Minggu, 25 Juni 2017

Idul Fitri dan Spiritualitas Baru

Musdah Mulia[1]

Umat Islam merayakan hari kemenangan yang populer dengan sebutan `Idul Fitr, 1 Syawal 1438 H setelah berpuasa selama sebulan penuh. Biasanya, ada dua ungkapan populer terdengar saat `Idul Fitri, yaitu min al-`aidin wa al-faizin (biasa ditulis: minal ‘aidin wal faizin) dan mohon maaf lahir batin. Banyak mengira, kalimat kedua adalah terjemah dari kalimat sebelumnya, padahal bukan. Ungkapan “mohon maaf lahir batin” merupakan tradisi khas umat Islam Indonesia, tidak dikenal di negara-negara Arab.
Min al-`aidin wa al-faizin sejatinya adalah do`a yang selengkapnya berbunyi: ja`alana Allah wa iyyakum min al-`aidin wa al-faizin. Artinya: semoga Allah menjadikan kita semua tergolong orang-orang yang kembali  dan memperoleh kemenangan. Do`a tersebut mengandung dua konsep, yakni al-`aidin (orang-orang yang kembali) dan al-faizin (orang-orang yang memperoleh kemenangan). Muncul pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan mereka yang kembali dan memperoleh kemenangan?
Puasa Ramadhan berakhir dengan `Idul Fitri. Kata `id bahasa Arab artinya kembali, jadi  al-`aidin, orang yang kembali. Adapun fithr berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian. `Idul Fitri berarti kembali kepada asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian yang merupakan fitrah manusia. Sedangkan al-fa`izin berarti orang-orang yang menang (QS. al-Hasyr, 59:20 dan Ali-Imran, 3:185). Puasa Ramadhan hakikatnya adalah suatu  mekanisme pengendalian diri demi menyucikan hati dan jiwa, kembali ke jati diri manusia yang fitri yang selalu cenderung pada kebaikan dan kedamaian. Mereka yang puasa dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, bukan karena terpaksa atau riya (pamer) dinamakan orang-orang yang menang.
Melalui aktivitas puasa, diharapkan manusia menjadi lebih suci, lebih beriman dan lebih takwa. Dengan begitu, puasa menjadi media transformasi diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik, positif dan konstruktif. Sekaligus juga menjadi media pembebasan diri dan masyarakat dari musuh-musuh agama yang konkret, seperti ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan.
Mengapa manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrah yang suci? Islam sangat optimis memandang manusia dan meyakini setiap individu dilahirkan dalam kondisi fitrah. Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan (tauhid) yang tertanam dalam lubuk hati (nurani) yang merupakan pusat kedirian manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan alamiah mencari kebenaran, kedamaian dan kebaikan sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk hanif (lurus).
Ditemukan cukup banyak ayat menegaskan, dalam hati nurani manusia telah dituliskan komitmen suci untuk selalu mengikuti kebenaran dan kebaikan. Tugas para Nabi dan Rasul hanyalah mengingatkan kembali akan komitmen suci tadi. Supaya selamat dan tidak melanggar komitmen, seharusnya setiap individu selalu mendengarkan hati nuraninya. Setiap bentuk penyimpangan dari komitmen tersebut adalah dosa, dan itulah mengapa manusia perlu bertobat.
Menarik dicermati, kata taubat dalam Bahasa Arab artinya kembali, kembali kepada fitrah. Manusia yang baik bukan karena tidak pernah menyimpang dari komitmen sucinya karena hal itu mustahil. Tidak ada manusia luput dari kesalahan dan dosa. Akan tetapi, manusia yang baik adalah jika menyimpang, dia segera sadar dan bertobat sambil bertekad tidak mengulangi kesalahan lagi (QS. Ali Imran, 3:135). Puasa Ramadhan dan segala amal saleh di dalamnya merupakan bentuk pertobatan manusia. Setelah sebulan berpuasa (tentu dengan memenuhi semua persyaratannya) seseorang dapat suci kembali, seperti sucinya seorang bayi yang baru lahir, demikian hadis Nabi.
Seharusnya dengan puasa umat Islam menjadi lebih meningkat kekuatan spiritualnya, dan itu harus tercermin dari perilaku sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Spiritualitas mendorong manusia selalu aktif melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi, antara lain melalui kegiatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya agar diri sendiri atau masyarakat semakin memahami agama secara kritis dan rasional.  Hal itu dapat juga dilakukan melalui aktivitas pemberdayaan bagi kelompok lemah, miskin, rentan dan marjinal; dan juga aktif melakukan kegiatan advokasi terhadap kelompok tertindas; melawan semua bentuk kezaliman, ketidakadilan dan kekerasan, terutama dilakukan oleh kelompok yang berkuasa.
Ironisnya, dalam realitas sosiologis banyak orang mengaku berpuasa, tetapi tidak memiliki kesadaran spiritualitas. Indikasinya, mereka tidak memiliki kepekaan untuk melawan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan, bahkan menjadi pelakunya. Mereka tidak tergerak untuk menghapus segala bentuk perilaku diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan, juga tidak terpanggil untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan demi kemaslahatan orang banyak. Hal itu karena puasa dipahami sebatas ajaran bersifat ritual formal.
Kekuatan spiritual amat penting dalam diri manusia karena mendorong manusia selalu berbuat kebaikan dan kemashlahatan. Bahkan, juga mendorongnya untuk memperindah akhlak mulia secara terus menerus, serta membentengi diri dari semua perbuatan keji dan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik dalam relasi vertikal dengan Allah, maupun dalam relasi horizontal dengan sesama manusia, bahkan sesama makhluk, termasuk lingkungan sekitarnya.
Umat Islam sebagai kelompok terbanyak di negeri ini seharusnya mampu memberi warna positif dan konstruktif pada kehidupan bangsa dan negara. Makna puasa Ramadhan harus terefleksi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Puasa dan semua ibadah lainnya hendaknya bukan hanya mewujudkan kesalehan individual, melainkan juga kesalehan sosial yang berdampak pada kemashlahatan seluruh masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan dan marjinal.
Yang jelas, identitas al-`aidin wa al-faizin dapat terlihat pada mereka yang sudah berkomitmen untuk tidak mengeksploitasi sesama manusia melalui kerja-kerja yang koruptif dan manipulatif; tidak berperilaku anarkis, tiranik dan despotik; tidak mendiskriminasikan sesama atas dasar gender, etnis, agama dan sebagainya; tidak merusak dan mengeksploitasi lingkungan atas nama pembangunan dan atas nama apa pun; tidak menjual agama demi kepentingan apa pun; tidak mencuri kekayaan negara demi kesenangan diri, keluarga dan kelompok; dan tidak tergoda hidup mewah, konsumtif dan hedonistik.  Sebaliknya, al-`aidin wa al-faizin adalah mereka yang terpanggil untuk sepenuhnya mendonasikan hidup dan karya demi kemashlahatan dan kebaikan orang banyak.
Apakah kita sungguh-sungguh tergolong al-`aidin wa al-faizin? Jawabnya, ada pada nurani masing-masing. Akhirnya, mari bersama mengucapkan min al-`aidin wa al-faizin, semoga Tuhan memberkati semua manusia.












