yang dianut umat Islam mengenai kebebasan beragama, misalnya menyatakan mutlaknya larangan riddah atau perpindahan agama. Pada umumnya umat Islam meyakini bahwa seorang yang beragama Islam tidak diperkenankan berpindah agama karena akan menyebabkan murtad dan hukum bagi orang murtad adalah halal darahnya (boleh dibunuh). Selain itu, orang murtad tidak berhak menerima warisan atau diwarisi. Komunitas umat Islam di berbagai belahan bumi juga tidak familiar dengan isu perkawinan beda agama dan bahkan memandang perilaku perkawinan beda agama sebagai perilaku haram dan membahayakan Islam.
Meskipun pandangan ulama, baik mengenai hukum murtad maupun waris beda agama atau kawin beda agama sangat beragam, namun pandangan yang mengemuka dianut mayoritas umat Islam adalah sebagaimana disebutkan tadi. Pandangan yang membolehkan orang Islam berpindah agama, menikah dengan orang yang berbeda agama atau mewarisi beda agama atau disebut juga pandangan Islam yang humanis, pluralis, dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan tidak mendapat tempat yang layak dalam  masyarakat Islam. Artinya, bangunan Islam seperti dicontohkan Rasul dan para sahabatnya, khususnya berkenaan dengan kebebasan beragama, hampir tidak dikenal lagi pada masa sekarang, sungguh menyedihkan.

Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia:
Membaca Aturan Kontradiktif
Uraian sebelumnya menjelaskan secara terang benderang bahwa Islam pada hakikatnya menjamin kebebasan beragama. Pertanyaan muncul: apakah Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga menjamin adanya kebebasan beragama? Jawaban terhadap pertanyaan tadi bisa beragam. Secara konstitusional, jaminan kebebasan beragama di Indonesia sangat jelas dan tegas dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 29  mengenai agama, yaitu: (1) "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa." (2)"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." 
Pernyataan jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 tersebut pada prinsipnya sejalan dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18 menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri."  Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama dari pada Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.
Kembali ke UUD 1945. Menarik pula dikaji bahwa sejak awal pembentukan negara Indonesia, telah dinyatakan perbedaan antara agama dan kepercayaan, seperti terbaca dalam pasal 29 (2) UUD 1945: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Pernyataan ini dapat diartikan bahwa agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang dijamin kebebasannya dalam kehidupan masyarakat.
Realitas empirik di masyarakat membedakan antara agama dan kepercayaan. Penganut suatu agama tidak serta merta bersedia disebut sebagai penganut kepercayaan, demikian pula sebaliknya. Pembedaan ini menjadi semakin kuat setelah pemerintah mengakui aliran kepercayaan sebagai entitas yang berdiri sendiri lepas dari agama. Dengan pengakuan itu, berarti kelompok masyarakat yang beraliran kepercayaan memperoleh pula pengakuan dan jaminan kebebasan melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu. Akan tetapi, dalam perkembangannya,  pemerintah tidak lagi mengakui aliran kepercayaan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri di luar agama, melainkan memandangnya sebagai  budaya.
 Meskipun Penjelasan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menyebutkan: "Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama itu bukan pemberian negara atau golongan." Akan tetapi, dalam implementasinya di masyarakat prinsip kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam ketetapan MPR tersebut tidak diakomodasikan dalam produk perundang-undangan yang lahir kemudian. Salah satu contoh adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Budha.
Semakin aneh lagi, dua dasawarsa berikutnya, lahir TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan  hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dalam UUD 1945 yang hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama. Namun, prakteknya di lapangan surat edaran Mendagri tersebut dipakai sebagai alasan membatasi agama yang boleh dianut orang Indonesia, yakni hanya pada lima agama, dan tidak mengakui agama dan kepercayaan di luar kelima agama tadi. Bagi orang yang melihat konstitusi menjamin kebebasan beragama secara menyeluruh tentu menangkap adanya inkonsistensi dalam TAP MPR tersebut.
Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR Tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: "Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya  dan kepercayaannya itu." Ketentuan di atas sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945. Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR tersebut bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).
Selanjutnya, TAP MPR tersebut menyebutkan ada 8 bentuk hak asasi manusia yang diakui pemerintah sebagai hak yang tidak boleh diabaikan dan dirampas oleh siapa pun, termasuk oleh negara, yaitu hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi,  hak keamanan, dan  hak kesejahteraan. Adapun kebebasan beragama dikelompokkan sebagai hak kemerdekaan sebagai tertuang dalam pasal 13: Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hak beragama ini diperkuat lagi dengan pasal 17 yang menegaskan bahwa hak ini termasuk dalam kategori hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable). Terakhir pada pasal 43 ditegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.
Secara normatif dapat dikatakan bahwa jaminan negara Indonesia terhadap kemerdekaan beragama setiap orang sudah kuat dan menjadi semakin kuat dengan kehadiran UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 22 menyatakan:  (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jaminan kemerdekaan beragama diperkuat pula dalam empat kali amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai agama tidak mengalami perubahan sama sekali. Jaminan itu semakin kuat lagi dengan hadirnya Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai hak-hak sipil-politik yang di dalamnya terdapat penegasan tentang kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar.
Paparan di atas membuktikan bahwa secara normatif jaminan negara terhadap kebebasan beragama di Indonesia sudah memadai. Persoalannya ada di level praksis atau implementasi. Implementasi UUD dan sejumlah undang-undang yang menjamin kebebasan beragama sangat diwarnai oleh corak pemahaman pemerintah terhadap pasal 29 UUD 1945. Pemahaman pemerintah tersebut sering mengalami fluktuasi dan terkesan inkonsistensi. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh penafsiran yang sering bias terhadap pasal 29 UUD 1945. Pasal 29 (1) menegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan YME, sementara pada ayat berikutnya tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa agama dan kepercayaan penduduk yang dijamin oleh negara itu harus berdasarkan atas Ketuhanan YME.
Timbul persoalan, bagaimana hubungan antara ayat 1 dan 2 pasal 29. Apakah ayat 1 menjadi dasar pengakuan kebebasan beragama pada ayat 2. Kalau benar, berarti kebebasan hanya diberikan kepada pemeluk agama yang mengakui Ketuhanan YME, tidak kepada selainnya. Konsekuensinya, negara akan melakukan pengawasan terhadap penduduk perihal agama yang dipeluknya, dan jika tidak berdasar Ketuhanan YME, maka kebebasan tersebut tidak akan dijamin oleh negara. Kalau demikian maknanya, lalu apa maksudnya negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2). 
Akan tetapi, jika negara pada ayat 1 ditafsirkan sebagai sistem kekuasaan yang terorganisasikan menurut UUD 1945, yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maka asas Ketuhanan YME adalah norma yang berlaku bagi negara, bukan bagi penduduk. Artinya, pelaksanaan cabang-cabang kekuasaan negara yang meliputi ketiga cabang pemerintahan tadi dan semua produk hukum yang dihasilkannya harus selalu berdasarkan Ketuhanan YME, artinya mempunyai nilai religius. Sementara ayat 2 memberikan jaminan kemerdekaan kepada tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan agama masing-masing. Penduduk dengan demikian dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing dengan rasa aman karena pemerintah berkewajiban menyediakan perangkat pelindung jika ada gangguan. Tentu saja, perlindungan ini tidak bersifat mutlak, melainkan diberikan dengan mempertimbangkan keberadaan agama lainnya yang sama-sama mempunyai hak hidup di Indonesia. Jadi, tidak ada kontradiksi antara ayat 1 dan 2 dalam pasal tersebut, yang pertama merupakan norma bagi negara, sedangkan yang terakhir norma bagi penduduk.
Agar tidak terjadi penafsiran berbeda yang pada gilirannya akan melahirkan produk undang-undang dan peraturan berbeda sebagaimana dijelaskan terdahulu, diperlukan penjelasan yang lebih konkret mengenai: apa itu konsep Ketuhanan Yang Maha Esa? dan bagaimana pola hubungan di antara kedua ayat dalam pasal 29 tersebut?  Selain itu, perlu pula diperjelas sejauhmana cakupan kebebasan beragama yang dimaksudkan dalam konstitusi tersebut. Apakah kebebasan beragama tersebut mencakup kebebasan untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun; kebebasan untuk memeluk agama di luar dari lima agama yang dikenal di Indonesia?; kebebasan berpindah–pindah agama atau kepercayaan; kebebasan untuk menganut pandangan keagamaan yang berbeda dengan pandangan kelompok mainstream; dan kebebasan menikah beda agama. Tambahan bagi umat Islam adalah apakah juga meliputi kebebasan untuk saling mewarisi di kalangan orang berbeda agama, kebebasan untuk wakaf beda agama dan seterusnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 itu pemerintah kemudian mengeluarkan UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”. 
Sekilas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekedar mengingatkan warga untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir” atau "murtad". Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965 dan kemudian dikukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969 membawa implikasi luas dalam pengekangan kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legitimasi untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Sekaligus juga dijadikan alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa.
Penetapan itu antara lain menyebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”. Ini dijelaskan lebih jauh dalam bagian penjelasan: “Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”.  Ketetapan ini sangat jelas menguntungkan para ulama dan kalangan agamawan yang pro-pemerintah, yang diwakili majelis-majelis agama resmi: MUI, WALUBI, PGI, KWI dan HINDU DARMA. Kelompok inilah yang diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan kesahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau yang dikatakan sebagai induk agama.
Korban pertama dari kebijakan negara dalam soal “agar jangan sampai terjadi berbagai bentuk penyelewengan ajaran agama” yaitu kelompok-kelompok penganut agama atau kepercayaan lokal, seperti komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan; komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan; dan komunitas Kaharingan di Kalimantan. Mereka semuanya diharuskan kembali ke agama induk, yakni agama Hindu. Sangat mengherankan sikap pemerintah selalu menuding agama atau kepercayaan tersebut sebagai agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya. Sebaliknya, menurut para penganut agama-agama lokal (indigenous Religion) tersebut justru agama dan kepercayaan merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk. Sebab, menurut keyakinan mereka agama-agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha justru semuanya merupakan agama import, bukan agama lokal. Jauh sebelum kelima agama tadi datang ke Indonesia, agama dan kepercayaan lokal yang mereka anut sudah hidup ribuan tahun di Nusantara ini. Lalu, bagaimana mungkin para penganut agama lokal tersebut diminta untuk kembali ke agama asli atau agama induknya.
Klaim agama asli dan agama sempalan menjadi sangat problematik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Demikian pula dengan klaim agama Samawi (agama langit) dan agama Non-Samawi (agama bumi). Yang pertama biasanya termasuk Islam, Yahudi dan Kristen, sedangkan kelompok kedua biasanya mencakup Hindu, Budha dan sebagainya. Sejatinya, semua agama oleh pengikutnya diyakini sebagai sakral yang ajarannya diyakini datang dari Tuhan dan entitas Tuhan dalam semua agama selalu disimbolkan berada di atas atau di langit. Oleh karena itu, ke depan jangan lagi ada klaim agama asli atau tidak asli, agama induk atau sempalan, dan agama langit dan agama bumi. Sebab, polarisasi semacam itu sungguh menyesatkan dan berpotensi melahirkan tindakan diskriminatif, serta sangat tidak kondusif untuk bangunan kebangsaan Indonesia yang multikultural ini.
Korban berikutnya yang mencuat belakangan ini adalah kelompok Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dibatasi, mulai dari hak kebebasan berkeyakinan, hak membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan, di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka. PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kuningan turun tangan, dengan alasan Ahmadiyah sudah meresahkan masyarakat. Departemen Agama Kuningan juga ambil bagian dengan menuduh Ahmadiyah mendakwahkan ajaran yang berbeda dengan mayoritas umat Islam. Pihak pemerintah kabupaten Kuningan mengumpulkan sejumlah orang yang dianggap tokoh agama dan masyarakat lalu menyuruh mereka bertanda tangan untuk menolak kehadiran jamaah Ahmadiyah di wilayah Kuningan. Kasus terakhir di Parung, markas mereka dikepung oleh kelompok Islam radikal.
Akibat konkret dari seluruh kebijakan pemerintah yang hanya mengakui lima agama (sejak 2006 dengan diakuinya Konghucu,  bertambah menjadi enam agama) di Indonesia dan kebijakan terkait aliran kepercayaan adalah bahwa para penganut agama di luar enam agama tersebut, termasuk para penganut agama lokal (indigeneous religion)  dan para penganut kepercayaan tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara,  seperti hak untuk dicatatkan perkawinan dan kelahiran mereka. Mereka tidak bisa memiliki Akta Nikah dan Akta Kelahiran.[18]
 Pengebirian hak sipil bagi kelompok ini akan semakin berat dirasakan oleh kelompok perempuan. Mengapa? Sebab, ketiadaan Akta Nikah berarti tiadanya proteksi hukum bagi para isteri dan anak-anak, dan ini sangat beresiko buruk bagi masa depan mereka. Kalaupun ada di antara mereka yang memiliki Akta Nikah itu disebabkan karena mereka terpaksa berbohong mengaku memeluk salah satu dari agama resmi di hadapan petugas. Demikian juga dalam hal kepemilikan KTP (Kartu Tanda Penduduk), dalam kolom agama mereka terpaksa berbohong, sebab jika menyebut agama atau kepercayaan yang sebenarnya, maka mustahil mereka mendapatkan KTP. Sebagian besar dari mereka harus bersikap pragmatis, demi keselamatan dan kenyamanan mereka dan anak cucu mereka di negara yang berasaskan Pancasila ini.
Dalam prakteknya, pemerintah bukan hanya berpihak kepada enam agama tersebut dan mengabaikan hak-hak sipil para penganut di luar enam agama ini, melainkan juga berpihak hanya kepada kelompok mainstream (mayoritas) dalam  agama dimaksud. Kelompok Ahmadiyah, misalnya meskipun mereka tetap mengklaim diri sebagai Islam, tetapi karena berada di luar kelompok mainstream, mendapat perlakukan  diskriminatif dari aparat negara. Demikian pula nasib kelompok-kelompok minoritas dalam agama lainnya, selain Islam.
Kebijakan pemerintah tersebut sungguh telah menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap sebagian anak bangsa atas nama agama. Disebut diskriminatif karena pemerintah tidak memenuhi hak-hak sipil warga yang paling mendasar, yakni hak mendapatkan identitas diri sebagai warga negara dalam bentuk Akta Nikah, Akta Lahir dan KTP. Selain itu, mengabaikan pelayanan kebutuhan mereka sebagaimana pelayanan terhadap warga negara lainnya dari kelompok mayoritas dari para pemeluk lima agama tersebut. Mereka mendapatkan bukan hanya pelayanan, melainkan juga bantuan dana secara reguler bagi kegiatan keagamaan mereka, seperti perayaan hari-hari besar agama, bantuan untuk organisasi keagamaan, pembangunan rumah-rumah ibadah, bantuan untuk pendidikan keagamaan dan seterusnya. Sementara warga negara lainnya yang tidak masuk dalam kelompok mayoritas tidak mendapatkan bantuan apa pun, termasuk pelayanan untuk pemenuhan hak-hak sipil mereka. Ini sungguh-sungguh suatu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara secara sengaja dan terang-terangan terhadap warganya. Lalu sampai kapan pemerintah akan dibiarkan bertindak diskriminatif dan melanggar HAM ini?
