Selasa, 19 Desember 2017

ISLAM DAN DEMOKRASI



Demokrasi

Prinsip utama demokrasi adalah persamaan (equality), sebuah penegasan bahwa semua orang adalah sama. Bentuk diskriminasi apapun yang didasarkan pada ras, jenis kelamin, gender, agama, dan keturunan pada dasarnya tidak sah.

Semua orang dianugerahi hak-hak asasi (human rights) yang tidak bisa dicabut oleh siapapun. Untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintah mendapatkan legitimasinya berdasarkan persetujuan rakyat yang diperintah.


Karakteristik utama sistem demokratis:

Pertama, kebebasan berbicara (freedom of speech): semua warga negara: laki-laki dan perempuan, dapat menyatakan opini dan pendapat mereka secara terbuka mengenai persoalan-persoalan publik tanpa dihantui rasa takut, baik pendapat yang berupa kritik maupun dukungan terhadap pemerintah. Dalam sistem yang demokratis, adalah penting bagi para pejabat pemerintah untuk mengetahui bagaimana pendapat rakyat tentang kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dan keputusan-keputusan yang buat.

Kedua, sistem pemilihan yang bebas (free elections), di mana rakyat secara teratur, menurut prosedur-prosedur konstitusional yang benar, memilih orang-orang yang mereka percayai untuk menangani urusan-urusan pemerintah. Sistem pemilihan itu ada pada semua tingkat perwakilan, dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa.

Ketiga,  pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas (majoriti rule) dan hak-hak minoritas (minority rights): Dalam sistem yang demokratis, keputusan-keputusan yang dibuat oleh mayoritas didasarkan pada keyakinan umum bahwa keputusan mayoritas lebih memungkinkan untuk benar daripada keputusan minoritas. Akan tetapi, keputusan mayoritas tidak juga berarti memberikan kebebasan pada mereka untuk bertindak sesuka hati. Yang melekat dalam prinsip yang demokratis adalah komitmen bahwa hak-hak warga negara yang fundamental  tidak boleh dilanggar, misalnya, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan kebebasan untuk beribadah.

Keempat, partai-partai politik dalam sistem yang demokratis memainkan peranan penting. Dengan partai politik, sebagai alat, rakyat dengan bebas berserikat menurut dasar keyakinan mereka tentang bagaimana caranya meraih penghidupan yang layak bagi diri, keluarga, dan keturunan mereka sendiri.

Kelima, terdapat pemisah yang jelas antara fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan pemisahan ini, proses chek dan balance di antara ketiga lembaga pemerintah tersebut akan mampu mencegah terjadinya praktik-praktik eksploitatif yang potensial.

Keenam, dipastikan bahwa otoritas konstitusional (contitutional authority) adalah otoritas tertinggi bagi validitas setiap undang-undang dan aturan pelaksanaan apa pun. Otoritas konstitusional berarti supremasi aturan hukum (rule of law), bukan aturan-aturan individual, dalam setiap upaya pemecahan berbagai masalah publik.

Ketujuh, kebebasan berbuat (freedom of action) bagi setiap individu ataupun kelompok, asal saja tidak melanggar kepentingan umum. Dari sini, lahirlah kebebasan bagi pemilikan pribadi, kebebasan untuk bekerja, kebebasan untuk meraih tujuan-tujuan personal, dan kebebasan untuk membentuk berbagai perserikatan dan badan hukum.

Kedelapan, fakta sejarah mengungkapkan bahwa tidak ada sistem demokrasi yang sekali jadi, melainkan tumbuh bertahap dan berproses menuju kesempurnaan. Pengalaman demokrasi Amerika, misalnya mengalami perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu.

Pengalaman berdemokrasi negara Amerika Serikat melahirkan beragam bentuk yang diperbaharui dari masa ke masa sampai kepada bentuknya yang sekarang. Artinya, demokrasi tidak mengenal kata final, melainka sebuah proses yang terus mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakatnya.

Sebagai contoh demokrasi Amerika mengalami paling tidak empat fase sebagai berikut. Pertama, tahun 1776 melahirkan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) yang sudah secara tegas menekankan prinsip persamaan (principle of equality). Kedua, tahun 1850 muncul aturan menjamin hak pilih bagi orang-orang yang merdeka (bukan budak) atas dasar persamaan (equal basis). Ketiga, tahun 1870 lahir amandemen konstitusi ke-15 yang menjelaskan bahwa kaum laki-laki kulit hitam dibolehkan ikut dalam pemilihan umum. Keempat, tahun 1920: dibuat amandemen konstitusi ke-19 yang memberikan hak pilih kepada kaum perempuan, baik yang merdeka maupun budak. Kesimpulannya, negara Amerika yang dianggap sebagai sebuah contoh ideal bagi sistem demokratis, ternyata tidak muncul sekaligus, melainkan tumbuh secara bertahap.

Prinsip demokrasi, meskipun secara teoretik dikenal sebagai sebuah prinsip kemanusiaan yang universal sejak zaman kuno, namun dalam perakteknya selalu menuntut pemenuhan dan pelaksanaan  yang lebih baik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bisa membedakan antara prinsip demokrasi dan upaya-upaya untuk merealisasikan demokrasi dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Dalam konteks ini, tidak ada satu pun contoh masyarakat yang bisa kita sebut sebagai sebuah masyarakat demokratis yang ideal. Boleh jadi, sebuah negara atau sebuah masyarakat kini berada dalam kondisi yang sangat maju dalam pelaksanaan demokrasinya, namun hal tersebut bukanlah sebuah jaminan bahwa negara atau masyarakat tersebut akan langgeng dalam kondisi demikian.

Di pihak lain, kita harus melakukan pembedaan antara masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan upaya pemenuhannya dan masyarakat yang aturan pemerintahannya menolak prinsip demokrasi, melaksanakan pemerintahan otokratis, dan menolak prinsip persamaan sebagai sebuah perintah moral.

Membandingkan Demokrasi dan Syura

Islam tidak berbicara tentang segala sesuatu secara detail. Ayat-ayat yang dikandung Al-Qur’an hanya memberikan panduan moral, etika dan nilai-nilai kehidupan  secara global. Itulah sebabnya, Islam sangat menekankan penggunaan akal melalui proses ijtihad. Demikian pula halnya dengan demokrasi, Al-Qur’an hanya memberikan nilai-nilai moral yang dapat digunakan sebagai panduan umum untuk menjalankan sistem demokrasi, bukan konsep yang detail.

Meskipun berupa nilai-nilai atau wawasan yang bersifat umum namun prinsip-prinsip tersebut dinyatakan secara tegas dan bahkan ada yang berulang-ulang. Dalam hal ini ada beberapa prinsip yang digariskan secara tegas seperti prinsip keadilan (al-‘adl), prinsip persamaan (al-Musawah), prinsip kebebasan (al-hurriyyah), prinsip musyawarah atau negosiasi (al-syura).

Al-Qur’an menyebut syura sebagai sebuah prinsip yang mengatur kehidupan masyarakat atau orang-orang mukmin. Sebagai sebuah konsep dan sekaligus juga prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi.

Prinsip Dasar Demokrasi dan Syura

Paling tidak, terdapat lima prinsip yang menyamakan demokrasi dan Syura. Pertama, bahwa pertimbangan kolektif (collective deliberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Kedua, bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Meski tidak berarti pertimbangan minoritas harus diabaikan. Dalam demokrasi, kelompok minoritas justru harus dilindungi keberadaannya, demikian pula dalam syura. Suara minoritas perlu dpertimbangkan. Ketiga, bahwa semua orang memiliki hak dan tanggungjawab yang sama. Keempat,  bahwa aturan masyarakat dilakukan melalui penerapan hukum,  bukan melalui aturan individual atau keluarga dengan keputusan yang otokratis. Kelima, bahwa pemenuhan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang lebih komprehensif yang mewujudkan kemanusiaan dengan baik, tidak dapat dicapai dalam sebuah lingkungan yang tidak demokratis.

Semakin konstitusional dan institusional sebuah sistem memenuhi kelima prinsip syura atau prinsip demokrasi tersebut, maka akan terlihat semakin Islamilah sistem tersebut. Setiap negara atau bangsa yang lahir dari peradaban Islam diperintahkan supaya melaksanakan syura. Artinya, diperintahkan untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan martabat kemanusiaan, nilai-nilai yang menopang dan memperkuat pengalaman kemanusiaan. Bangsa-bangsa tersebut sebenarnya juga memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan demokrasi jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya.

Demokrasi dan syura dalam konsep dan prinsipnya sama, bedanya hanya terlihat dalam rincian penerapan keduanya yang disesuaikan dengan adat kebiasaan lokal.

Kesamaan itu terlihat pada beberapa kondisi berikut. Pertama, menolak pemerintahan apa pun yang mengurangi legitimasi pemilihan yang bebas, pertanggungjawaban, dan kekuasaan atau kekuatan rakyat. Kedua, menolak pemerintahan yang tidak melalui proses yang konstitusional. Ketiga, menolak aturan pemerintahan turun-temurun (hereditary rule). Karena kebijaksanaan dan kompetensi tidak pernah menjadi monopoli satu individu atau keluarga tertentu. Keempat, menolak pemerintahan dengan kekuatan paksaan, sebab pemerintahan apa pun yang ditopang oleh pemaksaan adalah tidak sah. Kelima, menolak keistimewaan-keistimewaan politik, sosial, ekonomi, yang ditetapkan menurut dasar kesukuan dan gengsi sosial. Keenam, menolak pemerintahan militer. Pembuatan undang-undang berdasarkan inkonstitusional dan pemaksaan (illegitimate) dan kekerasan. Ketujuh, menolak hak-hak istimewa bidang politik, sosial, ekonomi yang mengklaim dasar-dasar keturunan suku dan wibawa masyarakat.

Kesimpulannya, syura dan demokrasi adalah serupa dan secara esensial merupakan konsep yang sama. Keduanya mendorong kita untuk mendapatkan lebih dari upaya merealisasikan prinsip-prinsip kemerdekaan, kesamaan, dan martabat manusia dalam perjalanan sosial-politik kolektif.


Kerja Advokasi Bagi Upaya Penegakan Demokrasi




Penegakan Demokrasi melalui Peningkatan Kualitas Hidup Anak
Bagi saya, demokrasi bukan hanya sekedar pemahaman nilai atau sebuah paradigma berpikir, tapi lebih dari itu harus diwujudkan dalam kerja-kerja nyata di masyarakat. Seperti diketahui bahwa pilar penting demokrasi adalah penegakan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok rentan, minoritas dan tertindas.
Aktivitas saya dalam upaya penegakan demokrasi dimulai dengan kerja-kerja advokasi dalam isu anak. Hal itu mulai tahun 1985, sejak aktif di Fatayat NU, sebuah organisasi perempuan muda di lingkungan Nahdlatul Ulama yang memiliki basis anggota di tingkat akar rumput.
Ketika saya memimpin Fatayat NU Sulawesi Selatan organisasi ini menekuni program PKHA (Program Kelangsungan Hidup Anak) bekerjasama dengan badan dunia, UNICEF. Tujuan utama program adalah memberikan advokasi kepada masyarakat, khususnya jamaah NU yang berada di level grass root tentang pentingnya kesehatan ibu dan anak. Isu ini merambat ke berbagai masalah lain seperti isu sanitasi lingkungan dan pentingnya mengolah gizi yang sehat bagi pertumbuhan anak balita, serta pentingnya imunisasi bagi anak-anak dan program KB bagi pasangan usia subur.
Fakta di lapangan menjelaskan, berbicara soal kelangsungan hidup anak selalu terkait dengan soal gizi, sanitasi lingkungan, akses air bersih, program KB, jumlah pendapatan ekonomi keluarga, masalah pendidikan yang rendah dan nilai-nilai budaya yang menempatkan ibu hanya sebagai konco wingking dan berfungsi sebagai “mesin produksi“, serta juga pandangan agama yang masih sangat bias gender. Tidak mudah meyakinkan masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan anak dan perlunya KB.
 Masyarakat telah memiliki nilai-nilai dan tradisi sendiri yang seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan, seperti minum air yang tidak dimasak terlebih dahulu, memberikan makanan yang dikunyah terlebih dahulu oleh orang tua kepada anak balita seperti kebiasaan masyarakat NTB. Selain itu, pola makan dalam keluarga yang mengutamakan ayah, sisanya baru diberikan kepada anak-anak, terakhir baru bagian isteri. Tambahan lagi, kemiskinan dan kebodohan masyarakat membuat mereka tidak memiliki akses pada air bersih dan makanan dengan gizi seimbang. Pandangan keagamaan juga mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut program KB.
Untuk menyukseskan program PKHA tersebut kami berjejaring dengan tokoh-tokoh masyarakat dan para pemuka agama di pedesaan. Kami juga memilih pendekatan advokasi dengan menggunakan bahasa agama. Sebab, pendekatan ini dianggap mampu meluluhkan tradisi dan kepercayaan agama yang tidak kondusif.
Demi meningkatkan income masyarakat, kami memperkenalkan program income generating dalam bentuk pemberian modal bergulir kepada keluarga miskin. Dengan modal tersebut diharapkan para ibu dapat menambah penghasilan keluarga sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kesehatan bagi keluarganya. Namun, yang paling penting adalah meyakinkan para orang tua (ayah dan ibu) bahwa anak adalah amanah Tuhan yang harus dipelihara sedemikian rupa dan dijaga kelangsungan hidupnya. Anak memiliki sejumlah hak yang harus dipenuhi oleh orang tua. Karena tanggung jawab terhadap anak sangat berat maka setiap keluarga harus merencanakan kehidupan keluarga sedemikian rupa, antara lain melalui program KB (Keluarga Berencana).

Penegakan Demokrasi melalui Penguatan Hak Asasi Perempuan
Bentuk lain dari upaya penegakan demokrasi yang saya tekuni adalah kerja advokasi penguatan hak-hak asasi manusia, khususnya perempuan. Kerja-kerja ini sangat terkait dengan PKHA. Saya menyimpulkan bahwa upaya menjaga kelangsungan hidup anak dalam keluarga harus dimulai dari penguatan hak-hak asasi perempuan.
Bagaimana perempuan akan melaksanakan tugasnya dengan baik dalam kapasitasnya sebagai isteri, ibu, dan anggota masyarakat kalau dia sendiri tidak menyadari hak-hak asasinya sebagai manusia merdeka dan juga sebagai warga negara penuh serta potensi-potensi yang tersimpan dibalik hak-hak tersebut. Sementara, realitas sosiologis di lingkungan masyarakat Muslim menjelaskan secara nyata betapa perempuan masih mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Ironisnya, hampir semua perlakuan destruktif dan diskriminatif itu dibenarkan dengan alasan agama.
Buktinya sangat kasat mata. Masyarakat sering menyalahgunakan tafsir agama untuk kepentingan kekuasaan patriarki. Misalnya, atas nama agama, perempuan diperlakukan semena-mena, tidak diakui sebagai manusia utuh sehingga mereka tidak berhak merepresentasikani dirinya sendiri dalam akad nikah. Pernikahan yang terjadi di masyarakat sesungguhnya adalah pernikahan antara dua laki-laki: ayah (wali) calon mempelai perempuan dan laki-laki calon suami. Bahkan, dalam beberapa kasus di pesantren, puteri kyai dinikahkan secara paksa, atau dinikahkan tanpa sepengetahuannya. Perempuan juga tidak berhak menjadi wali dan saksi dalam perkawinan, meski terhadap anak kandung yang dibesarkan sendirian dengan penuh duka lara.
Atas nama agama, perempuan dilarang berkiprah di dunia politik dan juga dilarang menjadi pemimpin karena jika terpilih menjadi kepala negara dikhawatirkan akan membawa bencana dalam kehidupan bangsa. Bahkan, di lingkup rumah tangga saja perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Sebab, kepemimpinan dalam keluarga adalah hak monopoli laki-laki.
Atas dalih agama, perempuan dipandang makhluk kotor sehingga harus dienyahkan dari rumah ibadah ketika menstruasi, dan sama sekali tidak diberikan akses untuk memimpin ritual agama. Atas nama agama, perempuan dipojokkan sebagai makhluk domestik, hanya berkutat seputar sumur, kasur dan dapur. Atas nama agama, perempuan dijauhkan dari peluang mendapatkan pendidikan tinggi, meniti karir dan beraktivitas secara profesional di ruang publik karena perempuan dianggap kurang akal dan lemah agamanya.
Atas nama agama, perempuan harus menjadi isteri yang taat pada suami dengan memuaskan birahi mereka kapan saja dibutuhkan; perempuan harus rela jika suami berpoligami karena kerelaannya itu menjadi pintu menuju sorga; perempuan harus menjadi ibu yang sabar merawat anak-anaknya; dan perempuan harus selalu menjaga nama baik diri dan keluarganya, serta menjadi penyangga moral demi kebaikan seluruh masyarakat.
Atas nama agama, perempuan selalu diposisikan sebagai obyek hukum dalam seluruh peraturan perundang-undangan, khususnya berkaitan dengan hukum keluarga. Atas nama agama, perempuan dipandang sebagai makhluk setengah laki-laki sehingga mendapatkan bagian warisan hanya setengah dari jumlah yang diterima laki-laki; jumlah kambing untuk akikah anak perempuan setengah dari jumlah kambing untuk anak  laki-laki; persaksian dua perempuan dinilai setara dengan persaksian satu laki-laki dan seterusnya; dan mahar selalu dimaknai sebagai harga tubuh perempuan.
Menurut saya semua bentuk perlakuan diskriminatif ini adalah bentuk pemahaman ajaran agama yang tidak holistik dan sangat terikat pada tafsir atau interpretasi tradisional. Mungkin tafsir tradisional tersebut cocok bagi masyarakat pada abad-abad pertengahan, dimana perempuan ketika itu masih terbatas kiprahnya di arena domestik, belum berkiprah di dunia publik seperti terlihat sekarang. Dengan meningkatnya peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan serta akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan dinamika masyarakat, perilaku Jahiliyyah yang merendahkan perempuan harus diakhiri.
Saya pikir, pemahaman agama yang menyudutkan perempuan tidak beranjak sepenuhnya pada praktek kehidupan yang dicontohkan Rasulullah saw. Dijumpai banyak hadis yang menjelaskan betapa Rasulullah saw sangat menghormati keberadaan perempuan, bahkan kehadirannya sebagai utusan Allah adalah membawa perubahan dan perbaikan besar bagi kehidupan perempuan. Di antaranya, melepaskan perempuan dari semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan seperti terjadi sebelumnya di zaman Jahiliyyah.
Rasulullah telah memberikan teladan yang indah bagaimana membangun relasi yang setara dan sederajat dengan perempuan atau isteri. Hal itu terlihat nyata bagaimana beliau memposisikan isterinya Khadijah sebagai mitra sejajar yang dihormati dan dikasihi, teman diskusi dan bertukar pendapat, tempat mencurahkan perasaan sedih dan gembira, dan menjadikannya sebagai sahabat dalam suka dan duka. Beliau juga memperlakukan anak-anak perempuannya dengan penuh hormat dan kasih sayang serta membawanya ke berbagai arena publik, perlakuan beliau itu sangat berbeda dengan tradisi Jahiliyah yang memandang anak perempuan sebagai aib yang harus dijauhkan dari ruang publik.
Saya sungguh menyadari, melakukan kerja-kerja advokasi untuk penguatan hak-hak asasi perempuan pasti menghadapi tantangan yang sangat besar dari masyarakat. Sebabnya antara lain, masyarakat cenderung sulit berubah, khususnya jika terkait budaya, tradisi dan penafsiran agama. Mereka memandang kerja-kerja saya tersebut sebagai melawan tradisi dan juga dianggap bertentangan dengan ajaran agama.
Tugas advokasi yang saya lakukan ibarat menghadang arus yang deras dan penuh bahaya. Saya mencoba mendekati sejumlah ulama laki-laki yang berpikiran progres dan demokratis, khususnya di kalangan NU. Di samping itu, saya juga berusaha membangun lingkaran dan jejaring di antara aktivis organisasi perempuan, khususnya yang berbasis agama. Kerja ini dimulai dengan melakukan upaya-upaya rekonstruksi penafsiran agama. Kami mulai dengan mempertanyakan secara kritis ajaran agama yang berbicara soal status perempuan dan relasi gender yang tidak seimbang.
Misalnya, kami mempertanyakan bahwa jika prinsip keadilan dan persamaan merupakan nilai-nilai dasar ajaran Islam, sebagaimana dikhotbahkan oleh para pemuka agama, lalu mengapa perempuan diperlakukan secara diskriminatif dalam masyarakat Muslim? Potret buram tentang perlakuan terhadap perempuan tersebut, akhirnya melahirkan resistensi masyarakat, khususnya kelompok perempuan terhadap tafsir atau interpretasi agama yang membodohkan dan tidak kondusif bagi penegakan demokrasi dalam masyarkat.
Sebagai perempuan Muslim, saya yakin sepenuhnya bahwa Islam adalah agama ideal dan sangat sempurna. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur bagi kehidupan manusia di muka bumi dalam semua bidang. Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
Saya percaya Islam menjanjikan harapan hidup yang lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan jender: laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Islam paling vokal bicara soal keadilan dan persamaan antar manusia, termasuk di dalamnya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Saya yakin bahwa kehadiran suatu tafsir dan pemahaman keislaman yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan memperhatikan perbaikan nasib kaum perempuan di Indonesia merupakan keniscayaan. Hanya dengan cara itulah umat Islam dapat menampilkan wajah Islam yang sejati sebagai agama cinta damai, agama yang ramah terhadap perempuan, dan sekaligus agama yang membawa rahmatan lil-alamin (kasih-sayang terhadap semua makhluk).  

Penegakan Demokrasi melalui Penguatan Hak Politik Perempuan
Kerja advokasi lainnya dalam rangka penegakan demokrasi adalah dalam isu penguatan hak-hak politik perempuan. Pengalaman saya sebagai koordinator program pendidikan pemilih (voter education) yang diperuntukkan khusus bagi perempuan pemilih pada tingkatan akar rumput (grass root), menyongsong Pemilu tahun 1999 sangat relevan dikemukakan di sini. Ketika itu saya aktif di Muslimat NU, organisasi perempuan NU yang merupakan kelanjutan dari organisasi Fatayat NU. Anggota Fatayat NU yang telah berusia 40 tahun dipersilahkan naik kelas ke Muslimat NU.
Pada tahun 1998 tidak lama setelah tumbangnya Orde Baru yang berkuasa secara represif lebih dari  tiga dekade atau sekitar 32 tahun, Muslimat NU menangani program pendidikan pemilih, khususnya  terhadap para perempuan di tingkat akar rumput. Pendidikan pemilih ini sangat penting sebab selama beberapa pemilu perempuan tidak memilih dengan bebas. Sebagian mereka dalam memilih di bilik suara ketika Pemilu hanya ikut pilihan suami atau keluarga, bahkan di antara mereka masih banyak yang belum mengerti makna dan tujuan Pemilu dan bagaimana seharusnya menjadi pemilih yang rasional dan independen pada Pemilu. Dengan ungkapan lain, mayoritas perempuan masih ’buta politik’ dan belum menyadari hak-hak politik mereka sebagai warga negara penuh.
Program pendidikan pemilih dilakukan di 16 propinsi dalam rangka meningkatkan partisipasi politik perempuan, terutama di tingkat pedesaan di mana mayoritas perempuan berada. Program voter education yang dilakukan selama hampir setahun itu menyimpulkan beberapa hal menarik sebagai berikut.
Meskipun Indonesia telah merdeka selama lebih dari setengah abad, namun perempuan pada umumnya belum memahami hak-hak asasi mereka dan potensi-potensi yang terkandung dibalik hak-hak tersebut, khususnya hak dalam bidang politik. Mereka juga belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya Pemilu sebagai sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang demokratis, serta kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Program itu juga menyadarkan bahwa pendidikan politik bagi perempuan tidak pernah diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan sistemik. Struktur politik negara masa Orde Baru menegasikan hak politik perempuan sedemikian rupa, baik secara individual maupun kolektif. Akibatnya, perempuan mengalami depolitisasi yang luar biasa.
Depolitisasi perempuan tercermin dari pertanyaan dan ungkapan yang spontan dilontarkan para peserta, seperti : Apakah boleh menyalahi pandangan orang tua dalam memilih partai ? Apakah sebagai isteri boleh memilih partai yang berbeda dengan suami ? Apakah tidak berdosa memilih partai yang berbeda dengan partai yang berkuasa ? Apakah boleh menyalahi pendapat para imam atau kyai di dalam memilih partai dalam Pemilu nanti ?  Apa pentingnya perempuan berkiprah dalam politik ? Bukankah dunia politik itu kotor, kejam, dan penuh kekerasan sehingga tidak pantas ditekuni oleh perempuan ? Bukankah politik itu hanya milik kaum lelaki karena merekalah yang berhak menjadi pemimpin ? 
Pengalaman riil dalam voter education itu menyimpulkan bahwa masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpun sedikitnya dalam tiga problem: problem keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik ; komitmen partai politik yang belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan ; dan kendala nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki.

Penegakan Demokrasi melalui Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
Bentuk lain dari upaya penegakan demokrasi yang saya tekuni adalah kerja advokasi untuk amandemen KHI (Kompilasi Hukum Islam). Hal ini saya lakukan dalam posisi sebagai Staf Ahli Menteri Agama R.I dan juga selaku Koordinator Program Pengarusutamaan Gender di Kementerian Agama (Tahun 2001-2009). Saya melakukan kerja advokasi ini dari dalam institusi pemerintahan, dan dengan dukungan legal Menteri Agama meski kemudian, beliau menafikan sendiri dukungan tersebut.
Sudah umum diketahui bahwa Indonesia melalui UU No 7 tahun 1984 meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, dikenal dengan sebutan CEDAW (The Convension on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Salah satu isi penting konvensi tersebut adalah larangan diskriminasi apa pun dalam kehidupan perkawinan.
Isu perkawinan menjadi penting karena bersinggungan dengan nilai-nilai sosial-budaya yang hidup dan dianut secara luas dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Ajaran Islam sangat kuat mempengaruhi nilai-nilai budaya, ekonomi, sosial dan politik bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang berkaitan dengan relasi gender, khususnya relasi suami-isteri dalam kehidupan perkawinan.
Salah satu bentuk peraturan yang mengikat umat Islam Indonesia dalam hal perkawinan adalah  KHI (Kompilasi Hukum Islam). KHI terdiri dari tiga bab: Bab Perkawinan, Bab Perceraian dan Bab Wakaf. Timbul pertanyaan, mengapa kerja advokasi untuk mengeliminasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dimulai dengan amandemen KHI? 
Paling tidak, ada empat alasan. Pertama,  KHI dipandang sebagai jantung syariat atau inti ajaran Islam sehingga menjadi rujukan nilai di masyarakat. Kedua, KHI merupakan panduan hukum hakim agama di seluruh Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara-perkara keluarga, khususnya di bidang perkawinan. Ketiga, upaya mengeliminasi semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dimulai dari keluarga. Sebab, keluarga yang katanya merupakan wilayah paling aman itu justru paling banyak merekam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Keempat, sejumlah pasal dalam KHI berseberangan dengan undang-undang, seperti Amandemen UUD 1945, UU No.7 tentang Rativikasi CEDAW; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Semua undang-undang tersebut sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan hak-hak perempuan menuju terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Bahkan, dua UU yang disebutkan terakhir sangat mengedepankan perlunya perlindungan terhadap anak dan perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.
Berdasarkan empat alasan utama tersebut, Tim Pengrusutamaan Gender di Kementerian Agama yang saya pimpin merumuskan Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI). Intinya, CLD KHI adalah rumusan hukum perkawinan Islam model baru berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad saw yang sangat menghormati hak-hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan dan sangat anti nilai-nilai patriarki, serta mengadvokasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Konsep baru hukum perkawinan dimaksudkan sebagai respon terhadap berbagai persoalan sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini, antara lain berupa tingginya angka kasus kekerasan dalam rumah tangga; maraknya kasus trafficking in women and children dengan menggunakan modus operandi perkawinan; merebaknya praktek perkawinan kontrak dan poligami yang tidak bertanggungjawab dan amat merugikan perempuan dan anak-anak; meluasnya praktek perkawinan anak-anak; tingginya angka perkawinan yang tidak dicatatkan; dan menjamurnya praktek prostitusi di masyarakat serta meluasnya kemiskinan yang sangat merugikan perempuan.
CLD KHI menawarkan paradigma baru dalam perkawinan, dan itu terlihat dari empat hal, yaitu rumusan definisi, asas, prisnsip dasar, dan tujuan perkawinan. Pertama, definisi perkawinan dirumuskan sebagai berikut: Perkawinan adalah akad yang sangat serius (mitsaaqan ghaliidzan), dilakukan secara sadar oleh dua orang manusia untuk membentuk keluarga, dan pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.  
Kedua, asas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj).  Ketiga, prinsip dasar perkawinan ada enam, yakni: prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan ( al-musaawah), keadilan (al-'adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta'addudiyyah), dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga  bahagia (sa'adah) dan sejahtera (sakinah) berlandaskan kasih sayang (mawaddah wa rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggungjawab.
Konsep CLD KHI, terutama hukum perkawinan, bertujuan membela hak asasi perempuan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Selain itu, untuk mengangkat status dan harkat perempuan sebagai manusia utuh dan warga negara penuh dalam masyarakat yang demokratis. Sekaligus juga mengeliminasi semua bentuk dominasi, kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi, terutama terhadap perempuan yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah perkawinan.
CLD KHI menperjuangkan agar tidak ada lagi dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam perkawinan oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Tidak ada lagi perkawinan terpaksa, tidak ada lagi perkawinan anak-anak, tidak ada lagi perkawinan tanpa pencatatan atau sirri (bawah tangan), tidak ada lagi perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab, tidak ada lagi perkawinan poligami, dan terakhir semua perkawinan hanya sah jika dicatatkan (registered marriage).
Meskipun Draft CLD KHI ini belum diterima sepenuhnya, namun telah membuka mata para ulama dan kalangan intelektual Islam bahwa ada banyak hal yang harus didiskusikan dalam KHI. Herannya, Kementerian Agama menolak CLD KHI tetapi di lain pihak merumuskan Rancangan Undang-undang Terapan Bidang Perkawinan sebagai bentuk penyempurnaan KHI Bidang Perkawinan.
Saya sedikit lega karena draft RUU Terapan bidang Perkawinan yang sekarang sedang digagas di Mahkamah Agung telah memuat sejumlah pasal yang diusulkan dalam CLD KHI tersebut, seperti perubahan usia nikah, pentingnya pencatatan perkawinan, perlunya sanksi bagi pelaku poligami tanpa izin isteri terdahulu, dan perlunya rujuk dengan persetujuan isteri. Sejumlah pasal telah diakomodasi dalam RUU yang segera disahkan, namun sampai hari ini RUU tersebut belum juga disahkan.
Satu hal yang pasti adalah meski draft CLD KHI ditolak, namun terbukti siapa pun tidak mampu menghentikan penyebaran ide-ide dan gagasan yang tertuang dalam draft tersebut. Sebagai sebuah hasil penelitian, draft itu menjadi milik masyarakat dan akan terus didiskusikan sepanjang masa. Kini, CLD KHI menjadi pembahasan ilmiah yang hangat di lingkungan perguruan tinggi Islam, sampai sekarang telah lahir sebanyak 12 tesis membahas tema penting ini. Akhirnya, harus diakui bahwa pemikiran umat Islam akan berubah dan harus berubah.

Penegakan Demokrasi melalui Kebebasan Beragama
Salah satu pilar penting demokrasi adalah jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi sedikit pun dan untuk alasan apa pun. Itulah sebabnya mengapa saya terjun dalam kerja-kerja mengadvokasi pemerintah agar memberikan jaminan kebebasan beragama bagi seluruh warganya.
Kerja saya dalam advokasi kebebasan beragama ini dimulai tahun 2000 dalam aktivitas saya sebagai salah satu pendiri ICRP (Indonesian Conference on Religion for Peace). Advokasi ini berangkat dari kenyataan menguatnya radikalisme agama dan keinginan untuk formalisasi syariat Islam di Indonesia pasca reformasi.
Sementara, konstitusi Indonesia dan sejumlah undang-undang nasionalnya secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar (non-derogable) dan negara menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil bagi setiap warga negara. Jaminan kebebasan beragama ini juga diajarkan dalam semua agama, termasuk Islam.
Islam mengajarkan bahwa kebebasan beragama sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia yang dapat menimbulkan rasa aman, tenteram, dan damai. Pemahaman agama seperti itulah yang mendasari para pendiri republik ini (the founding fathers) ketika merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama.
Political will itu sesungguhnya sudah tercermin dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Amandemen UUD 1945 yang sangat kuat menyerukan perlunya perlindungan HAM bagi seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi sedikit pun, termasuk diskriminasi agama, serta UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.
Oleh karena itu, advokasi mewujudkan kebebasan beragama sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi merupakan keniscayaan. Dalam kerja advokasi ini saya mengajak seluruh elemen bangsa yang pro-demokrasi, seluruh unsur civil society: kelompok akademisi, korporasi, agamawan, dan budayawan agar membangun sinergi, bergandeng tangan, bahu membahu untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.
Pertama, melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis. Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya kebebasan beragama di tanah air. Ketiga, mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan serta lebih kondusif bagi pemenuhan hak kebebasan beragama. Kami berupaya mensosialisasikan ajaran agama yang membebaskan manusia dari berbagai belenggu kebencian, ajaran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Demikianlah sebagian dari kerja-kerja advokasi yang saya perjuangkan selama ini demi tegaknya nilai-nilai demokrasi dan Pancasila serta terwujudnya kehidupan beragama yang sejuk, damai dan harmoni sehingga pada gilirannya nanti terbangun masyarakat yang beradab dan mencintai perdamaian. Saya senang melakukan semua kerja-kerja kemanusiaan ini tanpa rasa jemu dan jera meskipun berbagai tantangan dan ancaman saya hadapi, mulai dari yang ringan sampai dalam bentuk teror mengerikan. Sebab, saya yakin hidup adalah perjuangan, perjuangan untuk kemanusiaan. Saya sangat yakin, kesempatan hidup di dunia hanya sekali, karena itu saya ingin mengisi hidup ini dengan aktivitas bermakna.
 Penegakan demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara tidak terwujud secara otomatis melainkan harus diperjuangkan. Sebagai penganut agama, sebagai warga negara, sebagai perempuan dan sebagai manusia, saya harus menyumbangkan apa yang saya miliki demi tegaknya Indonesia yang demokratis, demi tegaknya Islam yang humanis dan ramah terhadap perempuan, dan demi tegaknya peradaban manusia yang menghargai kemanusiaan. Dengan sumbangan yang sekecil apa pun yang dapat saya berikan, kelak membuat saya tidak menyesal hidup di dunia yang tidak abadi ini.


                                                                                              

Minggu, 10 Desember 2017

Islam dan Demokrasi: Respon dan Pelacakan Doktrin



Pengamatan, perdebatan dan diskusi mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi telah banyak dilakukan oleh pakar-pakar keislaman dan juga cendekiawan Muslim sendiri. Sebagai contoh, Hungtington berpendapat bahwa Islam memiliki high culture yang mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Bentuk-bentuk high culture Islam  itu antara lain unitarianisme, etika, individualisme, skripturalisme, puritanisme dan egalitarianisme.

Walau demikian, sejumlah pakar menyimpulkan, Islam menolak pemisahan antara wilayah agama dan komunitas politik. Muslim fundamentalis bahkan menuntut  agar kekuasaan negara berada di tangan orang-orang Islam yang taat, syari’ah dijadikan undang-undang dan ulama berperan sebagai pemberi kata akhir dalam perumusan setiap kebijakan publik.[13]

Agaknya kesimpulan Huntington tentang adanya kesesuaian Islam dengan demokrasi, juga disetujui oleh pengamat lain berdasarkan penelitian mereka terhadap dokrin dan praktek politik Islam. Robert N. Bellah menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang diselenggararakan oleh Nabi Muhammad saw di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif. Atas dasar penelitian terhadap dokrin dan politik Islam, dia juga menyimpulkan kesesuaian Islam dan demokrasi.

Dokrin tentang keadilan (al-‘adl), egaliterianisme (al-musawah),  dan musyawarah atau negosiasi (syura) terealisasi di dalam praktek politik kenegaraan awal Islam yang dinilai modern itu. Disebut modern karena adanya keterlibatan dan partisipasi dari seluruh komunitas politik Madinah. Stuktur politik yang dikembangkan juga modern dalam artian adanya keterbukaan dalam hal penentuan posisi pimpinan yang didasarkan pada meritokrasi bukan hereditas. Bentuk kemoderenan yang seperti itulah yang dipandang sebagai kehidupan politik demokratis.[14]

Menurut  pengamatan  John L. Esposito dan James  P. Piscatori prinsip demokrasi dan proses demokratisasi merupakan pokok perdebatan yang hangat di kalangan Umat Islam. Selain itu, antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi secara inheren merupakan anti-tesis sebagaimana terlihat pada masalah-masalah seperti perbedaan antara Mukmin dan kafir serta laki-laki dan perempuan. Sekalipun begitu, mereka mencatat bahwa sementara umat Islam radikal menolak segala bentuk westernisasi dan diangap tidak sesuai dengan tradisi lokal.

Namun anehnya, dalam upaya melaksanakan program politik, gerakan-gerakan Islam di berbagai negara Muslim seperti Pakistan, Mesir, Yordania dan Tunisia merasa perlu ikut serta dalam sistem politik yang ada (yang menurut mereka tidak islami) dan mereka berhasil memenangkan kursi perlemen serta menduduki kursi Kabinet.[15]

Berbeda dengan Streotipe Barat pada umumnya, Leon T. Hadar berpendapat bahwa sejumlah tokoh Islam berpendidikan Barat seperti dalam kasus FIS di Aljazair misalnya, mereka berpendidikan professional seperti insiyur, ahli fisika, pengacara dan akademis yang mengontrol institusi-institusi modern seperti rumah sakit, sekolah dan bisnis. Mereka tidak tertarik untuk mengembalikan masyarakat ke masa lampau dalam mentrasformasikan struktur ekonomi mereka.

Bahkan para teokrat Iran menggunakan konsep-konsep pemerintahan Barat seperti republik, demokrasi dan konstitusi untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Persepsi yang salah tersebut semata-mata disebabkan kecurigaan dan prasangka yang terutama dipengaruhi  oleh keberhasilan gerakan-gerakan islam dalam pemilihan umum yang demokratis.

Claus Leggewie menambahkan bahwa agama Islam dan demokrasi Barat seharusnya tidak bagaikan api dengan air. Perilaku banyak kelompok Islam radikal yang memperlihatkan ketidaksetujuan mereka terhadap prinsip-prinsip demokrasi, seperti sikap-sikap intoleran, tidak dapat digeneralisasi untuk melihat bahwa semua gerakan islam menolak demokrasi. Secara umum memang gerakan islam menolak otoritas nasional mereka sendiri atau bahkan kekuatan internasional tertentu, namun tidak berarti menolak prinsip-prinsip demokrasi.

Sementara itu banyak pengamat memandang keterlibatan gerakan-gerakan Islam dalam proses demokrasi sebagai strategi sementara, dimana mereka tidak mendukung demokrasi dalam arti yang sebenarnya. Judith Miller misalnya, menjelaskan meskipun retorika mereka tetap komitmen dengan demokrasi dan pluralisme namun sebenarnya semua islamis militan menolak keduanya.[16] Dia menambahkan bahwa kebanyakan orang Islam dan orang Arab sekarang ini memahami demokrasi sebagai kekuatan mayoritas dan hampir tanpa penghargaan pada hak-hak minoritas.

Di kalangan intelektrual, ulama dan aktivis Muslim sendiri respon terhadap konsep dan istilah demokrasi amat beragam. Ada yang beranggapan bahwa Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda karena itu keduanya tidak bisa dibandingkan.[17] Oleh sebab itu terdapat petunjuk yang cukup kuat bahwa sebagian ulama dan penguasa politik berpandangan bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi paham demokrasi.

Pandangan yang menolak demokrasi

Lebih dari itu sebahagian dari ulama mengklaim bahwa Islam adalah agama yang serba komplit yang mengatur semua aspek kehidupan. Menurut penganut paham ini, bagi seorang Muslim tidak ada aturan hidup kecuali yang telah diundangkan Tuhan di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Sejalan dengan itu demokrasi yang berdalil bahwa legitimasi kekuasaan bersumber dari mayoritas rakyat tidak bisa diberlakukan. Sejarah telah membuktikan bahwa para Rasul Allah selalu merupakan kekuatan minoritas yang melawan arus mayoritas dan selalu mendapat kemenangan.

Sementara itu demokrasi adalah pemikiran sekuler yang berprinsip bahwa hukum dan undang-undang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat atau pemerintah bukan oleh Allah. Ini berarti bahwa di mata demokrasi, Tuhan hanya zat yang diakuai keberadaan-Nya tetapi ditolak peranan-Nya dalam mengatur kehidupan manusia. Ini berseberangan dengan konsepsi ajaran Islam yang diyakini bahwa manusia tunduk pada hukum Tuhan yang diwahyukan Allah melalui Al-Qur’an dan Rasul-Nya.[18] 

Di antara tokoh islam yang mengharamkan penggunaan istilah dan konsep demokrasi adalah Hafiz Sahih. Menurut Hafiz sahih konsep demokrasi menegasikan kedaulatan Tuhan atas manusia. Lebih dari itu, istilah ini tidak berasal dari kosa kata Islam dan karenanya harus ditinggalkan.

Senada dengan Sahih, Adnan Ali Ridha al-Nahwi menolak demokrasi tetapi mengajukan syura terutama karena yang pertama bersinonim dengan aturan yang dibuat manusia sedangkan yang kedua adalah aturan dari Allah.

Sementara itu Hasan Turabi berusaha membedakan antar demokrasi dengan syura. Menurutnya meskipun makna denotasi keduanya sama tetapi makna konotasinya berbeda. Keduanya mempunyai makna denotasi partisipasi publik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan politik. Demokrasi berarti kedaulatan terakhir berada di tangan rakyat sementara itu syura bermakna kedaulatan terakhir ada di tanga Tuhan yang disatukan dalam otoritas tekstual suci yang diwahyukan. Ketika demokrasi menderita karena keterbatasan pikiran manusia, syura tidaklah demikian. Syura berusaha menyikapi persoalan-persoalan konstitusional, hukum, sosial dan ekonomi seperti yang ditegakkan oleh syariah.[19]

Dan dalam konteks negara-negara Muslim, Pemerintah Saudi Arabia merupakan salah satu di antara sedikit negara-negara Muslim yang menolak sistem demokrasi secara terbuka karena menurut raja Fahd, demokrasi tidak cocok dengan rakyat Saudi Arabia.

Ismail Sunny juga berpendapat bahwa kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otoritas rakyat sebagaimana juga yang dipahami di Indonesia pada dasarnya merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat sebagai hambanya, di mana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial politik diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka.[20]

Pandangan yang menerima demokrasi dengan syarat

Kelompok lain melihat demokrasi sebagai paham dan konsep yang mulia tetapi tetap mengakui kenyataan bahwa demokrasi kontemporer mengandung bias pemikiran sekuler Barat sehingga masih perlu dijiwai dengan ajaran Islam. Karena itu banyak intelektual Muslim menerima istilah demokrasi dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran islam, di antaranya Fazlur rahman, Hamid Enayat, Muhammad Asad dan Javid Iqbal.

Muhammad Asad mensyaratkan majilis syura  yang dicapai melalui kebebasan dan pemilihan umum harus benar-benar mewakili seluruh komunitas, baik laki-laki maupun perempuan yang mempunyai hak pilih seluas mungkin. Sementara itu Javid Iqbal menerima demokrasi sepanjang pemilihan mengenai kepemimpinan Islam dan implementasi Syari’ah diperhatikan.[21]

Dengan adanya bias sekuler pemikiran Barat dalam demokrasi. Perlu dikembangkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tidak menyimpang dari ajaran Islam. Ini mengindikasikan bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi secara keseluruhan, melainkan ada prinsip-prinsip Islam yang berbeda dengan demokrasi.

Dhiya’ al-Din al-Rais mengajukan tiga hal berkenaan dengan masalah ini.[22] Pertama, yang dimaksud dengan kata bangsa atau umat dalam demokrasi modern adalah bagaimana yang sudah popular di dunia Barat yaitu bangsa yang terbatasi oleh letak geografis. Artinya, demokrasi selalu terkait dengan nasionalisme. Tidak demikian dengan Islam. Menurut Islam, umat tidak harus terkait dengan suatu tempat, darah atau bahasa. Ikatan yang yang sebenarnya adalah akidah. Dengan demikian pandangan Islam sangat kosmopolitan dan universal.

Kedua, tujuan demokrasi adalah tujuan yang bersifat duniawi atau materil. Dengan demikian demokrasi hanya ditujukan untuk merealisasikan kesejahteraan umat. Lain halnya dengan Islam, selain mencakup kebutuhan duniawi juga mempunyai tujuan yang bersifat spritual yang lebih fundamental.

Ketiga, kekuasaan rakyat menurut demokrasi adalah mutlak. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan dalam Islam kekuasaan rakyat terikat dengan ketentuan syariat agama,tidak bersifat mutlak.

Pandangan yang mendukung demokrasi

Sebaliknya, menurut Bassam Tibi, demokrasi bagaikan payung yang tepat bagi perdamaian peradaban di antara mereka yang berasal dari kebudayaan yang jauh berbeda yang berbagi kewarganegaraan dari sebuah wilayah yang sama.[23] Dalam hal ini India bisa dijadikan model di mana rakyat yang berasal dari peradaban yang berbeda dapat membuat demokrasi sebagai referensi bagi identitas umum mereka, dan sebaliknya sebagai sebuah model bagi anarki yang akan datang.

Tokoh Islam politik Indonesia, Muhammad Natsir juga mendukung demokrasi walaupun ia mempunyai penafsiran sendiri. Menurut Natsir, Islam adalah sistem demokrasi dalam artian menolak istibdad, obsolutisme dan otoritarianisme. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua hal dalam pemerintahan Islam harus diputuskan melalui Majelis Syura. Keputusan-keputusan demokratis diimplementasikan hanya pada masalah-masalah yang tidak disebut secara spesifik dalam syariah, sehingga tidak ada keputusan demokratis, misalnya pada larangan judi dan zina.[24]

Lebih lanjut Natsir menambahkan bahwa Islam mempunyai konsep dan karakteristik tersendiri. Islam tidak harus 100% demokratis dan tidak harus 100% teokratis. Islam adalah sintesis antara demokrasi dan teokrasi.[25]

Sejalan dengan Natsir, Munawir Sjadzali juga mengatakan bahwa pada hakikatnya kedaulatan tertinggi berada di tangan Tuhan, tetapi konsep kedaulatan rakyat tidak pernah diartikan untuk menolak kedaulatan Tuhan.[26]

Sementara itu Jalaluddin Rahmat berpendapat bahwa demokrasi adalah istilah yang mempunyai multi makna. Menurutnya demokrasi tidak hanya sesuai dengan Islam Tetapi juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa jika demokrasi diartikan sebagai konsep bagi sistem politik yang didasarkan pada dua prinsip, yaitu partisipasi politik dan hak asasi manusia. Kedua prinsip ini menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan publik dan melindungi hak asasi manusia, yakni hak kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan dan hak persamaan di muka hokum.

Di lain sisi, Rahmat melanjutkan, sistem politik Islam tidak dapat dibandingkan dengan sistem demokrasi dalam dua pengertian; (1) Demokrasi adalah sistem politik sekuler yang kedaulatannya berada ditangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada ditangan Tuhan. Suara mayoritas tidak mungkin mengubah syari’ah. (2) Dalam prakteknya suara rakyat dapat dimanipulasi baik melalui ancaman maupun rayuan. Islam adalah sistem yang unik yang mengembangkan prinsip-prinsip musyawarah dan hak asasi manusia.[27]


Kesimpulan

Secara doktrinal pengertian demokrasi sebagai kekuasaan oleh rakyat tidak bisa dimaknai bahwa hal itu kontradiski dengan doktrin Islam yang menganut dokrin kekuasaan di tangan Tuhan. Pandangan bahwa ajaran Islam bertumpu pada konsep kedaulatan di tangan Tuhan sehingga demokrasi yang bermakna kedaulatan sepenuhnya ditangan rakyat tidak sesuai sesuai dengan pemikiran politik Islam.[28] 

Walaupun Islam memiliki prinsip-prinsip sosial politik yang sejalan dengan demokrasi, masih banyak yang mempertanyakan sejauh mana ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan koheren dengan demokrasi. Jawabannya tentu membutuhkan penelitian yang komprehensip terhadap seluruh aspek ajaran Islam, baik yang besifat sosial budaya, politik maupun yang bersifat kegiatan ritual keagaman. Secara teoritis hal itu dimungkinkan tetapi secara praktis tentu amat memusingkan.

Terlepas dari semua itu, Islam tidak berbicara tentang segala sesuatu secara detail. Ayat-ayat yang dikandung Al-Qur’an memberi panduan moral, etika dan nilai secara global karena itulah Islam sangat menekankan penggunaan akal melalui proses ijtihad. Demikian pula halnya dengan demokrasi, Al-Qur’an hanya memberikan wawasan yang sejalan dengan hal itu, bukan konsep yang detail.

Meskipun merupakan wawasan yang bersifat umum, namun prinsip-prinsip tersebut dinyatakan secara tegas dan bahkan ada yang berulang-ulang. Dalam hal ini ada beberapa prinsip yang digariskan secara tegas seperti prinsip keadilan (al-‘adl), prinsip persamaan (al-Musawah), prinsip kebebasan (al-hurriyyah), prinsip musyawarah atau negosiasi (al-syura). Demokrasi dalam penerapannya di berbagai negara bukanlah sebuah konsep yang tertutup dan baku melainkan lebih mengutamakan penerapan nilai-nilai universal kemanusiaan. Jika demikian, inti demokrasi adalah pada nilai-nilai keadaban yang diusungnya dan itu jelas menjadi konsen dan esensi ajaran Islam.

             






[13] Samuel P . Huntington, op. cit., h.307
[14] Robert N. Bella,  Islamic Tradition and the Problem of Modernization; Beyond Belief; Essay on religion in Post-Tradtionalist Word, (Berkeley: Universiti of California, 1991), h. 150-151. sebagaimana juga yang dikemukakan Bahtiar Effendy dalam makalah  Demokrasi dan Agama; Eksistensi Agama Dalam Politik Indonesia yang disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat di Hotel Regent Kuningan Jakarta 29 Oktober 1998

[15]Seperti yang dikutip Maykuri Abdillah dari John L. Esposito dan James Piscatori, Demokratization and Islam. Lebih lanjut lihat Masykuri Abdillah, op. cit., h. 5

[16]Masykuri Abdillah, op. cit.,h. 5-6
[17] Fahmi Huwaydi, op. cit., h. 151
[18] Teuku May Rudy, op. cit., h. 362
[19] Masykuri Abdillah, op cit., h. 8
[20] Lebih lanjut lihat Isma’il sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1987)), h. 7
[21] Lebih jelasnya lihat Masykuri Abdillah, op. cit., h. 10
[22] Fahmi Huwaydi, op. cit., h. 198-200. Lihat juga al-Mustasyar Thariq al-Basyari, Al-Malamih al-‘Ammah li al-Fikr al-Siyasi al-Islami fi al-Tarikh al-Ma’ashir, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1968). ‘Abd al-Razaq Ahmad al-Syahwari, Fiqh al-Khilafah wa Tathawwaruh, (Kairo: Al-Haiah al-Mishiriyyah al-‘Ammah, 1993). Fahmi Huwaydi, Al-Qur’an wa al-Sulthan, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1999)
[23] Lenih lanjut lihat Bassam Tibi,op. cit., h.314
[24] Muhammad Natsir, Capita Selekta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 452
[25] Syafi’I Ma’arif, Islam dan masalah kenegaraan; Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 130
[26] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1999), h. 172
[27] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Demokrasi dalam Frans Magis suseno, dkk, Agama dan Demokrasi, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992), h.43
[28] Sebagaimana yang dikemukakan Teuku May Rudi, Politik Islam dalam Pemerintahan Demokrasi. Lebih jelasnya lihat Abu Zahra (ed) Politik Demi Tuhan; Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung Pustaka Hidayah, 1999), h.361