[1] Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dapat dihubungi lewat m-mulia@indo.net.id



Kamis, 22 Juni 2017

Idul Fitri Dan Saling Memaafkan

  
                                                


Ucapan paling populer terdengar saat `Idul Fitri dan hari-hari berikutnya adalah minal `aidin wa al-faizin kemudian disambung dengan ucapan mohon maaf lahir batin. Banyak yang mengira itu arti dari kalimat minal `aidin wa al-faizin, padahal bukan. Ungkapan itu sesungguhnya penggalan dari sebuah do`a yang selengkapnya berbunyi: ja`alanallahu wa iyyakum minal `aidin wa al-faizin artinya: semoga Allah menjadikan kita semua tergolong orang-orang yang kembali (ke fitrah manusia yang suci) dan memperoleh kemenangan. Do`a tersebut mengandung dua konsep yang perlu dijelaskan, yakni  konsep al-`aidin (orang-orang yang kembali kepada fitrah) dan konsep al-faizin (orang-orang yang memperoleh kemenangan).
Pertama, konsep al-`aidin. Puasa Ramadhan diakhiri dengan `Idul Fitri. Kata `id terambil dari akar kata yang bermakna "kembali" sedangkan fithr dapat berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.  Dengan demikian, `Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah. Al-`aidin artinya orang-orang yang kembali ke fitrah. Mengapa manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrahnya atau selalu diingatkan pada asal kejadiannya yang suci itu? Islam mengajarkan bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan (tauhid) yang tertanam dalam hati tiap manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan alamiah mencari kebenaran dan kebaikan sehingga manusia disebut makhluk hanif (lurus). Kesucian asal itu bersemayam dalam nurani yang merupakan pusat kedirian manusia. Karena pertimbangan fitrah kehanifan dan nuraninya itulah manusia dianggap paling pantas menjadi khalifah Tuhan di bumi.
 Sejak awal, manusia memiliki komitmen mengakui keesaan Tuhan melalui suatu perjanjian primordial sebagaimana dipaparkan dalam Al-Qur`an:'Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan (untuk membela diri): "Kami tidak mengetahui hal itu", atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedang kami hanya mengikuti perbuatan mereka". Apakah Engkau akau menyiksa kami lantaran perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?" (al-A`raf, 7:172-173).
Ditemukan cukup banyak ayat menegaskan bahwa dalam hati nurani manusia telah dituliskan komitmen suci tersebut. Tugas para Nabi dan Rasul  sesungguhnya adalah mengingatkan kembali akan komitmen suci tadi. Oleh karena itu, agar selamat dan tidak melenceng dari komitmen tersebut, seharusnya setiap individu selalu mendengarkan hati nurani masing-masing. Setiap bentuk penyimpangan dari komitmen ini adala dosa. Untuk itulah manusia perlu bertobat. Bertobat artinya kembali, yakni kembali kepada asal kesucian. Manusia yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah menyimpang dari komitmen sucinya dengan Tuhan. Sebab, ini mustahil. Tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat dosa. Akan tetapi, Manusia yang baik adalah manusia yang setiap kali menyimpang, dia lalu sadar dan segera bertobat sambil bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut (QS. Ali Imran, 3:135).
Kedua, konsep al-fa`izin. Kata ini merupakan bentuk plural dari al-faiz, artinya: orang-orang yang memperoleh kemenangan. Kata ini dalam Al-Qur`an terulang sebanyak 29 kali dan pada umumnya menunjuk kepada pengertian pengampunan ilahi dan kenikmatan surgawi (QS. al-Hasyr, 59:20, dan Ali-Imran, 3:185). Jadi, orang-orang yang beroleh keberuntungan dan kemenangan adalah mereka yang memperoleh pengampunan ilahi dan kenikmatan surgawi.
Boleh jadi, figur manusia yang pantas disebut al-`aidin wa al-faizin itu seperti dilukiskan Ibnu Sina, filosof Islam terkemuka (w. 1037 di Iran) dalam bukunya Al-Isyarat wa al-Tanbihat sebagai berikut. "Orang yang sangat arif, bebas dari semua ikatan raganya. Dalam dirinya tersimpan sesuatu yang tersembunyi dan hanya dia yang tahu. Dia selalu gembira dan penuh senyum karena hatinya penuh diliputi cinta kepada Alah. Semua makhluk dilihatnya sama karena yakin hanya Allah yang Mahasuci. Semua makhluk, baik taat maupun bergelimang dosa tetap pantas mendapatkan rahmat-Nya. Dia tidak akan pernah mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain. Dia tidak pernah marah atau tersinggung,meskipun menghadapi kemungkaran karena jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang. Dia melihat rahasia Allah terbentang di dalam qudrat-Nya. Jika mengajak kepada kebaikan, ia melakukannya dengan penuh kelembutan, jauh dari kekerasan. Dia sangat dermawan karena hatinya tidak terpaut lagi pada materi dan kebendaan. Dia sangat pemaaf karena hatinya penuh diliputi cinta sehingga tiada tersisa ruang untuk menaruh kebencian. Dia pun tidak pendendam karena seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Maha Suci dan Maha Agung".
Menyongsong 1 Syawal 1438 H besok, mari saling memaafkan, minal `aidin wa al-faizin.











Kamis, 15 Juni 2017

Puncak Spiritualitas


Tahun 2000 aku di undang ke acara pertemuan para pemuka agama tingkat dunia, Internasional World Conference on Religion and Peace di Amman, Jordan. Waktu itu musim dingin yang amat menusuk. Panita menempatkan peserta sekamar berdua. Peraturannya, tidak boleh sekamar dengan peserta dari negara yang sama. Aku sekamar dengan perempuan Pendeta Kristen asal Chekoslovakia, usianya 63 tahun, tetap kekar dan energik. 

Setiap hari acara sangat padat, mulai pukul 09.00 pagi dan baru berakhir malam pukul 22.00. Sampai di kamar biasanya pendeta lalu masuk kamar mandi untuk cuci muka dan karena lelah, dia langsung tidur. Sementara aku tidak, karena harus shalat dulu.
Berusaha untuk tidak mengganggu tidur pendeta, aku berjalan mengendap-endap ke kamar mandi, bersih-bersih dan kemudian berwudhu. Lalu, shalat juga dengan pelan-pelan dan berupaya tidak mengeluarkan bunyi. Setelah itu aku baru pergi tidur. Aku terbiasa shalat disertai wiridan yang cukup panjang, tradisi itu aku warisi sejak di pesantren. Sesibuk apa pun, aku tetap mengamalkannya.

Pendeta biasa bangun jam 07.00, sementara aku harus bangun lebih awal, pukul 05.00 untuk shalat Subuh, persisnya shalat Subuh 05.10 pagi. Sebetulnya, dalam kondisi dingin menyengat, boleh tayamum sebagai ganti wudhu, tapi karena sudah kebiasaan berwudhu, aku gak nyaman tayammum, aku tetap berwudhu meski dingin sangat menusuk. Ketika berwudhu untuk shalat Subuh pun aku jalan pelan sekali. Pokoknya, aku berusaha tidak berisik. Lagi-lagi maksudnya agar tidak mengganggu tidur pendeta. Demikian aku lakukan setiap malam dan subuh.

Hari ketiga, usai shalat Subuh aku bangkit dari sajadah, tiba-tiba pendeta menyapaku, ”good morning” dengan kaget aku pun menjawab serupa, ada perasaan bersalah, jangan-jangan tadi aku berisik sehingga membangunkan tidurnya. Masih dalam kebingungan, pendeta lalu bangkit dan duduk di tempat tidur menghadap ke arahku sambil bertanya: boleh aku bertanya kepadamu? Degg jantungku berdebar: ”Sorry, katanya memulai,  aku memerhatikanmu selama kita di sini, malam hari ketika sudah lelah ditambah udara dingin menusuk, kamu masih  harus shalat  dan lama sekali, lalu di pagi buta kamu harus bangun juga untuk shalat padahal udara sangat dingin, dan kamu tetap menggunakan air. Saya khawatir kamu akan sakit, tukasnya. Pertanyaan saya adalah, andaikata di akhirat nanti ternyata semua yang kamu lakukan dengan susah-payah itu tidak sesuai dengan keinginan Tuhan, bagaimana? Terus terang saya melihat agama kamu tidak manusiawi karena kewajiban yang begitu memberatkan. Saya tidak sanggup menjalankan kewajiban seperti itu. Saya kasihan melihat kamu dalam beragama. Begitu sulitnyakah?

