Kamis, 31 Agustus 2017

Perempuan Penjaga Rumah Suci

Musdah Mulia[1]
Wacana feminisme menyimpulkan, perempuan adalah kelompok paling diandalkan dalam soal loyalitas, kesetiaan dan kepatuhan. Perempuan juga adalah kelompok paling mudah percaya dan tunduk pada segala hal benuansa agama. Tidak salah jika disimpulkan, perempuan adalah kelompok paling bersahabat dengan agama meski agama seringkali tidak ramah terhadap mereka.
Lihat saja, hampir semua pengajian dan majlis taklim di Indonesia dipenuhi kaum perempuan. Walaupun, umumnya tafsir dan interpretasi keagamaan yang disampaikan dalam forum tersebut sering diskriminatif terhadap mereka. Akibat pengaruh budaya patriarkal dan nilai-nilai bias gender perempuan dianggap lemah dan tidak berdaya sehingga ruang geraknya dibatasi hanya di lingkungan domestik.
Namun, pengalaman saya mengunjungi tiga rumah ibadah di Wuppertal, Jerman mengubah gambaran “miring” tentang perempuan. Aktivitas penuh perempuan dalam gerakan keagamaan, terutama dalam program dialog agama menjadikan rumah ibadah yang biasanya sangat eksklusif menjadi rumah suci yang inklusif, ramah terhadap semua golongan dan funsional bagi upaya-upaya kemanusiaan. Perempuan justru lebih mengedepankan tujuan hakiki semua agama, yaitu memanusiakan manusia. Agama harus menjadikan umat manusia menjadi lebih damai sejahtera dan bahagia, bukan sebaliknya.

Pengalaman unik ini saya temukan ketika menghadiri Konferensi Internasional tentang Perdamaian bertema: Peace among the People: Interreligious Action for Peace and Inclusive Communities di Wuppertal, Jerman, diadakan oleh UEM (United Evangelical Mission). Lokasi kegiatan berada di atas bukit, dikenal dengan The Holy Mount. Acara utama berlangsung 14-17 Juli 2017, dan kunjungan ke rumah-rumah ibadah merupakan prolog konferensi. Peserta lebih dari 100 orang mewakili berbagai agama dan datang dari mancanegara. Dari Indonesia hadir Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia, wakil Islam, Hindu dan Budha.

Sebagian peserta berfose di depan Gedung UEM

Rumah ibadah pertama kami kunjungi adalah sebuah Sinagog di HaKochaw, Unna. Berbeda dengan rumah ibadah Yahudi lainnya, Sinagog dipimpin oleh perempuan bernama Dr. Alexandra Khariakova, asal Ukraina, dulu bagian dari Uni Soviet. Selain itu, ritual keagamaan dipimpin oleh beberapa orang Rabbi (istilah pemimpin agama dalam Yahudi), dua di antaranya adalah perempuan.

Bersama Ketum PGI di Altar Sinagog

Ini pertama kali saya bertemu Rabbi perempuan. Keduanya bernama Natalia Verzhbovska dan Irith Michelson. Menurut mereka, di seluruh Jerman telah ada 7 perempuan Rabbi. Sebuah progres yang masih harus diperjuangkan oleh komunitas Yahudi di tempat lain, termasuk di tempat lahirnya sendiri, Palestina.

Tentu saja keberadaan Rabbi perempuan dalam Sinagog bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hasil perjuangan sangat panjang, khususnya para perempuan Yahudi. Mereka selama ini mengalami banyak perlakuan diskriminatif dari Sinagog. Pantaslah mereka bertekad mendirikan Sinagog sendiri yang melayani semua manusia, mengedepankan nilai-nilai persamaan, keterbukaan dan aktif melakukan dialog agama demi membangun perdamaian.

Rabbi perempuan yang energik dan sukses

Di samping Sinagog terdapat monumen Stumbling Stones, sebuah tempat penyelamatan orang-orang Yahudi yang mengingatkan kita pada kekejaman Nazi terhadap kaum Yahudi selama Perang Dunia seperti yg terjadi di Auschwitz, Polandia. Menarik dicatat, bahwa di Jerman semua perilaku kekejaman Nazi didokumentasikan dengan baik agar menjadi peringatan bagi generasi berikut sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama. Never again!!!

Stumbling Stones kini berubah menjadi tempat penampungan para lansia. Orang-orang jompo dari berbagai agama di Jerman dirawat dan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi di tempat ini. Rumah masa depan buat para manula, demikian komentar kami semua.
Kunjungan kedua, ke Petershof, sebuah gereja Roman Katholik di Duisburg Marxloh. Seperti Sinagog tadi, gereja ini juga dipimpin oleh seorang perempuan, Suster Ursula. Gereja ini pun sangat terbuka melayani sesama manusia tanpa sekat agama dan etnis, khususnya kelompok rentan, termasuk para pengungsi dan pencari kerja dari luar Jerman. Aktivitas Gereja, antara lain konseling, pembagian makanan, kursus ketrampilan, konsultasi kerja, dan layanan kesehatan. Berbagai kegiatan dialog agama diselenggarakan dalam gereja ini untuk memelihara keharmonisan dan perdamaian di antara sesama warga yang sangat hetrogen di wilayah itu.
Sambutan dalam Gereja Petershof



Lambang Gereja

Terakhir, kunjungan  ke Merkez-Mosque (sebuah Mesjid terbesar yang dikelola oleh para pendatang asal Turki), lokasinya berdekatan dengan Gereja tadi. Menarik dicatat bahwa  wilayah Marxloh dihuni 70% penduduk non-Jerman. Umumnya berasal dari Turki dan negara-negara Balkan (bekas Uni Soviet). Keunikan mesjid ini lagi-lagi karena dipimpin oleh perempuan, bernama Asma Pinar. Dia dibantu oleh sejumlah tenaga voluntir yang terdiri dari kaum muda, laki-laki dan perempuan. Mereka semua terlihat ramah dan santun.


Mesjid ini pun sangat terbuka dengan aktivitas “interfaith dialogue”. Kalau di mesjid lain sulit menerima kunjungan non-Muslim, di sini semua orang diterima dengan ramah dan kapan pun mereka dapat masuk ke dalam Mesjid. Bahkan, para perempuan tidak harus berkerudung untuk dapat beraktivitas di dalamnya. Seperti halnya Sinagog dan Gereja tadi, Mesjid ini pun bukan diperuntukkan hanya untuk kegiatan ritual, seperti shalat, tapi juga berbagai aktivitas sosial lain, seperti kegiatan pendidikan, layanan kesehatan, konseling dan pembagian makanan pada hari-hari tertentu.
Kunjungan pada tiga rumah suci dalam agama Abrahamic tersebut menyimpulkan bahwa perempuan dapat menjadi aktor utama dalam gerakan keagamaan. Persepsi bahwa agama harus bersipat maskulin agaknya perlu dipikirkan ulang. Ada kesan yang kuat bahwa sebagai pemimpin agama, perempuan lebih mengedepankan sifat-sifat feminin mereka yang membuat suasana dan aktifivitas keagamaan terasa lebih sejuk, lebih dingin dan lebih menyentuh rasa kemanusiaan.
Para perempuan dengan sifat keibuan yang penuh welas-asih dan kasih-sayang menjadikan aktivitas dialog agama berjalan  harmoni penuh kedamaian. Semua sekat perbedaan di antara kami hilang melebur dalam satu komitmen suci agama, yakni menghormati sesama manusia sebagai bentuk penghormatan terhadap Sang Khalik, Pencipta semua manusia.
Konferensi ini juga menggariskan hal penting bahwa damai bukan semata berarti ketiadaan perang atau tiadanya kekerasan fisik, tetapi juga penghapusan situasi-situasi yang memungkinkan kekerasan seperti ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran ataupun intoleransi. Karena itu, damai haruslah dibangun dan diperjuangkan oleh semua elemen dalam masyarakat tanpa kecuali.
Damai yang menjadi tujuan semua agama adalah serangkaian nilai, sikap, moda perilaku dan pandangan hidup yang menghormati hak asasi manusia dan mempromosikan kesetaraan serta menolak semua bentuk kekerasan, termasuk di lingkungan rumah tangga. Karena itu, budaya damai mengusung prinsip keadilan, kesetaraan, demokrasi, toleransi, solidaritas, kooperasi dan pluralisme.
Akhirnya, saya berkesimpulan, dalam aktivitas agama sangat perlu ditumbuhkan sebuah prinsip saling menghargai, saling menghormati dan saling melindungi. Prinsip itulah yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta Indonesia. Prinsip menghargai kemajemukan dan kebhinnekaan merupakan tulang punggung demokrasi dan masyarakat madani (civil society). Prinsip itulah yang diterapkan oleh para pendiri bangsa ini ketika merumuskan ideologi negara, Pancasila.










[1] Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace) dapat dihubungi via m-mulia@indo.net.id

Selasa, 29 Agustus 2017

"Memperebutkan" Perempuan Dalam Kebijakan Publik

  

Ada apa dengan perempuan dan mengapa diperebutkan? Para pemerhati perempuan sepakat menyimpulkan bahwa perempuan diperebutkan tidak lain karena tubuhnya merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan; simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran agama. Perempuan menjadi rebutan, baik oleh kalangan sekularis terlebih lagi kalangan islamis. Sebab, menaklukkan perempuan dapat dimaknai sebagai menguasai kehidupan, mengontrol  kekuasaan, membela kebenaran, menjaga moralitas, dan juga termasuk mengembalikan kemurnian ajaran agama.

Islamisme adalah gerakan yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bukan sekedar ajaran agama. Tujuan utama mereka adalah mendirikan negara Islam yang formal. Sayangnya, apa yang mereka maksudkan dengan Islam berbeda dengan konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengapresiasi kelompok lain dan pemikiran keislaman lainnya yang berbeda. Kelompok ini di Indonesia cenderung anti-Pancasila, anti-HAM, dan anti demokrasi, serta yang paling menakutkan bagi kelompok perempuan adalah karena mereka sangat anti kesetaraan dan keadilan gender.
  
Islamisme bukanlah sekedar impuls fanatisme keagamaan atau hasrat yang digerakkan oleh keinginan kuat untuk meraih surga. Islamisme dalam banyak hal merupakan rupture, titik persimpangan penting dalam rentang panjang sejarah yang berkaitan erat dengan gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan dunia Islam. Manifestasinya kerap merupakan cermin persinggungan antara dinamika sosial-ekonomi dan politik yang berlangsung pada tataran global dan konteks sosial politik di tingkat lokal. Letupan islamisme mulai memperlihatkan pengaruh pada permulaan abad ke-20, seiring dengan ekspansi format negara-bangsa modern yang menggantikan sistem kekhalifahan, keamiran, dan bentuk-bentuk pemerintahan feodal lain berbasis kekeluargaan dan kesukuan.

Dengan alasan utama pemurnian ajaran agama, aksi bela Islam gerakan islamisme membatasi kebebasan dasar perempuan dan memasung hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Gagasan kembali ke Islam yang diperjuangkan kelompok ini selalu bermakna kembali kepada Islam tekstualis, yakni ajaran Islam yang bertumpu semata-mata pada makna tekstual yang rigid. Dengan cara demikian, mereka mengabaikan makna kontekstual yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti terbaca dalam aspek historisnya.

Slogan mereka “kembali kepada Islam” bermakna kembali kepada karakter ideologis yang statis, ahistoris, sangat eksklusif, dan bias gender serta bias nilai-nilai patriaki. Tentu saja, gagasan demikian sangat berseberangan dengan visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, mengapresiasi keniscayaan pluralitas (kemajemukan) serta mengakomodasikan perubahan dan pembaruan demi kesejahteraan, keadilan dan kemaslahatan semua manusia.

Menarik dicatat di sini bahwa peneguhan subordinasi perempuan selalu terjadi dalam bidang hukum. Perempuan dan hukum memang selalu tidak bersahabat seperti terlihat dalam sejumlah Perda Syariat. Sejumlah penelitian mengenai perempuan dan hukum di Indonesia menyimpulkan betapa marginalnya posisi perempuan. Indikasi ini membuktikan secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan di Indonesia masih sangat kuat. Ketimpangan gender jelas merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya, termasuk di dalamnya faktor hukum yang kerapkali mendapatkan pembenaran agama.

Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukumnya (structure of law). Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam  bidang hukum.

Hal itu kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender. Di antara peraturan-peraturan daerah yang meminggirkan perempuan dan tidak menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat sebagai berikut.

Surat Edaran Bupati Pamekasan, Jawa Timur Nomor 450 Tahun 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Surat Edaran Bupati Maros, Sulsel tertanggal 21 Oktober 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Sinjai yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemda Sinjai mewajibkan jilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah. Peraturan serupa ditemukan juga di daerah Cianjur, Indramayu, Pasaman Barat.

Di daerah yang disebutkan terakhir mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab. Perda serupa  ditemukan pula dalam bentuk surat edaran Bupati Tasikmalaya, No. 451/SE/04/Sos/2001; Perda  Solok, Sumbar Tahun 2000; Instruksi Walikota Padang, Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret berisi  perintah wajib jilbab dan busana islami bagi orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam.

Menarik dicatat di sini bahwa begitu antusiasnya suatu daerah mengusulkan perda Syariat sampai-sampai ditemukan draft usulan perda syariat dari suatu daerah merupakan duplikat atau copy paste secara utuh perda daerah lain.  Bahkan, ada beberapa perda yang di dalamnya ditemukan nama daerah asal yang dijiplak itu masih tercantum, belum sempat dihapus. Sungguh mengherankan bahwa Perda Syariah dibuat dengan cara-cara yang tidak islami dan melanggar hukum.

Data terakhir mengungkapkan betapa ambisinya suatu daerah mengimplementasikan perda syariat tampak dari kegiatan daerah tersebut membangun “Desa Muslim”, desa percontohan penerapan syariat Islam. Adalah kabupaten Bulukumba yang merupakan pionir dari implementasi perda syariat di Propinsi Sulawesi Selatan. Bukumba telah menetapkan 12 desa di wilayahnya yang akan dibina menjadi Desa Muslim teladan.

Gagasan itu membuat para pejabat desa berusaha semaksimal mungkin untuk mencitrakan wilayahnya sebagai daerah Islami. Tujuannya jelas, bukan hanya bercita-cita terpilih sebagai Desa Muslim teladan, melainkan juga karena ada tujuan lain di balik itu, yakni menjadi desa Muslim berarti memperoleh tambahan anggaran dari pemerintah kabupaten. Oleh karena itu, para pejabat desa berlomba-lomba mempromosikan desanya agar tampil lebih "Islami" di mata publik.

Sayangnya, indikator keislaman yang ditampilkan masyarakat lebih tertuju kepada hal-hal yang sifatnya ritual dan sangat simbolistik, seperti banyaknya masyarakat yang shalat di mesjid, pergi haji berulang kali, mengenakan jilbab, berbaju koko dan sorban bagi laki-laki, memajang tulisan kaligrafi Arab, menyimpan dana di bank syariah, menginap di hotel syariah dan sebagainya. 

Label syariah sekarang menjamur pada berbagai komoditi, seperti produk minuman, makanan, pakaian, kosmetik, sampai perumahan. Sejumlah pengusaha real estate tidak canggung memasang label syariah dalam memasarkan rumah, ruko dan apartemen. Mereka inilah sesungguhnya yang diklaim dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang yang menjual agama dengan harga murah.

Mestinya, indikator keislaman yang ditampilkan lebih mengacu kepada hal-hal substansial, seperti tersedianya pelayanan publik yang baik dalam bentuk penyediaan air bersih, listrik, transportasi, pendidikan gratis, terutama bagi anak-anak terlantar, rumah sakit gratis bagi penderita busung lapar, lansia, fakir miskin, dan penyandang cacat. Pelayanan publik lainnya dalam wujud perlindungan warga, khususnya kelompok rentan dari semua bentuk diskriminasi dan eksploitasi sehingga mendorong mereka menikmati hidup yang lebih sejahtera, adil dan makmur.

Selain membatasi kebebasan perempuan dalam berbusana, sejumlah perda membatasi kebebasan perempuan beraktivitas di ruang publik pada malam hari. Di antaranya, Perda Kabupaten Gowa No 7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, khususnya pada selang waktu pukul 24:00; dan Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan, mencurigai, menangkap perempuan di tempat umum karena  diduga melacur.

Mengapa perda-perda tersebut menyasar perempuan dalam implementasinya di lapangan? Sebab, masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga moral sehingga upaya-upaya penegakan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan. Pandangan ini menyalahi ajaran Islam yang menekankan kepada seluruh manusia mukallaf (dewasa dan waras), baik laki-laki maupun perempuan agar sungguh-sungguh menjadi manusia bermoral (Lihat misalnya, QS. al-Nur, 24: 30-31 dan al-Mukminun, 23:1-7). Ayat itu menekankan agar semua manusia dewasa: laki dan perempuan berupaya menjaga nilai-nilai moral agar tercipta masyarakat yang bermoral dan beradab.

Bukankah tujuan manusia beragama adalah membangun moralitas yang dalam Islam disebut akhlak karimah? Konsekuensi logis dari ajaran tersebut membawa kepada kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan harus sama-sama menjadi penyangga moral di masyarakat. Tidak akan terbangun masyarakat yang bermoral jika kewajiban menjaga nilai-nilai moral hanya dibebankan atau diwajibkan kepada perempuan, sebagaimana terjadi selama ini di masyarakat.

Selain itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek hukum, bukan subyek. Oleh karena itu, perempuan  harus diatur, dikekang dan dibatasi geraknya di ruang publik.  Dalam kaitan dengan perda larangan prostitusi, perempuan mengalami korban dua kali. Sebab, kata pelacur dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, muncullah istilah WTS (wanita tuna susila), bukan PTS (pria tuna susila), padahal perempuan dan laki-laki pelacur keduanya sama-sama tuna susila, dan sama-sama berdosa di hadapan Tuhan. Konsekuensi logis dari pandangan stereotipe masyarakat terhadap perempuan dalam pelaksanaan perda-perda tersebut di lapangan sangat memprihatinkan.

Menolak Formalisasi Syariat Islam ?
Sebagai seorang perempuan Muslim, penulis yakin dan percaya sepenuhnya bahwa apa yang disyariatkan Allah kepada manusia pasti merupakan tuntunan yang luhur dan ideal sesuai dengan kebutuhan manusia. Persoalannya, apa yang disyariatkan Allah itu selalu bersifat umum sehingga perlu dielaborasi dalam aturan yang bersifat operasional dan spesifik sesuai kebutuhan dan kondisi manusia atau masyarakat yang akan menggunakannya. Dengan ungkapan lain, tuntunan agama dalam bentuk nas-nas Al-Qur`an dan hadis Nabi masih perlu diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam bahasa masyarakat penggunanya.

Di sinilah problematikanya! Disadari atau tidak, setiap terjemahan dan tafsiran terhadap nas-nas Al-Qur'an dan hadis Nabi selalu rentan mengalami bias kepentingan: teologis, politis, ekonomis, sosiologis dan mungkin juga geografis. Hal itu wajar saja karena para mufafsir adalah anak zamannya, mereka sulit melepaskan diri sepenuhnya dari pengaruh situasi dan kondisi sosio-kultural, historis dan politis yang terjadi di sekitarnya. Kelahiran berbagai mazhab fikih, mazhab tasawuf, mazhab teologi, mazhab filsafat dan berbagai aliran politik dalam Islam menjelaskan hal itu dengan sempurna.

Untuk mereduksi kemungkinan bias dalam penafsiran tersebut, ulama usul fiqhi telah menyusun berbagai kaidah fiqhi atau metode istinbath berdasarkan pemahaman terhadap prinsip umum yang terkandung dalam nas Al-Qur'an, khususnya yang berkaitan dengan muamalah, seperti kaidah al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah (hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh atau mubah). Artinya, sepanjang tidak ditemukan dalil yang melarang atau mengharamkan, maka sesuatu itu hukumnya mubah atau boleh (Kaedah ini disusun, antara lain berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat berikut: al-Baqarah (2): 29, al-Jasiyah (45):13 dan al-A'raf (7): 32).

Selain merumuskan kaedah istinbat, sebagian ulama merumuskan tujuan pokok syariat (maqashid al-syariah) di antaranya adalah keadilan dan kemaslahatan manusia. Setiap bentuk istinbat hukum harus mengakomodasikan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi manusia. Sebab, hukum dibangun untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan, sama sekali bukan dutujukan bagi kepentingan Tuhan. Tuhan tidak memerlukan apa pun dari manusia karena Dia adalah Zat yang Maha Kuasa dan Maha sempurna. Kaidah-kaidah istinbat tersebut dirumuskan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Al-Qur'an sebagai petunjuk abadi dalam segala aspek hidup dan kehidupan manusia.

Penting dicatat bahwa dalam ilmu usul fikhi terdapat pembahasan tentang qath’iy dan zhanniy. Qath’i sering dimaknai sebagai nas-nas yang pasti, jelas dan tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, zhanni, adalah nas-nas yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nas atau nas yang mengaturnya bersifat zhanniy maka hukumnya dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkenbangan zaman. Selanjutnya, dalam pesoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nas yang bersifat qath’iy, maka umumnya ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.

Akan tetapi, masalahnya menjadi rumit karena para ulama tidak sepakat terhadap nas-nas mana yang dikategorikan sebagai qath’iy dan zhanniy. Akibatnya, muncul perbedaan pendapat ulama dalam menentukan nas qath’iy dan zhanniy. Suatu nas dinilai qath’iy oleh ulama tertentu, ternyata dinilai zhanniy oleh ulama lainnya, demikian sebaliknya. Hal ini terjadi karena penentuan qath’iy dan zhanniy terhadap sebuah nas merupakan ijtihad ulama, tidak ada jaminan benar secara absolut.

Menarik dicatat bahwa perbedaan ulama dalam menentukan qath’iy dan zhanniy sebuah nas sudah terjadi sejak masa awal Islam. Adalah Umar ibn Khattab, sahabat dan sekaligus Khalifah Rasyidin yang ketiga menunjukkan keberaniannya berijtihad yang hasilnya seringkali menyalahi pendapat mainstream. Berbeda dengan kebanyakan ulama, Umar ibn Khattab berani mengubah ketentuan hukum dari suatu nas (termasuk nas yang dinilai qath’iy sekali pun), jika kondisi atau kemaslahatan masyarakat menghendakinya. Pandangannya yang unik itu terlihat, antara lain dalam kasus-kasus: pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, pembagian harta rampasan perang, dan penentuan talak tiga dalam perceraian.

Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa formalisasi Syariat Islam menghendaki ijtihad dalam rangka istinbath hukum. Masalahnya siapa yang akan melakukan ijtihad? Atas dasar apa dan berdasarkan legitimasi apa? Kemudian, dalam aspek apa saja formalisasi syariat tersebut akan diimplementasikan? Apakah juga termasuk dalam pelaksanaan hukum jinayat, seperti pelaksanaan hukum cambuk, rajam, dan qishas? Terakhir, apakah dalam perumusan dan pengambilan keputusan publik itu juga melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat bervariasi, tergantung siapa yang menjawab dan untuk kepentingan apa.

Oleh karena itu, menjadi sangat problematik jika membakukan syariat Islam ke dalam hukum positif.
Kekhawatiran masyarakat, tak terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat Islam bukan tanpa alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elite demi mengejar ambisi pribadi atau golongan.

Tidak heran ketika Kemal Attaturk, pendiri Turki modern tampil sebagai penguasa, program prioritasnya adalah menghapus institusi khalifah dan sekaligus membubarkan khilafah yang telah berusia ratusan tahun. Alasannya sederhana saja bahwa selama ini institusi keagamaan tersebut kerap kali digunakan untuk menjastifikasi kepentingan politik dari kelompok penguasa dengan dalih agama. Jadi, agama hanya topeng untuk jualan politik. Wahhhh ...


Refleksi Kemerdekaan Indonesia


Kita baru saja merayakan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Tentu sebagai bangsa yang mencintai negerinya, kita semua patut bersyukur bahwa negeri ini masih eksis dan tetap dilindungi Tuhan dari kehancuran meski mengalami beragam hantaman dan gempuran, baik bersipat internal maupun eksternal. Kita pun harus selalu bangga menjadi bangsa Indonesia yang penuh kebhinnekaan dalam etnisitas, agama, kepercayaan, tradisi, adat istiadat, bahasa dan kebudayaan.

Tahun ini Indonesia berusia 72 tahun, ibarat manusia, usia tersebut merupakan simbol kematangan dan kebijaksanaan. Mestinya, di usia itu semua persoalan mendasar terkait kehidupan berbangsa dan bernegara sudah selesai. Negara seharusnya sudah beranjak memikirkan bagaimana pengembangan kebudayaan dan peradaban Indonesia ke depan di tengah derasnya arus globalisasi.