Sejumlah ketentuan berkaitan dengan agama seharusnya dibuat sebagai bentuk implementasi dari pasal 29 UUD 1945.  Ketentuan pasal 29 mengandung nilai dasar yang penerapannya memerlukan peraturan perundangan yang tidak boleh bersifat mengerdilkan nilai dasar. Justru sebaliknya, peraturan yang bernilai instrumental terhadap pelaksanaan UUD 1945 harus memberikan peluang bagi agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Akan tetapi, dalam realitas empirik di masyarakat dijumpai sejumlah isu agama yang menyalahi konstitusi dan UUD 1945, di antaranya isu perkawinan beda agama; hak pencatatan bagi perkawinan di luar lima agama resmi, isu penyiaran agama, isu aborsi dan keluarga berencana, isu hak anak di luar nikah, isu hak pekerja seks, serta isu gay dan lesbian.
Selain itu, dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia maka UU PNPS/No.1/1965 dan sejumlah aturan terkait agama yang isinya mengintervensi kehidupan beragama masyarakat dan membatasi kebebasan mereka dalam soal agama perlu dihapus. Peraturan dimaksud, di antaranya sebagai berikut.[19]
1.     Instruksi Menteri Agama RI, No 4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan.
2.     Instruksi Menteri Agama RI, No 14 tahun 1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama No 4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan.
3.     Surat Menteri Agama kepada Gubernur/KDH Tingkat I Jatim No B/5943/78 tentang Masalah Menyangkut Aliran Kepercayaan.
4.     Surat Keputusan Jaksa Agung RI No Kep. 089/J.A/9/1978 tentang Larangan pengedaran/Penggunaan Surat Kawin yang Dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Dharma Yogyakarta.
5.     Surat Menteri Agama kepada para Gubernur/KDH Tingkat I seluruh Indonesia No B.VI/11215/1978 perihal Masalah Penyebutan Agama, Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah bagi Umat Beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan.
6.     Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No 477/74054 tentang Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 221a tahun 1975.
7.     Surat Menteri Dalam Negeri kepada para Gubernur/KDH Tingkat I dan para Bupati/Walikotamadya seluruh Indonesia, No 477/286/1980 tentang Pencatatan Perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YangMahaEsa.
8.     Surat Kejaksaan Agung kepada Menteri Agama RI up. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji no B-397/D.I. 1980 perihal Perkawinan antara penganut Sapto Darmo di Daerah Kantor Kabupaten Bojonegoro.
9.     Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No B.VI/5996/1980 perihal Perkawinan, Kartu Penduduk dan Kematian para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
10. Radiogram atau Telegram Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur, KDH Tingkat I seluruh Indonesia dan Kakanwil Departemen Agama seluruh Indonesia No 470.071/6380 /SJ.MA/610/1980.
11. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 221a tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian.
12. Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-108/J.A./5/1984 tentang  pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.
13. Instruksi Menteri Agama RI No. 4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan.
14. Instruksi Menteri Agama No. 8 tahun 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang bertentangan dengan Ajaran Islam.
15. SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban Pelaksanaan Keagamaan.
16. SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 09/8/2006 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban Pelaksanaan Keagamaan.
Keseluruhan peraturan dan perundang-undangan tersebut harus direvisi dengan mengacu kepada substansi ajaran semua agama dan kepercayaan yang pasti selalu akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Selain itu, juga harus mengacu kepada spirit kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam Pancasila, konstitusi UUD 1945,  UU No. 39 tentang HAM dan sejumlah kesepakatan internasional yang dirativikasi pemerintah, termasuk Kovenan Hak-Hak Sipil Politik melalui UU No.12 tahun 2005. Hanya dengan cara itu  masyarakat dan pemerintah dapat mulai bekerjasama membangun kehidupan beragama yang sejuk, damai, dan harmonis yang di dalamnya terjamin kemerdekaan beragama bagi setiap individu tanpa diskriminasi sedikit pun.