Pertanyaan pendeta bertubi-tubi membuatku seperti terdakwa di depan pengadilan. Mulanya aku bingung bagaimana menjawab pertanyaan yang baru pertama kali aku dengar. Belum pernah aku mendapatkan pertanyaan kritis seperti ini sebelumnya.  Sambil berusaha tenang aku menjawab:  ”Andaipun di akhirat nanti ternyata semua yang aku lakukan itu tidak sesuai dengan keinginan Tuhan, bagiku tidak ada masalah. Sebab, intinya semua ibadah aku lakukan dengan ikhlas dan suka rela, bukan terpaksa atau dipaksa. Bukan karena mengharapkan sesuatu, termasuk aku tidak berharap pahala. Terserah Tuhan, mau diterima atau tidak karena Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa, aku tidak bisa memaksa. Sebagai makhluk Tuhan, aku hanya mencoba bersyukur dalam bentuk shalat dan ritual lain atas semua nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga itu. Dengan melakukan itu semua, aku merasa damai dan batinku puas, rasanya hidup jadi penuh makna, tidak hampa. Itu saja sudah lebih dari cukup. Bagiku, ibadah bukan sekedar kewajiban, melainkan kebutuhan ruhani. Kebutuhan untuk membangun komunikasi dan interaksi dengan Tuhan, yang dengan itu aku merasakan kedamaian yang luar biasa, tak ternilai oleh apa pun. Bagiku, berada dekat dengan Tuhan itulah kebahagiaan yang hakiki.”

Dengan histeris dia memelukku sambil berucap: “Aku kagum sama kamu, Musdah.” Kamu sudah menggapai puncak spiritual, jangan tinggalkan keyakinanmu itu. Seharusnya semua orang beragama seperti kamu.”  Aku tersenyum dan menimpali: “Maaf kalau aku mengganggumu, ibu pendeta. Aku telah berusaha tidak berisik agar tidurmu tidak terganggu.”   Pendeta menjawab sambil bangkit dari duduknya: ”Oh, sama sekali tidak, Musdah. Aku tidak merasa terganggu sama sekali. Aku bangga sama kamu dan cara kamu beribadah. Aku hanya sempat penasaran, kenapa sampai panjang seperti itu shalatmu dan kamu tak perduli dengan cuaca dingin yang begitu menusuk. Dan aku berpikir, apakah memang Tuhan membutuhkan pelayanan seperti itu? 

Aku hanya tertawa kecil menanggapinya. Shalatku panjang karena aku shalat jamak ta’khir Magrib dan Isya. Lalu ditambah bacaan wirid yang bagaimana pun capeknya aku tetap berusaha melakukannya. Begitulah aku sehari-hari,  tetap setia mengamalkan  tradisi wirid yang aku warisi dari kakek dan nenek buyutku, sejak masih di pesantren.  Meski di luar sana aku dikenal sebagai liberal, bahkan tidak sedikit mencap diriku sebagai sesat, antek Amerika, antek Zionis. Aku hanya tertawa geli mengingat semua tuduhan salah alamat itu.

Sejak pagi itu, aku semakin akrab dengan pendeta dan kami pun  membicarakan secara gamblang dan terbuka tentang ajaran kami masing-masing dengan penuh kegembiraan. Anehnya, tidak ada perasaan bahwa kami akan pindah agama atau semacamnya. Dalam berbagai perbincangan, kami sepakat bahwa inti agama adalah membangun kemashlahatan manusia, agama sepenuhnya untuk kemanusiaan. Logikanya, semakin taat manusia mengamalkan ajaran agama, semakin baik pula kualitas spiritualnya, dan itu terlihat dari perilakunya sehari-hari yang konsisiten pada nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan, kedamaian, kasih sayang, dan penuh empati.

Tak terasa hari-hari kami berlalu sangat cepat dan tibalah acara penutupan konferensi, waktunya untuk berpisah dan kembali ke negara masing-masing. Ada rasa sedih karena harus berpisah dan kami pun saling berpelukan dengan hangat dan tulus layaknya saudara kandung. Dan sungguh aneh, kami pun lupa kalau kami berdua berbeda agama dan keyakinan, berbeda suku, ras, negara, bahasa, dan warna kulit. Hanya satu yang sama, kami adalah sama-sama delegasi konferensi yang datang ke Amman untuk dialog agama, mencari solusi bagi terciptanya perdamaian abadi melalui agama-agama.


Selasa, 13 Juni 2017

PUASA DAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN



Musdah Mulia[1]

Puasa dan Perempuan
Al-Qur’an menginformasikan bahwa selain puasa Ramadhan, ada bentuk puasa lain, yaitu puasa bicara. Uniknya, puasa bicara ini hanya ditujukan kepada seorang perempuan bernama Maryam. Dia bukan perempuan biasa, melainkan perempuan tegar dan perkasa. Ibu dari seorang nabi agung,  Isa alaihissalam. Bukan hanya itu, Al-Qur’an mengabadikan namanya dalam satu surah bernama Surah Maryam, dan dalam surah itu dia juga dilukiskan sebagai manusia suci. Tatkala dia difitnah karena melahirkan anak tanpa ayah, Allah menyuruh dia puasa. (Q.S. Maryam, 19:26). Bagi orang yang pernah mencoba ibadah unik ini mengatakan bahwa puasa bicara jauh lebih sulit ketimbang puasa biasa. Menahan diri dari berbicara ternyata jauh lebih berat dari menahan makan dan minum.
Puasa Maryam dalam bentuk menahan diri  tidak berbicara sepatah kata pun. Maryam dilarang menjelaskan apa pun, dan Allah swt. kemudian memberi mukjizat pada Isa a.s. yang masih bayi untuk menjelaskan sendiri identitasnya. Dia mengatakan: ”sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan, nabi pembawa kabar gaembira”. Kelahirannya berbeda dengan manusia biasa, yakni tidak membutuhkan kehadiran laki-laki (Q.S. Maryam, 19:23-36).
Ayat-ayat tentang Maryam seharusnya memberi inspirasi bagi pengakuan terhadap keunggulan kemanusiaan perempuan, sekaligus kemuliaan seorang ibu. Perempuan ternyata dapat menjadi ibu tanpa bantuan laki-laki. Sebaliknya, dalam sejarah  kemanusiaan belum dijumpai satu pun laki-laki dapat menjadi ayah atau punya anak tanpa bantuan perempuan (mungkin nanti dengan teknik kloning?). Bahkan, kenyataan ini seharusnya menyadarkan  manusia tentang pentingnya organ reproduksi perempuan, terutama organ rahim. Bukankah istilah silaturrahim, salah satu ajaran inti dalam Islam, berasal dari akar kata rahim? Itu artinya betapa penting hubungan kasih sayang di antara manusia, kasih sayang yang dipertautkan oleh rahim ibu.
 Namun, realitas sosiologis di masyarakat menunjukkan bahwa hak-hak perempuan berkaitan dengan fungsi rahim atau populer dengan istilah hak dan kesehatan reproduksi masih kurang mendapatkan apresiasi yang layak.  Buktinya? Lihat data nasional tentang angka kematian ibu melahirkan (AKI) yang sungguh memprihatinkan. Ironisnya, itu terdapat di negeri yang penduduknya diklaim  sangat religius. Indonesia menduduki ranking terburuk di ASEAN untuk kematian ibu melahirkan. Secara nasional tercatat sebanyak 324 per 100.000 kelahiran hidup. Artinya, setiap 30 menit, ibu meninggal. Setahun tercatat rata-rata 15.000 ibu meninggal karena melahirkan. Jika dibandingkan dengan bencana Tsunami di Aceh, sesunggguhnya kondisi ini merupakan bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat. Hanya karena para ibu yang meninggal itu tidak bersamaan waktu dan lokasinya sehingga jenazah mereka tidak terkapar berjejeran seperti korban Aceh. Tidak menyentak  media pers, dan lalu kita semua abai dengan bencana ini. Pertanyaan muncul, mengapa Angka Kematian Ibu begitu tinggi di negeri yang mayoritas penduduknya mengaku Islam? Bukankan Islam adalah agama yang paling vokal bicara tentang pentingnya pemuliaan terhadap kaum ibu? Sorga terletak di telapak kaki ibu, demikian ajaran yang selalu didengungkan.
Sejumlah penelitian mengungkapkan faktor penyebab AKI adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; hukum dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok rentan, kemiskinan; kebodohan; kekerasan dalam rumah tangga akibat  relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga; serta masih kuatnya interpretasi agama yang bias jender dan tidak ramah perempuan.

Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan
Hak reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12, menulis dalam bukunya ihya` `Ulumuddin: di antara kewajiban negara memberikan jaminan bagi terpenuhinya lima hak dasar manusia, yaitu: hak hidup; hak kebebasan berkeyakinan; hak kebebasan beropini; hak properti; dan hak reproduksi. Menarik dicatat bahwa perbincangan tentang hak-hak reproduksi di tingkat internasional pertama kali digelar di Kairo tahun 1994. Salah satu alasan mengapa konferensi diadakan di Kairo adalah meluasnya kecenderungan di negara-negara Islam terhadap pengingkaran hak-hak reproduksi perempuan.
Dokumen Kairo menyatakan: “Hak dan kesehatan reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara. Hak-hak reproduksi berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi tiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anak; hak memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi; serta hak menikmati kesehatan reproduksi yang optimal. Suami-isteri secara setara berhak mengambil keputusan tentang reproduksinya yang bebas dari segala bentuk diskriminasi, pemaksaan atau kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan demi meningkatkan sikap saling menghormati secara setara dalam relasi laki dan perempuan, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan untuk remaja sehingga mereka mampu mengatasi masalah seksual secara positif dan bertanggung jawab”. Setiap perempuan mempunyai hak terbebas dari resiko kematian karena kehamilan dan melahirkan. Termasuk juga hak memilih bentuk keluarga, dan hak merencanakan keluarga. Mencakup pula hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan kesehatan, serta hak atas kesetaraan, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan keluarga. 
Puasa sebagai bentuk mekanisme pengendalian diri, termasuk pengendalian terhadap organ-organ reproduksi, seharusnya mampu membuat pelakunya peduli dan berempati terhadap bencana kemanusiaan berkaitan dengan AKI yang sangat tinggi. Puasa hendaknya membuat umat Islam semakin sensitif pada problem-problem kemanusiaan yang nyata dalam masyarakat. Puasa hendaknya menjadi mekanisme pengendalian diri yang efektif bagi kedua pasangan, suami-isteri untuk memastikan tidak ada lagi diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan  dalam kehidupan keluarga. Melalui ibadah puasa, kita berharap para pengambil kebijakan segera mengeluarkan aturan-aturan yang memihak kepada pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Puasa hendaknya sungguh-sungguh membuat kita semua menjadi hamba yang bertakwa (QS. al-Baqarah, 2:183). Hamba yang bertakwa adalah manusia yang peduli dan berempati pada penderitaan sesama, khususnya derita para ibu; dan ikut aktif mencari solusi terhadap problem kemanusiaan di sekitarnya. Selamat berpuasa!





[1] Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Senin, 12 Juni 2017

Puasa dan Pengingkaran Amanah Wakil Rakyat



Tujuan utama puasa Ramadhan adalah menjadikan manusia bukan hanya beriman, melainkan juga bertakwa kepada Allah swt. (QS. al-Baqarah, 2:183). Salah satu indikasi nyata dari keimanan dan ketakwaan seseorang adalah mampu melaksanakan amanah. Arti amanah mencakup segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik menyangkut hak diri sendiri, hak orang lain, maupun hak Allah swt.
 Islam adalah agama yang paling vokal bicara soal amanah. Mengapa? Sebab, pelaksanaan amanah amat menentukan kualitas iman dan takwa seseorang. Itulah sebabnya, Nabi saw. berulang kali bersabda: “Tunaikanlah amanah, dan jangan pernah kamu mengkhianati amanah yang dititipkan kepadamu.” (HR Abu Dawud dan Tirmizi). Karena itu, jangan pernah meremehkan amanah. Sekecil apa pun amanah itu.
Dalam kaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, keselamatan dan kemajuan suatu bangsa, antara lain sangat tergantung pada komitmen para wakil rakyat memegang amanah. Apakah para wakil rakyat di suatu negara sungguh-sungguh memelihara amanah yang dilimpahkan kepadanya?
Sebelumnya, siapakah wakil rakyat itu? Mereka adalah orang-orang yang telah menyatakan komitmennya untuk menjalankan tugas sebagai wakil rakyat secara profesional. Mereka juga telah menyatakan komitmen penuh demi melaksanakan amanah yang dititipkan rakyat dengan sepenuh harapan. Di antara fungsi strategis wakil rakyat adalah menentukan public policy (kebijakan publik) dan membuat undang-undang yang berujung pada peningkatan kualitas layanan publik, selanjutnya peningkatan kualitas kesejahteraan dan kecerdasan rakyat yang diwakilinya. Untuk itu, para wakil rakyat diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah, dan hak budget. Tugas lain yang tidak kurang pentingnya adalah mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan institusi tersebut sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan demi terpenuhinya kepentingan publik.
Amanah merupakan isu penting dalam Al-Qur’an. Kitab suci ini menyebut kata amanah setidaknya dalam lima makna. Pertama, kata amanah disinggung dalam kaitan dengan isu kesaksian (QS, 2:283). Amanah dalam konteks ayat tersebut bermakna keharusan memberikan kesaksian yang benar dan larangan menyembunyikan kebenaran, mekipun resikonya sangat berat. Kedua, disebutkan dalam isu keadilan (QS, 4:58). Amanah berarti  kewajiban menetapkan hukum secara adil, tidak ada diskriminasi, juga tanpa eksploitasi. Ketiga, digunakan dalam kaitan larangan berkhianat (QS, 8:27). Amanah berarti larangan berlaku khianat. Setiap Muslim dan Muslimat diharamkan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta menghianati amanah yang dipercayakan kepadanya. Keempat, disebutkan dalam konteks sifat manusia terpuji  (QS, 70:32). Amanah adalah satu di antara sifat terpuji yang harus dimiliki manusia yang beriman dan bertakwa, yakni sifat manusia yang tidak berkeluh kesah bila mengalami kesulitan hidup, sebaliknya tidak arogan bila mendapatkan kesenangan. Jadi manusia yang amanah adalah manusia yang memiliki integritas kepribadian yang stabil dan mantap, tidak mudah berubah-ubah meski godaan datang silih berganti. Kelima, disebutkan dalam kaitan penciptaan manusia (QS, 33:72). Amanah berarti kemampuan memikul tanggung jawab. Ketika Allah swt. menawarkan amanah untuk mengelola kehidupan dunia kepada langit, bumi, gunung-gunung tak satupun sanggup mengembannya, kecuali manusia. Ternyata, hanya manusia berani menyatakan kesanggupannya.
Menarik dicermati bahwa dalam kaitan dengan pelaksanaan amanah, sejak dini Allah swt. menvonis manusia dengan tudingan negatif sebagai makhluk yang amat zalim dan amat bodoh (QS, 33:72). Mengapa? Karena dalam realitas sosiologis di masyarakat, sebagian besar manusia telah secara vulgar dan terang-terangan, tanpa rasa malu sedikitpun, mempertontonkan perilaku yang amat zalim, amat serakah dan amat bodoh.
 Buktinya, sangat kasat mata. Sebagai contoh, sudah umum diketahui bahwa tugas sebagai wakil rakyat sangat tidak gampang, penuh godaan, penuh fitnah, dan penuh intrik. Walaupun begitu, tetap saja tidak menyurutkan keinginan banyak manusia mengejar jabatan sebagai wakil rakyat yang dipandang prestisius itu. Bahkan, orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi diri untuk jabatan itupun sangat bersemangat meraihnya. Kalau perlu, dengan jalan pintas, seperti money politic.
Bahkan, tidak sedikit manusia yang menggadaikan kehormatan dirinya demi  memperebutkan “posisi terhormat” ini. Mulai dari praktek kampanye yang tidak taat asas; pembohongan publik dengan visi-misi palsu dan janji-janji dusta; penggunaan dana kampanye secara tidak transparan; pemalsuan ijazah; pemalsuan identitas asal-usul; pemalsuan surat rekomendasi; sampai kepada praktek suap-menyuap dengan pimpinan partai atau kelompok penentu. Belum lagi setelah terpilih menjadi wakil rakyat. Tidak sedikit dari mereka mengabaikan amanah, tidak memperjuangkan aspirasi publik. Akibatnya, lahir undang-undang dan peraturan yang isinya jauh dari upaya-upaya mencerdaskan dan mensejahterakan rakyat, bahkan mendiskriminasi dan mengeksploitasi rakyat, terutama kelompok rentan dan minoritas. Demikian pula, tugas untuk mengevaluasi badan eksekutif pun tidak dilakukan dengan baik. Malah, dalam banyak hal berkolaborasi dengan pejabat eksekutif untuk meraup uang rakyat sebanyak-banyaknya, semata-mata memenuhi kepentingan pribadi dan menambah dana partai untuk Pemilu berikutnya.
Puasa Ramadhan hakikatnya merupakan media pelatihan diri yang efektif, terutama. melatih diri agar mampu melaksanakan amanah. Melalui ibadah puasa, diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kemampuan individu mengemban amanah. Minimal, puasa sebulan ini dapat membuat seseorang  mampu menjalankan amanah yang dilimpahkan kepadanya, paling tidak selama 11 bulan mendatang. Lalu, bulan Ramadhan tahun berikutnya diharapkan dia melatih diri lebih intens lagi dengan harapan kualitas iman dan takwanya semakin mantap. Dan pada gilirannya, individu tersebut semakin profesional dalam melaksanakan amanah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Demikianlah diharapkan, dengan bertambah usia manusia dan semakin sering berpuasa, semakin meningkat pula kualitas iman dan takwanya, semakin sempurna kualitas diri manusia. Salah satu indikasinya, semakin profesional mengelola amanah. Subhanallah!!