Alih-alih membahas upaya peningkatan kebudayaan dan peradaban yang merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa dan negara, Indonesia hari ini masih sibuk membahas upaya pemenuhan basic needs warga, seperti penyediaan air bersih, listrik dan kebutuhan sembako yang merata bagi semua warga di seluruh pelosok tanah air. Tidak heran jika upaya-upaya pemenuhan hak dasar menyangkut pendidikan, kesehatan dan transportasi masih menjadi persoalan utama pemerintah, baik di pusat dan terlebih lagi di tingkat daerah.
Bahkan, terkait ideologi bangsa pun Indonesia masih menghadapi kendala serius. Nilai-nilai ideal Pancasila belum sepenuhnya berhasil diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Buktinya sangat kasat mata; menguatnya intoleransi, radikalisme dan fundamentalisme, merebaknya kasus mega korupsi seperti kasus e-KTP, lemahnya good governance, rendahnya kesadaran membayar pajak, buruknya kualitas pelayanan publik, maraknya kriminalitas dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, merajalela pengedaran narkoba, miras dan obat terlarang, parahnya kerusakan lingkungan, serta minimnya pemenuhan hak asasi manusia, terutama bagi perempuan dan anak, kelompok rentan, minoritas dan disabel. Walaupun tetap diakui sejumlah kemajuan dan keberhasilan telah dicapai oleh pemerintah sekarang.
Inseks Demokrasi Indonesia yang baru saja dirilis menjelaskan, demokrasi Indonesia memang baru sebatas prosedural, belum sampai pada tahapan substansial. Sejumlah indikasi terlihat jelas, seperti hak kebebasan sipil warga, khususnya bagi kelompok minoritas agama dan kelompok rentan belum terpenuhi sebagaimana mestinya,  perilaku sebagian masyarakat yang anarkis, intoleran dan brutal serta belum mengedepankan nilai-nilai kebajikan dengan penuh tanggung jawab, belum optimalnya fungsi lembaga demokrasi, seperti lembaga birokrasi, DPR dan DPD, parpol, dan lembaga peradilan. Namun, hal paling mengerikan yang harus kita cegah adalah menguatnya perselingkuhan antara elit politik, kaum sektarian agama dan kaum fundamentalisme pasar.
Awal April lalu ICRP menyelenggarakan sebuah Semiloka dengan tema: Indonesia di Persimpangan: Negara Pancasila vs Negara Agama. Setidaknya, tiga isu pokok telah dibahas: negara, radikalisme agama, dan fundamentalisme pasar.
Pertama, isu negara. Konstitusi Pasal 1 (Ayat 1) menegaskan, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Artinya, para pendiri negara dan penyusun konstitusi paham betul prinsip republikanisme, yaitu kehidupan bersama adalah urusan bersama. Intinya, negara mengurus kepentingan bersama, tak satu pun kelompok boleh diabaikan dan itulah demokrasi. Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk hanya dapat dibangun dengan prinsip bhinneka tunggal ika, yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan yang bertanggungjawab. Problemnya, nilai-nilai Pancasila yang nota bene adalah nilai-nilai esensial demokrasi belum sepenuhnya diimplementasikan oleh para elit penguasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu tercermin dalam sikap dan perilaku sebagian elit politik yang tidak bermoral, korupsi, rakus dan tidak manusiawi. Mereka itulah penista Pancasila dan pembajak demokrasi yang sesungguhnya.
Kedua, isu radikalisme agama. Sejak runtuhnya Orde Baru dan dimulainya era demokratisasi, ICRP menangkap sinyal kuat radikalisme membajak demokrasi. Sistem demokrasi memang rentan sebagai lahan subur radikalisme. Atas nama demokrasi, mereka memanfaatkan peluang demokrasi untuk mengekpresikan ide dan gagasan yang justru anti-demokrasi. Mengapa radikalisme berbahaya? Ideologi radikal dalam agama apa pun, termasuk Islam selalu membawa virus pemaksaan, permusuhan, kebencian dan intoleransi. Gerakan radikalisme Islam di Indonesia memaksakan ideologi anti demokrasi, anti-keberagaman, anti Pancasila dan anti NKRI. Mereka menyebut semua itu dengan satu istilah, thagut (musuh Islam). Mereka juga memandang negara Pancasila sebagai negara gagal dan sangat bernafsu mengubah Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah.
Belajar pada kasus Taliban di Afghanistan, Bokoharam di Nigeria, ISIS di Irak dan Suriah, awalnya mereka hanyalah gerakan radikalisme Islam yang kecil dan tidak diperhitungkan. Namun, karena mayoritas masyarakat tidak peduli dan mengambil sikap diam maka mereka memperoleh amunisi untuk berkembang pesat dan akhirnya menaklukkan pemerintah berkuasa.

Ketiga, isu fundamentalisme pasar. Sejumlah penelitian menyimpulkan, gerakan radikalisme dalam semua agama, tak terkecuali Islam, bukan sekadar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang sangat kompleks. Radikalisme terkait erat dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran geostrategis, serta masalah sosial-ekonomi akibat proses modernisasi dan globalisasi. Bukan rahasia lagi, bahwa pertumbuhan ekonomi kita menimbulkan kesenjangan sosial yang luar biasa. Selain itu, menyuburkan politik uang yang memenangkan penjahat mafia dan kartel.
Kelompok fundamentalisme pasar adalah kaum pemodal yang mengeksploitasi kekayaan negara untuk kepentingan sendiri. Mereka menggantungkan kehidupan rakyat dalam kungkungan hegemoni kapital-pasar sehingga ruang artikulasi kaum miskin terpinggirkan. Itulah salah satu penyebab kemiskinan merajalela, serta ketidakadilan dan kesenjangan sosial terbuka lebar. Akibatnya, negara tak berdaya memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan selanjutnya rakyat pun semakin tertutup aksesnya untuk berperan aktif dalam kehidupan bersama. Kondisi ini membuktikan keroposnya konsolidasi kebangsaan di antara para elit dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan kekayaan bangsa yang begitu berlimpah.
Negara yang seharusnya berada di atas semua golongan, kelompok, dan agama cenderung berperilaku memihak dan digunakan sebagai alat pemukul bagi kelompok tertentu. Negara yang seharusnya memiliki tugas dan tanggungjawab mengelola kebinekaan, keberagaman dan perbedaan, malah membuat berbagai hukum dan kebijakan yang tidak bisa mengakomodasikan dan menghargai keberagaman yang ada.
Di sisi lain, akibat minimnya pendidikan kewarganegaraan, sebagian besar masyarakat  belum mampu membentuk pola pikir yang arif dalam mengapresiasi kebhinnekaan dan keberagaman. Hal itu terlihat dari semakin menguatnya sikap intoleran, perilaku persekusi, penggunaan isu SARA dan sikap-sikap yang mau menang sendiri dalam kehidupan bersama.

Terlihat jelas kebangkitan politik identitas etnis dan agama yang didominasi oleh nilai-nilai agama, baik di tingkat lokal maupun nasional. Bahkan, seringkali diartikulasikan dengan berbagai kekerasan fisik, simbolik, dan praktik penyingkiran kelompok minoritas.

Dalam konteks politik pun, seperti terlihat dalam Pemilu dan Pilkada, politisasi agama menjadi cara efektif untuk meraih dan mendongkrak perolehan suara dari masyarakat. Akibatnya, sebagian orang pun pada akhirnya beranggapan, bahwa segala sesuatu (apa pun bentuknya), jika sudah mendapat legitimasi agama, dianggap sebagai hal yang benar dan harus diikuti.

Agama yang seharusnya menjadi fondasi bagi kesalehan sosial dan pembawa misi untuk kesejahteraan dan perdamaian, ternyata berubah menjadi penyulut kerentanan konflik. Jika persoalan ini tidak segera diantisipasi, maka eksistensi agama serta bangsa Indonesia akan menjadi taruhannya.

