Sebagai bangsa kita bangga dengan slogan bhinneka
tunggal ika. Artinya, kita sadar bahwa keberagaman atau pluralitas adalah
fakta sosiologis. Keberagaman terlihat nyata dalam etnisitas, agama,
kepercayaan, warna kulit, bahasa dan tradisi, semua itu menjadi modal sosial
yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam
hal agama dan kepercayaan, selain agama-agama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan
Konghucu, di masyarakat kita jumpai penganut Baha’i, Tao, Sikh, Yahudi, Kristen
Ortodoks, dan juga agama-agama perennial (tidak punya bentuk formal). Bahkan,
tidak sedikit mengaku tidak beragama.
Selain
itu, dikenal juga ratusan kepercayaan lokal (indigenous religions),
seperti Parmalim di Sumatera Utara, Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di
Jawa Tengah, Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, Tolotang di Sulawesi
Selatan. Sayangnya, data tentang kebhinekaan agama tersebut tak muncul dalam
dokumen resmi negara, melainkan hanya ditemukan dalam laporan LSM pegiat
pluralisme, seperti ICRP (Indonesian Conference on Religion for Peace), dan sejumlah
dokumen organisasi HAM.
Bicara tentang agama, hakikatnya adalah bicara
tentang interpretasi agama, dan faktanya tidak ada interpretasi tunggal dalam
agama mana pun. Sepanjang interpretasi agama tidak membawa kepada pemutlakan
agama dan kepercayaan tertentu, tidak mendorong terjadinya kekerasan, dan
pemaksaan terhadap kelompok yang berbeda, lalu apa yang salah? Keberagaman
agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, apalagi diingkari.
Persoalannya,
pemerintah tak sungguh-sungguh mengatur kehidupan umat beragama dengan prinsip
humanisme yang menjamin kebebasan beragama bagi semua warga sesuai landasan
Pancasila dan Konstitusi, serta semboyan bhinneka tunggal ika. Artinya, sangat
mungkin terjadi mis-management dalam mengelola keberagaman di
masyarakat. Buktinya, dalam aturan yang lebih operasional, ditemukan sedikitnya
empat bentuk kebijakan yang mencerminkan dehumanisme politik agama.
Pertama, UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan
dan atau penodaan agama. Secara eksplisit UU tersebut mengandung larangan penafsiran
yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran. Dalam implementasinya, hal itu dimaknai
larangan untuk berbeda penafsiran mayoritas atau penafsiran pemerintah yang
katanya mewakili mainstream. Kebijakan tersebut jelas bertentangan
dengan spirit kebebasan beragama.
Kedua, Surat
Edaran Mendagri No. 477/74054/1978 yang menegaskan lima agama “diakui”, yaitu
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Ketiga, TAP MPR No.
II/MPR/1998 tentang GBHN, antara lain menegaskan penyangkalan terhadap agama
lokal, sekaligus himbauan terhadap pengikutnya memilih salah satu dari lima
agama “diakui”, yang kemudian secara salah kaprah dianggap agama induk.
Keempat, Undang-Undang Perubahan
atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang salah satu
pasalnya menegaskan warga harus memilih salah satu dari 6 agama, setelah Konghucu
diakui tahun 2006. Masalahnya, mengapa harus ada agama diakui dan tidak diakui?
Lalu apa kriteria pemerintah mengakui suatu agama? Bukankah Konstitusi (pasal
29) menyebutkan jaminan kebebasan beragama semua warga, tanpa kecuali?
Dari situlah muncul kebijakan dehumanisme berupa
pencantuman kolom agama dalam identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Aturan tersebut sangat diskriminatif karena agama yang boleh diisi dalam kolom
tersebut hanyalah agama yang diakui pemerintah, kalau masa Orde Baru ada 5
agama, di Era Reformasi menjadi 6 agama. Bagi penganut agama di luar 6 agama
tersebut harus memilih salah satu, dan itu berarti mereka harus berbohong dalam
pengisian kolom tersebut. Terpaksa berbohong bukan hanya dalam KTP, melainkan
juga dalam sejumlah dokumen vital lainnya yang mencantumkan kolom agama.
Menarik diketahui, tahun-tahun awal setelah Indonesia
merdeka, tidak ada kolom agama dalam KTP. Perhatikan gambar KTP di atas, tahun
1956 KTP tidak menyediakan kolom agama. Menurut saya itulah yang lebih baik,
seperti halnya Paspor juga tidak punya kolom agama. Identitas agama warga
negara boleh dan perlu dicatat dan itu cukup disimpan dalam buku Induk
Kependudukan. Hanya dapat dilihat dan diketahui oleh pihak-pihak yang
berwenang.
Pemerintah Jokowi mengajukan kebijakan baru, boleh
mengosongkan kolom agama di KTP bagi penganut di luar 6 agama. Jelas itu bukan
solusi bijak karena belum sesuai spirit Pancasila dan UUD 1945. Juga belum
memenuhi prinsip humanisme universal yang mengakui kesederajatan semua manusia
apa pun agama dan kepercayaan yang mereka anut.
Jika kolom agama di KTP boleh dikosongkan, sebaiknya
berlaku bagi semua warga. Demikian sebaliknya, jika harus diisi, maka berilah
kebebasan semua warga untuk mengisinya sesuai agama dan kepercayaan
masing-masing. Jangan ada warga yang terpaksa memilih agama lain hanya karena
agama yang dianutnya tidak termasuk dalam daftar agama yang diakui negara.
Hal paling mendasar, kebijakan pemerintah mengakui hanya
6 agama bertentangan dengan semangat humanisme, juga tidak sejalan dengan
spirit Pancasila dan Konstitusi. Dehumanisme politik agama tersebut menyebabkan
para penganut selain 6 agama tersebut tidak mendapatkan pembinaan dari
pemerintah seperti penganut 6 agama dimaksud. Pembinaan tersebut, antara lain
mengambil bentuk dana bantuan kegiatan keagamaan dan pendirian rumah ibadah, pemberian
fasilitas dan berbagai perlindungan lainnya.
Bukankah perlakuan pemerintah tersebut dapat disebut
diskriminatif? Sebab, semua warga negara seharusnya mendapatkan perlakuan sama
dan setara. Bentuk pembedaan yang merugikan inilah yang disebut dengan perilaku
diskriminatif.
Selain berbagai kebijakan
yang dijelaskan sebelumnya, kebijakan dehumanisme lainnya adalah Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Undang-undang Administrasi
Kependudukan 2006, Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 tentang Penerapan
Syariat Islam di Aceh, sejumlah Peraturan Daerah (Perda) tentang penerapan
Syariat Islam, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 8/9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah dan
masih banyak lagi. Berbagai kebijakan dehumanisme tersebut menjadi hambatan
struktural yang kasat mata dalam pemenuhan hak kebebasan beragama di Indonesia.
Hambatan tersebut dapat diatasi melalui langkah-langkah
konkret berikut. Pertama, pemerintah sebagai pelaksana jalannya roda
pemerintahan harus mampu secara konsisten
menjabarkan spirit humanisme seperti dinyatakan dalam Pancasila dan
konstitusi untuk kemudian dijabarkan melalui berbagai peraturan yang lebih operasional dibawahnya. Untuk itu, perlu
reformasi berbagai aturan dan kebijakan terkait kehidupan umat beragama.
Kedua, pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan
hak kebebasan beragama semua warga tanpa kecuali sebagai bentuk pengakuan adanya persamaan hak bagi
seluruh warga Indonesia. Ketiga, mendorong para pemuka agama mulai dari tingkat
pusat sampai tingkat desa agar membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan
melibatkan semua unsur agama di masyarakat dalam merespon berbagai
fenomena kehidupan agama.
Dengan ungkapan lain, solusi yang tepat adalah mendorong
pemerintah menerapkan humanisme politik dalam bidang agama sehingga terkikis
semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap penganut agama di
luar 6 agama tersebut. Hanya dengan cara itu, pemerintah dapat memenuhi hak-hak
sipil dan politik semua penganut agama dan kepercayaan di negeri ini, termasuk
juga mereka yang mengaku tidak beragama. Sebab, mereka yang mengaku tidak
beragama seringkali bukan berarti tidak bertuhan. Biasanya mereka menganut
bentuk spiritualitas lain dan itu hak mereka dan dijamin dalam konstitusi.
Kesadaran tentang bhinneka tunggal ika, khususnya
kebhinekaan agama harus mendorong pemerintah dan seluruh masyarakat
memperjuangkan hak kebebasan beragama semua warga negara tanpa kecuali. Semua
penganut agama memiliki hak dan kewajiban asasi yang sama, tanpa diskriminasi
sedikit pun. Sebab, kita semua adalah satu bangsa, bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar