Minggu, 26 Februari 2017

Mengapa Perlu Buku Muslimah Reformis?



Motivasi Penulisan Buku
Alih-alih mendapatkan apresiasi, sebuah hasil penelitian berjudul Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) malah dicaci dan dihujat. Jangankan dibaca dan dikomunikasikan secara ilmiah, draft itu justru direspon dengan penuh kemarahan dan kebencian, terutama dari kelompok islamisme, seperti FPI, HTI dan FUI dan semacamnya.

Kehadiran draft itu menggemparkan kalangan penganut Islam yang tekstualis, dan memandang penelitian itu sebagai suatu dosa dan kemaksiatan yang tak terampuni. Menurut kami, mestinya dan seharusnya, kemarahan dan kebencian tersebut dialamatkan kepada para pelaku dosa dan berbagai bentuk kemaksiatan nyata di masyarakat, seperti pelaku perkosaan, pelecehan di ruang-ruang publik, pelaku KDRT, para koruptor, para mafia migas, para rentenir dan para elit yang mengeksploitasi kekayaan negara. Pertanyaan yang selalu muncul, mengapa kemaksiatan yang berlapis-lapis dan bergulung-gulung bagai awan hitam itu tidak menimbulkan kemarahan kalangan agama?

Draft yang disusun tahun 2004 oleh Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama dan melibatkan sejumlah ulama, pakar hukum dan gender, serta para aktivis itu sejatinya adalah sebuah ijtihad kemanusiaan. Ijtihad atau upaya sungguh-sungguh untuk mengkritisi undang-undang perkawinan Islam yang tercakup di dalam Kompilasi Hukum Islam (1991).

Menurut kami, setidaknya ada 14 isu dalam UU Perkawinan tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat dan prinsip demokrasi. Di antaranya, definisi nikah, posisi suami-isteri, kewajiban suami-isteri, poligami, anak di luar nikah, batas minimum usianikah bagi perempuan. Karena itu, kami melakukan ijtihad, pengkajian dan penelusuran pada sumber hukum Islam yang otoritatif dan hasilnya kami tawarkan dalam bentuk draft undang-undang perkawinan baru (CLD KHI).

Tentu tidak semua menolak, ada cukup banyak kalangan yang setuju dan bahkan mengapresiasi CLD KHI. Sayangnya, kebanyakan kelompok ini memilih bersikap diam, tidakberani bersuara.Sikap diam dan membisu terkadang menjadi bencana dalam masyarakat.Sebab, kelompok yang tidak setuju lalu mengambil ruang publik dan menghegemoni pendapat mayoritas.Akibatnya, mayoritas dianggap menolak, walaupun sebetulnya yang menolak hanya segelintir.Meski segelintir, namun sangat vokal bersuara,membuat seolah-olah CLD KHI tidakdidukung mayoritas.
Faktanya, CLD KHI justru menarik bagi kalangan akademik di luar negeri.Tidak lama setelah dirilis, kami mendapat undangan dari Islamic Law Faculty, Harvard University untuk memaparkan hasil temuan tersebut. Selanjutnya, tim kami sibuk melayani permintaan berbagai universitas ternama di Belanda, Austria, Kanada, Perancis, Italia, Australia dan Amerika, serta beberapa negara Islam, seperti Marokko, Malaysia, dan Mesir. Beberapa pasal dari CLD KHI menimbulkan decak kagum para akademisi di negara tersebut. Masyarakat ilmiah memandang CLD KHI sebagai terobosan besar dalam dunia Islam, upaya reformasi hukum keluarga yang menjadi impian komunitas pembaru keagamaan, khususnya kelompok perempuan di seluruh dunia.

Di tanah air sendiri, meskipun ditolak MUI dan Kemenag, CLD KHI tetap didiskusikan dan dibahas di berbagai tempat, termasuk juga di berbagai universitas Islam terkemuka.Sebagai sebuah karya ilmiah danhasil penelitian, sangat naif kalau itu dilarang. Negara sekalipun tidak berhak melarang publikasi sebuah temuan riset yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pembahasan tentang CLD KHI melahirkan puluhan tesis mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, negeri dan swasta, baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan, beberapa dosen mata kuliah hukum menjadikan CLD KHI sebagai salah satu materi perkuliahan di jurusan mereka.

Akhirnya, dari berbagai diskusi disimpulkan, CLD KHI dapat diterima jika masyarakat dibekali pengetahuan yang agak memadai tentang berbagai isu yang dibicarakan di dalamnya.Sebab, umat Islam umumnya hanya mengetahui sedikit sekali tentang ajaran Islam. Terlebih lagi pengetahuan mereka lebih banyak diperoleh secara lisan, bukan melalui penelitian dan penelusuran mendalam terhadap sumber-sumber yang otoritatif.

Sudah bukan rahasia, bahwa pendidikan keagamaan yang diselenggarakan pada sekolah formal mulai dari SD sampai perguruan tinggi, lebih fokus pada hal-hal yang bersifat legal-formal, lebih banyak membahas aspek ritual dan penekanannya hanya pada halal dan haram atau surga dan neraka. Pelajaran agama di sekolah lebih menitikberatkan pada simbol-simbol keagamaan, seperti jilbab, jenggot, celana puntung, baju koko, urusan KTP dan hal-hal yang sangat asesoris lainnya.

Seharusnya, pendidikan agama atau lebih khusus pendidikan keislaman lebih menekankan pada penanaman akhlak karimah atau nilai-nilai agama yang substansial. Di antaranya, nilai-nilai tauhid yang merefleksikan prinsip persamaan manusia, prinsip keadilan, prinsip kemashlahatan dan prinsip kebebasan manusia sebagai makhluk Tuhan yang bertanggungjawab. Upaya internalisasi nilai-nilai keislaman ini akan melahirkan sifat-sifat kejujuran, keadilan, kesetiaan, kebenaran dan keindahan serta sejumlah sifat positif-konstruktif lainnya dalam diri manusia. Dan manusia inilah kelak yang akan membentuk masyarakat beradab yang dalam Qur’an disebut baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Masyarakat yang beradab dan penuh ridha Allah swt.

Tujuan agama hakikinya adalah memanusiakan manusia, membuat manusia menjadi lebih menghormati dan menghargai sesama, mencintai sesama makhluk, dan menjaga keseimbangan alam semesta.Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk bermartabat. Mari menghargai manusia karena hakikat kemanusiaannya, bukan karena jenis ras, suku, gender, harta, kekuasaan, kecantikan, kegagahan, dan berbagai urusan primordial lainnya.

Dari berbagai diskusi CLD KHI itulah muncul dorongan menyusun buku ini yang kemudian diberi nama Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan. Judul itu mencerminkan keharusan perempuan bangkit melawan hegemoni tafsir yang selama ini dimonopoli kaum lelaki, tafsir yang penuh diwarnai budaya jahiliyah, nilai-nilai patriarki dan nilai-nilai bias gender.

Perempuan harus berani menjadi pembaru keagamaan untuk suatu tujuan yang mulia, mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang ramah terhadap perempuan, ramah terhadap semua makhluk, peduli pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang menghimpit kaum minoritas, marjinal dan tertindas yang dalam Al-Qur’an disebut kelompok mustadh’afin.

Secara umum, buku Muslimah Reformis menawarkan 10 isu reformasi keagamaan bagi perempuan.

Pertama, perempuan menghayati Islam sebagai landasan aksi reformasi. Perempuan harus sungguh-sungguh menghayati dengan benar ajaran Islam yang esensial.Inti ajaran Islam adalah tauhid.Tauhid artinya bukan sekedar mengakui keesaan Allah swt, melainkan jauh lebih dalam maknanya.Tauhid mengantarkan kita pada pengakuan bahwa semua manusia adalah setara sebagai ciptaan Tuhan.

