Jumat, 25 November 2016

Menghargai Kerja Domestik di Rumah Tangga



Umumnya masyarakat memandang kerja-kerja domestik di rumah tangga sebagai kodrat perempuan. Tidak heran jika telah menikah, suami dengan serta merta mewajibkan isteri untuk mengerjakan semua pekerjaan di rumah. Bahkan, dalam banyak keluarga, pekerjaan domestik itu sudah menjadi kewajiban perempuan sejak kecil. Sebaliknya, laki-laki dibebaskan dari tugas domestik. Malah tidak sedikit menganggap tabu bagi laki-laki mengerjakannya.

Pekerjaan domestik mencakup spektrum yang amat luas, seperti mengasuh anak, merawat dan mendidik mereka. Lalu berbelanja ke pasar, mengelola uang belanja, memasak, mengatur menu, mencuci, membersihkan lantai, membersihkan perabotan makan dan minum, mencuci pakaian dan semua peralatan mandi dan tidur, serta menyeterikanya. Termasuk juga di dalamnya membersihkan semua bagian rumah, taman dan gudang. Kerja-kerja domestik itu sulit mengukur keberhasilannya karena tidak ada ukuran yang pasti dan bisa diterapkan untuk semua orang.

Ketika ayat Al-Qur’an turun pada abad ke-7 Masehi, masyarakat Arab masih sangat kental menerapkan segregasi ruang bagi perempuan dan laki-laki. Perempuan hanya berkutat pada kerja-kerja domestik, sementara laki-laki berburu, mencari nafkah untuk keluarga dengan berdagang melintasi gurun sahara yang demikian gersang dan tandus. Pembagian kerja di masa itu tidak banyak menimbulkan persoalan, bahkan menguntungkan bagi perempuan dan laki-laki.

Ayat-ayat Qur’an yang turun di masa ini pastilah merekam kondisi yang ada. Itulah sebabnya sejumlah ayat membuat segregasi ruang kerja yang amat ketat: ruang domestik hanya untuk perempuan dan sebaliknya ruang publik hanya untuk laki-laki. Karena itu, ayat-ayat yang berbicara soal warisan meletakkan perempuan dalam posisi marjinal, bagian anak perempuan hanyalah setengah dari bagian anak laki-laki.

Saya tidak menganggap ayat waris dan semacamnya yang menerapkan pembedaan bagi anak laki-laki dan anak perempuan itu tidak adil, boleh jadi ayat itu sangat adil jika dilihat pada masa turunnya, abad ke 7 M. Ketika itu, umumnya perempuan belum punya akses dalam ekonomi, hanya ada segelintir perempuan, seperti Siti Khadijah, isteri Rasul saw yang sangat mandiri.

Beliau bukan hanya mandiri dalam bidang ekonomi, tapi juga memiliki pandangan yang sangat progres. Namun, kondisi umum perempuan di masa itu sangat jauh dari figur Khadijah yang merdeka dan powerful. Umumnya perempuan masih terbelenggu budaya patriarki yang berkelindan dengan budaya feodalisme. Akibatnya, perempuan hanya dibebani kerja-kerja domestik dan kebanyakan mereka tidak mendapatkan apresiasi atas jerih payah mereka mengelola rumah tangga.
Labih fatal lagi, karena perempuan dianggap tidak produktif dan tidak punya akses bekerja di luar rumah maka pembagian warisan pun lalu dibuat diskriminatif. Perempuan hanya dapat setengah dari laki-laki. Formulasi pembagian perempuan dapat setengah dari bagian laki-laki mungkin hanya cocok jika perempuan dalam kondisi seperti di masa Nabi saw, yakni perempuan belum punya akses dalam bidang ekonomi.

Akan tetapi, untuk masa sekarang pembedaan tersebut tidak relevan lagi dimana sudah banyak perempuan memiliki akses dalam ekonomi. Bahkan, tidak sedikit perempuan justru menjadi tulang punggung dalam ekonomi keluarga. Suaminya tidak bekerja, kena PHK, atau bekerja tapi gajinya tdk mencukupi dan sebagainya. Atau dalam kasus dimana anak perempuanlah yang mengurusi kedua atau salah satu orangtuanya.



Masalahnya, kerja domestik selalu dianggap kerja ”gampangan” dan ”murahan” serta tak bernilai karena tidak menjanjikan peningkatan keterampilan ataupun profesionalisme yang pada gilirannya akan meningkatkan status sosial seseorang. Itulah sebabnya, tidak banyak laki-laki yang bersedia turun tangan melakukan kerja-kerja domestik meski sudah berkeluarga. Mereka tidak sadar bahwa seluaruh anggota keluarga membutuhkan bantuan para lelaki dalam menyelesaikan kerja-kerja domestik yang tidak pernah selesai itu.

Seharusnya kerja-kerja domestik merupakan kewajiban bersama suami-isteri, ayah-ibu dan anak laki-laki dan perempuan. Mengapa? Karena rumah tangga adalah milik bersama suami-isteri, keduanya harus bertanggungjawab mengelola rumah tangga. Anak-anak pun merupakan amanah bersama dan sekaligus tanggungjawab bersama pula. Dalam rumah tanga, siapa mengerjakan apa tidaklah penting. Masing-masing dapat mengerjakan pekerjaan sesuai hobby, menyesuaikan dengan kemampuan dan ketersediaan waktu. Yang penting, semua bertanggungjawab,  merasakan pentingnya keadilan dan juga pentingnya gotong-royong dan kerjasama dalam menyelesaikan kerja-kerja domestik. Adil tidak berarti sama persis atau persis sama, melainkan berarti proporsional sesuai kebutuhan dan kemaslahatan bersama; dan yang pasti tidak ada pihak yang dirugikan, baik laki maupun perempuan.

Berbicara tentang kerja-kerja domestik, ada perbedaan budaya antar bangsa. Perempuan yang berada dalam budaya Arab sebetulnya lebih beruntung karena di sana berbelanja ke pasar, memasak dan mengatur menĂº makanan merupakan kewajiban laki-laki. Bahkan, menyusui anak pun bukan kewajiban isteri, itulah sebabnya mereka mengenal istilah ibu susuan yang bisa mereka bayar mahal untuk menyusui dan merawat anak-anaknya. Nabi saw pun mengalami hidup bersama ibu susuan dalam jangka waktu cukup lama.

Berbeda dengan perempuan Arab, di Indonesia para isteri biasa bekerja di rumah dari pagi sampai pagi lagi. Beruntunglah mereka yang bisa membayar asisten rumah tangga. Bahkan, cukup banyak isteri yang selain bekerja domestik juga bekerja di luar rumah mencari nafkah karena suaminya tidak bekerja, atau gaji suami tidak cukup untuk makan dan membayar biaya pendidikan anak-anak.

Demikianlah, karena perempuan di Indonesia sejak kecil sudah dibebani tanggung jawab. Masih kecil, anak perempuan harus membantu ibunya di rumah, mengasuh adik-adik dan membersihkan rumah. Malah sangat sering mereka juga ikut membantu keluarga mencari nafkah dengan berjualan kue atau menjadi pembantu rumah tangga, misalnya. Ini realitas masyarakat yang harus kita cermati. Dalam realitas nyata di masyarakat kewajiban perempuan sama beratnya dengan kewajiban laki-laki. Bahkan, tidak sedikit perempuan memikul kewajiban lebih berat.

Boleh jadi, suami mencari nafkah di luar, tapi jangan lupa kewajiban isteri di rumah jauh lebih berat dari kerjaan suami di luar rumah. Saya misalnya, kalau disuruh memilih antara kerja domestik di rumah dan kerja di area publik, pasti saya pilih kerja di area publik. Mengapa? Karena kerja di ranah publik sangat teratur. Jumlah jam kerjanya jelas, job kerjanya pun jelas. Bayaran atau gaji pun jelas.  Kalau kerja di rumah gak ada jam kerja dan gak ada job kerja yang jelas, dan gak ada promosi jabatan,  sangat menyedihkan!! 

Mengapa perempuan bersedia melakukannya?? Salah satu penyebabnya adalah alasan agama. Perempuan dicekoki dengan penjelasan agama yang keliru bahwa kerja domestik merupakan kodrat perempuan dan  pahalanya sangat besar, membuat pelakunya masuk sorga. Pertanyaan kritis, kalau memang pahalanya sangat besar mengapa kebanyakan laki-laki tidak suka kerja-kerja domestik? Apakah mereka tidak tergiur dengan janji pahala seperti dinyatakan kepada perempuan? Tentu tidak semua laki-laki, saya juga menemukan sejumlah suami atau ayah atau anak laki-laki yang sangat ringan tangan melakukan kerja-kerja domestik.




Saya sangat yakin, Tuhan Yang Maha Esa tidak membedakan pahala buat laki dan perempuan. Keduanya akan mendapatkan pahala, ampunan dan rahmat Tuhan sesuai ridha-Nya. Karena itu, perempuan harus kritis dan cerdas sehingga tidak akan mudah percaya dengan berbagai argumentasi, termasuk argumentasi agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarkal. Agama harus menjadi pencerahan bagi semua manusia, bukan sebaliknya.


Kamis, 24 November 2016

Perlukah kolom agama dalam KTP?


Sebagai bangsa kita bangga dengan slogan bhinneka tunggal ika. Artinya, kita sadar bahwa keberagaman atau pluralitas adalah fakta sosiologis. Keberagaman terlihat nyata dalam etnisitas, agama, kepercayaan, warna kulit, bahasa dan tradisi, semua itu menjadi modal sosial yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam hal agama dan kepercayaan, selain agama-agama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu, di masyarakat kita jumpai penganut Baha’i, Tao, Sikh, Yahudi, Kristen Ortodoks, dan juga agama-agama perennial (tidak punya bentuk formal). Bahkan, tidak sedikit mengaku tidak beragama.
Selain itu, dikenal juga ratusan kepercayaan lokal (indigenous religions), seperti Parmalim di Sumatera Utara, Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di Jawa Tengah, Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, Tolotang di Sulawesi Selatan. Sayangnya, data tentang kebhinekaan agama tersebut tak muncul dalam dokumen resmi negara, melainkan hanya ditemukan dalam laporan LSM pegiat pluralisme, seperti ICRP (Indonesian Conference on Religion for Peace), dan sejumlah dokumen organisasi HAM.
 Bicara tentang agama, hakikatnya adalah bicara tentang interpretasi agama, dan faktanya tidak ada interpretasi tunggal dalam agama mana pun. Sepanjang interpretasi agama tidak membawa kepada pemutlakan agama dan kepercayaan tertentu, tidak mendorong terjadinya kekerasan, dan pemaksaan terhadap kelompok yang berbeda, lalu apa yang salah? Keberagaman agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, apalagi diingkari.
Persoalannya, pemerintah tak sungguh-sungguh mengatur kehidupan umat beragama dengan prinsip humanisme yang menjamin kebebasan beragama bagi semua warga sesuai landasan Pancasila dan Konstitusi, serta semboyan bhinneka tunggal ika. Artinya, sangat mungkin terjadi mis-management dalam mengelola keberagaman di masyarakat. Buktinya, dalam aturan yang lebih operasional, ditemukan sedikitnya empat bentuk kebijakan yang mencerminkan dehumanisme politik agama.
Pertama, UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Secara eksplisit UU tersebut mengandung larangan penafsiran yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran. Dalam implementasinya, hal itu dimaknai larangan untuk berbeda penafsiran mayoritas atau penafsiran pemerintah yang katanya mewakili mainstream. Kebijakan tersebut jelas bertentangan dengan spirit kebebasan beragama.
 Kedua, Surat Edaran Mendagri No. 477/74054/1978 yang menegaskan lima agama “diakui”, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Ketiga, TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN, antara lain menegaskan penyangkalan terhadap agama lokal, sekaligus himbauan terhadap pengikutnya memilih salah satu dari lima agama “diakui”, yang kemudian secara salah kaprah dianggap agama induk.
Keempat, Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang salah satu pasalnya menegaskan warga harus memilih salah satu dari 6 agama, setelah Konghucu diakui tahun 2006. Masalahnya, mengapa harus ada agama diakui dan tidak diakui? Lalu apa kriteria pemerintah mengakui suatu agama? Bukankah Konstitusi (pasal 29) menyebutkan jaminan kebebasan beragama semua warga, tanpa kecuali?
Dari situlah muncul kebijakan dehumanisme berupa pencantuman kolom agama dalam identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Aturan tersebut sangat diskriminatif karena agama yang boleh diisi dalam kolom tersebut hanyalah agama yang diakui pemerintah, kalau masa Orde Baru ada 5 agama, di Era Reformasi menjadi 6 agama. Bagi penganut agama di luar 6 agama tersebut harus memilih salah satu, dan itu berarti mereka harus berbohong dalam pengisian kolom tersebut. Terpaksa berbohong bukan hanya dalam KTP, melainkan juga dalam sejumlah dokumen vital lainnya yang mencantumkan kolom agama. 