Minggu, 11 Juni 2017

MAKNA NUZUL Al-QUR’AN BAGI PEREMPUAN



Setiap malam 17 Ramadhan umat Islam memperingati Nuzul Al-Qur’an. Umat Islam meyakini Al-Qur’an pertamakali diwahyukan kepada Rasulullah saw. pada malam itu. Tidak banyak yang tahu bahwa orang pertama meyakini kebenaran Al-Qur’an turun kepada Rasul adalah seorang perempuan. Itulah Khadijah al-Qubra, isteri Nabi yang teramat dihormatinya. Setelah itu, barulah menyusul para sahabat meyakini kebenaran Al-Qur’an.
Al-Qur`an, kitab suci umat Islam diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, kitab suci ini memiliki dimensi kemanusiaan, di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks Al-Qur`an sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Namun, ketika teks-teks itu bersentuhan dengan budaya manusia, muncul distorsi akibat pengaruh budaya, baik disengaja maupun tidak. Akibatnya, interpretasi manusia terhadap teks-teks tersebut sangat beragam dan cenderung menyalahi nilai-nilai Qur’ani yang ideal dan luhur.
Perempuan adalah kelompok paling diuntungkan dengan turunnya Al-Qur’an. Mengapa ? Di bawah tuntunan Al-Qur`an, Muhammad, Rasulullah saw. melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan status perempuan dalam masyarakat Arab jahiliyah. Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Rasul menetapkan hak waris bagi perempuan di saat masyarakat memposisikan mereka hanya sebagai obyek atau bagian dari komoditas yang diwariskan. Rasul menetapkan kepemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandangnya sebagai hak monopoli orang tua atau wali. Rasul melakukan koreksi total terhadap praktek poligami yang biadab dan sudah mentradisi dengan mencontohkan perkawinan monogami bersama Khadijah, isteri tercinta. Bahkan, sebagai ayah, Rasul melarang puterinya, Fatimah dipoligami. Rasul mengangkat Ummu Waraqah menjadi imam shalat, pada saat masyarakat hanya mengenal laki-laki sebagai pemuka agama. Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya lebih tinggi tiga kali dari ayah pada saat masyarakat  memandang ibu tak ubahnya mesin produksi. Rasul menempatkan isteri sebagai mitra sejajar suami di saat masyarakat memandangnya sebagai pelayan dan obyek seksual belaka.
Al-Qur`an menuntun Rasul mengubah posisi dan status perempuan secara revolusioner. Mengubah posisi dan status perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Rasul memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama makhluk, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi), dan juga sama-sama berpotensi menjadi fasad fi al-ardh (perusak di muka bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Tidak ada yang membedakan di antara manusia kecuali prestasi takwanya (Q.S, al-Hujurat, 49:13) dan soal takwa, cuma Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Kewajiban manusia hanyalah ber-fastabiqul khairat (berkompetisi melakukan yang terbaik) demi mengharapkan ridha Allah swt.

Dalam momentum memperingati Nuzul Al-Qur’an tahun ini, perempuan Islam hendaknya melakukan introspeksi diri: Apakah nilai-nilai Qur’ani yang begitu ideal dan luhur telah dihayati dan diamalkan secara optimal dan sungguh-sungguh dalam kehidupan nyata sehari-hari? Apakah ajaran Al-Qur’an soal relasi gender sudah diimplementasikan dengan baik dalam masyarakat? Perempuan harus bangkit dan berani mengubah semua nilai-nilai budaya dan interpretasi agama yang tidak sesuai dengan prinsip dasar Al-Qur`an yang begitu memanusiakan perempuan. Seiring dengan itu, melalui puasa Ramadhan, perempuan pun secara internal harus mampu mengubah semua dimensi buruk dan tercela dalam diri masing-masing, untuk selanjutnya berkompetisi menuju kualitas muttaqin. Semoga setelah ini tingkat kualitas takwa kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Amin!!!