Bagaimana Seharusnya Memaknai Kebebasan Beragama ?
Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa secara normatif jaminan kebebasan beragama telah dinyatakan secara tegas dalam konstitusi dan sejumlah perundang-undangan. Pertanyaan muncul, bagaimana kita memaknai kebebasan beragama dalam perundang-undangan tersebut? dan bagaimana pula kita mengimplementasikannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa? Pertanyaan ini penting sebab dalam realitasnya dijumpai sejumlah praktek yang berseberangan dengan spirit konstitusi dan UU.
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen.  Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara. Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak memutuskan mana agama resmi dan tidak resmi; tidak berhak  menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan. Negara pun tidak berhak mengklaim kebenaran agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan kelompok minoritas.
 Akan tetapi, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi terhadap keyakinan. Regulasi itu berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order),  kesehatan masyarakat (public health), etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundemental rights and freedom of others). Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.
Konsep demikian sejalan dengan prinsip Islam “La rohbaniyah fi al Islam” atau tidak ada otoritas keagamaan dalam Islam. Mengapa Islam perlu menyatakan hal ini? Sebab, otoritas keagamaan dalam realitasnya selalu cenderung mengurangi kebebasan beragama dan kemerdekaan menjalankan ibadah menurut keyakinan individu. Sebaliknya, Islam jelas sekali mengajarkan bahwa keyakinan beragama dan berkeimanan tidak bisa dipaksakan oleh otoritas apapun sesuai prinsip  “la ikraha fi al din” (tidak ada paksaan dalam agama).
Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama, adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehingga  harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan beragama. UU ini diperlukan untuk memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, dan syari’at agama (code) pada umumnya.  Tujuan lain adalah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. UU semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama  secara lebih operasional.
Apa saja yang harus dicakup dalam prinsip kebebasan beragama? Prinsip kebebasan beragama harus mengacu kepada konstitusi dan sejumlah Undang-undang, seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali.
Mengacu kepada konstitusi dan sejumlah undang-undang tersebut, maka kebebasan beragama harus dimaknai sebagai kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Kebebasan beragama juga hendaknya dimaknai sebagai kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu. Kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.
Anehnya sikap umum masyarakat terhadap orang-orang yang pindah agama tidak konsisten, dan cenderung diskriminatif. Sebab, jika seseorang itu berpindah ke dalam agama yang kita anut, kita cenderung menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya. Sebaliknya, jika seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya (keluar dari agama kita),  kita cenderung marah dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir, musyrik dan sebagainya. Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita dapat menerima perpindahan seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama. Sebab, orang yang pindah agama itu murtad dalam pandangan semua agama. Jika kita dengan mudah dapat menerima orang lain masuk ke dalam agama kita, seharusnya mudah pula menerima orang kita masuk ke agama lain. Akan tetapi, dalam realitasnya hal ini sulit diterima. Muncul pertanyaan kritis: mengapa dalam beragama ada semacam pikiran culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.
Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global. Yang penting adalah mencatatkan diri sebagai warga  kepada lembaga pencatatan sipil, bahwa dua makhluk itu telah mengikat tali perkawinan untuk selamanya  Dalam hal ini negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan berdasarkan ketentuan  atau upacara agama apapun, kedua calon mempelai melangsungkan pernikahan, berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama. Otoritas agama boleh saja membuat fatwa atau keputusan yang mengharamkan perkawinan lintas agama. Demikian pula, keluarga dan individu boleh saja meyakini haramnya pernikahan beda agama. Namun fatwa  ulama dan keyakinan individu tersebut tidak boleh mengikat negara, tidak boleh dipaksakan pada orang atau kelompok lainnya.
Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama mana pun di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya.  Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan warganegara yang baik.
 Kebebasan beragama hendaknya memberikan ruang pada kemunculan aliran keagamaan tertentu, bahkan kemunculan agama baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama. Kebebasan itu berlaku pula bagi mereka yang ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan  spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu sesuai dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan suatu aliran keagamaan atau kepercayaan yang baru tersebut sebagai “sesat dan menyesatkan.”
     Kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh bersikap dan berbuat diskriminatif terhadap mereka. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Serta tidak ada istilah agama induk dan agama sempalan.  Demikian pula tidak ada istilah agama resmi dan tidak resmi. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya. Atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus bersikap adil terhadap semua agama dan kepercayaan yang tumbuh di negeri ini.
Suatu langkah progres pemerintah baru-baru ini yang patut diapresiasi adalah pengakuan atas agama Khonghucu untuk mendapatkan pelayanan terhadap hak-hak sipil mereka. Pengakuan resmi ini amat penting karena berdampak pada upaya pemenuhan hak-hak sipil warga negara, seperti pencatatan perkawinan penganut Khonghucu di Kantor Catatan Sipil, serta pencatatan kelahiran bagi anak-anak mereka. Jika pemerintah telah mengeluarkan pengakuan dalam bentuk Surat Edaran tersebut, lalu apakah pemerintah juga akan mengeluarkan surat serupa untuk komunitas agama dan kepercayaan lain yang jumlahnya ratusan atau mungkin ribuan di masyarakat? Hal ini seharusnya menyadarkan kita semua, terutama para penyelenggara negara bahwa intervensi negara terhadap kehidupan beragama masyarakat sangat problematik dan justru akan mempersulit tugas negara itu sendiri.
Penutup
Konstitusi dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar (non-derogable) dan negara menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil bagi setiap warga negara. Jaminan kebebasan beragama ini juga diajarkan dalam semua agama, termasuk Islam. Islam mengajarkan kebebasan beragama sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia yang dapat menimbulkan rasa aman, tenteram, dan damai.
 Lalu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia kebebasan beragama akan membawa kepada rasa saling menghormati di antara warga negara yang berbeda agama yang pada gilirannya membawa kepada timbulnya sikap toleransi dan cinta kasih  di antara mereka. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan faktor dominan bagi terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
Pemahaman agama seperti itulah yang mendasari para pendiri republik ini ketika merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama. Spirit kebangsaan mereka hendaknya kita warisi dalam membangun peradaban bangsa ke depan  sehingga bagi kita sekarang tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana digariskan oleh para pendiri republik tsb. Political will itu sesungguhnya sudah tercermin dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Amandemen UUD 1945 yang sangat kuat menyerukan perlunya perlindungan HAM bagi seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi sedikit pun, termasuk diskriminasi agama, serta UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.
Sebagai solusi penulis mengajak seluruh elemen bangsa, seluruh unsur civil society: kelompok akademisi, korporasi, agamawan, dan budayawan  agar membangun sinergi, bergandeng tangan, bahu membahu untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut. Pertama, melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis. Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya kebebasan beragama di tanah air. Ketiga, mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih kondusif bagi pemenuhan hak kebebasan beragama. Itulah ajaran Islam yang hakiki, ajaran yang membebaskan manusia dari berbagai belenggu kebencian dan permusuhan, ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan menuju baldatun thayyibah wa rabbun ghafur (kehidupan bangsa yang damai dan sejahtera). Wa Allah a'lam bi as-shawab.







[1]Professor riset bidang lektur agama, dan  Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dapat dikontak melalui m-mulia@indo.net.id atau icrp@cbn.net.id
[2] Kesimpulan seperti ini, antara lain dapat dilihat dalam Musdah Mulia, Negara Isla: Pemikiran Politik Haikal, Paramadina, Jakarta, 2001, h. 239-242.