ICRP  (Indonesian Conference on Religion and Peace) merupakan sebuah organisasi nirlaba yang didirikan untuk mewujudkan masyarakat damai dan sejahtera dalam konteks kebhinekaan Indonesia. Visi tersebut kemudian diimplementasikan dalam misi perjuangan untuk melestarikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 45 dengan mengembangkan prinsip multikulturalisme dan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; mengembangkan ajaran agama dan budaya religius yang kompatibel dengan prinsip-prinsip HAM dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal, dan mendorong upaya-upaya dialog antar/inter agama dan kepercayaan, serta mengadvokasi kelompok-kelompok minoritas agama dan kepercayaan yang mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan.

Salah satu isu yang sangat kuat diperjuangkan ICRP adalah kebebasan beragama. Kebebasan yang dimaksud di sini tentu bukan kebebasan mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung-jawab. Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Kebebasan beragama berarti bahwa pilihan beragama atau tidak beragama bagi setiap warga negara merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara.

Bagi ICRP, negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar semua warga negara dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman, aman dan penuh tanggung jawab. Negara tidak berhak menetapkan mana agama yang diakui atau tidak, mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara.

Prinsip kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap netral, imparsial dan bertindak adil pada semua warga negara, apa pun agama dan kepercayaannya, termasuk mereka yang memilih untuk tidak beragama. Negara tidak boleh bersikap diskriminatif, apalagi eksploitatif terhadap mereka untuk alasan apa pun.

Sebaliknya, negara berkewajiban melindungi dan menfasilitasi semua warga negara agar dapat menjalankan ajaran agama masing-masing secara aman, nyaman, dan bertanggung-jawab sehingga terpenuhi kepuasan spiritual mereka. Hanya dengan cara itu, dapat terwujud kehidupan beragama yang harmoni dan penuh damai. Terwujud masyarakat dan bangsa Indonesia yang religius dan memiliki tingkat spiritual yang tinggi, yang terlihat dari kepedulian mereka untuk memanusiakan sesama manusia.


Tentu saja, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi tersebut dibutuhkan demi perlindungan dan pemberdayaan warga negara, sama sekali bukan untuk tujuan intervensi atau membatasi hak kebebasan mereka. Akhirnya, dirgahayu Indonesia, semoga merdeka selama-lamanya.

foto by https://www.youthmanual.com/assets/file_uploaded/blog/1502977152-bendera-in.jpg

Rabu, 16 Agustus 2017

Menela’ah Ulang Fatwa-fatwa dan Opini Keagamaan MUI



Fatwa sebagai produk hukum Islam

Studi tentang sejarah hukum Islam memperkenalkan sedikitnya empat jenis produk pemikiran hukum Islam, yaitu fatwa, kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di negeri-negeri Muslim. Semua jenis produk pemikiran hukum Islam tersebut, termasuk fatwa dalam perumusannya tidak bisa melepaskan diri dari berbagai pengaruh yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, baik pengaruh faktor sosial-budaya maupun pengaruh faktor sosial-politik. Dengan ungkapan lain, setiap fatwa tidak lahir di ruang hampa.

Demikian halnya dengan fatwa MUI, selalu muncul sebagai respons terhadap problem sosial yang terjadi di masyarakat dan perumusan fatwa itupun kemudian sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural dan sosio-politik serta pandangan keagamaan para ulama yang merumuskannya. Selain itu juga pengaruh intervensi pemerintah sehingga ada kesan MUI tidak independen seperti  fatwa tentang Keluarga Berencana (1983); Miqat Haji dan Umrah (1981); Memakan Daging Kelinci (1983), Panti Pijat  (1982); dan tentang Prosedur Perkawinan (1996).

Hukum Islam pada dasarnya adalah produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi antara ulama sebagai pemikir dan lingkungan sosialnya. Meskipun Al-Qur`an dan hadis mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu, maka para ulama melakukan ijtihad, menggunakan akal mereka sedemikian rupa dan hasilnya adalah produk pemikiran hukum yang antara lain mengambil bentuk fatwa.

Apakah warna atau bentuk produk pemikiran hukum akan kita biarkan seperti apa adaya sekarang ini, tergantung kepada keberanian para pemikir hukum Islam di masa sekarang. Hanya saja perlu diingatkan bahwa perpindahan seseorang atau masyarakat dari suatu produk pemikiran hukum kepada produk pemikiran hukum lainnya tidaklah berarti bahwa orang itu atau masyarakat itu keluar dari hukum Islam.

Hukum Islam Indonesia

Eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil dua bentuk; hukum normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam, dan hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Yang pertama menggunakan pendekatan kultural, sementara yang kedua menggunakan penghampiran struktural. Hukum Islam dalam bentuk kedua itu pun proses legislasinya menggunakan dua cara. Pertama, hukum Islam dilegislasikan secara formal untuk umat Islam, seperti UU Pengadilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan UU Pengelolaan Zakat. Kedua, materi-materi hukum Islam diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyebutkan hukum Islam secara formal, seperti UU Perkawinan yang dibuat tahun 1974.

Fatwa sesungguhnya dapat digolongkan sebagai hukum normatif karena fatwa MUI meskipun tidak mengikat secara hukum, namun kenyataannya selalu menjadi pedoman berperilaku bagi umat Islam Indonesia, baik masyarakat maupun pemerintah. Bahkan, pada masa Orde Baru fatwa MUI identik dengan suara pemerintah. Hal itu diakui sendiri oleh MUI. Fatwa MUI merupakan hasil seleksi dari fiqh yang memang berwatak khilafiyah (mengandung perbedaan pendapat), yang oleh Nabi dipandang sebagai rahmat.

Akan tetapi, mengingat bahwa pada umumnya fatwa MUI dijadikan pedoman oleh pemerintah, maka satu hal yang harus kita sadari bersama bahwa dalam soal-soal kemasyarakatan, pemerintah diberi hak oleh hukum Islam untuk memilih suatu pendapat yang paling membawa kemaslahatan sekalipun dalilnya lemah, dan memberlakukannya kepada seluruh masyarakat, karena mazhab pemerintah adalah kemaslahatan.

Apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah ini mengikat bagi umat Islam yang ada di wilayah pemerintahannya dan umat Islam wajib mematuhinya. Pemerintah boleh memilih satu pendapat tertentu yang akan dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam konteks inilah diperlukan fatwa. Dengan ungkapan lain, fatwa MUI dibuat untuk melegitimasi kebijakan pemerintah, dan umat Islam yang merupakan kelompok mayoritas, diharapkan dapat menerima dan melaksanakan fatwa tersebut sebagai bagian dari kepatuhan mereka terhadap pemerintah atau ulil amri.

Menarik bahwa meskipun MUI mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan umat, namun umat hanya boleh mempraktekkan satu pandangan keagamaan saja. Dengan demikian MUI telah melakukan upaya penyeragaman pendapat dalam agama, walau dimaksudkan untuk alasan kemaslahatan. Tentu saja kebijakan MUI tersebut memunculkan pertanyaan kritis, apakah pandangan keagamaan yang dipilih pemerintah kemudian dilegitimasi MUI mewakili atau mencerminkan aspirasi masyarakat luas dan dibuat semata-mata untuk kepentingan publik? Ataukah hanya dibuat untuk membela kepentingan segelintir elit yang berkuasa?

Pertanyaan seperti itu wajar mengingat dalam perumusan suatu fatwa, MUI hampir tidak pernah melibatkan partisipasi umat Islam secara luas. Apalagi dalam perumusan fatwa menyangkut perempuan, MUI sama sekali tidak mendengarkan pengalaman, aspirasi dan kebutuhan kaum perempuan sehingga tidak heran jika hasilnya sangat jauh dari menguntungkan kaum perempuan, seperti fatwa tentang Iddah Wafat.

Organisasi MUI

MUI merupakan wadah musyawarah para ulama, umara (pemerintah), dan cendekiawan Muslim. Visi lembaga ini adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi dan partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim untuk kejayaan Islam dan umat Islam. Kegiatan yang dilakukan, antara lain memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat.

Organisasi MUI memiliki kepengurusan dari tingkat pusat sampai ketingkat desa di seluruh Indonesia. MUI tingkat Pusat mempunyai 10 komisi, salah satu di antaranya Komisi Fatwa. Komisi ini secara khusus melakukan kajian terhadap berbagai isu yang muncul di kalangan umat Islam berkenaan dengan masalah keagamaan dan kemasyarakatan, baik yang bersifat nasional maupun internasional, dan hasil kajian itu selanjutnya dirumuskan dalam bentuk fatwa.

Masalah-masalah keagamaan paling banyak mendapat respons dari MUI dalam bentuk fatwa adalah problem sosial kemasyarakatan, seperti masalah-masalah Perkawinan, Adopsi Anak, Keluarga Berencana, Panti Pijat, HIV/AIDS, Perjudian, dan Reksadana Syariah. Setelah tahun 1997 fatwa-fatwa MUI lebih banyak menyoroti produk halal berupa makanan, minuman, obat, dan kosmetik; dan fatwa-fatwa menyangkut masalah ekonomi atau fiqh mu`amalah, seperti fatwa tentang Giro, fatwa tentang Tabungan, fatwa tentang Asuransi Haji, dan fatwa tentang Pasar Modal.
Belakangan ini sejumlah fatwa kontroversial telah mengambil perhatian masyarakat luas. Media pun ikut meramaikan kontroversi isi fatwa tersebut. Tidak banyak yang tahu bahwa fatwa-fatwa tersebut bukan hanya kontroversial dalam dirinya, melainkan juga mengundang kesalahpahaman umat terhadap esensi fatwa itu sendiri.

Perlunya menempatkan fatwa secara proporsional

Islam tidak mengenal tatanan hirarki dalam pandangan keagamaan seperti dijumpai dalam agama lain, misalnya Katholik. Karena itu, tidak ada satu pun pandangan keagamaan meski dibuat oleh ulama atau lembaga sekaliber apa pun yang dapat mengikat semua umat Islam. Bahkan, tidak mengikat siapa pun, termasuk orang atau lembaga yang meminta fatwa itu sendiri.
Terdapat persepsi keliru dalam masyarakat bahwa begitu sebuah fatwa dikeluarkan, lalu secara otomatis semua Muslim wajib mengikutinya. Perlu dicatat bahwa dalam masyarakat Muslim Sunni dikenal sedikitnya empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali, sedangkan dalam masyarakat Muslim Syi’ah dikenal juga beragam Mazhab, seperti Ja’fari, Ismaili and Zadiyah. Bahkan, dalam setiap Mazhab tersebut dijumpai beragam pandangan terhadap pelbagai isu keagamaan.

Para imam mazhab yang pandangan keagamaannya menjadi acuan penetapan hukum Islam memiliki sikap tawadu’ rendah hati dan tidak arogan. Mereka semua menolak keinginan pengikutnya untuk menjadikan pandangan keagamaannya sebagai kebenaran absolut. Imam Hanafi mengatakan, jika ada dua orang memiliki pendapat yang berbeda dengan pandangan beliau, maka beliau mempersilahkan mengambil pendapat dua orang tersebut dan meninggalkan pendapatnya. Alasannya, sangat simpel, mereka dua orang dan beliau hanya sendirian.

Imam Ahmad ibn Hanbal bahkan menolak keinginan pemerintah Daulah Abbasiyah menjadikan bukunya sebagai pegangan hukum yang resmi dalam dinasti tersebut. Bukan hanya itu, beliau juga menolak untuk diangkat sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-qudhat). Penolakan para imam itu maksudnya tiada lain agar atmosfir kebebasan beropini di kalangan umat Islam tetap terpelihara. Jika para ulama terkemuka tersebut menolak perlakuan istimewa sekaligus pemberhalaan terhadap pandangan mereka, lalu bagaimana dengan ulama lain yang mengklaim pandangan mereka sebagai final serta menginginkan agar pandangan keislaman mereka bersifat mengikat semua Muslim?

Persoalan pokok dalam fatwa adalah karena umumnya hanya didasarkan pada aspek tekstual teks-teks suci Al-Qur’an dan Hadis, tapi kurang mengungkap aspek kontekstual berupa kondisi sosiologis, psikologis dan antropologis masyarakat dimana fatwa itu dibuat. Membaca beragam pandangan keagamaan imam mazhab, seperti Abu Hanifa jelas terlihat bahwa beliau menghabiskan banyak waktu untuk meneliti kondisi sosiologis masyarakat sebelum mengeluarkan fatwa atau opini terkait suatu isu keagamaan.
Isu terkait perempuan

Menarik dikritisi bahwa menyangkut isu perempuan dan perkawinan ditemukan sejumlah fatwa MUI, namun tidak demikian halnya dengan isu ketidakadilan atau ketimpangan gender yang banyak dialami perempuan Indonesia. Membahas berbagai isu perempuan, seperti trafficking on women and children, women migrant worker, prostitusi, poligami, perkawinan anak dan perkawinan kontrak akan tiba pada kesimpulan yang sangat merugikan perempuan dan anak-anak, serta tentu saja membawa malapetaka bagi masyarakat.

Untuk sejumlah problem sosial yang disebutkan tadi sampai sekarang belum ada fatwanya. Sangat disayangkan mengapa MUI tidak membuat fatwa merespons isu-isu krusial tersebut, seperti fatwa tentang haramnya mengeksploitasi perempuan dalam bentuk perkosaan,  trafficking dan sejenisnya. Atau fatwa tentang haramnya poligami karena telah menimbulkan banyak kasus pelanggaran terhadap hak isteri dan anak-anak, dan sangat berpotensi mendorong perilaku korupsi dan penyalahgunaan jabatan di lingkungan penguasa. Bukankah hal itu merupakan problem serius bagi bangsa ini? Fatwa MUI diharapkan karena dinilai efektif untuk mendorong kesadaran moral pemerintah melahirkan kebijakan yang lebih humanis dan dapat dijadikan acuan konkret dalam mengeliminasi semua bentuk eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di negeri tercinta ini.

Fatwa-fatwa MUI tentang perkawinan jelas menjadi sandungan bagi para aktivis dan pejuang kesetaraan dan keadilan gender untuk mengusulkan revisi UUP dan KHI.  Sebab,  keduanya dinilai mengekalkan pandangan fiqh yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhat yang sangat menyumbang kepada kondisi ketimpangan dan ketidakadilan di masyarakat. Pandangan yang bias dalam UUP dan KHI, antara lain menyangkut definisi sahnya perkawinan,  batas minimal usia nikah bagi perempuan, masalah wali nikah, saksi nikah, hak dan kewajiban suami isteri, nusyuz,  poligami, perkawinan beda agama, perceraian,  dan masalah iddah. Karena fatwa MUI melegitimasi UUP dan KHI berarti ia meneguhkan posisi marginal dan subordinatif perempuan dalam masyarakat, dan hal itu sangat tidak kondusif bagi upaya penegakan demokrasi dan nilai-nilai HAM, serta penguatan civil society di Indonesia.

Nihilnya fatwa MUI menyangkut isu-isu krusial tadi setidaknya menyimpulkan empat hal. Pertama, ulama yang tergabung dalam MUI pada umumnya tidak memiliki sensitivitas dan kepekaan yang tinggi terhadap berbagai isu kontemporer, khususnya isu-isu perempuan. Bagaimana mereka bisa berempati pada persoalan perempuan kalau tidak mengerti problem kaum perempuan; Kedua,  ulama MUI pada umumnya memandang persoalan perempuan sebagai hal yang tidak penting, terutama  dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Ketiga, ulama MUI pada umumnya menilai konsep kesetaraan gender yang diperjuangkan kelompok feminis bertentangan dengan kodrat perempuan seperti diajarkan agama atau bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri; Keempat, dalam persoalan perempuan, ulama MUI pada umumnya masih sangat kental dipengaruhi pandangan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhat. Pandangan atau interpretasi keagamaan yang mainstream itulah yang banyak didakwahkan ulama di masyarakat.

Saran dan rekomendasi

Ke depan, dalam setiap pembuatan fatwa, MUI harus memperhatikan berbagai situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat. Hal itu dimaksudkan agar fatwa MUI benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan sejalan dengan tujuan persyariatan hukum Islam (maqasid at-tasyri’), yaitu al-masalih al-ammah atau kemaslahatan umum. Kemaslahatan umum dimaksud adalah kemaslahatan berkenaan dengan pemeliharaan lima hal yang prinsip dalam hidup (al-daruriyat al-khams), yakni akal, agama, jiwa, keturunan, dan harta.

MUI harus selalu mempertimbangkan aspek kemaslahatan umum setiap akan mengeluarkan fatwa. Dengan ungkapan lain, setiap fatwa MUI diharapkan dapat mewujudkan kemaslahatan tersebut, baik yang bersifat ukhrawiyah atau diniyah maupun duniawiyah. Akan tetapi, MUI tampaknya sulit mempertimbangkan aspek kemaslahatan umum, sebab jika terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang bersifat non syar’iyah dengan nash qat’i, MUI tidak akan mendahulukan kemaslahatan. Alasannya, MUI masih memandang kemaslahatan yang bersifat non syar’iyah hanya ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal, sedangkan nash qat’i ditetapkan berdasarkan wahyu. Wahyu haruslah lebih didahulukan atau diutamakan daripada akal.

Sejumlah kajian ushul fiqh menyimpulkan perlunya memperhatikan prinsip rasionalitas dalam istimbath al-ahkam. Rasionalitas menempati posisi yang amat penting dalam hukum Islam. Posisi penting rasionalitas tersebut dinyatakan secara tegas dalam kaedah ushul fiqh: (Sesungguhnya apa yang menurut hukum akal baik atau buruk, maka syari'at pun memberikan hukum terhadap hal tersebut dengan wajib atau haram).

Hanya dengan menggunakan rasionalitas, bangunan metodologi ushul fiqh akan menjadi dinamis dan aplikatif serta mampu menjawab setiap persoalan kontemporer yang muncul setiap saat. Pada tataran ini dapat dipastikan bahwa syari'at tidak lagi menjadi "masalah", tetapi secara meyakinkan akan menjadi "mashlahah" di setiap waktu dan tempat (shalihun li kulli zamanin wa makanin).
MUI perlu melakukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dengan memperhatikan kaidah-kaidah perbandingan mazhab untuk meneliti pendapat mazhab manakah yang dalilnya kuat dan ditunjang oleh kemaslahatan. Jika dijumpai pendapat yang demikian, pendapat itulah yang dipilih dan difatwakan dengan tetap mempertimbangkan berbagai aspek kondisi dan situasi masyarakat.

MUI jangan terlalu ketat dan kaku berpegang pada nash qat`i. Prinsip mendahulukan nash qat`i  dalam merumuskan hukum menjadi kendala yang menyulitkan MUI. Sebab, nash baik dari Al-Qur`an maupun Sunnah  yang mengandung kepastian hukum secara jelas sangat sedikit. Sementara, persoalan sosial yang muncul semakin banyak dan semakin rumit seiring dengan dinamika sosial, perkembangan modern dan kemajuan sain dan teknologi serta pengaruh perkembangan global dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Karena itu, mengandalkan hanya pada nash qat`i secara tekstual adalah sangat tidak menyelesaikan persoalan.

Diperlukan pembacaan ulang terhadap dalil yang ada. Dengan ungkapan lain, perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap nash qat`i dan melakukan dekonstruksi terhadap ajaran-ajaran agama yang dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama dalam ajaran yang berbicara tentang relasi gender. Hanya dengan cara demikian, ajaran Islam bisa bertahan dan aplikatif. Jika tidak, ajaran tersebut dikhawatirkan kelak akan menjadi fosil belaka.

Sebagai penutup, mari kita simak perkataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, pakar hukum Islam bermadzhab Hanbali, bahwa syari'at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, yaitu kemaslahatan (al-mashlahat), keadilan (al-'adl), kerahmatan (al-rahmat), dan kebijaksanaan (al-hikmah). Semua hal yang bertentangan dengan tujuan hakiki ini bukanlah bagian dari syariat, kendati disusun dengan upaya-upaya yang sistematis.