Senin, 17 Desember 2018

MEMAKNAI WARISAN DALAM ISLAM


Musdah Mulia

Pada dasarnya, usaha untuk merumuskan visi baru hukum kewarisan dalam Islam harus selalu memperhatikan kesesuaian antara pejelasan tekstual yang termaktub dalam al-Qur’an dengan realitas kontekstual yang terdapat di dalam masyarakat. Kesesuaian tersebut diperlukan terutama untuk mensinergikan antara otoritas wahyu sebagai sumber otentik hukum Islam dengan kebutuhan manusia sebagai pelaksana syari’at. Kesesuaian itu hanya dapat terwujud bilamana argumentasi naqli (revealation) berjalan seiring bersama dengan argumentasi aqli (reason).  
Di dalam al-Qur’an, terdapat sejumlah ayat yang membicarakan kewarisan secara khusus. Dalil-dalil tersebut antara lain surat al-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 19, 33, dan 176, surat al-Anfal ayat 72 dan 75, serta surat al-Ahzab ayat 6. Di samping itu, terdapat pula sejumlah hadits yang terdapat di dalam kutub al-tis’ah yang mendukung serta memperjelas ayat-ayat tersebut. Dalil-dalil itulah kemudian yang dijadikan sebagai patokan dalam menyusun hukum kewarisan sebagaimana dilakukan oleh para ulama fikih beberapa abad silam.
Dengan merujuk pada penjelasan dalil-dalil naqli yang disebutkan di atas, terkumpul beberapa dalil aqli yang dapat mereposisi kedudukan perempuan dalam sistem pewarisan Islam. Dalil-dalil aqli tersebut antara lain:
Pertama, bahagian waris perempuan tidak selamanya mendapat setengah bagian laki-laki sebagaimana dipahami dalam kitab-kitab fikih selama ini, melainkan cukup beragam. Bahagian anak perempuan, misalnya, memiliki tiga formulasi; mendapat ½ bagian jika sendirian, 2/3 bagian jika jumlahnya dua orang atau lebih, dan mendapat ½ dari bagian laki-laki jika posisinya sebagai ashobat. Demikian pula perempuan dalam posisinya sebagai ibu. Bahagian ibu sebagai ahli waris juga memiliki tiga formulasi; mendapat 1/6 bagian jika bersama anak pewaris atau saudara pewaris; 1/3 jika sendirian, 1/3 sisa jika bersama suami/istri atau ayah pewaris. 
Hal yang sama juga terlihat pada bagian perempuan dalam posisi sebagai istri. Istri memiliki dua kemungkinan formulasi; mendapat ¼ bagian jika suaminya tidak meninggalkan keturunan dan 1/8 jika ada keturunan. Bahkan dalam posisi sebagai orang yang memerdekakan hamba sahaya dan pewaris tidak meninggalkan ahli waris, perempuan mendapatkan bahagian yang sama banyak dengan laki-laki, yaitu sama-sama menjadi ashabat.
Formulasi bagian yang beragam bagi perempuan menunjukkan bahwa model pembagian waris untuk perempuan adalah dinamis, tidak statis. Jumlahnya bergerak dari satu bentuk formulasi ke bentuk yang lain. Kemungkinan mendapat bagian yang beragam seperti ini memunculkan tiga gagasan.
Pertama, formulasi jumlah warisan bagi seorang ahli waris tidak ada yang baku, melainkan disesuaikan dengan posisi dan jumlah ahli waris. 
Kedua, perempuan, termasuk perempuan jauh dalam urutan kekerabatan, tidak boleh sama sekali dicabut hak warisnya. Gagasan ini sesungguhnya merevisi kebiasaan pra-Islam yang memberikan harta peninggalan dari anak cucu wanita kepada kerabat laki-laki, betapa pun jauhnya. 
Ketiga, semua distribusi warisan di antara saudara-saudara lainnya harus adil. Keadilah dalam warisan harus benar-benar mempertimbangkan nafkah (manfaat) bagi orang-orang yang ditinggalkan  
Karena itu, pembagian warisan perlu mempertimbangkan kondisi setiap ahli waris, jasa ahli waris kepada pewaris, dan manfaat dari harta yang diwariskan itu.
Sebagai contoh, jika ahli waris terdiri dari seorang ibu dengan tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang merawat sang ibu, maka apakah adil jika si anak perempuan hanya mendapatkan setengah dari bagian anak laki-laki? Atau kondisi si anak perempuan tadi lebih miskin dan lebih membutuhkan dari pada saudaranya yang laki-laki. 
Dengan memberikan jumlah warisan yang lebih besar kepada anak perempuan yang merawat ibunya atau kepada anak perempuan yang lebih membutuhkan harta tersebut, maka harta warisan menjadi lebih bermanfaat.
Al-Qur’an memang tidak menjelaskan secara rinci akan kemungkinan-kemungkinan perubahan formulasi tersebut, namun dengan memperlihatkan formulasi yang beragam itu sudah cukup jelas maksud dan pesan yang terkandung di dalamnya, yakni bahwa pembagian warisan harus mengutamakan pesan keadilan, termasuk keadilah gender, bukan ketentuan formal yang kaku sebagaimana terbaca dalam bunyi teks.