Tauhid mengharuskan kita untuk meyakini prinsip keadilan bagi semua manusia.Tauhid juga meyakinkan kita, hanya Tuhan Yang Maha Esa patut disembah, selain-Nyaadalah tuhan-tuhan palsu belaka. Intinya, keyakinan tauhid mengharuskan kita berjuang untuk kebebasan manusia dari budaya jahiliyah, dari sistem tiranik, segala bentuk ketidakadilan, kezaliman, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan atas dasar apapun, termasuk yang mengatasnamakan agama. Berjuang melakukan amar makruf nahy munkar (upaya-upaya transformasi dan humanisasi) demi kemashlahatan umat manusia dan terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan berkeadaban.

Kedua, perempuan sebagai ulama. Apakah ada perempuan sebagai ulama?Jawabnya, sangat banyak, jika ulama diartikan sebagai orang berilmu. Tapi, ulama dalam arti pemimpin dalam bidang keagamaan, maka sangat sedikit perempuan. Karena itu, perempuan harus berani merebut posisi ulama. Mengapa? Karena posisi itu tidak mungkin diberikan begitu saja meski semua syarat untuk menjadi ulama sudah terpenuhi. Kata ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk maskulin dari kata alim, artinya: orang berilmu. Bentuk femininnya, alimat, tidak pernah diperdengarkan secara luas. Tidak heran, jika ulama selalu diidentikkan dengan laki-laki, padahal perempuan yang memahami ilmu agama tidak sedikit jumlahnya.

Ketiga, perempuan melawan kekerasan.Perempuan harus berani melawan kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Untuk konteks Indonesia sangat relevan karena pemerintah telah merativikasi Konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (1984). Ketika buku ini disusun perempuan Indonesia sedang gigih memperjuangkan UU Pencegahan KDRT yang disahkan 14 September 2004. Sayangnya sosialisasi dan implementasi dari UU tersebut sangat lamban sehingga dampaknya tidak banyak dirasakan masyarakat, terutama kaum perempuan yang hampir selalu menjadi korban dalam setiap aksi kekerasan, baik di luar dan terlebih lagi dalam rumah tangga.

Keempat, perempuan pembela hak asasi manusia.Perempuan harus mengerti hak-hak dan kewajiban asasinya sebagai individu, sebagai anggota keluarga, warga masyarakat, dan bahkan sebagai warga dunia.Mengapa perempuan harus berani menjadi pembela HAM? Sebab, secara statistik perempuanlah yang paling banyak menderita, korban pelanggaran HAM, terutama perempuan sebagai buruh, PRT, pekerja migran, PSK, Odha, disabel, perempuan miskin, tidak berpendidikan, orang tua tunggal, lansia, pengungsi, korban bencana alam, korban konflik.

Kelima, perempuan sebagai pemimpin.Perempuan harus berani menjadi pemimpin, terutama dalam bidang politik.Mengapa penting? Sebab, disinilah kebijakan publik yang menyangkut hajat orang banyak dirumuskan. Namun, tidak mudah karena hambatan yang dihadapi perempuan sangat berat, mulai dari hambatan fisik sampai hambatan teologis yang sarat dengan muatan politis. Perempuan harus mampu menawarkan tafsiran baru untuk mengeliminasi semua mitos bahwa perempuan tidak boleh jadi pemimpin, termasuk dalam bidang agama.

Keenam, perempuan sebagai pelaku rekonsiliasi.Sudah umum dibicarakan bahwa setiap ada konflik maka kelompok perempuan dan anak-anak yang paling menderita karena merekalah paling banyak merasakan getirnya hidup akibat konflik. Misalnya, keterbatasan bahan makanan, sulitnya akses air bersih, dan kebutuhan pokok lainnya, sementara perempuan harus merawat dan menjaga kelangsungan hidup anak-anak dan anggota keluarga lain yang frustrasi dan cedera. Karena itu, di banyak pengalaman konflik, perempuan selalu menjadi pionir pelaku rekonsiliasi. Namun, begitu meja perundingan formal digelar, tak satupun perempuan dihadirkan di sana, seolah mereka tidak ada dalam masyarakat.

Ketujuh, perempuan dan kebijakan publik. Perempuan harus mampu mengkritisi kebijakan publik dan berani berjuang untuk mengeliminasi semua bentuk kebijakan publik yang diskriminatif dan merugikan masyarakat luas. Sebab, kebijakan publik harus memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat luas. Jangan biarkan kebijakan publik dibangun untuk kepentingan segelintir orang, kepentingan partai dan kepentingan penguasa, terlebih lagi demi kepentingan pihak asing.

Kedelapan, perempuan peduli hak anak.Perempuan harus menjadi pilar utama bagi upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Anak adalah amanah bagi kedua orang tua dan menjadi tanggung jawab bersama ayah dan ibunya. Jika orang tua tidak mampu, tugas masyarakat dan negara melindungi hak anak. Beruntung karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi internasional tentang Hak-hak Anak (1990).Sebagai orang beragama, kita sering melalaikan hak-hak asasi anak. Kita lupa, bahwa menunaikan hak anak adalah kewajiban agama yang harus dipenuhi sebagai orang beriman.Hak-hak anak yang paling mendasar adalah hak untuk tumbuh kembang, di dalamnya terkait makanan bergizi, kondisi kehidupan yang layak, kesejahteraan dan perlindungan serta pendidikan. Tidak boleh seorang anak mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan alasan apa pun. Namun, prinsip itu belum dielaborasi dalam berbagai undang-undang nasional, seperti UU Perkawinan. Misalnya, masih ada pasal membuat diskriminasi terhadap anak yang lahir di luar nikah.Ini bertentangan dengan prinsip perlindungan hak anak.Untunglah pasal itu sudah direvisi melalui keputusan MK (2013).

Kesembilan, perempuan menawarkan solusi. Perempuan harus mampu merespon berbagai persoalan kontemporer dalam masyarakat yang dinamis dan selalu berkembang, tak terkecuali dalam bidang agama. Misalnya, bagaimana mereformasi distribusi zakat agar para lansia, terutama lansia perempuan juga mendapatkan haknya. Problem haji bagi perempuan hamil. Isu pornografi, HIV/Aids terutama karena dalam kedua kasus ini kebanyakan korbannya adalah perempuan, dan juga tentang rekonstruksi dakwah untuk kepentingan perempuan.

Kesepuluh, agenda gerakan Muslimah dari tafsir ke aksi. Perempuan harus berani melakukan kerja-kerja nyata mengusung tafsir baru yang lebih humanis, pluralis, dan demokratis dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dengan membenahi ormas-ormas perempuan Islam agar mereka tidak hanya berkutat dalam program kerja yang bertujuan semata untuk kepentingan praktis, melainkan lebih fokus pada peran-peran strategis untuk mengubah struktur masyarakat yang timpang dan tidak adil akibat hegemoni budaya jahiliyah, budaya patriarki dan nilai-nilai yang bias gender.

Muslimah reformis adalah Muslimah yang peduli pada penegakan demokrasi, pluralisme, keadilan dan kesetaraan demi membangun masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan (baldatun tahyyibah wa rabbun ghafur).

Muslimah reformis berusaha mendialogkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menyejarah dengan spirit ajaran Islam yang universal, abadi, inklusif dan berwajah kemanusiaan. Spirit itulah yang ingin digelorakan penulis lewat buku Muslimah Reformis yang sedang dibahas ini. Hanya dengan cara itu peradaban Islam dapat dikembangkan.                     



Kamis, 23 Februari 2017

Lima Prinsip Dasar Pernikahan Islam



1. Prinsip Mitsaqan ghaliza (Komitmen Suci)
Pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara dengan baik. Isteri adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula suami merupakan amanat Allah kepada isteri. Suami isteri telah berjanji dengan nama Allah untuk menjaga amanah itu. Janji inilah yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan mitsaqan ghaliza. Istilah itu dapat dimaknai dengan komitmen suci atau perjanjian yang teguh.
Pernikahan dalam Islam bukan hanya melibatkan aspek biologis dan hal-hal yang bersifat material semata melainkan jauh lebih luas dan dalam dari apa yang kita bayangkan. Pernikahan pun melibatkan aspek spiritual yang terdalam dari diri manusia.
Itulah sebabnya, setiap pasangan: isteri atau suami jika dalam kehidupan pernikahan mengalami hal-hal yang membuatnya sedih, galau dan cemas hendaknya segera beristighfar memohon ampunan kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Sebaliknya, jika pasangan merasakan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan hendaknya banyak bersyukur ke hadirat-Nya. Kehidupan perkawinan ibarat permainan ombak di pantai, penuh gejolak dan sering menimbulkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya.



2. Prinsip mawaddah wa rahmah (Cinta dan kasih yang tak bertepi )
Mawaddah secara bahasa berarti 'cinta kasih', sedangkan rahmah berarti 'kasih sayang', kedua istilah itu menggambarkan perasaan batin manusia yang sangat luhur. Mawaddah juga menggambarkan suasana psikologis manusia yang dapat menerima orang lain apa adanya.
Mawaddah wa rahmah terbentuk dari suasana hati yang penuh keikhlasan dan kerelaan berkorban demi kebahagiaan bersama. Sejak akad nikah suami-isteri seharusnya telah dipertautkan oleh perasaan mawaddah wa rahmah sehingga keduanya tidak mudah goyah dalam mengarungi samudra kehidupan rumah tangga yang seringkali penuh gejolak.
 Mawaddah wa rahmah merupakan anugerah  Allah swt. dan hanya dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki agar mereka dapat menikmati kehidupan suami isteri dengan penuh sakinah (kedamaian). Hal itu dipaparkan dalam firman Allah berikut: “Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan agar kalian memperoleh kedamaian dari pasangan tadi, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS. ar-Rum, 30: 21).
Pasangan suami isteri sangat dianjurkan memperbanyak doa dan tak lupa berikhtiar agar dianugerahi mawaddah wa rahmah sehingga keduanya dapat saling mengasihi dan saling mencintai secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih. Semua sikap dan perilaku suami isteri dalam kehidupan bersama semata-mata bermuara pada rasa kasih sayang dan cinta yang tulus tak bertepi.

3. Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (Prilaku santun dan beradab)
Ditemukan sejumlah tuntunan dalam Al-Qur`an dan hadis agar suami memperlakukan isterinya dengan penuh sopan santun, di antaranya berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S an-Nisa 19). Selanjutnya dari hadis: "Bertakwalah kalian kepada Allah swt. berkaitan dengan urusan perempuan. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah, dan kalian juga telah memperoleh (dari Tuhan) kehalalan atas kehormatan mereka dengan kalimat Allah" (HR. Bukhari).
Dalam relasi pernikahan, Islam mengajarkan suami agar memperlakukan atau menggauli isterinya dengan penuh kelembutan dan kesopanan, jauh dari segala bentuk kekerasan dan kebiadaban. Sebaliknya isteri pun demikian. Masing-masing hendaknya menjaga tata krama dan adab sopan santun sesuai ajaran agama. Jelas bahwa dalam pernikahan Islam tidak dibolehkan sedikit pun adanya KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Untunglah sekarang sudah berlaku UU KDRT, meskipun implementasinya masih tertatih-tatih.
Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf ini paling banyak dituntut dalam relasi seksual di antara suami isteri. Hubungan seksual di antara suami isteri merupakan kenikmatan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Agar hubungan tersebut tidak dikotori oleh pengaruh setan, dan agar dapat membuahkan anak saleh, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya agar memulainya dengan membaca doa: "Bismillah Allahumma jannibna asy-syaitan wa jannibi asy-syaitan ma ruziqna."  Artinya: Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang akan Engkau berikan kepada kami. Apabila lahir seorang anak, dia akan terlindung dari setan (HR. Bukhari dan Muslim). 
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa yang lebih banyak menikmati hubungan seks adalah suami, sedang isteri hanya melayani. Kebanyakan isteri tidak pernah mengeluhkan soal kepuasan seksual. Alasannya beragam; pertama, karena hal itu dianggap tabu dan tidak pantas dibicarakan; kedua, karena takut suaminya marah; dan ketiga, karena merasa sudah begitulah kodratnya sebagai isteri.
Seharusnya, menikmati hubungan seks bukan hanya hak suami, melainkan juga hak isteri. Berkenaan dengan ini sejumlah hadis memberikan tuntunan. Misalnya: "Jika seorang suami di antara kalian bersetubuh dengan isterinya, hendaklah ia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bila ia terlebih dahulu mencapai kepuasan (orgasme) sebelum isteri merasakannya, hendaklah ia tidak tergesa-gesa (mengeluarkan zakarnya dari vagina) sampai isteripun merasakan orgasmenya". "Jika seseorang di antara kalian hendak menggauli isterinya, janganlah ia meniru perilaku binatang atau melakukannya bagai dua ekor unta atau keledai. Hendaklah ia memulainya dengan cumbu rayu, belaian kata-kata manis dan ciuman" (HR. Ibnu Majah).
Kedua hadis tersebut pada intinya mengandung pesan moral agar suami memperlakukan isterinya dengan penuh kesopanan dan kelembutan, terutama dalam hubungan seksual. Suami hendaknya mengupayakan sedemikian rupa agar isteri juga mengalami kepuasan. Isteri bukan hanya sekedar objek dalam hubungan seksual, melainkan juga sebagai subyek. Jika keduanya sama-sama subyek dan sama-sama mengalami kepuasan tentu akan tercipta suasana bahagia yang akan mempererat jalinan kasih dan cinta di antara keduanya.
Kesimpulannya, hubungan suami isteri hendaknya selalu dibina di atas prinsip saling menghargai dan menghormati, tanpa melihat kepada asal-usul, status maupun posisi keduanya. Boleh jadi suami memiliki derajat, status dan posisi yang lebih tinggi dari isteri, demikian pula sebaliknya. Akan  tetapi, sebaiknya dalam kehidupan rumah tangga semua bentuk perbedaan itu diabaikan atau tidak  dimunculkan. Suami isteri harus mampu mengendalikan diri dan menahan emosi sehingga yang muncul hanyalah sikap dan perilaku yang sopan dan santun, bukan sikap dan perilaku yang memaksa, kasar dan bengis.

4. Prinsip Musawah (Kesetaraan dan keadilan gender)
Kebahagiaan hidup dalam pernikahan hanya dapat diwujudkan dalam kehidupan keluarga manakala suami isteri berada pada posisi yang setara dan sederajat. Itulah yang sekarang diistilahkan dengan kesetaraan dan keadilan gender. Sebab, bagaimana mungkin suami isteri bisa saling menghargai, saling menghormati, dan saling terbuka jika sang suami memandang isteri lebih rendah atau lebih tinggi. Atau sebaliknya, isteri memandang suami lebih tinggi atau lebih rendah.
Keduanya harus memandang satu sama lain sebagai manusia utuh yang harus dihargai dan dihormati apa pun posisi dan statusnya.  Keduanya harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Di hadapan Allah swt. semua manusia sama derajatnya, yang membedakan di antara mereka hanyalah prestasi takwanya, itupun hanya Allah yang berhak menilai, bukan manusia.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah: "isteri-isterimu adalah pakaian untuk kamu (para suami), demikian pula kalian (para suami) adalah pakaian mereka (para isteri)"  (QS. S. Al-Baqarah, 2:187).Ayat tersebut mengisyaratkan Perlunya suami isteri saling membantu dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba tidak sempurna. Suami isteri pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi atau menutupi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh.
Prinsip ini perlu diterapkan mengingat hubungan suami isteri hanya dapat berjalan serasi dan harmonis manakala keduanya dapat saling melengkapi dan melindungi, bukan saling mencari kelemahan dan kekurangan masing-masing. Sebagai manusia hamba Allah, setiap suami atau isteri pasti memiliki kelebihan sekaligus juga pasti ada kekurangan. Konsekuensinya, suami isteri perlu saling menutupi kekurangan dan memuji kelebihan.
Perbedaan jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, dalam hubungan suami isteri tidak perlu menyebabkan yang satu merasa lebih superior (lebih tinggi) daripada yang lain atau sebaliknya yang satu merasa inferior (lebih rendah) daripada yang lain. Keduanya memiliki posisi yang sama, yakni sama-sama manusia. Semua manusia sama derajatnya,  yang membedakan di antara mereka hanyalah takwanya, dan ukuran takwa itu hanya Allah yang dapat menilai, bukan manusia.
Hanya saja, perlu diingat bahwa dalam kehidupan suami isteri, khususnya di lingkungan rumah tangga,  Allah swt. memberikan tugas yang cukup berat kepada suami, yakni untuk bertindak sebagai pengayom atau pelindung (QS. an-Nisa`, 4:34). Sebagai pelindung atau pengayom, suami dituntut agar sungguh-sungguh memberikan perlindungan, ketentraman,  dan kenyamanan kepada isterinya, bukan sebaliknya mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan.  Fungsi sebagai pengayom atau pelindung inipun tidak melekat secara otomatis pada diri suami, melainkan hanya berlaku jika sang suami memenuhi dua syarat yang ditetapkan. Pertama, memiliki kualitas lebih dibandingkan isterinya dan kedua, mampu memberikan nafkah lahir batin (QS. an-Nisa`, 4:34). Jika kedua syarat ini tidak terpenuhi, tentu fungsinya sebagai pengayom dapat dipertanyakan.

5. Prinsip Musyawarah (Komunikasi yang hangat dan intens)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah: "Bermusyawaralah di antara kamu (suami dan isteri) mengenai segala sesuatu dengan cara yang baik" QS. at-Thalaq, 65:6). Atas dasar prinsip musyawarah ini, suami atau isteri tidak mengambil keputusan penting, khususnya menyangkut kehidupan keluarga, secara sepihak melainkan senantiasa perlu dirundingkan atau dimusyawarahkan  bersama. Dengan memegang teguh prinsip ini diharapkan bahwa manakala ada masalah, maka suami isteri bertanggung jawab. Tidak ada pihak yang akan mengelak dari tanggung jawab karena semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama demi kepentingan keluarga.
Membangun komunikasi yang hangat dan intens di antara suami-isteri menjadi kunci kebahagiaan dalam perkawinan. Masalahnya, kebanyakan kita lebih mudah dan juga lebih suka membangun hubungan yang hangat dengan orang lain ketimbang dengan pasangan sendiri. Memang tidak mudah, tapi komunikasi harus dibangun dan dilanggengkan sepanjang hayat dengan pasangan.
Khalifah Umar ibn al-Khattab mengibaratkan ikatan suami isteri dengan seutas benang yang mudah sekali putus, sangat peka. Karena itu, jika yang satu menarik, yang lain mengulur. Jika yang satu mengencangkan, yang lain mengendorkan, demikian seterusnya. Dengan ungkapan lain, diperlukan seni berkomunikasi dalam relasi pernikahan.
Rasulullah saw. seringkali menyebutkan: bayti jannati (rumahku adalah surgaku). Dibalik sabdanya itu, Rasul hendak mengingatkan kita, para pengikutnya, agar berusaha menjadikan rumah masing-masing seindah dan senyaman surga. Surga dalam kehidupan rumah tangga harus diciptakan, dan itu perlu kerjasama yang serius dan sungguh-sungguh dari kedua suami-isteri, tidak mungkin hanya sepihak saja.
Demikianlah lima prinsip dasar pernikahan dalam Islam, semoga dengan prinsip tersebut kita semua berhasil mewujudkan surga di bumi melalui kehidupan perkawinan yang penuh dengan sakinah, mawaddah wa rahmah.







Rabu, 22 Februari 2017

Islam dan Pencegahan Radikalisme




Pendahuluan
Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gerakan radikalisme dalam semua agama, tak terkecuali Islam, yang melahirkan militansi dan aksi-aksi terorisme bukan sekadar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang sangat kompleks. Radikalisme terkait erat dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran geostrategis, serta masalah sosial-ekonomi dan politik akibat proses modernisasi dan globalisasi.

Karena itu, wacana jihad yang kerap didengungkan gerakan-gerakan radikalisme Islam hendaknya tidak dibaca sebagai ekspresi fanatisme keagamaan belaka. Selain itu, jangan pula hanya dikaitkan secara eksklusif dengan aksi-aksi irasional yang dipicu oleh fanatisme terhadap doktrin-doktrin Islam. Sebab, jihad merupakan bahasa protes yang bisa digunakan oleh siapa saja, terutama oleh mereka yang merasa terpinggirkan dalam arus deras modernisasi dan globalisasi. Tujuannya, tiada lain demi membangun identitas  dan tawar-menawar posisi di ruang publik.

Dari islamisme ke radikalisme
Sejarah Islam yang panjang mengajarkan bahwa radikalisme selalu berawal dari Islamisme. Islamisme adalah gerakan yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bukan sekedar ajaran agama. Dalam pengertian ini, islamisme tidak dapat dijelaskan hanya dengan membuka lembaran sejarah dunia Islam sejak 14 abad silam, atau dipersepsikan sebagai kelanjutan belaka dari konflik yang terjadi di masa-masa awal sejarah Islam.

Islamisme juga tidak bisa dikonseptualisasikan sekadar impuls fanatisme keagamaan, hasrat yang digerakkan oleh keinginan kuat untuk meraih surga, misalnya. Islamisme dalam banyak hal merupakan rupture, titik persimpangan penting dalam rentang panjang sejarah yang berkaitan erat dengan gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan dunia Islam. Manifestasinya kerap merupakan cermin persinggungan antara dinamika sosial-ekonomi dan politik yang berlangsung pada tataran global dan konteks sosial politik di tingkat lokal.

Letupan islamisme mulai memperlihatkan pengaruh pada permulaan abad ke-20, seiring dengan ekspansi format negara-bangsa modern yang menggantikan sistem kekhalifahan, keamiran, dan bentuk-bentuk pemerintahan feodal lain berbasis kekeluargaan dan kesukuan. Sebagai akibat penerapan sistem negara-bangsa, elite politik baru dan kelas sosial ekonomi pendukung mereka muncul menggeser dominasi kaum status-quo.

Bermula pada tahun 1930-an, Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir, dan Abdul Ala Maududi (1903-1978) di Pakistan, pencetus partai Jama’at-i Islami di Pakistan. Keduanya memperkenalkan gerakan pemikiran yang berusaha mendefinisikan Islam sebagai ideologi politik berhadapan dengan ideologi-ideologi politik besar lainnya pada abad ke-20. Gagasan mereka berkembang dan menggelinding seiring perubahan waktu dan konteks dengan beberapa penyesuaian ataupun modifikasi.

Kedua ideolog tersebut melegitimasi visi baru mereka dengan merujuk pada dua model gerakan. Pertama, gerakan purifikasi (Salafisme) yang sebelumnya diperkenalkan oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792), belakangan lebih dikenal sebagai Wahabisme. Kedua, gerakan modernisasi yang digagas para pembaharu Mesir, seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1898), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935).

Keduanya, kelompok Salafi dan Wahabi  berfokus pada tema kembali pada teks-teks Quran dan Hadith serta inspirasi umat Islam generasi awal serta pemurnian Islam dari syirik, bid’ah, dan semua bentuk thagut. Sementara kelompok modernis mendorong diterimanya rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat yang diklaim sebagai bagian inheren dari Islam yang murni. Perlu dicatat, gerakan tersebut bergelora di tengah tekanan kuat gelombang kolonialisasi yang melahirkan sentiment-sentimen anti (dominasi) Barat sekaligus obsesi akan kebangkitan kembali umat Islam dan sistem kekhalifahan (pan-islamisme) yang pernah jaya berabad-abad.

Dalam merespon kolonialisme, Ikhwan al-Muslimin dan Jama’at-i Islami meratapi kemunduran dan keterbelakangan dunia Islam sambil bekerja keras menyerukan revitalisasi dan solidaritas umat. Keduanya menekankan bahwa kemunduran umat Islam tidak lain disebabkan oleh lemahnya solidaritas dan persaudaraan di antara mereka serta lunturnya kesadaran akan nilai-nilai moral dan keagamaan. Baik Ikhwan al-Muslimin maupun Jama’at-i Islami mengalami pasang-surut, mendayung di antara arus represi dan akomodasi pihak penguasa. Bagi mereka, mengambil dan merebut kontrol negara akan melapangkan jalan bagi penyebaran Islam dalam masyarakat yang telah ternoda nilai-nilai Barat.

Dinamika sejarah dan munculnya gerakan Radikalisme di dunia Islam yang merupakan anak sah islamisme sebenarnya pekat dengan nuansa power struggle. Dalam banyak hal ia merupakan protes politik yang dibalut dengan simbol-simbol dan wacana keagamaan. Di tengah dominasi sistem politik sekuler gaya-Barat, islamisme mendorong Islam masuk kedalam lingkar kekuasaan negara. Jualan mereka adalah Islam merupakan nizham. Artinya, sebuah sistem yang paripurna, mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, perekonomian, dan tata hubungan internasional. Sejak itu slogan Islam is the solution mulai bergema lantang di berbagai belahan dunia Islam. Slogan serupa telah lama diteriakkan kalangan fundamentalisme Kristen di Amerika, yaitu Jesus is the solution.

Akan tetapi, islamisme bukanlah cerita tentang keberhasilan. Ia lebih merupakan episode-episode kegagalan yang kerap berakhir dengan fragmentasi atau kelumpuhan akibat represi brutal yang dilancarkan negara. Menariknya, gerakan ini tidak pernah padam. Api semangatnya tetap menyala. Ia senantiasa berayun di antara dua titik pendulum; upaya islamisasi dari bawah melalui dakwah dan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan dan islamisasi dari atas yang mengambil wujud jihad revolusioner untuk menggulingkan rezim berkuasa. Pilihan taktik dan strategi biasanya ditentukan oleh kesempatan politik dan struktur mobilisasi yang menopangnya.

Para aktor gerakan islamis biasanya memiliki kesempatan lebih banyak dalam menggelar mobilisasi dan mengancam rezim berkuasa bila negara sedang lemah dan dililit konflik kepentingan. Keadaan semacam inilah yang menjelaskan keberhasilan tokoh-tokoh Islam garis keras semisal Rizieq Shihab, Ja’far Umar Thalib, dan Abu bakar Ba’asyir, dalam mendirikan dan mengelola kelompok militan yang menuntut penerapan syariah di Indonesia. Demikian pula dalam berbagai aksi brutal merazia café, diskotik dan tempat-tempat hiburan lainnya, bahkan menggelar aksi jihad di beberapa kawasan konflik pasca kejatuhan Suharto 1998. Mereka mewujud dalam beberapa organisasi Islam, seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan Laskar Mujahidin Indonesia dan lainnya.



Jika dirunut ke belakang, munculnya kelompok-kelompok militan Islam pasca orde Baru sebenarnya berakar sejak lama. Benih-benih islamisme di Indonesia mengembang di dalam karut-marut ketegangan Islam dan negara sejak awal kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, negara dan pemerintah tidak secara serius mengelola ketegangan yang sudah terlanjur mengkristal. Alih-alih mengurai ketegangan, berbagai kebijakan Orde Baru malah mempersubur kehadiran kelompok tersebut. Misalnya, kebijakan restriksi Orde baru terhadap aktivisme kampus lewat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan menciptakan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang kemudian diperkuat dengan penerapan “asas tunggal” turut memberi andil bagi perkembangan dakwah gerakan Islamis di kampus. Puncaknya, pasca revolusi Iran 1979 yang juga mendorong popularitas Ayatollah Khomeini, Murtada Mutahhari, dan Ali Shariati di kalangan mahasiswa. Sementara itu, Saudi Arabia berusaha sekuat tenaga menahan laju pengaruh Iran di tanah air dengan mengintensifkan penyebaran Wahabisme yang sangat anti-Syi’ah.

Dalam konteks ini, Saudi memberikan bantuan keuangan kepada organisasi keislaman untuk membangun masjid dan mendirikan lembaga pendidikan. Saudi sendiri mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) di Jakarta pada 1980. Lembaga itu menjadi centre of excellence pengembangan dakwah Wahabi yang didompleng gerakan-gerakan lainnya. Situasi ini menyediakan lahan subur bagi ekspansi berbagai gerakan Islam transnasional, termasuk Ikhwan al-Muslimin, Hizbut-Tahrir, dan Salafi.

Sejak itu, kita di Indonesia menyaksikan munculnya pemuda-pemuda berjenggot (lihyah) dengan jubah (jalabiyyah), serban (imamah) dan celana tanggung di atas mata kaki (isbal), maupun perempuan-perempuan dengan baju lebar hitam (gamis) dan penutup muka (niqab). Selain secara eksplisit menyebut diri “Salafi”, mereka memperkenalkan varian Islam yang sangat “kaku” (rigid). Fokus dakwah mereka terletak pada upaya pemurnian tauhid dan praktik keagamaan eksklusif yang diklaim sebagai satu-satunya jalan yang benar mengikuti jejak keteladanan Salaf al-Salih, generasi awal muslim. Berdasarkan klaim tersebut, mereka lalu tidak segan menuduh kelompok Islam lain sebagai kafir, murtad dan sesat. Bahkan, mereka juga menilai sistem politik Indonesia yang berbasis Pancasila sebagai sistem thagut. Artinya, sistem yang berasal dari luar Islam.   

Masalah-masalah yang tampak sederhana, seperti jalabiyyah, imamah, lihyah, isbal, gamis dan niqab atau hijab, menjadi tema utama yang selalu muncul dalam wacana keseharian mereka. Awalnya, mereka menolak segala bentuk aktivisme politik (hizbiyyah) yang dipandang sebagai bid’ah, dan dengan demikian mereka bercorak “kesunyian apolitis”. Dengan mengibarkan bendera gerakan dakwah Salafi, mereka berupaya menarik garis pemisah tegas dari masyarakat dengan cara mengelompokkan diri secara eksklusif dalam ikatan-ikatan komunalitas menyerupai “daerah kantong” (enclave).


Kelompok islamis yang awalnya “apolitis” tersebut dalam perkembangan berikutnya menjadi kelompok sosial yang berada dalam “situasi perang” dengan kelompok lain di luar mereka. Konsekuensinya, mereka secara intens menciptakan in group love berbasis solidaritas, rasa cinta dan senasib-sepenanggungan atau di kalangan mereka dikenal sebagai al-wala. Bersamaan dengan itu, mereka pun melahirkan out group hate (kebencian dan rasa permusuhan yang dikenal sebagai al-barra terhadap orang-orang di luar kelompok). Berbagai sentimen yang secara fungsional saling berkaitan sengaja dipelihara karena penting bagi keberlangsungan mereka. Tidak heran jika kelompok ini kemudian mendapatkan label radikalisme, ekstrimisme atau fundamentalisme.

Melalui kategorisasi sosial, individu-individu dan kelompok radikalisme membagi dunia sosial dalam dua kategori yang bertolak-belakang. Mereka membangun in group-positivity dengan mengidealkan diri dan kelompok mereka. Pada tahap selanjutnya, mereka membentuk intergroup comparison dengan membandingkan betapa beruntungnya mereka dibanding orang-orang yang bukan bagian dari kelompok mereka. Dengan cara itu, mereka membangun out group hostility, kebencian terhadap orang-orang yang hidup di luar kelompok mereka.

Sambil menawarkan syari’ah sebagai alternatif dan solusi terhadap krisis, serta cetak biru bagi penciptaan masyarakat adil dan makmur, kaum ekstrimis membangun budaya kantong yang terpisah dari masyarakat sekitar. Dengan cara demikian, kontrol atas ruang sosial kembali diperoleh, sekalipun dengan cara membatasi kawasan itu dalam lingkup sempit komunalitas.

Bentuk resistensi pasif ini hanya memerlukan sedikit sentuhan untuk bermetamorfosis menjadi perlawanan terbuka bermantra jihad. Di tengah ketatnya persaingan memperebutkan ruang publik, jihad memancarkan aura kuat yang dapat mentransformasikan frustasi menjadi heroisme. Di sinilah kelompok tersebut dapat berkembang menjadi kelompok terorisme yang sangat biadab, seperti ISIS.

Mengikis radikalisme dengan mengatasi ketimpangan sosial-politik   
Memahami matriks persinggungan ideologi dan kondisi sosial, ekonomi, politik yang melatarbelakangi tumbuhnya gejala radikalisme memungkinkan kita mencari solusi lebih tepat dan komprehensif untuk mengikis terorisme di Indonesia masa kini. Sebagaimana digambarkan di atas, ideologi jalin-menjalin secara fungsional dengan faktor-faktor struktural sosial-ekonomi, baik pada aras makro maupun mikro, dalam mendorong proses radikalisasi. Rasa kecewa yang dialami sejumlah individu karena pengalaman keseharian berinteraksi dengan dunia di luar diri mereka terpoles secara sempurna dengan kondisi-kondisi makro sosial-ekonomi yang kerap menghadirkan potret pengangguran, keterbelakangan, ketimpangan, korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan.

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain memutus mata rantai radikalisme kecuali pemerintah bersama seluruh komponen masyarakat harus menemukan cara efektif untuk mengatasi masalah struktural yang berdampak terhadap munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Pada saat yang sama, pemerintah harus didorong untuk memperbaiki dan mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi yang menjadi instrumen penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Sejumlah studi yang menerapkan pendekatan ekonomi menyimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang lamban, pendapatan masyarakat yang rendah, angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, serta tingkat pendidikan rata-rata yang tidak memadai sangat berpengaruh buruk bagi kehidupan masyarakat. Kondisi buruk tersebut berdampak secara keseluruhan terhadap indeks pembangunan manusia suatu negara. Bahkan, kondisi yang tidak mengembirakan itu berkolerasi positif dengan maraknya radikalisme dan aksi-aksi kekerasan di masyarakat.

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama. Kampanye yang terus-menerus memojokkan mereka tanpa mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan hanya akan membuat mereka mati suri. Di balik itu, mereka tetap beroperasi di bawah tanah untuk menata ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat mengobarkan kembali api dan semangat jihad yang seringkali berujung dengan ledakan terorisme.

Negara wajib merespons secara efektif aksi-aksi teror dan mengejar para pelakunya dengan menggunakan pendekatan keamanan yang bertanggung jawab dan terukur. Karena itu, pilihan strategi yang logis untuk menghadapi radikalisme adalah berupaya “memberdayakan” mereka yang pernah terlibat dalam aksi-aksi teror melalui program-program advokasi bermatra ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan. Saya yakin bahwa program-program advokasi ekonomi yang dipadukan dengan program advokasi hukum dan sosial serta deradikalisasi ideologi akan menjadi senjata ampuh untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme.

Pentingnya nilai kebhinekaan dan multikulturalisme
Selain advokasi di bidang ekonomi, pemerintah harus sungguh-sungguh dan terus-menerus berupaya menegakkan nilai-nilai kebhinekaan dan multikulturalisme dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk pembangunan bidang agama. Sebagai sebuah prinsip yang menghargai kemajemukan dan kebhinekaan, multikulturalisme merupakan tulang punggung demokrasi dan masyarakat madani (civil society). Kultur dan struktur sosial yang demokratis tidak akan dapat tumbuh dan bertahan tanpa multikulturalisme.

Masalahnya, multikulturalisme tidak otomatis dapat tumbuh, sekalipun dalam sistem yang dianggap demokratis. Berdasarkan pengalaman Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, dan Selandia Baru, multikulturalisme baru akan tumbuh bila ditunjang, antara lain 9 syarat berikut. Negara tidak boleh berpihak pada kelompok dominan atau mayoritas; Agama harus berfungsi menciptakan solidaritas sosial, bukan perpecahan;  Akses pendidikan yang merata termasuk untuk perempuan dan mereka yang tidak mampu; Kebijakan pemerintah harus berpihak pada nilai keragaman budaya; Adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan; Penegakan hukum yang tegas dan jaminan persamaan di depan hukum; Negara dengan jaring pengaman sosial yang kuat dan redistribusi kekayaan  melalui sistem pajak progresif; Tidak ada kelas bawah yang terpinggirkan menurut garis etnisitas; dan legislasi yang efektif untuk menghukum provokator yang menebar kebencian antaragama, suku, ras dan golongan.

Tentu bukan perkara mudah mewujudkan kondisi ideal tersebut. Namun, setidaknya setiap bangsa memiliki komitmen untuk mendukung terciptanya harmoni sosial sebagai jalan untuk mewujudkan multikulturalisme. Komitmen itu tidak saja melibatkan pemerintah, tetapi juga seluruh komponen masyarakat, termasuk kekuatan-kekuatan civil society. Disinilah arti penting dialog antariman dan budaya yang dilaksanakan secara berkeadilan dan berkeadaban sebagai sarana untuk merevitalisasi komitmen tersebut. Dialog tersebut hendaknya terus menerus dilakukan demi membangun kesepahaman dan saling pengertian antarkelompok masyarakat.

Selain dialog, sudah waktunya semua elemen agama, terutama di lingkungan Islam sebagai kelompok mayoritas, sepakat hanya mengedepankan interpretasi keagamaan yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Mereka mestinya sadar bahwa demi tegaknya Pancasila dan Konstitusi yang menjadi pilar utama demokrasi Indonesia dibutuhkan dukungan kuat dari interpretasi agama. Karena itu, interpretasi agama yang dikembangkan di masyarakat haruslah kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi seperti tercermin dalam Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Dengan ungkapan lain, pembangunan bidang agama melalui Kementerian Agama hendaknya diarahkan pada upaya mengembangkan pola keberagamaan yang humanistik sehingga secara berangsur tercipta kehidupan keagamaan yang humanis, pluralis dan mengedepankan perdamaian. Jika hal ini terwujud, maka umat beragama, khususnya umat Islam di Indonesia tidak lagi berkutat pada aspek-aspek simbolistik dan formalistik agama -yang seringkali menimbulkan kegaduhan dan konflik-, melainkan sepenuhnya berupaya menghadirkan esensi agama yang paling inti, seperti keadilan, kedamaian, kesetaraan, kejujuran dan kebersamaan.

Terakhir, negara semestinya memikirkan bagaimana menggulirkan strategi counter-terrorism yang komprehensif dan mengombinasikannya dengan upaya menata pluralisme dalam kerangka demokrasi yang berkeadaban secara sistematis sebagai solusi mengatasi radikalisme dan terorisme. Semata bertumpu pada respon ad-hoc yang mengutamakan aspek keamanan dan taktik-taktik tambal sulam jelas tidak memadai lagi.    



Selasa, 21 Februari 2017

COPAS TULISAN DR. MUN’IM SIRRI

“Saya sekali lagi ingin menekankan pentingnya dialog dan kerja sama di antara kaum beriman, terutama Kristen dan Muslim.” Itu ucapan Paus Fransiskus yang disampaikan kepada kaum Muslim menjelang perayaan Idul Fitri tahun 2013, hanya beberapa bulan setelah dipilih sebagai pemimpin Gereja Katolik.
Seorang pemangku otoritas tertinggi agama Katolik menyapa umat Muslim dengan sebutan kaum beriman tentu punya makna penting, apalagi dilihat dari sejarah hubungan Muslim-Kristen yang kompleks. Pasca Konsili Vatikan II (1962-1965), sikap Gereja Katolik (dan juga Protestan) terhadap Islam memang mengalami perubahan signifikan.
Dalam dokumen Nostra Aetate, yang merupakan deklarasi hubungan Gereja dengan agama-agama lain, disebutkan secara eksplisit “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasih dan maha kuasa, Pencipta langit dan bumi.”
Pantaskah kita, kaum Muslim, masih terus menyebut umat Kristiani sebagai orang kafir? Saya seringkali mendengar orang-orang bilang, “Ya, nggak apa-apa kita sebut mereka kafir, wong orang Kristen juga sebut kita kafir.”
Bagaimana reaksi mereka setelah tahu bahwa Paus Fransiskus menyebutkan umat Muslim sebagai kaum beriman? Mungkin mereka akan berdalih, soalnya bukan pantas atau tidak pantas, tapi bagaimana agama kita mengajarkan cara bersikap terhadap umat agama lain.
Mari kita diskusikan, walaupun serba singkat, bagaimana sikap Islam terhadap kaum Kristiani dari dua aspek: Apa yang dikatakan Kitab Suci dan apa yang terjadi dalam sejarah.

Siapa Orang Kafir?
Tentu saja kata “kafir” dan berbagai derivasinya muncul banyak sekali dalam al-Qur’an, dan para ulama berdebat tentang identitas siapa orang-orang kafir itu. Almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) sering merujuk pada surat al-Bayyinah ayat 1: “Orang-orang kafir di antara ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (keyakinannya) hingga datang kepada mereka bukti yang nyata.” Ini untuk menunjukkan bahwa ahlul kitab tidak bisa diidentikkan dengan orang-orang kafir.
Menurut Cak Nur, kata “di antara ahlul kitab” mengisyaratkan “hanya sebagian,” bukan seluruh ahlul kitab.
Saya ingin lebih jauh menafsirkan sebuah surat dalam al-Qur’an yang jelas-jelas menggunakan kata itu, yakni surat al-Kafirun. Saya akan ajukan dua model tafsir, yang satu berdasar pada temuan mutakhir atas naskah-naskah al-Qur’an kuno, dan yang kedua pada metode tafsir klasik menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Model tafsir pertama boleh jadi akan memunculkan kontroversi karena dianggap “mengutak-atik” teks al-Qur’an yang sudah diterima luas. Tapi kita harus tahu, kanonisasi teks al-Qur’an menjadi mushaf seperti kita lihat sekarang melalui proses editing yang panjang.
Ortografi teks al-Qur’an awalnya tidak disertai harkat atau diakritik dan bacaan panjang biasanya tidak ditandai dengan alif. Belakangan muncul penelitian serius yang khusus menelisik naskah-naskah al-Qur’an kuno, seperti dilakukan oleh François Déroche, Keith Small, dan Gerd-R Puin.

Sarjana yang disebut terakhir secara lebih khusus meneliti pembubuhan alif ke dalam teks al-Qur’an kuno, dan tafsir saya ini pun didasarkan pada temuannya. Sebenarnya apa yang dilakukan Puin juga bukan skandal. Ulama-ulama Muslim mengakui, sejumlah alif ditambahkan ke dalam al-Qur’an.
Nah, bagaimana kita membaca surat al-Kafirun? Salah satu problem dalam surat ini ialah pesannya yang tidak sinkron. Ayat terakhir “lakum dīnukum wa-liya dīn” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) acapkali dikutip sebagai dalil toleransi dalam al-Qur’an. Padahal, lima ayat sebelumnya bersifat eksklusif karena menafikan Tuhan orang-orang kafir. Bunyi dua ayat pertama, “Wahai orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kalian sembah.”
Untuk menyinkronkan pesan toleransi surat ini, maka kata “tidak”, yakni lā (dengan alif) yang dibaca panjang perlu dibaca pendek sebagai bentuk penegasan. Dalam ilmu tata-bahasa Arab (nahw), ini dikenal dengan lām al-taukīd, yaitu lām yang dibaca pendek, karena alif baru ditambahkan belakangan.
Jika alif dihilangkan dari kata “lā” (tidak), maka surat al-Kafirun dapat diterjemahkan begini:
(1) Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir
(2) sebenarnya aku menyembah apa yang kamu sembah.
(3) Dan kamu juga penyembah apa yang aku sembah.
(4) Dan aku penyembah apa yang kamu sembah.
(5) Dan kamu pun penyembah apa yang aku sembah.
(6) (Kendatipun demikian) untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Itulah toleransi yang sejati: Walaupun kita sebenarnya menyembah Tuhan yang sama, silakan Anda mengimani agama Anda, dan aku mengimani agamaku.
Jika tafsir model ini tidak memuaskan Anda, mari tafsirkan surat al-Kafirun dari perspektif “tafsir al-Quran dengan al-Qur’an.” Logika sederhana surat di atas ialah, bahwa Tuhan orang-orang kafir berbeda dari Tuhannya kaum Muslim. Lalu, apa yang dikatakan al-Qur’an tentang Tuhannya kaum Kristiani?
Memang, al-Qur’an mengkritik beberapa aspek dari keyakinan teologis Kristen, terutama konsep Trinitas dan ketuhanan Yesus. Ini persoalan cukup kompleks yang perlu didiskusikan tersendiri. Namun, kendati mengkritik, al-Qur’an mengafirmasi secara eksplisit bahwa kaum Muslim dan Kristiani percaya dan menyembah Tuhan yang sama.
Kita bisa simak surat al-Ankabut ayat 46 yang memerintahkan pengikut al-Qur’an untuk tidak mendebat ahlul kitab kecuali dengan cara yang baik, dan diperintahkan untuk mengatakan “Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu.” Al-Qur’an juga menegaskan, nama Allah yang disebut di masjid, gereja, synagog atau biara ialah Allah yang sama (Q.22:40).
Dengan demikian, ahlul kitab (termasuk Kristen) tidak bisa dikatakan kafir karena mereka mengimani dan menyembah Tuhan yang sama. Karena itu, surat al-Kafirun tidak terkait dengan umat Kristiani karena yang menjadi audiens surat itu ialah mereka yang menyembahkan Tuhan yang berbeda dari Tuhannya kaum Muslim.
Sebagian mufasir menelusuri asbab al-nuzul surat itu terkait orang-orang musyrik. Walaupun saya skeptik dengan historitas asbab al-nuzul, jika benar itu justeru mendukung tafsir yang tidak mengasosiasikan umat Kristiani dengan kekafiran.

Iklim Polemik
Sejak kapan umat Kristiani disebut kafir? Penyebutan mereka sebagai kafir merupakan produk sejarah, lebih khusus lagi, terkait proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an dalam iklim polemik. Memang sejarah Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah cenderung menggambarkan Islam sebagai agama yang sudah sempurna seperti kita lihat saat ini sejak zaman Nabi. Jadi, sejak awal hanya ada dua kategori: Muslim dan kafir.
Dalam buku Kontroversi Islam Awal, saya sudah jelaskan proses gradual Islam menjadi agama yang kita saksikan sekarang. Sebenarnya proses kristalisasinya berlangsung lebih perlahan dari yang kita asumsikan. Di zaman Nabi dan beberapa dekade setelahnya, pengikut al-Qur’an dan penganut agama lain seperti Yahudi dan Kristen berada di bawah tenda besar, yang disebut kaum beriman. Fred Donner menjelaskan fenomena ini cukup bagus dalam Muhammad dan Umat Beriman (2015).
Ketika perlahan para pengikut al-Qur’an dan Nabi memisahkan diri dari komunitas beriman itu, maka proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an melibatkan eksklusi umat agama lain, termasuk Kristen. Maka, konstruksi dikotomis antara “menjadi Muslim” dan “menjadi kafir” mulai diperkenalkan.
Iklim polemik dari proses pembentukan identitas ke-Muslim-an ini dapat dibaca bukan hanya dari sumber-sumber Muslim, tapi juga non-Muslim. Iklim polemik yang dimaksud di sini ialah situasi di mana beragam agama berupaya menonjolkan superioritas masing-masing, sehingga berkecamuk polemik.
Seorang teolog Kristen awal yang lama bekerja di bawah pemerintahan khilafah Umayyah di Suriah, Yuhanna al-Dimasqi (675-753), menulis deskripsi polemis tentang Islam sebagai agama sempalan dari Kristen. Dia menggambarkan Nabi Muhammad diajari oleh seorang biarawan Kristen, tapi kemudian membentuk agama sempalan (heresy) sendiri.
Bisa kita bayangkan, dalam iklim polemik semacam itu para pengikut Nabi tentu bereaksi dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama wahyu yang dibawa Muhammad untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Nabi tidak diajari penganut agama lain. Justeru mereka yang menolak ajaran Islam adalah orang-orang kafir (infidels). Kategori kafir yang semula hanya dikaitkan dengan kaum musyrik mulai diperluas cakupannya.
Maka, dalam karya-karya ulama belakangan kaum kafir dikelompokkan dalam sedikitnya tiga kategori: musyrik, ahlul kitab dan semi-ahlul kitab. Bahkan, ada yang membedakan antara musyrik Arab dan non-Arab. Masing-masing kategori ini memiliki implikasi hukumnya sendiri. Di sini terlihat betapa pengkategorian ahlul kitab sebagai kafir merupakan produk sejarah, sebuah kebutuhan di tengah proses formasi dan konsolidasi identitas keagamaan untuk membedakan satu sama lain.
Pernyataan polemis seperti dikemukakan tokoh Kristen Juhanna al-Dimasqi sekarang tidak lagi menjadi kebijakan Gereja. Sejak Vatikan II semangat ekuminisme mewarnai hubungan Muslim-Kristen seperti terlihat dalam pesan Idul Fitri Paus Fransiskus. Dalam Lumen Gentium, konstitusi dogma gereja yang juga dihasilkan Konsili Vatikan, disebutkan “Rencana Tuhan untuk keselamatan juga meliputi mereka yang mengakui sang Pencipta, terutama kaum Muslim.”
Kini saatnya umat Muslim juga melakukan refleksi teologis serius bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan sesama kaum beriman, terutama umat Kristiani.


http://geotimes.co.id/umat-kristiani-itu-kaum-beriman-bukan-kafir/#gs.9jqnBRE

Minggu, 19 Februari 2017

Tulisan

COPAS Tulisan mencerahkan, bacanya tanpa emosi ya.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim"

Ayat di atas sedang populer sekarang. Ayat itu selalu populer menjelang pemilu. Dalam hal pilkada DKI yang salah satu calon kuatnya adalah Nasrani, ayat ini menjadi semakin kuat bergema. Tapi apakah ayat ini soal pemilu? Apakah ini ayat soal pemilihan gubernur? Menurut saya bukan.

Sejarah Islam tidak pernah mengenal adanya pemilihan umum. Juga tak pernah ada pemilihan gubernur atau kepala daerah. Satu-satunya pemilihan yang pernah terjadi adalah pemilihan khalifah. Itu pun hanya 5 kali, dan hanya melibatkan sekelompok orang yang tinggal di Madinah. Gubernur khususnya adalah pejabat yang ditunjuk oleh khalifah. Tidak pernah dipilih.

Jadi ayat ini tentang apa? Wali atau awliya itu soal pemimpin wilayah atau daerahkah? Bukan. Bagaimana mungkin ada ayat yang mengatur tentang pemilihan pemimpin, padahal pemilihan itu tidak pernah terjadi?

Jadi, apa yang dimaksud? Apa makna wali atau awliya?

Wali artinya pelindung, atau sekutu. Ketika Nabi ditekan di Mekah, beliau menyuruh kaum Muslimin hijrah ke Habasyah (Ethopia). Rajanya yang seorang Nasrani, menerima orang-orang yang hijrah itu, melindungi mereka dari kejaran Quraisy Mekah. Inilah yang disebut wali, orang yang melindungi.

Kejadian ini direkam dalam surat Al-Maidah juga, ayat 81. Adapun ayat 51 yang melarang orang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pelindung itu adalah soal persekutuan dalam perang. Tidak ada sama sekali kaitannya dengan pemilihan pemimpin. Ini sudah pernah saya bahas, dan dibahas banyak orang.

Pagi ini, bangun tidur saya menyaksikan berita pilu. Orang-orang Arab dari Syiria dan Irak masih terus mengungsi. Ke mana? Ke Eropa. Siapa orang-orang Eropa itu? Muslimkah mereka? Sebagian besar bukan. Kebanyakan dari mereka, orang-orang Eropa itu, adalah Nasrani, atau ateis (musyrik). Tapi kini mereka menjadi pelindung bagi orang-orang Muslim, persis seperti ketika kaum Muslim hijrah ke Habasyah.

Jadi, cobalah orang-orang yang rajin melafalkan ayat Al-Maidah 51 itu berkhotbah kepada para pengungsi itu. Katakan kepada mereka bahwa meminta perlindungan kepada Nasrani, menjadikan mereka wali atau awliya itu haram hukumnya. Bisakah?

Ironisnya, dari siapa mereka lari? Dari kaum kafir? Bukan. Mereka lari karena ditindas oleh pemimpin-pemimpin mereka sendiri, kaum Muslim. Kaum Muslim yang berebut kekuasaan. Utamanya Sunni melawan Syiah.

Tahukah Anda bahwa bibit konflik Sunni-Syiah itu sudah terbentuk sejak Rasul wafat? Ketika orang-orang mulai kasak kusuk untuk mencari siapa yang akan jadi khalifah, padahal jenazah Rasul belum lagi diurus. Permusuhan itu abadi, mengalirkan darah jutaan kaum Muslimin sepanjang sejarah ribuan tahun, kekal hingga kini.

Tidakkah kita sebagai kaum Muslim malu ketika saudara-saudara kita dizalimi oleh saudara kita yang lain, mereka meminta perlindungan kepada kaum Nasrani dan kafir? Tapi pada saat yang sama mulut kita fasih mengucap ayat-ayat yang memusuhi orang-orang Nasrani, memelihara permusuhan kepada mereka.

Ingatlah, musuh abadi kita sebenarnya bukan Yahudi dan Nasrani, melainkan rasa permusuhan itu sendiri. Rasa permusuhan itulah yang telah mengalirkan banyak darah kaum Muslimin, mengalir menjadi kubangan darah sesama saudara. Sesama saudara pun bisa saling berbunuhan kalau ada permusuhan di antara mereka. Kenapa mereka berbunuhan? Politik. Perebutan kekuasaan.

Itulah yang sedang dilakukan banyak orang dengan Al-Maidah ayat 51. Berebut kekuasaan politik dengan mengobarkan permusuhan. Mereka sedang mengabadikan kebodohan yang sudah berlangsung 15 abad. Anda mau menjadi bagian dari kebodohan itu? Saya tidak. Karena saya tidak mau menjadi pengungsi seperti orang2 Irak dan Syiria itu.

(Hasanudin Abdurakhman)

Sabtu, 04 Februari 2017

RESENSI BUKU MEMBANGUN SURGA DIBUMI


Membangun Surga di Bumi

Rumahku, surgaku, begitulah sabda Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis. Membangun surga di bumi berarti membangun keluarga yang kukuh, harmonis, tenteram lahir-batin (sakinah), dan penuh dengan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Keluarga bisa menjadi surga di bumi. Tapi tak jarang dapat menjadi neraka bagi individu-individu di dalamnya.

Baik-buruk seseorang banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama kita mengeja kata, mengenal hidup, dan belajar tentang moral, tentang kemanusiaan kita. Keluarga yang tak harmonis, tak menghargai kesetaraan serta persamaan hak, dan penuh konflik bukan hanya merusak tatanan rumah tangga, tapi juga akan berpengaruh pada kehidupan sosial suami (ayah), istri (ibu) maupun anak-anaknya. Apapun yang terjadi dalam kehidupan keluarga, kita akan merasakan sendiri dampaknya baik langsung maupun tidak langsung. Buku ini berisi jawaban terhadap berbagai problematika hukum Islam terkait dengan pernikahan dan keluarga.

Uraian dimulai dengan dasar ajaran Islam mengenai perkawinan dan kehidupan keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan definisi ulama mengenai nikah dan lima prinsip dasar pernikahan, serta cara menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga. Selanjutnya tentang kepemimpinan dalam rumah tangga dan pembahasan berbagai hak dan tatacara mendidik anak.

Bu Musdah juga menguraikan berbagai isu aktual yang sensitif dan kontroversial bahkan dianggap tabu, seperti nikah beda agama (nikah campur), nikah bawah tanggan (siri), poligami, hak seksual kaum gay dan lesbi, dan hak reproduksi perempuan. Pembahasan diakhiri dengan berbagai dinamika dan praktik pembaruan hukum keluarga di beberapa negara mayoritas Muslim, Tunisia, Turki, Syria, Mesir, Yordania, dan Irak. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai relevansi Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan upaya pembaruan hukum keluarga di negeri ini.


Sumber: bookoopedia.com