Menarik diketahui, tahun-tahun awal setelah Indonesia merdeka, tidak ada kolom agama dalam KTP. Perhatikan gambar KTP di atas, tahun 1956 KTP tidak menyediakan kolom agama. Menurut saya itulah yang lebih baik, seperti halnya Paspor juga tidak punya kolom agama. Identitas agama warga negara boleh dan perlu dicatat dan itu cukup disimpan dalam buku Induk Kependudukan. Hanya dapat dilihat dan diketahui oleh pihak-pihak yang berwenang.
Pemerintah Jokowi mengajukan kebijakan baru, boleh mengosongkan kolom agama di KTP bagi penganut di luar 6 agama. Jelas itu bukan solusi bijak karena belum sesuai spirit Pancasila dan UUD 1945. Juga belum memenuhi prinsip humanisme universal yang mengakui kesederajatan semua manusia apa pun agama dan kepercayaan yang mereka anut.
Jika kolom agama di KTP boleh dikosongkan, sebaiknya berlaku bagi semua warga. Demikian sebaliknya, jika harus diisi, maka berilah kebebasan semua warga untuk mengisinya sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Jangan ada warga yang terpaksa memilih agama lain hanya karena agama yang dianutnya tidak termasuk dalam daftar agama yang diakui negara.
Hal paling mendasar, kebijakan pemerintah mengakui hanya 6 agama bertentangan dengan semangat humanisme, juga tidak sejalan dengan spirit Pancasila dan Konstitusi. Dehumanisme politik agama tersebut menyebabkan para penganut selain 6 agama tersebut tidak mendapatkan pembinaan dari pemerintah seperti penganut 6 agama dimaksud. Pembinaan tersebut, antara lain mengambil bentuk dana bantuan kegiatan keagamaan dan pendirian rumah ibadah, pemberian fasilitas dan berbagai perlindungan lainnya.
Bukankah perlakuan pemerintah tersebut dapat disebut diskriminatif? Sebab, semua warga negara seharusnya mendapatkan perlakuan sama dan setara. Bentuk pembedaan yang merugikan inilah yang disebut dengan perilaku diskriminatif.
Selain berbagai kebijakan yang dijelaskan sebelumnya, kebijakan dehumanisme lainnya adalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Undang-undang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 tentang Penerapan Syariat Islam di Aceh, sejumlah Peraturan Daerah (Perda) tentang penerapan Syariat Islam, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8/9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah dan masih banyak lagi. Berbagai kebijakan dehumanisme tersebut menjadi hambatan struktural yang kasat mata dalam pemenuhan hak kebebasan beragama di Indonesia.
Hambatan tersebut dapat diatasi melalui langkah-langkah konkret berikut. Pertama, pemerintah sebagai pelaksana jalannya roda pemerintahan harus mampu secara konsisten menjabarkan spirit humanisme seperti dinyatakan dalam Pancasila dan konstitusi untuk kemudian dijabarkan melalui berbagai peraturan yang lebih operasional dibawahnya. Untuk itu, perlu reformasi berbagai aturan dan kebijakan terkait kehidupan umat beragama.
Kedua, pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan hak kebebasan beragama semua warga tanpa kecuali sebagai bentuk pengakuan adanya persamaan hak bagi seluruh warga Indonesia. Ketiga, mendorong para pemuka agama mulai dari tingkat pusat sampai tingkat desa agar membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan melibatkan semua unsur agama di masyarakat dalam merespon berbagai fenomena kehidupan agama.
Dengan ungkapan lain, solusi yang tepat adalah mendorong pemerintah menerapkan humanisme politik dalam bidang agama sehingga terkikis semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap penganut agama di luar 6 agama tersebut. Hanya dengan cara itu, pemerintah dapat memenuhi hak-hak sipil dan politik semua penganut agama dan kepercayaan di negeri ini, termasuk juga mereka yang mengaku tidak beragama. Sebab, mereka yang mengaku tidak beragama seringkali bukan berarti tidak bertuhan. Biasanya mereka menganut bentuk spiritualitas lain dan itu hak mereka dan dijamin dalam konstitusi.
Kesadaran tentang bhinneka tunggal ika, khususnya kebhinekaan agama harus mendorong pemerintah dan seluruh masyarakat memperjuangkan hak kebebasan beragama semua warga negara tanpa kecuali. Semua penganut agama memiliki hak dan kewajiban asasi yang sama, tanpa diskriminasi sedikit pun. Sebab, kita semua adalah satu bangsa, bangsa Indonesia.




Rabu, 23 November 2016

Pentingnya Pendidikan Islam


Saya sangat yakin tentang pentingnya pendidikan, termasuk Pendidikan Agama Islam sebagai media peningkatan sumber daya manusia (SDM). Pemerintah Indonesia telah berkomitmen bahwa upaya peningkatan sumber daya manusia merupakan hal yang niscaya dan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa.
Perlunya peningkatan SDM tersebut, terutama karena rendahnya tingkat kualitas manusia Indonesia sebagaimana terbaca dalam laporan resmi badan dunia UNDP. UNDP melalui Human Development Report tahun 2015 melaporkan tingkat kemajuan manusia di seluruh dunia. Ukuran kemajuan ini didasarkan pada penilaian terhadap tiga variable utama, yaitu tingkat kesehatan dan usia hidup manusia (long and healthy life); pengetahuan (knowledge) dan kelayakan standard hidup manusia (a decent standard of living). Human Development Index (HDI) tahun 2015, menempatkan Indonesia hanya di peringkat ke-110, sangat menyedihkan !!
Sementara itu, dilaporkan pula bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selama 200 tahun terakhir mengalami kemajuan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari apa yang pernah diprediksikan para pakar. Perkembangan iptek 200 tahun belakangan ternyata jauh lebih cepat dari perkembangan iptek 2000 tahun sebelumnya. Tentu saja perubahan ini berdampak besar terhadap pola perilaku manusia, termasuk di dalamnya perilaku sosial keagamaan mereka. Umat Islam  harus merespon perubahan tersebut melalui pendidikan.


Mengapa pendidikan? Sebab, pendidikan merupakan bentuk investasi atau penanaman modal suatu bangsa yang amat penting. Di antara semua bentuk investasi yang dilakukan suatu bangsa, pendidikan yang baik dan profesional merupakan investasi paling penting, paling produktif dan paling menjanjikan. Karena itu sudah sangat sewajarnya jika pendidikan diposisikan pada puncak skala prioritas pembangunan bangsa dan negara.
Untuk merealisasikan hal ini tentu dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari para pimpinan negara, terlebih lagi karena pendidikan merupakan jenis investasi jangka panjang. Rata-rata hasil pembangunan bidang pendidikan baru terlihat setelah suatu jangka waktu tertentu, umumnya setelah 20 tahun atau satu generasi. Itulah tantangannya sehingga investasi di bidang pendidikan ini sering tidak menarik kalangan investor yang ingin cepat-cepat meraih keuntungan.
Mencapai keberhasilan dalam pendidikan sangat dibutuhkan kesabaran, keuletan dan kegigihan dari semua elemen masyarakat, termasuk ketabahan menunda berbagai kesenangan. Sekedar catatan, bahwa Indonesia tercatat sebagai negara paling rendah menginvestasikan diri dalam pendidikan.



Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha sadar yang sengaja dikemas untuk mempersiapkan manusia agar mampu memecahkan pelbagai problem sosial yang dihadapinya sehari-hari sehingga pada gilirannya nanti mereka berhasil hidup di zamannya dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, institusi pendidikan menempati posisi amat strategis dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam masyarakat akibat kemajuan iptek dan tuntutan dinamika manusia.
Mengapa pendidikan sangat relevan dalam upaya-upaya peningkatan SDM suatu bangsa? Hal ini sangat jelas, knowledge is power (ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Pendidikan yang berhasil merupakan sumber energi yang luar biasa bagi masyarakat, bangsa dan negara. Keberhasilan suatu bangsa atau negara diukur salah satunya dari unsur keterdidikan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat keterdidikan suatu bangsa semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup bangsa tersebut.
Pendidikan memiliki paling sedikit dua macam dampak posistif. Pertama, meningkatkan kemampuan kerja manusia dengan keahlian dan profesionalisme. Pendidikan membekali manusia dengan sejumlah keahlian dan profesionalisme sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri menurut bidang-bidang yang dikembangkan, seperti manajemen, kesehatan, pertanian, keguruan, dan teknologi. Kedua, pendidikan mempunyai dampak besar dalam upaya peningkatan kemajuan berpikir dan bertindak rasional. Pendidikan memiliki andil dalam memperluas cakrawala berpikir dan memperdalam wawasan di segala bidang kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan keagamaan.
Pendidikan memudahkan manusia mengakses informasi seluas-luasnya. Perpaduan informasi dan ilmu pengetahuan merupakan kekuatan yang dahsyat.  Sementara itu, dengan memiliki informasi dan pengetahuan yang luas, masyarakat dalam suatu bangsa akan lebih mudah mengenali berbagai alternatif tindakan yang tersedia sehingga pada gilirannya mempermudah mereka untuk menemukan solusi bagi problem yang dihadapinya.