Kedua, ayat-ayat tentang kewarisan pada hakikatnya merupakan respons Al-Qur’an terhadap kondisi sosio-historis yang berlaku pada masyarakat Arab di masa itu. Perempuan adalah makhluk yang tidak berhak berharta karena itu posisinya disamakan dengan warisan. Mereka merupakan salah satu komoditas yang diwariskan. Secara historis-sosiologis, ayat ini menyadarkan masyarakat dengan melakukan koreksi total terhadap posisi perempuan dari sebagai obyek warisan menjadi subyek yang mewarisi, atau dari makhluk yang tidak berhak berharta menjadi berharta. Karena itu, jumlah bagian yang ditetapkan hanya merupakan langkah awal bagi upaya perbaikan posisi perempuan pada masa itu. Tentu saja upaya awal itu harus menjadi inspirasi bagi perubahan bagian warisan untuk perempuan. Artinya, jumlah warisan untuk perempuan dapat berubah sesuai perubahan ruang dan waktu.

Ketiga, secara teologis-sosiologis, alasan yang sering muncul dalam kitab-kitab fikih klasik mengenai kelebihan bagian laki-laki adalah karena mereka dituntut memberikan mahar dan nafkah kepada istri dan keluarganya. Dewasa ini, sudah banyak perempuan berkontribusi dalam ekonomi keluarga, bahkan tidak sedikit yang menjadi penyangga utama kebutuhan ekonomi keluarga. 
Dengan ungkapan lain, tuntutan mencari nafkah berlaku bagi keduanya (laki-laki dan perempuan) sehingga dengan demikian pembagian yang lebih besar kepada laki-laki tidak relevan lagi. Namun, perlu dicatat bahwa tugas-tugas reproduksi jauh lebih mulia dari pada tugas mencari nafkah. Dalam konteks ini sudah seharusnya disosialisasikan di masyarakat bahwa kerja isteri di rumah tangga lebih tinggi nilainya dari pada kerja suami mencari nafkah. Hal ini diperlukan untuk membangun apresiasi yang tinggi terhadap pilihan perempuan untuk bekerja di ruang domestik.

Keempat, dalam masyarakat masih sering dijumpai pemberian hibah atau wasiat kepada anak-anak perempuan oleh para orang tua, termasuk oleh mereka yang mengerti agama sekalipun. Pemberian itu dimaksudkan agar anak-anak perempuan mereka menerima perlakuan yang adil dengan mendapatkan harta yang kira-kira sama jumlahnya dengan harta yang diperoleh anak laki-laki melalui pewarisan. Hal ini mengindikasikan ketidakpercayaan mereka akan keadilan yang ditetapkan melalui pewarisan. Daripada melakukan praktek pemberian harta di luar mekanisme warisan, baik melalui hibah, wasiat, atau pembagian warisan ketika orang tua masih hidup, adalah lebih baik mengubah format bagian perempuan ke arah yang lebih adil.

Argumentasi aqli yang dijabarkan di atas, pada dasarnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip penetapan hukum Islam (istimbath al-ahkam). Sebagai bahan refleksi, berikut akan diuraikan beberapa prinsip penetapan hukum Islam yang dapat menguatkan beberapa argumentasi di atas:
1. Segala urusan sesuai dengan maksudnya (al-umuru bi maqashiduha)
Segala amal manusia bermula dari iradat-nya, yaitu berangkat dari ikhtiar yang terhajat kepada sesuatu pekerjaan dengan sesuatu maksud yang disebut qashad atau niat. Niat yang terkandung dalam hati seseorang pada saat melakukan sesuatu aktivitas tersebut, apakah nilai perbuatan itu temasuk amal syariat atau perbuatan biasa. Adapun yang menjadi sumber kaidah ini antara lain QS. Ali Imran (3):45 yang berbunyi: …Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Di samping itu, ada pula hadis Nabi yang berbunyi: … Sesungguhnya segala amal itu menurut niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh apa yang diniatkannya … (HR. Jama’ah dari Umar).
Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, dan Daruquthni sepakat menetapkan  bahwa niat menempati sepertiga dari ilmu pengetahuan Islam. Niat berpangkal pada hati yang seing disebut aktivitas kejiwaan. Aktivitas kejiwaan ini lebih kuat daripada aktivitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. Hal ini disebabkan karena niat dapat berfungsi ibadah yang berdiri sendiri, sedangkan aktivitas yang lain tidak dapat berfungsi jika tidak didukung niat.

2. Kesukaran mendatangkan kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taisir)
Syariat Islam bersifat umum, tidak hanya untuk sesuatu keadaan tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian, dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan kesukaran dan kemudaratan pada sebahagian manusia. Dalam keadaan demikian, syariat Islam memberikan kelapangan untuk menolak kesukaran yang dia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, perhatikan QS. Al-Baqarah  (2): 185 yang berbunyi: …Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

3. Kemudaratan harus ditinggalkan (al-dhararu yuzalu)
Kaidah ini bersumber antara lain dari QS. Al-Qashash (28): 77 yang berbunyi: …Sesungguhnya Alla tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakanAyat ini menjelaskan aturan-aturan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan cara ma’ruf dan menghindari hal-hal yang mendatangkan kemudaratan. Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa sesuatu tindakan yang semula diharamkan oleh syariat, tetapi karena adanya suatu hajat untuk melepaskan diri dari suatu kesulitan, maka gugurlah keharamannya untuk semantara waktu, hingga berakhirnya hajat itu.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa apabila terdapat kontroversi dalam satu masalah, yaitu: antara kerusakan dan kemashlahatan, maka menolak kerusakan harus lebih dahulu daripada menarik kemashlahatan (dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih). Begitu juga apabila terdapat dua kerusakan, maka harus terlebih dahulu dipilih yang lebih kecil mudaratnya, sekalipun pada dasarnya setiap kemudaratan besar atau kecil harus dihindari.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kaidah ini erat hubungannya dengan kadar (ukuran) dan yang berkaitan dengan waktu (masa). Sesuatu larangan dibolehkan sesuai dengan kadarnya dan sesuatu kewajiban dapat ditinggalkan karena sifatnya temporer.

4. Adat dapat ditetapkan menjadi hukum (al-‘adatu muhakkamah)
Kaidah ini bersumber antara lain QS. Al-A’raf (7): 157 yang berbunyi, … Menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang munkar… Ayat ini menjelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila adat kebiasaan itu dinilai baik dan membawa kemashlahatan manusia. Adat yang baik adalah kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan akal sehat dan sejalan dengan hati nurani dan dalam penerapannya sulit untuk ditolak sebagai suatu hukum yang berlaku.
Adat kebiasaan yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang telah mafhum di tengah-tengah masyarakat karena berulang kali dilaksanakan sehingga menjadi norma hukum dalam masyarakat bersangkutan. Penggunaan adat sebagai sumber hukum banyak terlihat pada hasil ijtihad Imam mazhab; seperti Imam Malik banyak dipengaruhi adat masyarakat kota Madinah; Imam Syafi’i banyak dipengaruhi oleh adat masyarakat Mesir pada qaul jadid-nya dan pengaruh masyarakat Bagdad pada qaul qadim-nya. Pengaruh adat dalam kehidupan hukum adlah sesuatu hal yang tidak perlu dirisaukan sebab hukum yang bersumber dari adat pada prinsipnya mengandung unsur dinamika dan mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menumbuhkan suatu kebiasaan agar dapat sesuai dengan perkembangan zaman dan agama.
Dalam hukum Islam, adat suatu masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila tidak bertentangan dengan nas, atau kaidah-kaidahnya tidak teradapat dalam nas. Hal ini dapat dipahami bahwa adat yang diterima adalah yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Dengan demikian, adat dalam pembentukan hukum Islam menjadi salah satu sumber penting. Hukum adat dapat diberlakukan sebagai sumber hukum Islam apabila kaidah-kaidahnya tidak terdapat dalam nas dan tidak bertentangan dengan nash yang ada yang mengakibatkan timbulnya pertentangan antara sumber hukum Islam dengan kebiasaan yang mentradisi.

5. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tidak terhapus karena adanya keraguan (al-yaqin la yuzal bi al-syak)
Kaidah ini bersumber antara lain QS. Al-Baqarah (2): 200-201 yang berbunyi, …Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
Ayat ini menjelaskan prinsip keyakinan tidak dapat dihapus oleh adanya keraguan. Ayat pertama mengisyaratkan adanya di antara segolongan umat Islam yang belum mempunyai keyakinan secara mantap terhadap suatu kebahagiaan yang abadi. Mereka meyakini segala sesuatu yang bersifat faktual, sehingga dalam berdoa tujuannya untuk mencapai kebahagian dunia semata. Sementara pada ayat kedua diisyaratkan bahwa sebagian manusia telah yakin adanya kehidupan yang abadi sehingga dalam berdoa senantiasa memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat serta keselarasan antara keduanya.

6. Kepastian dan kebijaksanaan hukum dalam Al-Qur’an
Di dalam ilmu ushul fikih terdapat pembahasan tentang qath’iy dan zhanniyQath’iy adalah nas-nas yang pasti, jelas, dan tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, zhanniy adalah nas-nas yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nas (nas yang mengaturnya bersifat zhanniy) hukumnya dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Akan tetapi, dalam persoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nas (nas yang mengaturnya bersifat qath’iy) umumnya ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.

Kapan sebuah hukum dapat berubah??
Berbeda dengan kebanyakan pendapat ulama di atas, yurisprudensi (keputusan-keputusan hukum berdasarkan ijtihad dan fatwa), Khalifah Umar ra menunjukkan kebolehan perubahan ketentuan hukum atau nas jika kondisi atau kemashlahatan masyarakat menghendakinya. Berikut ini beberapa ketentuan yang membolehkan perubahan hukum sebagaimana terbaca dalam nas:

a. Kebolehan karena darurat (al-ibahah bi al-dharurah)
Salah satu prinsip kebijaksanaan hukum dalam Al-Qur’an, bahwa sesuatu yang semula hukumnya haram dapat berubah menjadi halal karena adanya faktor kedaruratan (terpaksa atau ada hal yang dapat membahayakan hukum dharuriy). Adanya keadaan darurat menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberikan kebijaksanaan di balik kepastian hukum yang telah ditetapkannya dengan maksud agar kemashlahatan manusia (al-mashlahat al-insaniyah) dapat terealisasi sejalan dengan keadaan dengan kadar kemampuan manusia.