Sabtu, 10 Juni 2017

PUASA DAN KEPEDULIAN SOSIAL



Puasa sebagaimana ibadah lain dalam Islam memiliki dua dimensi, hablun min Allah (hubungan vertikal dengan Allah swt.) dan hablun min an-nas (hubungan horisontal antar-manusia). Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban), maka secara tidak langsung dalam pengabdiannya kepada Allah itu juga akan termanifestasi pengabdiannya kepada kemanusiaan. Dimensi sosial dari puasa itu, antara lain terlihat bahwa jika seseorang karena suatu halangan tertentu tidak berpuasa, maka baginya diwajibkan memberi makan sejumlah fakir-miskin. Dengan demikian makna sosial dari puasa itu adalah menumbuhkan solidaritas sosial atau kepedulian sosial kepada kelompok yang susah dan lapar. Dengan demikian, ibadah puasa diharapkan dapat menumbuhkan dalam diri seseorang keinginan untuk selalu mengorbankan atau mendermakan sebagian harta demi membantu fakir-miskin kapan saja, bukan hanya pada bulan Ramadhan.
Ibadah puasa mengandung sejumlah hikmah, di antaranya: Pertama, puasa  menggugah rasa syukur manusia. Puasa hendaknya dilakukan sebagai ungkapan syukur manusia kepada Sang Pencipta atas berbagai nikmat yang telah diberikan (Q.S. al-Baqarah, 2:183). Kedua, puasa melatih diri  mengendalikan nafsu syahwat, baik syahwat perut maupun syahwat seksual. Dalam keadaan lapar, kekuatan nafsu, termasuk di dalamnya nafsu birahi dapat dieliminir dan ditekan sedemikian rupa. Dalam kaitan inilah Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa telah merasa sanggup berumah tangga, hendaklah ia menikah. Sesungguhnya menikah itu lebih melindungi penglihatan dan lebih memelihara kehormatan. Akan tetapi, jika seseorang belum mampu menikah, hendaknya berpuasa karena puasa itu dapat mengurangi nafsu birahi (HR. Bukhari dari Abdullah ra.). Ketiga, puasa menahan diri dari melakukan berbagai kejahatan dan maksiat. Sebab, maksiat muncul akibat nafsu tidak terkontrol. Keempat, puasa menyehatkan diri, karena pekerjaan perut tidak terlalu berat sebagaimana pada hari-hari biasa. Dalam kaitan ini, sangat relevan sabda Nabi saw.: "Berpuasalah agar kamu sehat" (HR. Abu Daud). Karena itu, dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, di mana banyak orang menderita penyakit jantung, kelebihan kolesterol, obesitas dan sebagainya, puasa dapat menjadi salah satu alternatif penyembuhan. Kelima, puasa melatih kejujuran, kesabaran, dan kedisiplinan serta memperkuat tekad untuk selalu melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Keenam, membangun rasa solidaritas dan kepedulian sosial. Dengan puasa, seseorang diajak merasakan kelaparan, kesusahan dan penderitaan kelompok fakir miskin di sekitarnya. Selanjutnya diharapkan agar timbul solidaritas sosial memikirkan nasib dan membantu meringankan penderitaan mereka. Puasa dapat menjadi media yang menjembatani antara kaya dan miskin, kesenjangan kelompok elit dan marginal dapat dipersempit sehingga memungkinkan terjalin hubungan kasih sayang di antara sesama manusia. Puasa mendorong adanya distribusi kekayaan secara adil. Itulah kebijakan pertama Rasul dalam mewujudkan reformasi sosial.
Di periode akhir Ramadhan ini, umat Islam diingatkan agar lebih menghayati puasa sebagai alat mewujudkan solidaritas dan kepedulian sosial. Sejumlah ayat Al-Qur’an mengecam betapa bahayanya sikap ketidakpedulian sosial. Sebaliknya, menyanjung betapa indahnya sikap kesalehan sosial dan kepedulian sosial. Sejumlah surah dalam  Al-Qur’an, seperti al-Ma’un, al-Humazah, al-Takasur, dan al-Balad. sengaja diturunkan untuk mengapresiasi sikap kepedulian sosial. Intinya, mengecam manusia yang kikir dan enggan membantu sesamanya; mengutuk manusia yang asyik menumpuk harta, berlomba dalam kemewahan dan kekayaan.
Al-Qur’an menjelaskan secara tegas misi utama Rasul adalah membawa rahmat bagi seluruh manusia (Q.S, 21:107) atau dengan ungkapan lain, membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang dipenuhi oleh nilai-nilai kepedulian dan kasih sayang. Bentuk kepedulian dan kasih sayang kepada sesama dapat diwujudkan dengan mendistribusikan harta demi kepentingan sosial. Akan tetapi, cara berbagi harta tidak perlu dengan mengeksploitasi kemiskinan orang-orang yang selama ini sudah menderita akibat kemiskinan itu sendiri. Karena itu, tragedi tewasnya sejumlah orang dalam acara pembagian zakat di Pasuruan sungguh-sungguh mencerminkan sikap ketidakmatangan beragama dan kedangkalan rasa kepedulian sosial, serta  kemiskinan apresiasi terhadap sesama manusia. Model dan cara distribusi harta seperti itu bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Alih-alih pembagian harta membuat orang lain menjadi senang dan gembira, malah sebaliknya membuat orang lain berduka dan menderita.
Walaupun Islam menganjurkan manusia untuk selalu berbagi sebagai perwujudan rasa kasih sayang dan kepedulian kepada sesama, namun diingatkan agar tidak timbul sikap riya’ (suka pamer) dan sum’ah (suka dipuji) pada pelakunya. Setiap ibadah yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah semata, bukan untuk mendapatkan sanjungan, pujian, promosi dan kedudukan mulia di mata manusia.
Sebagai penutup, ada baiknya didengar ucapan Ali bin Abi Thalib berikut: Orang riya’ dan sum’ah mempunyai beberapa ciri, yaitu malas beribadah kalau tidak ada yang menyaksikan; sebaliknya sangat giat bahkan cenderung over acting kalau ada yang menyaksikan, apalagi jika diekspose lewat kamera TV; amalnya bertambah kalau banyak mendapat pujian dan sanjungan, tetapi amalnya akan berkurang kalau sepi pujian. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah diingatkan bahwa semua amal kebaikan  seorang Muslim yang dimotivasi oleh riya’ dan sum’ah akan dijadikan bagai debu berhamburan tidak berharga. Semoga puasa tahun ini sungguh-sungguh menjadikan kita memiliki kepedulian sosial yang tinggi kepada sesama, tanpa harus dicemari oleh sikap riya’ dan sum’ah. Amin.






HIKMAH PUASA: MENGELIMINASI PERILAKU KEKERASAN


Islam diyakini sebagai agama yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Ajarannya mengandung  nilai-nilai universal yang meliputi semua aspek kehidupan manusia. Islam amat menonjolkan prinsip kesetaraan dan kesederajatan manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan persamaan nilai dan derajat kemanusiaan (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kalaupun dalam realitas, terlihat ada perbedaan di antara manusia, perbedaan itu tentu tidaklah dimaksudkan untuk saling menindas, menyakiti dan memusuhi.
Perbedaan adalah sunnatullah untuk tujuan luhur dan ideal, yaitu saling mengenal agar timbul saling pengertian (mutual understanding), dan sekaligus menjadi ajang kompetisi berbuat amal kebajikan menuju takwa. Manusia hanya dibedakan dari aspek prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa, hanya Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Manusia cukup berfastabiqul khairat, berlomba berbuat amal sebanyak mungkin), lalu berpasrah sepenuhnya kepada Sang Penilai Yang Maha Adil.
Demikian ajaran yang termaktub dalam teks-teks suci ajaran Islam. Namun, ketika ajaran luhur itu turun ke bumi dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia, terjadilah distorsi, baik sengaja atau tidak. Sebagian manusia mendapatkan perlakuan tidak sama, diskriminasi, dan bahkan mengalami kekerasan atas nama agama karena perbedaan tafsir, pemahaman agama, perbedaan aliran, dan seterusnya.
Ajaran Islam, seperti termuat dalam Al-Qur’an, sarat dengan nilai-nilai yang dapat dikembangkan sebagai basis kerukunan dan toleransi. Mari simak ayat berikut: Jika Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri untuk beriman? (Yunus, 10:99). Ayat ini menyadarkan Nabi Muhammad saw, betapa beliau sendiri tidak berpretensi memaksa manusia untuk menerima dan mengamalkan ajaran Islam. Ayat itu jelas mengecam perilaku kekerasan, termasuk kekerasan berbasis agama, apa pun alasannya.
Akhirnya, apa yang harus dilakukan? Paling tidak ada tiga hal: Pertama, perlu upaya-upaya konkret membangun budaya toleran dan budaya damai melalui jalur pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga. Namun, juga penting dalam lembaga pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di masyarakat. Tujuannya, mengubah masyarakat; dari berbudaya eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan bersikap pluralis. Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya situasi damai dan saling menghargai di antara sesama warga. Ketiga, reinterpretasi ajaran agama sehingga yang tersosialisasi di masyarakat hanyalah interpretasi agama yang mengedepankan kedamaian dan toleransi, membebaskan manusia dari  belenggu kebencian dan kekerasan.
Dalam konteks melakukan tiga hal inilah puasa menjadi sangat signifikan. Membiasakan puasa dalam kehidupan keluarga akan mengeliminasi rasa permusuhan dan kebencian, sebaliknya memupuk rasa cinta dan kasih sayang di antara anggota keluarga. Puasa akan membuat para pengambil kebijakan merumuskan peraturan yang bermanfat bagi semua tanpa diskriminasi sedikit pun. Puasa yang hakiki akan menuntun para pemuka agama menyuarakan interpretasi agama yang damai dan sejuk, serta akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Puasa hakikatnya adalah sebuah mekanisme kontrol diri agar manusia lebih mengedepankan sisi kemanusiannya yang penuh rasa empati, peduli, toleran, dan kasih sayang kepada sesama manusia dan semua mahkluk dalam kehidupan sehari-hari.  Wa Allah a'lam bi as-shawab.



Kamis, 08 Juni 2017

Puasa Mengefektifkan Kerja Akal


Al-Qur`an dengan redaksi beragam mengajak manusia aktif berpikir  mengenai segala hal, kecuali tentang zat Allah. Pengetahuan tentang zat Allah tidak akan dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia cukup memikirkan makhluk Allah, baik di langit, di bumi, maupun diri manusia sendiri (QS. ar-Rum, 10:42; Ali Imran, 190-191;  ad-Dukhan, 38-39 dan ar-Rad, 3). Mereka yang kreatif berpikir mendapat kedudukan istimewa, dan Al-Qur`an mengapresiasi mereka dengan sejumlah sebutan, seperti: ulul-albab, ulul-`ilm, ulul-absar, dan ulun-nuha yang semuanya berarti  manusia arif dan bijaksana.
Obyek berpikir bukan hanya alam semesta atau ayat-ayat kauniyah, melainkan juga ayat-ayat qauliyyah dalam bentuk wahyu. Yang pertama adalah ayat-ayat yang terlihat, sementara yang kedua adalah ayat-ayat yang terdengar dan terbaca. Ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berisi perintah agar manusia berpikir, Al-Biqa`i, mufassir ternama, menjelaskan makna “laallakum tafakkarun dengan “semoga engkau menjadi orang yang selalu aktif menggunakan pikiran, dan mereka yang menggunakan pikirannya pasti memetik banyak manfaat.”
Berpikir merupakan kerja akal paling menakjubkan. Al-Qur`an menyebut begitu banyak kerja akal, namun ada dua yang utama: Pertama, mendengarkan. Aktivitas mendengarkan terkesan mudah, padahal tidak semua manusia dapat melakukanya dengan baik. Karena itu, mereka yang tidak menggunakan akal digolongkan sebagai orang-orang tuli (QS. Yunus, 10:42).   Kedua, merenungkan secara konsepsional, setidaknya merenungkan berbagai kejadian di alam raya, termasuk fenomena gempa bumi yang akhir-akhir ini makin nyata. Allah menyebut alam semesta dan seluruh fenomena alam ini sebagai tanda bagi orang-orang berakal (QS. al-Ankabut, 29:35 dan al-Rum, 30:24).
Hasil kerja akal melahirkan pertimbangan pengetahuan (hilm), lalu dari hilm lahir petunjuk yang benar (rusyd). Petunjuk yang benar melahirkan kehati-hatian (abstention). Demikian selanjutnya dari kehati-hatian itu timbul rasa malu yang kemudian menciptakan ketakutan. Ketakutan melahirkan amal baik, dan amal baik menghasilkan keengganan berbuat kejahatan. Akhirnyan, keengganan berbuat kejahatan itu membawa kepada ketaatan dan kepatuhan pada perintah Ilahi.
Demi menjelaskan betapa tingginya posisi akal, para filosof Muslim mensejajarkan fungsi akal manusia dengan fungsi Nabi. Keduanya sama-sama berfungsi memberi penerangan dan pencerahan kepada manusia agar terhindar dari kebodohan dan kebiadaban (QS, al-Maidah, 5:15-16). Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia memiliki kedudukan sangat spesifik di mata Tuhan. Manusia adalah khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30). Tugas manusia menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Keunikan manusia adalah ia mewakili Tuhan di bumi ini. Suatu kedudukan yang teramat tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat sekali pun.
Pertanyaannya, mengapa harus manusia menjadi khalifah fi al-ardh? dimana letak keunggulannya? Ali Syariati menjelaskan keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah menciptakan Adam, Allah swt. mengajarkan padanya tentang nama-nama yang faktanya mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian yang dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dianugerahkan pada manusia, tidak diajarkan pada malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa kemuliaan seorang manusia terletak pada pengetahuan dan kecerdasannya, terutama jika keduanya selalu digunakan untuk memberi manfaat sebesar-besarnnya kepada manusia dan kemanusiaan.

Mari kita gunakan kesempatan Ramadhan kali ini untuk lebih meningkatkan dan mengefektifkan kerja-kerja akal, memikirkan dan merenungkan eksistensi diri kita masing-masing sebagai manusia. Apakah kita sebagai makhluk, sudah bersyukur kepada Sang Pencipta? Apakah diri ini berguna bagi sesama manusia? Apakah diri ini bermanfaat bagi alam semesta? Wallahu a’lam bi as-shawab.

Rabu, 07 Juni 2017

Puasa dan Ketakwaan



Al-Qur’an menginformasikan bahwa puasa telah lama dipraktekkan oleh umat-umat lain sebelum Islam. Informasi itu dimaksudkan agar secara psikologis umat Islam tidak merasa berat melakukan puasa karena umat-umat terdahulu pun melakukannya. Namun, Al-Qur’an menegaskan bahwa kewajiban puasa hanya ditujukan kepada orang-orang beriman: perempuan dan laki-laki. Tujuannya jelas, seperti disebut dalam QS. al-Baqarah, 2:183, yaitu menjadi orang yang sungguh-sungguh bertakwa kepada Allah swt.
Pertanyaan muncul, siapa itu orang-orang bertakwa? Apakah mereka yang menyebut Islam sebagai agama dalam KTP? Apakah mereka yang menggunakan simbol-simbol kearaban? Apakah mereka yang aktif dalam organisasi-organisasi berbendera Islam yang sekarang menjamur di masyarakat? Apakah mereka yang eforia mengusung partai-partai berlabel Islam?
Al-Qur’an tidak menyebut secara rinci siapa dimaksud dengan orang bertakwa, melainkan hanya menyebut sejumlah ciri. Di antaranya, beriman kepada Allah swt,  malaikat, nabi dan rasul, serta hari akhirat; konsisten menegakkan shalat; kontinyu menafkahkan harta untuk kelompok tertindas; dan senantiasa mendapat petunjuk Allah (QS. Al-Baqarah, 2-5). Logikanya, jika seseorang sungguh-sungguh beriman kepada Allah, malaikat, nabi dan rasul-Nya, pasti dia selalu berperilaku santun dan terpuji, serta terpelihara dari perbuatan tercela dan memalukan. Jika seseorang sungguh-sungguh percaya hari akhirat, pasti tidak berani korupsi dan memanipulasi anggaran proyek, tidak berani melakukan kekerasan dan mengeksploitasi sesamanya, serta tidak merusak kelestarian alam. Jika seseorang konsisten menegakkan shalat, pasti terhindar dari segala bentuk perilaku keji dan mungkar, perilaku tidak manusiawi dan menyakiti hati sesama. Jika seseorang kontinyu menafkahkan harta, pasti terhindar dari perilaku kapitalis, rentenir, serakah, dan sewenang-wenang. Jika seseorang telah mendapat petunjuk Allah swt, hatinya pasti penuh diliputi cinta, kasih sayang, dan kedamaian sehingga tidak ada ruang dalam dirinya untuk membenci, menghujat, mengeksploitasi, dan melakukan kekerasan demi alasan apa pun.
Puasa itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama disebut puasa umum, yaitu menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual. Tingkat kedua dinamakan puasa khusus, yaitu di samping menahan diri dari tiga hal yang disebutkan terdahulu, juga menahan seluruh anggota tubuh lainnya, seperti mulut, telinga, mata, kaki dan tangan dari semua perilaku yang berpotensi mendatangkan dosa. Tingkat ketiga, sering disebut sebagai puasa paling khusus. Puasa jenis ini bukan hanya menahan tubuh jasmaniah, melainkan juga aspek batiniah, seperti pikiran, perasaan, dan angan-angan dari semua hal yang berpotensi membawa kepada dosa dan maksiat. Puasa seperti inilah yang dapat menenangkan hati pelakunya dari berbagai godaan, hasrat dan keinginan. Puasa yang mendorong pelakunya untuk menghormati sesama manusia dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Seyogyanya, semakin bertambah usia manusia semakin tinggi pula tingkat amalan puasanya, tidak hanya sebatas menjaga diri dari makan, minum dan seks.
Puasa yang dilakukan umat Islam setiap bulan Ramadhan seharusnya menjadi media pendidikan yang mampu mengubah dan mengembangkan ketiga potensi dasar dalam diri manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke arah lebih baik, lebih positif dan lebih manusiawi. Puasa harus mengubah pengetahuan dan wawasan manusia menjadi lebih luas dan terbuka. Puasa harus mengubah sikap manusia ke arah lebih inklusif, lebih toleran, lebih pluralis, dan lebih humanis sehingga tercipta kedamaian dalam masyarakat, bukan kekerasan atas nama apa pun. Puasa harus mengubah perilaku manusia ke arah perilaku lebih sopan, lebih santun dan bermoral.  Wallahu a’lam bi al-shawab.