Pentingnya Pendidikan Islam
Umat Islam secara normatif meyakini bahwa pendidikan sangat penting bagi manusia, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ditemukan sejumlah ayat dan hadis menjelaskan betapa tingginya posisi orang-orang yang menekuni pendidikan dan bidang keilmuan. Sayangnya, konsen ini baru pada tataran normatif, belum banyak terwujud dalam aksi nyata.
Umumnya ahli pendidikan Islam sepakat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Muslim sehingga terwujud manusia yang bermoral atau berakhlak mulia. Pendidikan harus mampu mewujudkan cita-cita Islam yang mencakup pengembangan potensi rohani dan jasmani manusia sehingga membentuk manusia beriman dan berilmu secara seimbang.
 Perlu diberi catatan di sini bahwa keimanan dan ketakwaan manusia, sebagaimana yang ingin diwujudkan dalam pendidikan Islam hendaknya tidak diukur atau dilihat secara sempit. Keimanan dan ketakwaan seseorang tidak dapat diukur hanya pada hal-hal yang sifatnya legal formal, seperti pelaksanaan ibadah salat, puasa dan haji atau rajin menghadiri majelis taklim atau kumpulan zikir dan seterusnya. Demikian pula tidak bisa diukur dari hal-hal yang bersifat sangat simbolistik, seperti panjangnya jenggot laki-laki, panjangnya jilbab perempuan atau seringnya menggunakan label-label syariah dan sebagainya.
Hakikinya, indikasi utama keimanan dan ketakwaan seseorang tercermin pada seberapa besar empati dan komitmen seseorang pada upaya-upaya transformasi dan humanisasi di dalam masyarakatnya atau dalam term Al-Qur’an disebut sebagai amar ma’ruf nahy munkar. Upaya-upaya tersebut mencakup semua upaya mentransformasikan diri, keluarga  dan masyarakat ke arah yang lebih baik, lebih positif dan lebih konstruktif. Misalnya, membangun lingkungan yang bersih, baik secara material maupun moral; menolong fakir-miskin; membantu anak-anak dan perempuan terlantar serta kelompok rentan lainnya; mengentaskan kemiskinan; menghindari perilaku korupsi; menjauh dari semua tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan dalih apa pun, termasuk kekerasan yang menggunakan alasan agama.
Upaya-upaya humanisasi  juga mencakup aspek yang sangat luas seperti upaya edukasi, publikasi dan advokasi yang kesemuanya dilakukan untuk mengubah seseorang atau masyarakat menjadi lebih manusiawi. Termasuk juga di dalamnya upaya-upaya merawat lingkungan semesta agar planet ini tetap nyaman dihuni oleh generasi mendatang.
Agar pendidikan Islam dapat mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa dengan sejumlah indikasi yang disebutkan tadi, pendidikan hendaknya menyentuh dan mengaktualkan ketiga aspek penting dalam diri manusia secara bersamaan, yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Inilah problemnya, karena dalam realitas sosial di masyarakat pendidikan Islam pada umumnya baru menyentuh aspek kognitif, dan itu pun belum optimal.
 Akibat dari pendidikan yang hanya mementingkan sisi kognitif belaka adalah seperti yang dewasa ini kita saksikan. Pendidikan Islam pada umumnya hanya mewujudkan manusia-manusia yang mengerti Islam, tetapi kurang mampu atau bahkan tidak mampu menginternalisasikan atau menghayati makna hakiki ajaran Islam, apalagi mengimplementasikan pengetahuan keislamannya itu ke dalam perilaku islami sehari-hari.
Konsekuensi logis dari pelaksanaan pendidikan Islam yang demikian adalah munculnya ribuan sarjana Muslim tetapi belum memberikan kontribusi positif yang optimal bagi bangunan peradaban Islam atau ketamaddunan Islam masa kini. Dengan ungkapan lain, para sarjana Muslim tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan solusi yang signifikan terhadap berbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat Muslim dewasa ini.
Karena itu, ke depan pendidikan Islam harus mampu mengubah dan mengembangkan ketiga potensi dasar manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke arah lebih baik, lebih positif, lebih arif dan lebih manusiawi.
Intinya, pendidikan Islam harus mampu menajamkan pikiran, membuat seseorang menjadi lebih kritis dan rasional serta berwawasan luas dan terbuka. Pendidikan Islam harus mampu menghaluskan perasaan: mengubah sikap manusia ke arah lebih peka dan peduli, lebih inklusif, lebih toleran, lebih pluralis, dan lebih humanis serta lebih peduli pada kelestarian lingkungan dan alam semesta. Dan yang terakhir, tapi tidak kurang pentingnya adalah pendidikan Islam harus mampu menumbuhkan kearifan: mampu mengubah perilaku manusia ke arah lebih santun dan bermoral. Ringkasnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk manusia berbudi-pekerti luhur atau berakhlak mulia.
Pertanyaan muncul, apa saja indikasi nyata dari berakhlak mulia itu? Paling tidak, indikasinya dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, sikap senantiasa taat dan patuh kepada Allah swt. dengan  melakukan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga selalu tergugah dan terpanggil menyelesaikan berbagai problem kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya, menghormati sesama manusia tanpa diskriminasi sedikit pun, serta peduli pada kelestarian lingkungan.
Dengan ungkapan lain, tujuan pendidikan Islam adalah memanusiakan manusia; menjadikan manusia lebih manusiawi; manusia yang bukan hanya memiliki kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Manusia yang meyakini keberadaan dan keesaan Tuhan sekaligus memiliki empati mendalam terhadap sesama manusia, bahkan sesama makhluk.
Empati terhadap sesama manusia diwujudkan dalam bentuk aksi konkret pemihakan terhadap kelompok masyarakat yang rentan, yakni kelompok manusia yang termarjinalkan (mustadh'afin), seperti anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak korban perang dan konflik, fakir miskin, para penyandang cacat (disable people), perempuan marjinal, buruh kasar, para pengungsi, dan orang-orang yang mengalami kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi. Mari wujudkan pendidikan Islam yang menjamin terciptanya baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.









Selasa, 22 November 2016

Mengapresiasi Keragaman Budaya dan Kepercayaan


Saya pernah diundang menghadiri peringatan Milangkala Madrais ke-180, semacam perayaan maulid tokoh pendiri Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan adalah salah satu aliran kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Awalnya dikembangkan oleh Pangeran Madrais lahir 27 September 1827 (bertepatan dengan 9 Mulud 1755 Saka). Beliau wafat dalam usia 112 tahun, usia yang sangat panjang untuk ukuran kita sekarang.
Dimasanya, Pangeran Madrais memberontak terhadap kekejaman kolonial Belanda dan menolak tunduk pada penjajah. Akibatnya, beliau dituduh sebagai murtad, ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dibuang ke Digul, Papua. Keberanian menegakkan keadilan ini harus diteladani oleh kita semua, meski pahit dan penuh pengorbanan. Rupanya tuduhan kafir dan murtad yang sering dilancarkan oleh kelompok FPI mengikuti cara-cara kolonial dahulu.
Yang membuat kaum kolonial murka adalah karena Pangeran Madrais memimpin gerakan kelompok tani untuk menyerang Belanda dan merebut kembali tanah-tanah pertanian yang dirampas Belanda. Madrais meyakinkan para petani bahwa tanah tersebut adalah warisan dari leluhur yang tidak boleh dimiliki Belanda. Perjuangan berdarah ini terekam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah kolonial pergi, beliau mengubah orientasi perjuangan dengan mengembangkan aspek budaya.
Perjuangan beliau selanjutnya diteruskan oleh sang cucu, yaitu Pangeran Djatikusuma, pemimpin komunitas Sunda Wiwitan sejak tahun 1990. Beliau dikenal sebagai tokoh Sunda Wiwitan yang sangat menekankan pentingnya kerukunan dan perdamaian, serta menjunjung tinggi nilai-nilai bhinneka tunggal Ika. Beliau juga dikenal tokoh lintas agama yang tergabung dalam ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), sebuah organisasi lintas agama yang memperjuangkan perdamaian bagi semua manusia.



Saya mengenal komunitas ini sejak 1998, ICRP organisasi kami aktif memperjuangkan hak-hak sipil komunitas Sunda Wiwitan. Mengadvokasi agar mereka tidak diperlakukan diskriminatif, mendapatkan Akta Nikah ketika menikah, Akta Lahir bagi anak-anak mereka dan lainnya. Kami mengadvokasi pemerintah agar mereka diperlakukan secara adil,  mendapatkan perlakuan setara dengan warga negara lainnya, tanpa diskriminasi sedikit pun. Mereka juga warga negara penuh yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya.
Selain merayakan maulid Pangeran Madrais, Pangeran Djatikusuma juga menjadikan momen ini untuk menyerahkan tanggung jawab pembinaan komunitas kepada putera-puterinya yang berjumlah 10 orang sambil memberikan pesan2 moral kepada mereka yang kelak menggantikan tugasnya memimpin komunitas Sunda Wiwitan. 



            Pesan-pesan itu, antara lain: mereka harus selalu bersatu, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, menjaga tradisi dan memeliharanya dengan baik, menjaga keserasian dan kelestarian lingkungan, jangan berselisih, jangan berebut harta, jangan saling menyakiti, dan jangan tergoda hal-hal duniawi. Para pewaris itu kelak diharapkan dapat membimbing masyarakatnya dan karenanya mereka harus bisa menjadi panutan masyarakat.
Pada malam itu anak-anak Pangeran Djatikusuma yang berjumlah 10 orang, hanya satu laki-laki, selebihnya adalah perempuan menyatakan sumpah setia untuk melanjutkan kepemimpinan beliau dan bertekad menjalankan semua titahnya. Tampaknya, malam ini Pangeran Djatikusuma telah memberikan sinyal pergantian tugas kepada pewarisnya, sepuluh anaknya untuk mengemban amanah yang tidak ringan itu.

Menarik bahwa Pangeran Djatikusuma tidak membuat pembedaan sedikit pun antara anak laki dan anak perempuan (tidak ada diskriminasi gender), juga antara anak sulung dan anak bungsu. Ke sepuluh anaknya mendapatkan tugas dan amanah yang sama dan setara. Masing2 bertanggung jawab sesuai wilayah dan bidang kerja yang tlh ditetapkan. Acara pengambilan sumpah dilakukan, setiap anak menghadap, sungkem pada ayahanda dan ibunda dengan penuh khidmat, Sungguh indah penerapan nilai-nilai demokrasi dalam tradisi budaya ini!!
Selama ini sering muncul anggapan yang merendahkan kelompok kepercayaan. Tidak sedikit memandang mereka sebagai kelompok kafir yang tidak mengenal agama. Bahkan, ada yang menyebut mereka sebagai masyarakat primitif dan terkebelakang. Ke depan, sudah waktunya pemerintah dan seluruh komponen masyarakat bersama-sama menghilangkan stigma terhadap mereka. Pemerintah harus lebih aktif melindungi mereka dan memperlakukan mereka setara dengan kelompok masyarakat lainnya.
Menurut saya, mereka para penganut kepercayaan justru lebih bijak menjaga dan merawat kelestarian lingkungan. Sebab, tradisi mereka yang menghormati alam dan mencintai kedamaian dan keasrian membuat mereka lebih peka dan lebih bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup manusia dan semua makhluk di alam ini. Mereka lebih tekun menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dan mempertahankan norma-norma kehidupan yang menghargai kedamaian dan keberagaman. Agama dan kepercayaan mereka pun sudah tumbuh sejak lama di Nusantara, bahkan jauh sebelum agama-agama import, seperti Islam, Kristen, Budha dan Hindu datang ke Nusantara.



           Masa Reformasi telah 17 tahun berlalu, namun kebijakan pemerintah terhadap kelompok penghayat kepercayaan belum juga berubah, masih diliputi unsur-unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan, sampai sekarang pemerintah belum memandang penting keberadaan kelompok ini, khususnya dalam konteks merawat kelestarian tradisi Sunda yang merupakan salah satu akar budaya Indonesia.
Selamat untuk Pangeran Djatikusuma dan seluruh komunitas Sunda Wiwitan. Rahayu dan Sampu Rasun!







Senin, 21 November 2016

Woman of The Year 2009 (Refleksi Pengalaman)


Tahun 2009 saya dianugerahi penghargaan Woman of The Year oleh pemerintah Italia. Berbeda dengan berbagai award yang pernah saya terima, keunikan Woman of The Year 2009 ada dua: Pertama, cara penelusuran kandidat dilakukan melalui internet. Panitia menggoogling para perempuan di seluruh dunia yang aktif berkiprah nyata membela hak asasi manusia, khususnya kaum minoritas yang marjinal. Kedua, spesifikasi yang ditetapkan untuk menjadi nominator sangat ketat, di antaranya melalui diskusi dan debat publik yang dihadiri sejumlah tokoh yang bertindak selaku juri.  
Panitia pemilihan terdiri dari 6 orang juri: diketuai Menteri Kesehatan dan Sains dengan anggota terdiri dari: wakil dari Kementerian Luar Negeri Italia; wakil dari Korporasi dan Organisasi Fashion; Wakil dari organisasi Human Rights; Wakil dari Parlemen A’osta; dan Wakil dari organisasi Soroptimist semacam organisasi sosial.
Seleksi pertama panitia menghasilkan 127 kandidat dari seluruh dunia. Selanjutnya, seleksi kedua terhadap 127 kandidat tersebut hanya menyisakan 36 kandidat dari 27 negara, lalu seleksi ketiga melahirkan 3 nominator, yakni: Aiche Ech Channa (aktivis perempuan asal Marokko); Mary Akrami (aktivis perempuan asal Afghanistan), dan Musdah Mulia (aktivis perempuan asal Indonesia). Panitia sangat terkesan karena selama 12 tahun acara pemberian award, baru kali ini menemukan kandidat dari Indonesia.
Pada tahap seleksi akhir kami bertiga, para nominator diundang ke Provinsi Aosta, yang terletak di ujung Italia Utara. Kehadiran kami di sana masih dalam proses seleksi untuk memilih siapa di antara kami yang berhak menerima award tersebut.
Seleksi tersebut dilakukan dalam bentuk kunjungan ke berbagai instansi dan lembaga dimana kami memaparkan aksi-aksi kemanusiaan dan kerja-kerja konkret kami di negara masing-masing terkait dengan upaya penegakan demokrasi dan hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan dan kelompok minoritas.
Di antara institusi yang kami kunjungi adalah sekolah negeri setingkat SMP. Di sana kami menjelaskan berbagai isu dan kerja-kerja yang kami tekuni selama ini di hadapan murid-murid sekolah tersebut. Para murid tersebut bertanya secara kritis tentang kiprah dan komitmen kami dalam memperjuangkan penegakan demokrasi dan HAM. Mereka juga bertanya tentang hambatan yang kami hadapi dan bagaimana kami mengatasi hambatan tersebut. Acara kunjungan dan diskusi di berbagai instansi dan lembaga serta dialog dengan para murid itu dipantau oleh para juri tanpa kami sadari.
Pada malam resepsi penganugerahan pun masih ada seleksi dari juri. Satu persatu kami  diundang ke panggung. Lalu oleh para juri kami ditanyai soal visi dan misi serta komitmen kami dalam kerja-kerja kemanusiaan. Kami pun menjelaskan di hadapan tamu yang jumlahnya lebih dari 300 orang tentang berbagai isu yang kami geluti dan menjadi konsen kami di negeri masing-masing.
Setelah itu, barulah Ketua Dewan Juri menyampaikan keputusan Juri tentang siapa yang berhak menjadi Woman of The Year. Rasanya seperti pemilihan Miss Universe, seru dan tegang. Namun, saya melalui semua itu dengan perasaan biasa saja. Sebab tujuan utama saya bukan soal dapat penghargaan atau tidak, ini bukan persoalan kalah atau menang.
Saya sadar betul, motivasi dari semua apa yang saya kerjakan selama ini adalah menegakkan keadilan demi menggapai ridha Allah semata. Saya yakin sepenuhnya keadilan adalah esensi dari ajaran Islam. Keadilan juga merupakan nilai universal yang melandasi penegakan demokrasi dan HAM.
Islam hadir untuk menegakkan keadilan bagi semua manusia tanpa kecuali. Karena itu, semua Muslim berkewajiban sesuai kapasitas masing-masing untuk mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan dalam masyarakat. Ketidakadilan itu sering mengambil wujud perilaku dan sikap kekerasan, kezaliman, korupsi, diskriminasi, eksploitasi, dominasi, manipulasi dan intimidasi.
Saya tidak pernah berharap mendapatkan penghargaan dari kerja-kerja yang saya tekuni selama ini. Walau demikian, saya pun merasa bahagia karena penghargaan pun datang dari berbagai pihak, tanpa pernah saya duga sebelumnya. Saya selalu menjadikan penghargaan itu sebagai motivasi dan dorongan kuat untuk berkarya dan bekerja lebih giat dan lebih banyak lagi demi membahagiakan banyak orang.  Meskipun  banyak cacian dan hujatan yang saya terima, hal itu tidak menyurutkan langkah untuk maju dan maju terus memperjuangkan kebenaran dan keadilan sesuai ajaran agama yang saya yakini.
Dari award tersebut saya melihat bahwa kalangan korporasi, termasuk korporasi di bidang fashion di Italia  bukan hanya memikirkan keuntungan material, melainkan juga peka terhadap persoalan kemanusiaan. Setiap perusahaan di sana punya bidang sosial atau bantuan kemanusiaan yang berfungsi secara efektif. Mungkin kita dapat meniru kolaborasi yang cantik di Italia antara aktivis, pemerintah dan korporasi, termasuk korporasi yang berkiprah di dunia fashion. Sebab, persoalan demokrasi dan HAM adalah persoalan kemanusiaan bersama yang hanya dapat ditegakkan melalui networking yang kuat di antara semua elemen masyarakat.
Ketika ditanya tentang perempuan Indonesia, saya jelaskan bahwa secara umum, perempuan Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan dibandingkan beberapa tahun lalu. Perempuan sudah berani bersuara, tidak lagi membisu seperti dahulu. Perempuan sudah memiliki keberanian mengekspresikan pandangan dan aspirasinya secara terbuka. Walaupun masih harus diakui jumlah mereka belum signifikan untuk melakukan perubahan besar di masyarakat. Karena itu, ke depan  masih diperlukan upaya serius bagaimana memperbanyak jumlah perempuan yang berani bersuara dan  berani menentang ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender.
 Caranya adalah dengan meningkatkan taraf ekonomi perempuan, memperluas wawasan, meningkatkan kualitas ilmu dan skill mereka di berbagai bidang, serta memperbanyak keterwakilan perempuan dalam level pengambilan keputusan di berbagai bidang, utamanya dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Secara umum, kendala yang dihadapi kaum perempuan Indonesia terfokus pada tiga hal: Pertama, terkait kultur atau budaya patriarkal, budaya yg memandang perempuan sebagai orang kedua dan tidak penting. Kedua, terkait struktur dalam bentuk kebijakan publik dan undang-undang yang diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan. Contoh konkret: UU Perkawinan, UU Ketenagakerjaan; UU Kesehatan; UU Catatan Sipil; UU Anti Pornografi serta sejumlah Perda inkonstitusional. Ketiga, terkait interpretasi ajaran agama yang tidak ramah terhadap perempuan serta lebih banyak meminggirkan perempuan dan menempatkan mereka hanya sebagai obyek seksual.
Ketika saya ditanya soal perkawinan, dengan tegas saya jelaskan bahwa perkawinan  adalah sebuah komitmen kemanusiaan demi mencapai ridha Allah, dalam bahasa Al-Qur’an disebut Mitsaqan Galiza (suatu ikatan yang amat kokoh), bukan sekedar ikatan syahwat atau ikatan jasmani dan biologis. Dalam perkawinan, ikatan itu meliputi fisik, psikis, materi, ruhani, dan spiritual. Karena itu, perkawinan harus dilandasi dengan 5 prinsip utama: prinsip mawaddah wa rahmah (cinta yang tak bertepi); prinsip musawah (kesederajatan perempuan dan laki-laki); prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (perilaku santun dan penuh keadaban); prinsip saling menghormati dan saling melengkapi; serta prinsip monogami.
Bagi saya, hubungan suami-Isteri adalah hubungan kemanusiaan yang sangat intim, didasarkan pada keadilan, kesederajatan, cinta kasih, ketulusan, kepedulian, tanggung jawab dan solidaritas.  Atas dasar ini, keduanya harus berbagi tugas dan kewajiban, baik dalam ranah domestik di rumah tangga maupun di ranah publik. Siapa mengerjakan apa, tidak mesti diatur secara rigid. Bagi saya, tugas-tugas kodrati isteri hanyalah sepanjang menyangkut masalah reproduksi. Selain itu, mengasuh dan mendidik anak, membersihkan rumah, masak, menyiapkan makanan, mencuci dan seterusnya dapat dishare secara tulus. Semua pekerjaan rumah tangga dapat dikerjakan secara baik dan profesional oleh keduanya. Suami-isteri harus bekerjasama dengan penuh kearifan.
Selain itu, terkait pendidikan anak, saya tegaskan bahwa anak-anak sejak kecil sangat perlu diajarkan tentang pentingnya penghargaan terhadap manusia, siapa pun dia. Manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati. Penting menanamkan pada anak akan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kepedulian terhadap sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, jenis gender, suku dan agama. Demikian pula kepedulian terhadap makhluk lain dan juga terhadap kelestarian lingkungan.
Dalam kehidupan rumah tangga, perbedaan pendapat bukan hal yang tabu sehingga harus dihindari. Yang penting adalah bagaimana respon kita terhadap pendapat yang berbeda. Sebagai orang beradab, kita harus menghormati pendapat orang lain, apalagi pendapat suami atau isteri yang merupakan belahan jiwa kita. Perbedaan pendapat tidak perlu membawa kepada kebencian, apalagi permusuhan.
Pengalaman pribadi kami di rumah membuktikan bahwa saya dan suami sering berbeda pendapat dalam banyak hal, tetapi kami lalu sadar bahwa perbedaan itu adalah wajar. Bukankah Rasul mengatakan, perbedaan pendapat di kalangan ummatku adalah rahmat? Justru perbedaan pendapat itulah yang menginspirasi lahirnya banyak pemikir dan ilmuwan terkemuka di masa-masa awal Islam. Yang penting, setiap pendapat harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan jangan terjebak pada sikap absolut atau memutlakkan pendapat sendiri.
Ketika seorang juri bertanya, apakah pantas seorang perempuan bersikap berani? Bukankah keberanian selama ini dianggap sebagai ciri maskulin? Dengan lantang saya jawab, itu sangat keliru!! Menurut saya, perempuan dan laki-laki sama-sama harus mengembangkan dalam dirinya unsur maskulinitas dan feminitas secara seimbang sehingga terbangun laki-laki dan perempuan yang keduanya memiliki dalam dirinya unsur maskulin dan feminin secara seimbang. Sikap keberanian adalah positif dan pantas dimiliki oleh perempuan dan laki-laki. Yang penting sikap ini harus diikuti rasa tanggung jawab dan solidaritas yang kuat.
Pertanyaan terakhir terkait hukuman mati dan konon kabarnya itulah yang menentukan poin paling tinggi untuk saya dalam award ini. Dengan tegas saya katakan, hukuman mati harus diakhiri karena hukuman mati adalah sebuah kejahatan dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Semua ajaran Islam yang berkaitan dengan hukuman mati haruslah dibaca sebagai ajaran yang bersipat transisional yang merupakan konsekuensi dari tuntutan sosio-historis masyarakat Arab ketika itu. Untuk kebutuhan masa sekarang dimana tuntutan kemanusiaan global menghendaki adanya penghormatan yang tinggi kepada harkat dan martabat manusia, maka ajaran yang membolehkan hukuman mati itu dianggap sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan manusia  (maqashid al-syari’ah) yang menjadi inti dari seluruh bangunan syari’at Islam.
Suasana gemerlap malam pemberian award Women of The Year 2009 di Aosta Valley, Italia masih terkenang sampai sekarang dan itu salah satu yang mendorong saya untuk terus berkarya membela kemanusiaan.


Sabtu, 19 November 2016

Stop Kekerasan Terhadap Perempuan!!!



Bulan Nopember setiap tahun diperingati sebagai bulan penghapusan kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan yang akhir-akhir ini semakin merebak. Dalam ilmu-ilmu sosial istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang bersifat terbuka (overt) atau tertutup (covert).
Khusus mengenai KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dapat dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: Pertama, kekerasan terbuka, yakni kekerasan yang kasat mata atau dapat dilihat dengan mata kepala, seperti suami memukul istri. Kedua, kekerasan tertutup atau kekerasan tersembunyi, yakni perilaku kekerasan yang tidak nampak secara kasat mata, tapi berpengaruh langsung pada pihak korban, misalnya berbagai bentuk ancaman, intimidasi, stigma, prejudice. Tiga, kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu yang memuaskan keinginan, seperti penjambakan agar korban menuruti keinginannya. Keempat, kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri yang berlebihan, misalnya merendah-rendahkan istri di depan orang lain dengan maksud menaikkan harga dirinya. Jenis kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka dan bisa tertutup.

Kekerasan dalam rumah tangga biasanya merupakan bagian dari kekerasan  budaya, yaitu ketika simbol-simbol budaya, termasuk agama dijadikan justifikasi  untuk membenarkan suatu tindakan. Tidak jarang ayat-ayat kitab suci dengan pemahaman yang bias jender dan bias nilai-nilai patriarkal dijadikan dalih untuk membenarkan perilaku kekerasan. Misalnya, pemukulan isteri oleh suami dengan dalih untuk mendidik agar menjadi wanita salehah (taat).
Kekerasan dalam rumah tangga juga bisa menjadi bagian dari kekerasan struktural, dengan mengacu pada teori Galtung (2002:187), bahwa tindak kekerasan struktural  dapat dilihat dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Eksploitasi, yakni kekerasan yang memperoleh penguatan dari berbagai peraturan perundang-undangan; 2) Penetrasi, yakni kekerasan yang memberi peluang kepada laki-laki sehingga lebih leluasa berbicara; 3)  Segmentasi, yakni kekerasan karena ada peluang untuk memandang perempuan secara parsial; 4) Marginalisasi, yakni kekerasan yang menjaga peran agar perempuan tetap berada di luar; 5) Fragmentasi, yakni kekerasan untuk tetap menjaga jarak, agar perempuan berada jauh darinya (laki-laki).