b. Keringanan dalam kesulitan (al-rukhshah bi al-masyaqqah)
Perlu ditegaskan bahwa kemampuan manusia merupakan ukuran untuk dapat diterapkan secara sempurna suatu ketentuan hukum. Oleh karena itu, jika dalam proses pelaksanaan ketentuan hukum ditemukan keadaan yang menyulitkan (al-masyaqqah), maka berlaku hukum rukhshah, yakni pemberian keringanan dalam pelaksanaan hukum melalui penyimpangan dari ketentuan hukum semula (‘azimah). Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Nisa (4): 101 yang berbunyi, Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Ayat ini menjelaskan kebolehan memendekkan shalat di kala bepergian (safar) yang pada umumnya menimbulkan berbagai kesulitan dan kesusahan sehingga suatu kewajiban tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tentang alasan atau illat adanya rukhshah seperti dapat dipahami dari ayat tersebut adalah karena dalam keadaan khauf (takut karena dalam keadaan berperang/gawat). Namun demikian, alasan kebolehan rukhshah tidak hanya karena khauf dan safar, bahkan dapat ditafsirkan kepada hal-hal yang lebih luas lagi yang mengandung unsur kesulitan. Keadaan darurat merupakan salah satu alasan kebolehan atau berlakunya rukhshah.

C.Kebijaksanaan dalam pelaksanaan hukum (al-‘uqubat)
Di dalam hukum Islam, setiap pelanggaran (al-jarimah) terdapat ancaman hukuman terhadap pelakunya (al-Jani). Namun demikian, jika dibandingkan antara ancaman hukum yang telah ditetapkan (hudud) dengan yang belum ada ketentuannya (ta’zir), maka peluang ta’zirlebih banyak dan lebih luas dari pada peluang untuk melaksanakan hukuman hudud. Sanksi jarimah hududdalam al-Qur’an hanya dapat ditemukan secara pasti pada empat ayat yaitu ayat dua dan empat surat al-Nur (24) tentang hukuman bagi pezina (al-zani) dan penuduh zina (qazhf, al-muhshanat); ayat 33 dan 38 surat al-Maidah tentang hukuman pengacau dan pencuri. Sedangkan jarimah hudud lainnya yang telah disepakati para ulama, ketentuan saknsi hukumnya ditetapkan berdasarkan hadis. Demikian pula dalam jarimah qishash, ancaman hukumannya telah ditentukan, dapat berubah menjadi hukuman denda (diyat) yang ketentuannya (ukuran/kadar banyaknya) ditetapkan berdasarkan hadis dan ijtihad ulama.
Sebagai pentup bagian ini, menarik untuk dikaji komentar Abbas Mahmud al-Aqqad tentang tindakan atau fatwa khalifah Umar ra. yang secara tekstual menyalahi nas. Beliau menyatakan bahwa ijtihad Umar ra. tersebut bukanlah berarti bertentangan dengan nas, tetapi justru sejalan dengan nas. Karena pada prinsipnya konteks nas itu dapat dipisahkan dengan kondisi masyarakat. 
Tidak ada keharusan memaksakan kemutlakan hukum-hukum Islam secara utuh ke dalam masyarakat yang masih bervariasi. Dengan demikian, tindakan Abu Bakar ra. dan Umar ra. dalam mengumpulkan dan mengkodifikasikan al-Qur’an tidaklah bertentangan dengan nas dan maksud syariat. Sebab, sekalipun tidak secara jelas ditunjuk suatu nas, akan tetapi tuntutan kemashlahatan yang menghendakinya. Demikian pula tindakan Umar ra.(yang sering dinilai sebagai suatu tindakan kontroversial) sekalipun secara tekstual menyalahi al-Qur’an, akan tetapi dilihat dari ruh syariat, tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Tindakan Umar ra. merupakan upaya pemahaman terhadap hikmah tertentu yang terkandung dibalik suatu nas.

Peacebuilding in Indonesia


Peacebuilding in Indonesia
Musdah Mulia 

As we know, peacebuilding is the set of initiatives by diverse actors in government and civil society to address the root causes of violence and protect civilians before, during, and after violent conflict. The ultimate objective of peacebuilding is to reduce and eliminate the frequency and severity of violent conflict. Peacebuilding seeks to prevent, reduce, transform, and help people recover from violence in all forms. Strategic peacebuilding recognizes the complexity of the tasks required to build peace.
Peacebuilding is strategic when resources, actors, and approaches are coordinated to accomplish multiple goals and address multiple issues for the long term. In my experience, peacebuilding is a very complex phenomenon; interlinking democratization, infrastructure, security, education, human rights, religion, and many other topics. Peacebuilding is also something that is quite simply impossible in the short-term, peacebuilding requires years of sustained big efforts to ensure that all needs are met in both the short- and the long-term.
Talking about peacebuilding, I believe that women play a vital role, particularly in securing the three pillars of sustainable peace: economic recovery and reconciliation; social cohesion and development; and political legitimacy, security and governance. However in the reality, women have traditionally played a limited role in peacebuilding processes even though they often bear the responsibility for providing for their families' basic needs in the aftermath of violent conflict.
In my experience, the core of peacebuilding is safeguards human beings against harm, creates secure environment, enhance human development, radiates the soul, strengthen religious piety, increases faith and love, creates tranquility in the home, fosters healthy families, helps children to live fruitful lives, increases wealth, brings prosperity to nations, promotes individual responsibility, strengthens our inner resources, fosters creative thinking, allows culture and arts to flourish, heightens respect and appreciation for others, recognizes all humans as equal, affirms that all religion are for peace. However in reality it is so difficult to improve our peacebuilding efforts.

There are at least four barriers in improving peacebuilding efforts in Indonesia. First, the cultural barriers. A number of studies on peacebuilding in Indonesia explain that the main obstacle in peacebuilding is cultural barriers. Indonesian people still holds firm the values of gender inequality, feudalism and intolerance which are not conducive for the implementation of democracy and human rights. Our society still holds firm the values of patriarchal culture, which are not conducive for the principle of democracy. The indicators of such culture, among others, are: Our society still adheres to beliefs that give preference according to sex. In all matters men have the advantage over women, boys have priority over girls. This culture is deeply interwoven in society and introduced into all aspects of life, such as in religion, education, economy, and politics.

Secondly, the structural barriers. Structural obstacle in the form of discriminative public policies and laws, particularly towards women, minority religion groups and vulnerable people. The ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) has recorded more less 147 discriminative regulations in regards to the implementation of democracy and fulfillment of human rights. As long as those laws are permitted to prevail, there is always a strong potential for violence and conflict in society.

Let me elaborate some of discriminative regulations. First, the Law on the Citizenship states only six religions that are acknowledged by the state. So, until now, the government only recognizes the fulfillment of civil and political rights for the congregations of these six religions. Of course these regulations are absolutely in contradiction to the principle of democracy. As a result, followers of religions other than the mentioned six religions are not permitted to publicly declare their religion in their Identity Cards, Marriage Certificates and other official documents. So, in the social life the congregations of other religions like Baha’i, Sikhism, Tao, and Jews, and also all indigenous religions, they have to choose one of these six recognized religion in their identity cards. In general, the followers of the Baha’i declare themselves as Muslims in their Identity Cards, as also is the case with the Jews community.

Secondly, the public policy on Indigenous Religions. In ICRP’s report 2012 there are more than 10 million followers of indigenous religions are divided into more than 200 groups. Their religions have existed long before the mentioned six religions came to this archipelago. Thirdly, Joint Decree of the Minister of Religious Affairs, Minister of Home Affairs and the Attorney General of 2008 on the Ahmadiyans. One of the articles therein states a prohibition for Ahmadiyans to spread their religious teachings to the public. This is very discriminative. Why? If the mainstream groups in Islam are allowed to do so, why not them? In my opinion, the constitution and a number of human rights regulations, allow the spread of religion providing that it does not employ violent means or manipulation of poverty and ignorance of the citizens.

Fourthly, The regulations that discriminative against women. The last Report of the National Commission on Violence against Women 2012 stated that there are at least 282 regional regulations that considered discriminative against women. Generally, those regional regulations discriminative against women can be divided into fourth categories. First, regulations relating to public morals, such as the regulation of anti Pornography. Secondly, regulations which relating to fashion. This type of regulations concerns fashion, such as the obligation to wear jilbab (head cover) in public places. Thirdly, regulations which concern religion-related competence, such as the obligation to have a good command of reciting and writing the Qur’an. To a certain extent, the regulations on the obligation to attend school at Madrasah Diniyah Awwaliyah (Elementary Islamic School) can fall into the category of religion-related competence. Fourth, regulations which relating to hudud (passing punishment). Whipping as punishment prevailing in the regional regulations in Aceh and other provinces.

Third, the political barriers. In many cases, the government, especially the police, judges and prosecutors are too weak to ensure protection of the people’s human rights, particularly in regards to religious freedom for minority groups. A number of cases, such as the ban of the Ahmadiyah, burning of churches, anarchic acts towards the Syi’ite group, prohibition to build houses of worship for those not included in the six acknowledged religions. The same applies to failure to ensure protection of civil rights to vulnerable groups, such as children, women, poor, disable, and the elderly people.

 And last but not least, the theological barriers in the form of patriarchal misinterpretations of Islamic teachings. In general, Islamic interpretations widely disseminated in our society are still exclusive, unsympathetic towards non-Muslim congregations and also still discriminative against women and minority groups and so on.

There is a belief in many mainstream Muslim societies that Islamic law is God's law and is, therefore, infallible and unchangeable, rendering any effort at reform to be regarded as un-Islamic. Many Muslims believe that men and women do not have equal rights in Islam generally, such that demands for equal rights men and women are portrayed as against God's law. Many Muslims still believe that only the ulama (Muslim man religious scholars or jurists) have the authority to speak on Islam. Thus, women's groups in Muslim societies face difficulties advocating for reform when they do not have the support of government or those perceived to have religious authority. 

And also many Muslims are afraid to speak out on Islamic issues in public, especially if their views are contrary to majority. They fear controversy or being labeled as anti-Islam. This fear extends to progressive scholars who have the knowledge and credibility to speak out, but choose to remain silent for fear of jeopardizing their jobs and livelihoods, invoking community hostility, or facing threats to their safety. Those are the real barriers in peacebuilding in Indonesia.



Religion as a source of inspiration to encourage female leadership


Religion as a source of inspiration to encourage female leadership

[Some notes to reflect on the lecture of Musdah Mulia 10-09-2013] 

Tonight and this weekend the floor will be to Prof. Musdah Mulia, as she will  break the ground for Religion as a source of inspiration to encourage female leadership in the domain of peace and reconciliation.

Muslim men being who they are, traditional Muslims who practice Islam according to their knowledge which is limited, and a next generation that in majority does the same, maintaining the orthopraxis of Islam, and although the numbers of male and female students on universities and higher vocational education is growing, they are not studying Islam like they study and critically analyze the contents of their subjects of learning. No one dares to break fresh grounds on doctrines, dogmatism or Islamic learning in general.

What is seen by society at large, by media and politicians as being ‘The Islam’ is a rigid form of traditional religion practiced by villagers who are not used to be criticized on their believes and practices, who are not used to go into dialogue about their religion and who are looking for security of believe and morals  in a society that they look upon as being moral insecure and doubtful. What connects Mosque visiting Muslim males is the mainstream Islam, serving them with a conservative outlook on life. They worship status quo. For example most of the imams are playing up to the mosque community otherwise they lose their job.