Puasa Ramadhan Sebagai Media Transformasi dan Pembebasan




Musdah Mulia[1]

Puasa Ramadhan adalah sebuah mekanisme pensucian diri. Qur’an menegaskan, kewajiban puasa dimaksudkan agar orang beriman jadi lebih takwa atau bermoral (al-Baqarah, 2:183). Seluruh ibadah dalam Islam berujung pada peningkatan moral manusia (akhlak karimah). “Saya diutus ke dunia semata-mata untuk menyempurnakan akhlak karimah”, demikian sabda Rasul.
Seyogyanya, semakin seseorang bertekun dalam ibadah, ia semakin bermoral, semakin berempati kepada sesama dan semakin peduli pada lingkungan, itulah ciri-ciri takwa. Ibadah sepenuhnya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia. Puasa harus dapat membuat manusia jadi lebih manusiawi, menghormati sesama dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Tapi, dalam realitas sehari-hari tidak demikian. Dalam konteks inilah Rasul menjelaskan, sebagian besar manusia puasa, namun hanya merasakan lapar dan dahaga.
Terkait puasa, perlu dijelaskan, puasa ada tiga tingkat. Pertama, disebut puasa awam, sekedar menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual di siang hari.  Puasa model ini sebetulnya hanya memindahkan jam makan dan aktivitas seksual. Kedua, disebut puasa khusus, di samping mampu menahan diri dari tiga hal tadi juga menahan seluruh anggota tubuh, seperti mulut, telinga, mata, kaki dan tangan dari perilaku yang berpotensi mendatangkan dosa. Ketiga, disebut sebagai puasa paling khusus karena melibatkan bukan hanya aspek jasmaniah, melainkan juga aspek batiniah, yakni menahan pikiran dan perasaan dari semua hal yang berpotensi membawa kepada dosa dan maksiat. Puasa model ini dapat meneguhkan hati dari berbagai godaan hasrat badani yang konsumtif dan hedonistik.
Puasa harus menyadarkan umat Islam bahwa musuh agama yang utama adalah ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan. Para pemuka agama dan penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) mengemban amanah untuk membantu masyarakat terbebas dari musuh-musuh agama tersebut.

Potret masyarakat dalam bulan Ramadhan
Mari amati realitas sosiologis dalam masyarakat. Seminggu jelang puasa, harga- sembako dan bahan pokok lain melambung dan terus melambung sampai akhir Ramadhan. Bahkan, bahan bakar (BBM) pun mengalami kelangkaan. Ironis sekali, puasa seharusnya membuat komsumsi masyarakat turun, dan akibat lanjutnya permintaan barang menurun sehingga harga-harga pun tidak melonjak. Kalau begitu, realitas yang ada dapat dimaknai sebagai ketidakbecusan pemerintah mengelola perdagangan; atau ketidakmampuan pemerintah menjaga kestabilan ekonomi; atau ketidakmampuan masyarakat menahan nafsu komsumtif dan hedonistik.
Selama Ramadhan media tak habisnya memberitakan fenomena kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan, kezaliman, dan perilaku korup para elit. Potret warga antri sembako, antri air bersih, dan antri BBM menghiasi lembaran surat kabar. Seiring dengan itu, aktivitas dakwah meningkat drastis, mulai dari acara dakwah di TV, masjid dan musholla, acara buka bersama dan shalat tarawih di berbagai hotel berbintang dan rumah-rumah pejabat. Ringkasnya, tiada detik tanpa dakwah. Apakah dakwah bertaburan itu secara signifikan melahirkan masyarakat bermoral dan peduli terhadap sesama? Jawabnya sudah diketahui.
Ketika waktu berbuka puasa tiba, tidak semua orang, terutama mereka yang hidup di ibu kota dapat berbuka dengan tenang bersama keluarga di rumah. Sebagian besar terpaksa berbuka di pinggir jalan atau sambil berkendaraan karena tingkat kemacetan lalu lintas semakin parah dan sudah tidak manusiawi. Kebijakan pemerintah mengelola kemacetan tampaknya hanya bersipat tambal-sulam, tidak menyentuh akar masalah sama sekali. Pemerintah kota lumpuh menghadapi pertambahan jumlah kendaraan, terutama motor, sementara angkutan publik terabaikan.
Pada waktu malam, ketika kebanyakan warga perlu istirahat, malah terusik oleh suara loud speaker mesjid yang memekakkan telinga, padahal sudah ada aturan yang membatasi. Boleh saja aktivitas di mesjid berjalan 24 jam, tapi hindari menimbulkan suara gaduh, menggunakan loud speaker dengan volume sangat tinggi, terutama jika lokasi masjid terletak dekat rumah sakit atau gedung sekolah. Demikian pula, tradisi membangunkan warga di waktu sahur dengan membunyikan beduk, meneriaki warga melalui loud speaker, memukul tiang listrik atau cara lainnya sungguh tidak Islami.

Puasa harus membebaskan
Lalu, bagaimana menjadikan agama sebagai media transformasi dan pembebasan? Pertama, lakukan puasa dan juga ibadah lain dengan penuh keikhlasan semata-mata mengharapkan ridha Allah, mendisiplinkan diri dan memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Waktu sahur sebaiknya digunakan untuk salat tahajjud, berzikir, bertafakkur, dan makan sahur seadanya, tidak berlebihan seperti orang balas dendam. Hindari semua tontonan, seperti siaran TV yang sarat dengan acara yang lebih mirip fashion show dan dagelan tidak bermutu; atau tayangan tidak edukatif, beraroma horor, porno dan kekerasan. Hindari perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai puasa, seperti  mengambil hak orang lain, memaksa penutupan warung dan restoran, membuang sampah sembarangan, memanipulasi angka-angka proyek, menggunjing dan menzalimi sesama.
Kedua, sudah saatnya umat Islam menjadi cerdas dan berkualitas, perlu dakwah bermutu dan mampu mentransformasikan masyarakat menjadi lebih bermoral dan berspiritual. Dakwah agama (di mesjid, TV, sekolah dan berbagai pengajian) harus mampu merespon persoalan kontemporer yang riil dihadapi umat sehari-hari. Misalnya, bagaimana memenuhi kebutuhan pokok dengan harga terjangkau sehingga tidak tampak lagi para pengemis di jalan-jalan; Bagaimana menyelesaikan persoalan sampah, kebutuhan air bersih, listrik, pemukiman dan transportasi. Bagaimana mengeliminasi kemiskinan, buta huruf, pengangguran, trafficking (perdagangan manusia), dan korupsi. Bagaimana mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang bermutu, tapi terjangkau. Bagaimana melepaskan umat dari belenggu radikalisme dan terorisme.
Ketiga, akhiri segala bentuk komersialisasi dan politisasi agama. Sudah waktunya umat Islam tidak menjadikan agama sekedar upacara ritual seremonial tanpa makna, tidak menjadikan agama sebagai komoditas politik dan alat mempersubur kapitalisme. Berhentilah memproduksi dan menggantung spanduk dengan ucapan Selamat Puasa; Selamat Idul Fitri, dan berbagai ucapan selamat atas nama agama dan atas nama Tuhan. Itu semua tidak Islami, mengganggu pemandangan, menambah produksi sampah, merusak lingkungan, perbuatan sia-sia, dan mubazir.
Keempat, sudah masanya mengubah orientasi pendidikan agama, jangan lagi berkutat pada aspek legal formal semata. Sejumlah penelitian mengungkapkan keprihatinan, bahwa pendidikan agama justru menumbuhkan sikap permusuhan dan kebencian pada orang berbeda. Pendidikan agama membuat orang bersikap prejudice, menjadi tidak toleran dan rela melakukan kekerasan terhadap orang lain yang dianggap tidak seiman. Pendidikan agama hendaknya lebih fokus pada penanaman nilai-nilai kemanusiaan universal yang justru merupakan esensi agama, seperti keadilan, kejujuran, kebersihan, keindahan, kesabaran, toleransi dan kedermawanan. Penghayatan terhadap nilai-nilai inilah yang akan menumbuhkan sikap dan perilaku santun, adil, jujur, amanah, rendah hati, welas asih, rela berkorban, empati, mencintai dan menghormati sesama manusia tanpa sekat apa pun, menyayangi makhluk lain serta mencintai kelestarian lingkungan.
Kelima, sudah sangat mendesak menyuarakan interpretasi agama yang kondusif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan juga ramah terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Interpretasi agama harus mampu memberi inspirasi kepada umat melahirkan karya-karya inovatif dan kreatif dalam berbagai bidang pembangunan sehingga agama sungguh-sungguh menjadi pendorong kemajuan peradaban manusia.
Dengan puasa Ramadhan kali ini, kita berharap terjadi proses transformasi diri dan pada akhirnya terbebaskan dari semua musuh agama sehingga kita menjadi hamba yang bertakwa, berguna bagi sesama dan alam semesta. Wallahu a’lam bi as-shawab.












[1] Anggota Akademi IlmuPengetahuan Indonesia (AIPI)