Kekerasan pada intinya adalah melakukan suatu tindakan atau serangan pada seseorang secara fisik, maupun mental yang berakibat penderitaan berkepanjangan pada korban. Keadaan yang mempengaruhi tindak kekerasan ini biasanya karena hubungan yang tidak harmonis antara suami dan istri, atau ketidakseimbangan pola hubungan antara yang kuat dan yang lemah. Salah satu pihak merasa dirinya lebih kuat, semata-mata karena faktor fisik. Tetapi juga karena faktor non-fisik, misalnya merasa lebih berpendidikan, lebih tinggi penghasilannya, lebih tinggi nasab keturunannya, dan sebagainya. Mereka yang lebih kuat menganiaya yang lemah, baik disadari maupun tidak.
Salah satu bentuk kekerasan yang jarang disadari oleh kebanyakan pertempuan adalah kekerasan seksual dalam perkawinan atau lebih spesifik lagi kekerasan dalam hubungan seksual. Kekerasan jenis ini biasanya terjadi dengan pemaksaan kehendak oleh pihak suami tanpa memperdulikan keadaan istri yang mungkin dalam kondisi lemah, baik fisik maupun non-fisik. Hal ini sering tidak dianggap sebagai kekerasan atau kejahatan karena umumnya masyarakat memandang seorang istri sudah seharusnya taat dan tunduk pada suami. Dengan demikian, sangatlah sulit untuk membuktikan adanya tindak kekerasan itu, kecuali jika ada bekas luka berdasar penelitian medis. Tidak jarang, ketika misalnya si istri mengadukan masalah ini kepada polisi, pemuka masyarakat atau lainnya yang dianggap akan melindungi, maka pihak isteri justru disalahkan. Reaksi yang muncul justru sering berbalik, umumnya masyarakat  menyalahkan istri. 

Bentuk kekerasan lainnya adalah pelecehan seksual. Contohnya, pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pimpinan terhadap karyawan atau majikan kepada pembantunya. Hal ini kerap terjadi dan juga sulit penyelesaiannya karena hubungannya adalah antara atasan dan bawahan, antara majikan dan pembantu. Para atasan ini menggunakan seks sebagai alat kontrol perempuan. Jika ia menolak, akibatnya bisa beragam: mulai dari penurunan kedudukan, penahanan gaji sampai pemecatan.
Bentuk lain lagi adalah pelacuran dan perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking in women and children). Banyak perempuan menjadi pelacur karena dipaksa oleh orang tua atau suami. Di antara penyebabnya adalah karena himpitan ekonomi. Dalam perdagangan perempuan, biasanya si perempuan korban tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Lebih menyedihkannya lagi, sekarang mereka masuk ke dalam jaringan perdagangan perempuan dimana kemungkinan untuk lepas sangatlah kecil.
Selama masyarakat kita masih terbelenggu oleh budaya patriarki yang memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua maka selama itu pula kekerasan akan terus beranjut. Ideologi patriarki adalah keyakinan yang mempercayai bahwa laki-laki dan perempuan secara sosial berbeda peran dan fungsinya. Mereka juga dibedakan dalam sifat dan karakternya. Keyakinan ini adalah hasil bentukan masyarakat (konstruksi sosial). Budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai pihak yang dominan terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk mengontrol, memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan sering kali juga hanya untuk menunjukan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.
Fatalnya, ideologi tersebut mempercayai bahwa: “Perempuan lebih lemah, takluk, emosional, tidak mandiri, dan sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, berkuasa, berfikir rasional, dan mandiri”. Atas dasar keyakinan ini pulalah, maka kekerasan terhadap perempuan terjadi dan fatalnya hal itu dianggap wajar dan lumrah.
Tidak banyak yang tahu bahwa kekerasan terhadap perempuan, khususnya isteri membawa dampak yang sangat buruk dalam kehidupan perempuan dan hal itu memengaruhi kehidupan keluarga dan anak-anak yang dibesarkan di dalamnya. Di antara akibat buruk dari kekerasan terhadap istri adalah: isteri mengalami sakit kronis berkepanjangan karena stress, seperti sakit kepala, migrain, asma, sakit perut, sakit dada. Isteri menderita kecemasan, depresi, atau sakit jiwa akut.

Selan itu, isteri berpeluang untuk bunuh diri atau membunuh anaknya (anak yang diakibatkan oleh perkosaan). Tidak sedikit isteri yang sedang hamil mengalami keguguran akibat perlakuan kekerasan. Bagi isteri yang sedang menyusui, seringkali ASI terhenti karena tekanan jiwa. Hal lain yang sering terjadi akibat perlakuan kekerasan adalah isteri kemungkinan bertindak kejam kepada orang lain sebagai pelarian atau kompensasi dari penderitaannya. 
Perlu juga diketahui, umumnya sosok pelaku kekerasan mengidap berbagai problem, di antaranya mengalami kepercayaan diri rendah; kurang bisa berkomunikasi dengan orang lain; sulit mempercayai orang lain; selalu merasa tidak aman;  sangat egois; mengalami kekerasan dan perlakuan negative ketika masa kanak-kanak. Selain itu, pelaku biasanya mencintai orang lain secara berlebihan ketika lagi cocok, dan membenci secara berlebihan apabila sedang tidak cocok.
Sejumlah penelitian mengungkapkan secara spesifik berbagai faktor penyebab kekerasan  sebagai berikut: Pertama, fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Suatu pandangan lazim di masyarakat, bahwa lelaki itu berkuasa atas perempuan. Kedua,  anak laki-laki sejak kecil lebih dibanggakan daripada anak peempuan. Ia dipandang lebih kuat dan berani. Ketiga, budaya patriarki yang memengaruhi masyarakat kita mendorong agar perempuan bergantung pada laki-laki; istri bergantung pada suami.
Keempat, konflik dan kekerasan dalam rumah tangga sering dipandang sebagai masalah intern keluarga, dan orang lain tidak perlu ikut campur. Itulah sebabnya, dalam pertemuan HAM internasional di Copenhagen dirumuskan satu statement yang amat terkenal: the personal is political. Artinya, persoalan keluarga pun harus dibawa ke publik kalau hal itu sudah mengganggu atau membahayakan keselamatan orang lain.
Untuk dapat memahami persoalan kekerasan terhadap perempuan, seseorang harus terlebih dahulu memiliki kepekaan dan komitmen terhadap pentingnya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan. Tanpa itu, persoalan kekerasan terhadap perempuan, khususnya yang berlangsung di ranah domestik, hanya akan dilihat sebagai persoalan privat yang sepele yang tidak perlu dibicarakan.
Selain harus punya komitmen penegakan hukum dan hak asasi, seseorang juga harus memiliki perspektif keadilan gender untuk dapat memahami persoalan ini. Sebab, KTP berakar di dalam relasi atau hubungan yang timpang atau tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki, yang sifatnya menyejarah. Ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan kemudian mewujud menjadi dominasi oleh kaum laki-laki, serta diskriminasi terhadap perempuan. Inilah yang disebut dengan ketimpangan gender yang merupakan akar kekerasan.
Konferensi Dunia tentang Hak Asasasi Manusia di Wina, Juni 1993 menegaskan perlunya perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan. Konferensi itu menghasilkan satu statemen yang sangat kuat: “hak asasi perempuan adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang sifatnya universal”.
Dengan demikian, pernyataan tersebut juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan HAM PBB. Salah satu deklarasi Konferensi Wina 1993 mencantumkan dalam program aksinya bahwa: Kekerasan berbasis gender dan segala bentuk penyerangan maupun eksploitasi seksual, termasuk yang merupakan hasil olahan prasangka budaya, adalah  pelanggaran terhadap harkat  dan martabat kemanusiaan, dan oleh karenanya harus dihapuskan. Mulai sekarang, katakan TIDAK pada  kekerasan!!!.