[3]  Ibid.,  h. 63-76.
[4]  AMW Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta, CSIS, 1988, h. 47-48.
[5]  Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta  22 Juni 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, h. 30.
[6] Ahmad Syafii Ma'arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi Tentang Percaturan di Konstituante, LP3ES, Jakarta, 1996, h. 102.
[7]   M. Amien Rais,  Islam dan Negara di Indonesia: Mencari Akhir Pencarian, dalam Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, Pustakan Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. XV-XVI.
[8]  Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Rapat-Rapat Panitia Ad Hoc BP MPR, Buku Kedua Jilid 3C Jakarta, h. 546-547.
[9] Uraian yang lebih konperehensif  mengenai hal ini lihat Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung, 2005.
[10]  Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fikih, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0;  Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.);  Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan  Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).
[11]  Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil,  Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.
[12] Izzuddin ibn Abdissalam,  Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.
[13] Dalam kaitan dengan Piagam Madinah ini menarik dikemukakan pandangan Fazlur Rahman. Ia menyatakan bahwa piagam itu telah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan mewujudkan kerjasama seerat mungkin dengan kaum muslim. Lihat Fazlur Rahman, Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1987, h. 12. Tokoh lain yang menyinggung soal Piagam Madinah dalam kaitannya dengan kebebasan beragama ini adalah Barakat Ahmad. Ia menulis bahwa dalam rangka menciptakan suasana rukun dalam masyarakat Madinah yang majemuk sehingga  tak ada satu golongan pun yang merasa diperlakukan tidak adil, Islam memberikan  kepada orang-orang nonmuslim hak-hak politik dan sosial yang sama dengan hak-hak yang diberikan kepada orang-orang muslim. Sebab, orang-orang nonmuslim juga dipandang sebagai bahagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Madinah. Lihat Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, Vikas Publishing House, New York, 1979, h. 46.

[14] Haikal, Hayat Muhammad, h. 190-191. Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan pengakuan dari penulis-penulis nonmuslim berkenaan dengan isi Piagam tersebut. Watt, misalnya,  mengakui bahwa dalam kehidupan masyarakat Madinah, komunitas Yahudi mendapatkan kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama mereka. Lihat Watt, Muhammad at Medina, Oxford Univerity, London, 1956,  h. 241.
Sementara itu Lewis mengatakan bahwa isi Piagam Madinah menunjukkan bukti betapa Islam bersikap toleran terhadap agama lain. Lihat Lewis, The Jews and Islam, Henley: Routledge & Kegan Paul, London, 1984, h. 10.
[15] Ibid.
[16] Pendapat Haikal tersebut ternyata tidak berlebihan sebab terbukti berabad-abad setelah Piagam Madinah, barulah negara-negara modern mencantumkan prinsip kebebasan beragama sebagai salah satu pasal yang penting dalam konstitusinya. Pencantuman tersebut, misalnya ditemukan dalam pasal 10 Declaration of the Rights of Man and Citizen (1789). Lihat Glolier, Multimedia Encyclopedia, 1996, h. 801. Persoalan itu ditemukan pula dalam  pasal 18 Declaration of Human Rights (1948), dan pasal 18 Covenant on Civil and Political Rights  yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1966. Lihat Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1989, h. 132.
[17] Haikal, Hayat Muhammad, h. 190–191.
[18] Setelah lahirnya UU Adminduk tahun 2006 terjadi perubahan di beberapa kota dan kabupaten, seperti Surakarta, Tebing Tinggi, Medan, Jakarta. Dinas Catatan Sipil setempat telah memberikan kesempatan kepada pemeluk agama di luar enam agama tersebut untuk menyebutkan nama agama mereka di KTP. Namun, kebijakan ini belum meluas ke seluruh wilayah Indonesia, tergantung apakah pemda setempat memiliki visi demokratis atau tidak.
[19]  Ibid.