Which brings me to my first analytical term in my short reflection on religion as a source for peace building: The crooked growth of Islamic knowledge

The division of roles allows husbands to take the role of imam of the family and this gives him a certain dignity he will not give up easily. He ‘knows’ Islam although he does not. He will almost never admit that he knows not. Women do admit that they do not know Islam and endeavor to study and ask questions. They are eager to learn and like Judaism Islam is a religion of learning. Muslim women turn for the better in a short period but this brings them nowhere ….yet ! On the other hand: Muslim men never stayed that whole course.

For example most of the female Dutch converts have better knowledge of Islam than the dark eyed male she fell in love with. Still the role division is sacred and the female authority on religious affairs is doubtful.  And than again..  we are still talking about traditional knowledge, let alone bringing changes in thinking patterns or traditional patterns of behavior.

One other dimension is the variety of schools of learning and dogma, the variety of philosophies of life among the  Muslims in Europe who would have met in Mecca only. Because of the crooked growth of Islamic knowledge this fruitful diversity is not used to challenge the radicalization of a part of the Muslim youth.  

This we can safely call ‘the crooked growth of Islamic knowledge’. Most of the time we see women who want to please men with their so called ‘Islamic knowledge’, They receive a pat on the back, like children who learned their first chapter of the Quran by heart.
Some Muslim women do not agree with independent Quranstudies because they doubt the ‘Islamicity’ of independent thinking all together and they do not have a point of reference, to be sure about their explorations.

The second term I want to earmark for this occasion is equality. Equality, like justice, is no easy ethical concept to approach or actualize as a quality in society among men and women. Equal for the law does not mean equal among each other or in society. The biggest mistake male Muslim scholars made till today is to interpret Quranic text about differences among human beings as being hierarchical. Being male or female, believer or unbeliever does not make you more valuable as a human being. Being more human makes you more valuable as a human being.. So we are looking for a clear Islamic definition of the human being and being human.

Muslim women have to deal with:
×          outmoded and backward leadership of men,
×          but also with each other, for example: the perfect converts and the moral crusaders: the female champions of narrow mindedness;
×          and they have to deal with a biased portrayal of Islam and Muslim women in general.

Now, if there are ideas and goals there will be progress and movement forward. For many women their reality is justified or explained away. Women always take the moral blame in every social or political crisis situation, like we see in the so called Arab spring.

Some people claim to start shari’ah rule in a country and the first drastic disciplinary measure is: women should cover up and stay home. Instead of saying that during education and child upbringing, from a very young age, children should be taught that boys and girls are equal.

We need to develop an independent style of studying and reading the Quran like Asma Barlas calls it: Unreading Patriarchal Interpretations of the Quran. Women need to follow their own way of interpretation and analyzing texts of the Quran that will make them self-confident about their visions on life and turn them into independent believers, thinkers and debaters. Like Asma Barlas, Amina Wadud and Riffat Hassan, Musdah Mulia has proven herself to be a Muslimah reformist, a woman who incites change in her Islamic environment and a mover for peace and reconciliation.

Her staunch and relentless dedication to the plight of women’s equal status exemplified by her own way of living her life. In The Netherlands we show the inclination to ask questions like: since you bring all this change and new interpretations why there are still… and a whole list of wrongdoing is mentioned.

These type of questions do no justice to the enormous task ahead of a woman who is teaching at a university as well as grass root worker for the empowerment of women in society. We better ask her: what do you hope for? How do you see the future of women in Islam? Like Prof. Manuela Kalsky is doing in the Netherlands, she is working for the New We in Indonesia.        

The role of religion as source for inspiration and  motivation is controversial, to say the least. 
For the first time the revealed religions are outlawed in this part of the world and we have to rebuild the deconstructed religions. Especially Islam. We (Muslims) are not used to that situation.

The self-evident superiority complex of the Muslims should be demolished and young Muslims should rebuild and reinvent their religion in a way that gives answers to the questions of today and tomorrow; not of the past. That will be an intensive learning process and we need that process, to become active builders and guarantee our participation in a better world again.