Bulan
Nopember setiap tahun diperingati sebagai bulan penghapusan kekerasan, termasuk
kekerasan terhadap perempuan yang akhir-akhir ini semakin merebak. Dalam
ilmu-ilmu sosial istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku yang
bersifat menyerang (offensive) atau
bertahan (deffensive) yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang bersifat terbuka (overt) atau tertutup (covert).
Khusus
mengenai KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dapat dibagi ke dalam empat jenis,
yaitu: Pertama, kekerasan terbuka, yakni kekerasan yang kasat mata atau dapat
dilihat dengan mata kepala, seperti suami memukul istri. Kedua, kekerasan
tertutup atau kekerasan tersembunyi, yakni perilaku kekerasan yang tidak nampak
secara kasat mata, tapi berpengaruh langsung pada pihak korban, misalnya
berbagai bentuk ancaman, intimidasi, stigma, prejudice. Tiga, kekerasan
agresif, kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu yang memuaskan
keinginan, seperti penjambakan agar korban menuruti keinginannya. Keempat, kekerasan
defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri yang
berlebihan, misalnya merendah-rendahkan istri di depan orang lain dengan maksud
menaikkan harga dirinya. Jenis kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat
terbuka dan bisa tertutup.
Kekerasan
dalam rumah tangga biasanya merupakan bagian dari kekerasan budaya, yaitu ketika simbol-simbol budaya,
termasuk agama dijadikan justifikasi
untuk membenarkan suatu tindakan. Tidak jarang ayat-ayat kitab suci
dengan pemahaman yang bias jender dan bias nilai-nilai patriarkal dijadikan
dalih untuk membenarkan perilaku kekerasan. Misalnya, pemukulan isteri oleh suami
dengan dalih untuk mendidik agar menjadi wanita salehah (taat).
Kekerasan
dalam rumah tangga juga bisa menjadi bagian dari kekerasan struktural, dengan
mengacu pada teori Galtung (2002:187), bahwa tindak kekerasan struktural dapat dilihat dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Eksploitasi, yakni kekerasan yang memperoleh penguatan dari berbagai
peraturan perundang-undangan; 2) Penetrasi, yakni kekerasan yang memberi peluang
kepada laki-laki sehingga lebih leluasa berbicara; 3) Segmentasi, yakni kekerasan karena ada peluang
untuk memandang perempuan secara parsial; 4) Marginalisasi, yakni kekerasan
yang menjaga peran agar perempuan tetap berada di luar; 5) Fragmentasi, yakni
kekerasan untuk tetap menjaga jarak, agar perempuan berada jauh darinya
(laki-laki).
Kekerasan
pada intinya adalah melakukan suatu tindakan atau serangan pada seseorang
secara fisik, maupun mental yang berakibat penderitaan berkepanjangan pada
korban. Keadaan yang mempengaruhi tindak kekerasan ini biasanya karena hubungan
yang tidak harmonis antara suami dan istri, atau ketidakseimbangan pola
hubungan antara yang kuat dan yang lemah. Salah satu pihak merasa dirinya lebih
kuat, semata-mata karena faktor fisik. Tetapi juga karena faktor non-fisik,
misalnya merasa lebih berpendidikan, lebih tinggi penghasilannya, lebih tinggi
nasab keturunannya, dan sebagainya. Mereka yang lebih kuat menganiaya yang lemah,
baik disadari maupun tidak.
Salah
satu bentuk kekerasan yang jarang disadari oleh kebanyakan pertempuan adalah
kekerasan seksual dalam perkawinan atau lebih spesifik lagi kekerasan dalam
hubungan seksual. Kekerasan jenis ini biasanya terjadi dengan pemaksaan
kehendak oleh pihak suami tanpa memperdulikan keadaan istri yang mungkin dalam
kondisi lemah, baik fisik maupun non-fisik. Hal ini sering tidak dianggap
sebagai kekerasan atau kejahatan karena umumnya masyarakat memandang seorang
istri sudah seharusnya taat dan tunduk pada suami. Dengan demikian, sangatlah
sulit untuk membuktikan adanya tindak kekerasan itu, kecuali jika ada bekas
luka berdasar penelitian medis. Tidak jarang, ketika misalnya si istri
mengadukan masalah ini kepada polisi, pemuka masyarakat atau lainnya yang
dianggap akan melindungi, maka pihak isteri justru disalahkan. Reaksi yang
muncul justru sering berbalik, umumnya masyarakat menyalahkan istri.
Bentuk
kekerasan lainnya adalah pelecehan seksual. Contohnya, pelecehan seksual yang
dilakukan oleh seorang pimpinan terhadap karyawan atau majikan kepada
pembantunya. Hal ini kerap terjadi dan juga sulit penyelesaiannya karena
hubungannya adalah antara atasan dan bawahan, antara majikan dan pembantu. Para
atasan ini menggunakan seks sebagai alat kontrol perempuan. Jika ia menolak,
akibatnya bisa beragam: mulai dari penurunan kedudukan, penahanan gaji sampai
pemecatan.
Bentuk
lain lagi adalah pelacuran dan perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking
in women and children). Banyak perempuan menjadi pelacur karena dipaksa
oleh orang tua atau suami. Di antara penyebabnya adalah karena himpitan
ekonomi. Dalam perdagangan perempuan, biasanya si perempuan korban tidak
mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Lebih menyedihkannya lagi, sekarang
mereka masuk ke dalam jaringan perdagangan perempuan dimana kemungkinan untuk
lepas sangatlah kecil.
Selama
masyarakat kita masih terbelenggu oleh budaya patriarki yang memandang
perempuan sebagai makhluk kelas dua maka selama itu pula kekerasan akan terus
beranjut. Ideologi patriarki adalah keyakinan yang mempercayai bahwa laki-laki
dan perempuan secara sosial berbeda peran dan fungsinya. Mereka juga dibedakan
dalam sifat dan karakternya. Keyakinan ini adalah hasil bentukan masyarakat
(konstruksi sosial). Budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai pihak yang
dominan terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk
mengontrol, memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas,
dan sering kali juga hanya untuk menunjukan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.
Fatalnya,
ideologi tersebut mempercayai bahwa: “Perempuan
lebih lemah, takluk, emosional, tidak mandiri, dan sebagainya. Sementara
laki-laki dianggap kuat, berkuasa, berfikir rasional, dan mandiri”. Atas
dasar keyakinan ini pulalah, maka kekerasan terhadap perempuan terjadi dan
fatalnya hal itu dianggap wajar dan lumrah.
Tidak
banyak yang tahu bahwa kekerasan terhadap perempuan, khususnya isteri membawa
dampak yang sangat buruk dalam kehidupan perempuan dan hal itu memengaruhi
kehidupan keluarga dan anak-anak yang dibesarkan di dalamnya. Di antara akibat
buruk dari kekerasan terhadap istri adalah: isteri mengalami sakit kronis
berkepanjangan karena stress, seperti sakit kepala, migrain, asma, sakit perut,
sakit dada. Isteri menderita kecemasan, depresi, atau sakit jiwa akut.
Selan
itu, isteri berpeluang untuk bunuh diri atau membunuh anaknya (anak yang
diakibatkan oleh perkosaan). Tidak sedikit isteri yang sedang hamil mengalami keguguran
akibat perlakuan kekerasan. Bagi isteri yang sedang menyusui, seringkali ASI
terhenti karena tekanan jiwa. Hal lain yang sering terjadi akibat perlakuan
kekerasan adalah isteri kemungkinan bertindak kejam kepada orang lain sebagai
pelarian atau kompensasi dari penderitaannya.
Perlu juga diketahui, umumnya sosok
pelaku kekerasan mengidap berbagai problem, di antaranya mengalami kepercayaan
diri rendah; kurang bisa berkomunikasi dengan orang lain; sulit mempercayai
orang lain; selalu merasa tidak aman; sangat egois; mengalami kekerasan dan perlakuan
negative ketika masa kanak-kanak. Selain itu, pelaku biasanya mencintai orang
lain secara berlebihan ketika lagi cocok, dan membenci secara berlebihan
apabila sedang tidak cocok.
Sejumlah
penelitian mengungkapkan secara spesifik berbagai faktor penyebab
kekerasan sebagai berikut: Pertama, fakta
bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Suatu
pandangan lazim di masyarakat, bahwa lelaki itu berkuasa atas perempuan. Kedua,
anak laki-laki sejak kecil lebih
dibanggakan daripada anak peempuan. Ia dipandang lebih kuat dan berani. Ketiga,
budaya patriarki yang memengaruhi masyarakat kita mendorong agar perempuan
bergantung pada laki-laki; istri bergantung pada suami.
Keempat,
konflik dan kekerasan dalam rumah tangga sering dipandang sebagai masalah
intern keluarga, dan orang lain tidak perlu ikut campur. Itulah sebabnya, dalam
pertemuan HAM internasional di Copenhagen dirumuskan satu statement yang amat
terkenal: the personal is political. Artinya, persoalan keluarga pun
harus dibawa ke publik kalau hal itu sudah mengganggu atau membahayakan
keselamatan orang lain.
Untuk
dapat memahami persoalan kekerasan terhadap perempuan, seseorang harus terlebih
dahulu memiliki kepekaan dan komitmen terhadap pentingnya penegakan dan
perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan. Tanpa itu,
persoalan kekerasan terhadap perempuan, khususnya yang berlangsung di ranah
domestik, hanya akan dilihat sebagai persoalan privat yang sepele yang tidak
perlu dibicarakan.
Selain
harus punya komitmen penegakan hukum dan hak asasi, seseorang juga harus
memiliki perspektif keadilan gender untuk dapat memahami persoalan ini. Sebab,
KTP berakar di dalam relasi atau hubungan yang timpang atau tidak seimbang
antara perempuan dan laki-laki, yang sifatnya menyejarah. Ketimpangan relasi
laki-laki dan perempuan kemudian mewujud menjadi dominasi oleh kaum laki-laki,
serta diskriminasi terhadap perempuan. Inilah yang disebut dengan ketimpangan
gender yang merupakan akar kekerasan.
Konferensi
Dunia tentang Hak Asasasi Manusia di Wina, Juni 1993 menegaskan perlunya
perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan. Konferensi itu
menghasilkan satu statemen yang sangat kuat: “hak asasi perempuan adalah bagian
integral dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang sifatnya universal”.
Dengan
demikian, pernyataan tersebut juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kegiatan-kegiatan HAM PBB. Salah satu deklarasi Konferensi Wina 1993
mencantumkan dalam program aksinya bahwa: Kekerasan berbasis gender dan segala
bentuk penyerangan maupun eksploitasi seksual, termasuk yang merupakan hasil
olahan prasangka budaya, adalah
pelanggaran terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan, dan oleh karenanya harus dihapuskan. Mulai sekarang,
katakan TIDAK pada kekerasan!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar