Selasa, 27 Februari 2018

Pentingnya Perlindungan terhadap PRT

Pentingnya Perlindungan terhadap PRT



Tanggal 15 Februari merupakan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional yang ke-12. Peringatan ini diinisiasi oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) bersama berbagai organisasi perempuan, LSM, organisasi buruh dan organisasi PRT lainnya yang bertujuan untuk mengampanyekan perlindungan dan penghargaan bagi PRT.

Kasus eksploitasi dan penyiksaan terhadap Sunarsih, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) anak yang bekerja di Surabaya-yang akhirnya meninggal akibat penyiksaan pada 12 Februari 2001--merupakan awal para aktivis perempuan mengampanyekan perlindungan hak-hak perempuan PRT dan menginisiasi Hari PRT Nasional.

Hingga saat ini kasus serupa masih terus berulang dan berulang lagi di berbagai daerah. Kasus paling mengenaskan juga terjadi pada buruh migrant yang berasal dari NTT. Sebagai PRT di Malaysia dia disiksa, tdk diberi makan dan ditidurkan di kandang hewan. Kasus penyiksaan tersebut hanyalah Gunung Es, yang terjadi di masyarakat sungguh lebih mengenaskan.

Pekerja Rumah Tangga (PRT) termasuk Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) menjadi kelompok paling rentan mengalami eksploitasi, kekerasan dan perbudakan (domestic slavery). Mari kita bersama mendidik diri sendiri dan juga anak-anak kita untuk selalu mampu menghargai sesama manusia, siapa pun mereka. Hormati dan hargai manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan. Menghargai mereka juga berarti menghargai Sang Pencipta.


picture by https://www.google.co.id/search?q=kekerasan+pada+PRT&tbm=isch&tbs=rimg:Cc855SCOjNV9IjjuyCAOX3Wu7pV-_17G0-xLLpgCJgY_1jf96uxIy4p1BzJVLpDVBrWichkOT9UT1Brz-jT5tRhkWDACoSCe7IIA5fda7uEZ5rMYBXpidIKhIJlX7_1sbT7EssR67HPrLe8fMAqEgmmAImBj-N_13hFnKCPsMngI0yoSCa7EjLinUHMlESb6EYayd0GSKhIJUukNUGtaJyERObni58GtpFkqEgmQ5P1RPUGvPxHV0fbv16yFKyoSCaNPm1GGRYMAEWaXLpOYU5je&tbo=u&sa=X&ved=2ahUKEwiI3Pf6oc_ZAhXBGpQKHQvhDBUQ9C96BAgAEBw&biw=1164&bih=608&dpr=1.1


Demokrasi Minus Nilai Keadaban

Musdah Mulia

Sejak tahun 2009 Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menyodorkan potret buram demokrasi. Sebelumnya, kita tidak punya alat untuk mengukur perkembangan demokrasi di negeri ini. Berbagai upaya pengembangan demokrasi telah dilakukan dan sejumlah progres telah dicapai, namun sampai laporan IDI yang dirilis tahun 2017 capaian indeks demokrasi Indonesia masih jauh dari kategori baik. Bahkan, masih berkutat pada level demokrasi prosedural, belum substansial. 
Laporan IDI 2016 menyimpulkan, hambatan utama penegakan demokrasi adalah lemahnya kultur demokrasi. Artinya, demokrasi Indonesia berjalan nyaris tanpa penegakan nilai-nilai demokrasi (democratic values) itu sendiri yang intinya adalah nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan dan keadaban. 
Dengan ungkapan lain, etika demokrasi belum dihayati sedemikian rupa, baik oleh masyarakat, maupun elit politik dan para penyelenggara pemerintahan. Lalu, IDI 2017 memperkuat temuan tahun sebelumnya. Bahwa masalah paling krusial dihadapi bangsa Indonesia dalam penegakan demokrasi adalah rendahnya kualitas partisipasi masyarakatdan buruknya representasi institusi demokrasi. Kondisi ini menjelaskan tidak berjalannya pendidikan politik sebagaimana diharapkan. Tidak heran jika partisipasi masyarakat masih didominasi oleh aksi-aksi demo yang berakhir ricuh penuh kekerasan, intoleransi dan radikalisme. Ekspresi keterlibatan masyarakat justru diungkapkan melalui sikap dan perilaku yang bertentangan dengan demokrasi, bahkan anti demokratik. 
Kondisi demokrasi yang rapuh ini diperparah pula oleh buruknya representasi lembaga-lembaga demokrasi, seperti lembaga birokrasi, legislatif, peradilan, dan yang paling menyedihkan adalah lembaga partai politik. Lembaga partai politik cenderung oligarki dan tidak memiliki kader-kader handal. Tidak heran jika pada setiap Pemilu Legislatif hampir semua parpol menyodorkan wajah-wajah asing, bukan wajah yang dibesarkan dalam internal partai. Mereka umumnya adalah para pemilik modal (pengusaha) dan selebriti yang sudah memiliki popularitas di masyarakat.
Apa yang terjadi di Indonesia adalah perubahan dari suatu kondisi ekstrem ke keadaan ekstrem lainnya, dan tidak pernah menyelesaikan masalah. Akibatnya terjadi pergeseran yang radikal dari kekuasaan yang terpusat menjadi tersebar. Pada saat yang sama perubahan radikal tersebut tidak dapat mengatasi permasalahan pada masa transisi. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan kita belum menemukan bangunan pemerintah yang dapat bekerja secara efektif dalam memecahkan masalah. Sejauh ini, institusional set-up dalam disain demokrasi yang diterapkan di Indonesia mengalami berbagai hambatan serius. Dalam kasus Indonesia, perubahan itu belum menghasilkan institusi negara atau pemerintah yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang begitu kompleks. Selain itu, lembaga-lembaga representasi yang berkualitas belum tersedia secara memadai. 
Demokrasi belum mampu menjawab problem bangsa secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah. Hal ini disebabkan karena kecenderungan proses demokratisasi di Indonesia hanya mengadopsi lembaga dan aturan main demokrasi Barat tapi penerapannya masih disesuaikan dengan kondisi setempat. Seringkali relasi kekuasaan antara aktor politik tidak didasarkan atas faktor strategis rasional tapi diselubungi oleh faktor-faktor lain, seperti primordial (etnisitas), relijiusitas, dan bahkan hal-hal bersifat takhayul dan mitos. 

Masyarakat sipil tumbuh, tetapi tidak disertai dengan tumbuhnya nilai-nilai keadaban (virtual values) ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Kebebasan sipil yang dijamin konstitusi tidak punya arti bagi kelompok minoritas.  Demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat, tetapi kebebasan sipil (civil liberties), khususnya kebebasan beribadah kelompok minoritas, justru terancam (baca kasus Ahmadiyah, Syi’ah dan kelompok penghayat). 

Selain itu, penghayatan keagamaan masyarakat umumnya masih bersifat formalistis dan legalistis. Dalam hidup keseharian agama kurang dihayati sebagai nilai-nilai (values) yang menjadi sikap dan perilaku pribadi maupun kelompok. Setidaknya, ada tiga faktor yang saling kait-mengait: Pertama, pemahaman keliru tentang hubungan antara agama dan negara demokrasi. Pemahaman keliru menyebabkan munculnya pemeluk agama yang memaksakan keyakinan pribadinya kepada masyarakat, bahkan menggunakan tangan-tangan pemerintah sebagai alat untuk itu. 
Kedua, kedangkalan penghayatan agama. Kita sering bangga menyebut diri sebagai “bangsa religius” dan tempat-tempat ibadah selalu ramai dibanjiri para pemeluk agama. Tetapi seringkali penghayatan keagamaan berhenti di tempat dan waktu beribadat, tidak terefleksi dalam kehidupan nyata. 
Ketiga, sikap yang ambigu terhadap fakta pluralitas (kemajemukan). Perbedaan belum dilihat dan dimaknai secara positif sebagai anugerah; malah sebaliknya dianggap sebagai ancaman! Masyarakat juga belum cukup terdidik menerima dan menghargai perbedaan. Konsep ‘toleransi’ hanya dimaknai sekedar mengizinkan, merelakan dan tidak mengganggu. Hakikat toleransi malah tidak diajarkan, yakni akseptansi (mengakui dan menghormati perbedaan).
Akibatnya, berbagai kekerasan berbasis agama terjadi kasat mata seperti pada awal tahun ini. Di antaranya, persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang pada 7 Februari 2018. Serangan terhadap peribadatan di Gereja St. Ludwina Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman 11 Februari 2018 menyebabkan Romo Prier dan pengikutnya mengalami luka berat. Sebelumnya juga terjadi serangan brutal terhadap pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka Bandung, KH. Umar Basri pada 27 Januari 2018, dan pembunuhan terhadap Pimpinan Pusat Persis, H. Prawoto pada 1 Februari 2018.
Pada setiap peristiwa politik (terutama pilkada, pileg, pilpres), para calon bersama tim suksesnya selalu menggunakan politik identitas, memanfaatkan sentimen-sentimen primordial SARA, terutama agama sebagai strategi untuk merebut suara pemilih. Belakangan,demokrasi bahkan diwarnai motif-motif balas-dendam dan syahwat kekuasaan yang ‘menghasilkan’ polarisasi sampai bermacam bentuk ketegangan di lembaga (ter)tinggi Negara. Kondisi tersebut menjelaskan betapa politik semakin tidak berbudaya
Koalisi politik dibangun bukan berdasarkan kesamaan atau kedekatan ideologis, melainkan persamaan kepentingan pragmatis politik jangka pendek. Demokrasi diganti oligarki, kedaulatan rakyat diganti kedaulatan parpol, bahkan direduksi lagi menjadi kedaulatan koalisi yang didikte seorang ‘komandan’ dengan kekuatan duit dan janji kursi-kursi kekuasaan. Jelas sekali, agama disalahgunakan sebagai alat politik untuk kepentingan jangka pendek dari kelompok atau partai politik tertentu. 
Berbagai survei mengafirmasi keresahan umum di kalangan masyarakat tentang meningkatnya trend intoleransi sosial.Sejumlah kasus intoleransi dibiarkan berlalu tanpa penyelesaian hukum yang tegas. Beberapa diantaranya, peristiwa kekerasan antara kelompok masyarakat terkait isu agama dan suku dalam pilkada, isu LGBT, dan sejumlah persoalan terkait hambatan menjalankan ibadah ramai dibicarakan. 
Belum lagi kehadiran perda-perda bernuansa agama di berbagai wilayah yang penyebarannya begitu cepat bak cendawan di musim hujan. Kita nyaris kehilangan kepercayaan pada pemerintahan Jokowi karena setelah tigatahun memerintah belum tampak upaya-upaya konkret mengikis semua bentuk intoleransi yang sangat menodai wajah demokrasi kita. 
Bukan hanya negara, masyarakat pun gagal dalam melindungi dan menegakkan semangat toleransi dan pluralisme sebagai basis demokrasi yang sehat. Modal sosial dan tingkat dukungan terhadap toleransi, khususnya terkait kebebasan beragama kita relatif rendah. Beberapa survei mengungkapkan, masyarakat diliputi pandangan abu-abu terhadap perlindungan kebebasan beragama dan permisif terhadap penggunaan kekerasan. 
Pada level personal, masyarakat enggan hidup bertetangga dengan mereka yang berbeda agama. Enggan memberikan kepada mereka kesempatan menjalankan ibadah secara terbuka dalam bentuk rumah ibadah. Sementara dalam konteks Indonesia yang multi agama, prinsip toleransi dan kebebasan beragama tidak hanya mempunyai landasan pijak dalam konstitusi dan undang-undang nasional, melainkan juga berakar kuat dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan yang sudah hidup ribuan tahun di Nusantara. 
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama kita masih sangat rendah. Fatalnya, kecenderungan ini terlihat pada semua kelompok masyarakat dalam semua kategori pendidikan. Bahkan, dalam hubungannya dengan afiliasi terhadap partai politik, pendukung partai nasionalis dan partai Islam juga tidak menunjukkan perbedaan berarti. Artinya, ideologi partai khususnya nasional, gagal beresonansi dengan pemilihnya. Walau negara tetap merupakan pihak paling bertanggung jawab melindungi prinsip-prinsip negara demokrasi ideal, termasuk dalam monopoli kekerasan, tetapi persepsi masyarakat tentang pluralisme juga penting. 
Penegakan Konstitusi
Catatan paling kentara mengenai intoleransi dan kekerasan keagamaan di Indonesia di era Pemerintahan Jokowi adalahkeengganan pemerintah melakukan tindakan tegas demi menegakkan Konstitusi (government inaction). Pemerintah gagal mengambil langkah-langkah memadai untuk menangkal perilaku vigilantisme dalam bentuk tindakan diskriminasi, restriksi, dan penyerangan terhadap kelompokminoritas berbeda. Selain itu, pemerintah pun tak mampu menahan inisiatif pemerintahan daerah untuk melarang, bahkan mencegah vandalisme atas fasilitas-fasilitaskelompok minoritas, misalnya penyerangan terhadap Pesantren Waria di Yogyakarta dan lainnyaPemerintah juga tidak mengambil langkah konkret mengukuhkan keputusan Mahkamah Agung yang melegalkan pembukaan ulang GKI Yasmin.  
Ada tiga faktor yang mengharuskan isu intoleransi menjadi perhatian bersama. Pertamameningkatnya jumlah kekerasaan dan tindakan diskriminatif, terutama atas nama agama kepada mereka yang berbeda. Simak laporan berbagai institusi pemerhati toleransi dan perdamaian, seperti ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), Setara Institute, Wahid Institute, Ma’arif Institute.Kedua, mayoritas publik Indonesia menilai bahwa presiden, politisi, dan polisi kurang maksimal dalam upaya penegakan nilai-nilai konstitusi. Mayoritas publik tidak puas dengan kinerja presiden, politisi, dan polisi dalam menjaga kebebasan warga negara menjalankan ajaran agama dan keyakinannya. Ketiga, sikap intoleransi publik cenderung semakin menguat. Sikap intoleransi sangat rawan memicu kekerasan primordial yang membuat kekerasan massal mudah meledak.
Selain itu, aparat hukum tampak tumpul dan ditaklukkan intoleransi, terutama ketika berhadapan dengan aksi-aksi kekerasan kolektif (berjamaah). Negara seperti dikalahkan kekerasan. Pelaku kekerasan lebih sering tidak diproses secara hukum, sementara korban justru dikriminalisasi. Ini terjadi, baik dalam kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, maupun Syiah. 
Indonesia terlalu penting untuk diserahkan kepada penjahat demokrasi. Indonesia juga terlalu berharga dipertaruhkan sepenuhnya kepada pemerintah dan politisi. Masyarakat perlu segera mengambil sikap. Ketika isu intoleransi dan diskriminasi masih diabaikan, masyarakat dituntut lebih banyak berkontribusi menegakkan nilai-nilai demokrasi
Masyarakat pun harus lebih aktif mencegah timbulnya sikap intoleransi. Jangan sampai kelompok-kelompok intoleran yang justru lebih terorganisasi berhasilmenggiring pemikiran masyarakat menjadi intoleran. Selama ini, masyarakat yang mendukung toleransi lebih mengambil sikap diam, terciptalah kelompok mayoritas yang diam (silent majority) dan sikap ini merupakan bencana dalam kehidupan demokrasi.
Silent majority tidak akan akan terwujud jika masyarakat benar-benar sudah matang dalam berdemokrasi. Kematangan itu, antara lain terlihat pada sikap percaya diri yang kuat (self confidence)Sebaliknya, ketiadaan rasa percaya diri melahirkan sikap kerdil, ketakutan dan penuh prejudice
Namun, harapan yang lebih besar tertuju pada negara. Negara harus tegas menegakkan hukum ketika kekerasan terjadi. Pancasila dan Konstitusi adalah acuan utama. Para penegak hukum harus berani bersikap netral dan adil, meski bertentangan dengan keinginan dan kepentingan mayoritas. Kedua sikap ini terbangun hanya jika mereka memahami secara utuh ajaran agamanya, dan juga memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan. 
Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk good life. Demokrasi harus berujung pada kesejahteraan, kemashlahatan dan kedamaian seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali. Apa yang menjadi cita-cita Indonesia, seperti tertera pada Pembukaan UUD 1945 harus dicapai dengan jalan demokrasi yang bukan sekedar masalah kebebasan dan prosedur, melainkan substansi. Untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, diperlukan upaya-upaya penguatan di tingkat grass root melalui pendidikan politik yang dilakukan secara terstruktur, sistemik dan massif. Diperlukan juga, diseminasi interpretasi ajaran agama yang humanistik, progressif dan kondusif bagi tegaknya demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.

Promoting a humanist Islamic interpretation to reduce unsaved abortion in Indonesia


 Musdah Mulia


A majority of Muslim women in Indonesia do not receive adequate information on family planning, reproductive rights and health, and gender equality, nor the correct information on Islamic teachings regarding women’s position and gender equality. Most women are entrapped in poverty and ignorance, so they have no access to education. Most of them find themselves in a subordinate position, and many even face domestic violence so they are unable to make their own decisions, particularly in married life. 
This problem, generally is caused by interpretations of Islamic teachings that are not accommodative towards values of humanity. Such interpretations usually emerge because understanding of the holy texts of ulemas focus more on textual aspects and tend to ignore the contextual aspects; the influence of a feudalistic and patriarchic culture that considers leadership always belong to men; gender biased values that put women in a lower position than men, in family as well as in communal life. 
The consequence of such misinterpretations has rendered communities to remain fixated on views that differentiate preference based on gender. Men in every way are always put first compared to women, boys are more important than girls. Decision making at home also places the right in the men’s hands, although it might involve the safety of the women’s lives. As a result, many women do not have the liberty of choosing or rather of taking part in making important decisions regarding their bodies.
Regarding abortion, the result of my research is that the majority of Islamic jurists permitted abortion before the creation of the soul, although there was less unanimity on the exact time of the creation of the soul. The Hanafï school permitted abortion before ensoulment (calculated by some scholars as the end of the fourth month of pregnancy or earlier according to others). They granted women the right to abort even without their husbands’ permission. The Shãfi’ï and Hanbalï schools mostly agreed on permission and differed on the length of time during which it is permitted. 
There are at least three barriers in implementing humanist Islamic teachings regarding family planning and abortion: resistance of conservative ulemasgender-biased Islamic family law; and the problem of patriarchal culture.
The methodology of reinterpretation of Islamic teaching must be based on three principles: the principle of tawhid; the principle of maqashid al-shari’ah;  and the principle of fiqh relativity.
My conclusion is that to promote family planning and especially to prevent unsaved abortion, Muslim religious leaders must have the courage to voice Islamic teachings that are more rational, accommodative towards humanitarian values and are able to respond to contemporary issues of modern society, such as family planning and abortion. Islamic organizations must be at the forefront in campaigning for Islamic teachings that are able to raise the pride and dignity of Moslems. And also to liberate Moslems, especially women, from ignorance, poverty, and injustice. 


2

Selasa, 06 Februari 2018

Memahami Bahaya HIV/Aids dan Narkoba




وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ.
{الأنفال، 8: 25}
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang zalim saja di antara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya.”  (QS. al-Anfal, 8: 25).

HIV/AIDS dan narkoba telah menjadi epidemi bagi masyarakat dunia. Dari aspek manapun kita melihatnya -aspek kesehatan fisik dan jiwa, aspek sosial, aspek ekonomi dan politik dan berbagai aspek lainnya- kita sepakat bahwa keduanya merupakan bencana terbesar bagi peradaban umat manusia di muka bumi, bahkan bahaya keduanya diprediksikan jauh lebih dahsyat dari dua Perang Dunia yang pernah terjadi.

Tulisan ini khusus membicarakan masalah HIV/AIDS dan narkoba dari sisi  preventif (pencegahan), bukan dari sisi kuratif (pengobatan) nya. Sebab, realitas yang ada membuktikan bahwa dibandingkan pengobatan, upaya-upaya pencegahan terhadap HIV/AIDS dan narkoba jauh lebih mudah dan murah sehingga dengan demikian menjadi jauh lebih signifikan untuk dilakukan.

Para pemuka agama dituntut untuk proaktif mensosialisasikan upaya-upaya pencegahan terhadap kedua epidemi ini karena sebagaimana disinggung dalam ayat pembuka di atas, fitnah yang boleh jadi mengambil bentuk HIV/AIDS dan narkoba, bukan hanya menimpa mereka yang dzalim, melainkan juga akan menimpa orang-orang baik di antara kita.  Bahkan, hadis Nabi berikut memberikan sinyal yang lebih kuat akan munculnya suatu fenomena yang sangat memprihatinkan itu. Diriwayatkan dari Ummi Salamah bahwa Nabi saw bersabda:

إِذَا ظَهَرَتْ الْمَعَاصِى فِى أُمَّتِىْ عَمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْ عِنْدِهِ، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ الله أَمَا فِيْهِمْ يَوْمَئِذٍ نَاسٌ صَالِحُوْنَ؟ قَالَ: بَلَى. قُلْتُ: كَيْفَ يَصْنَعُ بِهِمْ؟ قَالَ: يُعِيْبُهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ.

“Apabila kemaksiatan telah nampak di kalangan umatku, maka Allah swt. akan menurunkan bencana dari sisi-Nya kepada mereka semua. Saya (Ummi Salamah) bertanya: Wahai Rasulullah apakah ketika itu masih ada juga orang-orang saleh?, Nabi menjawab: masih ada, lalu bagaimana nasib mereka?,  Nabi menjawab: Allah pun akan menimpakan bencana kepada mereka sebagaimana ditimpakan kepada pelaku-pelaku maksiat itu (HR. Imam Ahmad).”

Hadis di atas secara jelas menggambarkan bahwa dampak epidemi itu tidak bersifat "lokal", melainkan bersifat universal. Wabah epidemi dapat menjangkiti seluruh masyarakat, baik yang dzalim maupun yang saleh. Mereka yang dzalim ditimpa wabah  karena kedzaliman mereka, sementara bagi mereka yang saleh juga akan ditimpa wabah karena ketidakpedulian mereka untuk mencegah meluasnya wabah tersebut. Karena itu, dalil-dalil di atas menjadi landasan bagi kita umat Islam, khususnya bagi para pemuka agama, untuk segera peduli dan dan berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS dan narkoba agar masyarakat terhindar dari bencana yang mengerikan tersebut.

Memahami HIV/AIDS dan Proses Penularan
Sejauh ini hasil penelitian mengenai HIV/AIDS menyimpulkan bahwa penularan virus HIV dapat terjadi melalui tiga cara. Pertama, melalui hubungan seksual; kedua, melalui parental (alat tusuk atau suntikan); dan ketiga, melalui perinatal (penularan dari ibu hamil yang terinveksi HIV/AIDS kepada anak yang dikandungnya).

Hasil penelitian juga menggarisbawahi bahwa penularan virus HIV lebih banyak terjadi melalui kontak seksual, sedang melalui parental dan perinatal sangat sedikit prosentasenya.  Karena itu, dapat dipahami jika hubungan seksual di luar nikah (baca: perzinahan) dan perilaku seksual yang menyimpang menjadi perhatian yang serius bagi langkah preventif dan kuratif terhadap menjalarnya virus tersebut di masyarakat.

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, sementara syariat Islam secara kuat dan tegas melarang hubungan seksual di luar nikah (Q.S. Al-Isra`, 17:32), demikian pula dengan segala bentuk perilaku seksual menyimpang. Dengan demikian, upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Islam diharapkan akan lebih berhasil jika dilakukan secara sistematik, dengan bahasa dan pendekatan agamis.

Akan tetapi, perlu ditegaskan di sini bahwa meskipun diketahui virus HIV itu lebih banyak menular melalui kontak seksual, khususnya kontak seksual di luar perkawinan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit yang mengerikan itu juga akan menjangkiti orang-orang baik atau orang-orang yang tidak berdosa di antara kita. Misalnya bayi-bayi yang tertular melalui ibunya, atau penularan melalui transfusi darah, atau penularan dari suami atau isteri yang mengidap HIV/AIDS, atau melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril  dan sebagainya.  

Karena itu, sungguh suatu sikap yang sangat tidak etis memberi cap "pembuat dosa" kepada para pengidap HIV/AIDS tanpa mempertimbangkan tekanan sosial yang dialami penderita. Kita umat beragama hendaknya tidak memahami agama hanya dari perspektif tekstual semata, melainkan lebih melihatnya sebagai suara hati nurani dalam meresponi kehidupan sehari-hari yang kompleks. Itu berarti kita perlu menumbuhkan kesadaran untuk tidak selalu menganggap diri kita benar, sedang orang lain salah dan karenanya harus dikutuk. Dengan cara demikian, kita dapat membangun konsep agama yang lebih santun terhadap persoalan-persoalan manusia.

Memahami Narkoba
Narkoba adalah sejenis zat yang dapat menyebabkan sipemakai terganggu akal sehatnya dan hilang ingatan sesuai dengan dosis yang digunakan. Jika dikonsumsi tanpa dosis yang tepat akan membuat si pemakai kehilangan stamina tubuh dan kehilangan keseimbangan jiwa. Dalam kondisi yang sudah parah, jiwa pemakai biasanya tidak  tertolong.

Secara umum narkoba dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis. Pertama, narkotika natural (alami), yaitu terbuat dari tumbuh-tumbuhan, seperti ganja, opium, koka, alkot, dsb. Kedua, narkotika semi sintetis. Jenis ini merupakan modifikasi dari bahan-bahan alami yang kemudian diproses secara kimiawi supaya memberikan pengaruh lebih kuat, seperti morfin, heroin, kokain, dsb.  Ketiga, narkotika sintetis, yaitu segala macam obat yang terbuat dari bahan kimia murni yang mempunyai pengaruh dan efek seperti narkotika alami dan semi sintetis. Dikemas dalam beragam bentuk, seperti pil, kapsul, tablet, minuman, serbuk, cairan injeksi dsb. Di antaranya mengambil bentuk obat tidur, seperti kapsul signal, Valium 5, obat penenang, pil-pil perangsang, seperti kiptagon atau amphetamine, dsb.  Menurut data terakhir yang dicatat dari Perancis, jumlah obat-obat terlarang mencapai lebih dari 500 jenis. Fatalnya, obat-obat terlarang itu dapat diperoleh dengan mudah di sekeliling kita, bahkan  dengan harga yang relatif murah

Narkoba secara hukum dilarang penggunaannya, baik bagi pemakai, penjual maupun pengedar. Akan tetapi, barang terlarang itu tetap saja diproduksi karena sekelompok masyarakat masih membutuhkannya sebagai obat, misalnya sebagai obat bius, obat perangsang (stimulant) atau obat penahan rasa sakit bagi penderita penyakit tertentu. Persoalannya adalah bagaimana menertibkan agar zat terlarang dan mematikan itu betul-betul hanya dimanfaatkan untuk hal-hal positif demi kepentingan kelompok tertentu yang dilindungi undang-undang. Karena itu, undang-undang yang mengatur soal penggunaan narkoba harus tegas dan sanksi bagi pelanggarnya pun harus berat dan  ketat tanpa pandang bulu. Namun, yang tidak kurang pentingnya adalah komitmen politik (political will) yang sungguh-sungguh dari elit penguasa.

Selanjutnya, bagi para orang tua hendaknya mengenal dengan baik untuk kemudian bersikap waspada terhadap semua yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba. Di antaranya, mengenal bentuk-bentuk narkoba serta efeknya yang negatif bagi tubuh, mengenal ciri-ciri orang yang kecanduan narkoba, dan mengetahui cara-cara yang biasa dipakai dalam pengedaran narkoba. Pengetahuan terhadap hal-hal tersebut sedikit banyaknya bermanfaat dalam upaya menghindarkan  anak-anak atau bahkan orang lain dari ancaman bahaya narkoba. Pemahaman yang benar akan bahaya narkoba dapat membangun solidaritas dalam masyarakat untuk membangun gerakan anti narkoba secara efektif di seluruh lapisan masyarakat.

Islam Harus Mampu Mencegah Bahaya HIV/Aids dan Narkoba
Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. untuk umat manusia seluruhnya dan berlaku universal sampai di akhir zaman. Islam diturunkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). Ajaran Islam mengandung seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur hidup manusia agar mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin di dunia, serta keselamatan di akhirat nanti.

Oleh karena itu, fungsi pokok Islam adalah membina manusia agar baik dan sehat,  secara fisik, psychis, mental dan sosial. Ajaran Islam secara jelas menunjukkan mana perbuatan  yang baik dan membawa kepada kemaslahatan dan kebahagiaan, dan mana perbuatan yang buruk dan membawa kepada kemudaratan dan kesengsaraan. Dengan ungkapan lain, tujuan Islam adalah kemaslahatan manusia dan karenanya semua yang membawa kepada mudarat dan mafsadat bertentangan dengan hakikat Islam.

Menurut Imam Al-Ghazali, kemaslahatan itu diukur pada lima hal yang disebutnya dengan Al-Kulliyat Al-Khams, yakni terpenuhinya lima hak dasar manusia. Kelima hak tersebut adalah terpenuhinya hak hidup (hifz an-nafs); terpenuhinya hak berpendapat atau kesehatan akal (hifz al-`aql); terpenuhinya hak kebebasan beragama (hifz ad-din); terpenuhinya hak reproduksi (hifz an-nasl); dan terpenuhinya hak kehormatan diri (hifz al-ardl). HIV/AIDS dan narkoba jelas mengganggu perlindungan terhadap lima hal mendasar dalam diri manusia; mengganggu kelangsungan hidup manusia, kesehatan akal, pelaksanaan agama, kesehatan reproduksi, dan kehormatan manusia. Nilai-nilai Islam itu harus menjadi acuan, baik dalam interaksi manusia dengan penciptanya (hablun min Allah), maupun dengan sesamanya manusia (hablun min al-naas), bahkan, dengan alam semesta (hablun min al-alamin).
Islam mengatur hidup manusia dengan sejumlah ajaran yang harus ditaati sehingga tujuan tadi tercapai. Di antara ajaran-ajaran yang dimaksud yang paling penting adalah ajaran moral atau disebut juga ajaran akhlak. Pendidikan akhlak menduduki posisi sentral dalam Islam. Begitu pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam sehingga Nabi saw. mengatakan: "Aku semata-mata diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." Dalam hadis lain Nabi bersabda pula: "Tuhan telah memilih Islam menjadi agamamu maka hiasilah agama itu dengan akhlak mulia."

Al-Qur`an mengandung sejumlah ayat yang mengajarkan bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam pergaulan sehari-hari. Hadis Nabi juga banyak membawa ajaran-ajaran moral. Bahkan, seluruh ibadah, termasuk di dalamnya salat, puasa, zakat, dan haji pada hakikatnya mengandung ajaran moral, yang pada intinya mengajarkan agar manusia senantiasa mengerjakan hal-hal yang baik dan terpuji, dan sebaliknya menghindari hal-hal yang buruk dan tercela.

Di antara perilaku yang baik dan terpuji adalah memelihara kebersihan diri, baik fisik maupun mental, menjaga kesucian diri, menjaga pandangan mata dari hal-hal yang tidak bermanfaat, menghindari pergaulan bebas, menjauhkan diri dari mengkonsumsi zat-zat yang membahayakan, seperti minuman keras, obat-obat terlarang, dan narkoba, serta yang tidak kurang pentingnya adalah memelihara rasa malu. Rasa malu dapat dibangun dengan menghindari segala bentuk perilaku tercela, seperti mengumbar keinginan hawa nafsu, menonton hiburan porno,  membaca tulisan porno, dan berlebihan dalam memenuhi hasrat badani.

Dalam kaitan dengan HIV/AIDS dan narkoba, Islam melihat hal ini sebagai akibat dari perilaku manusia sendiri, yaitu akibat dari ketidaktaatan mereka terhadap aturan-aturan yang telah digariskan Allah swt. dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi-Nya. Kondisi ini telah diisyaratkan oleh Allah swt. dalam Q.S.ar-Ruum, 30:41, yang berbunyi:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْ النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ. {الروم، 30: 41}
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Wabah HIV/AIDS dan narkoba boleh jadi merupakan peringatan Allah swt. terhadap umat manusia akibat kelalaian dan pelanggaran yang mereka perbuat, sebagaimana diungkap dalam Q.S. al-An`aam, 44 :

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَئٍْ حَـتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ. { الأنعام، 6: 44}
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.

Dua ayat di atas pada prinsipnya menghimbau manusia agar senantiasa berbuat kebajikan dan kemaslahatan, dan sebaliknya mengingatkan agar tidak berbuat mudarat dan maksiat dalam keadaan apa pun. Manusia harus berusaha mengatasi berbagai problem social di sekitarnya sejak dini. Itulah sebabnya, kita tidak boleh bersikap masa bodoh atau apatis terhadap masyarakat di sekitar kita. Kita tidak boleh diam atau membisu melihat gejala kemaksiatan terjadi di tengah kita. Kita harus berbuat paling tidak berdoa secara sungguh-sunguh memohon bantuan Yang Maha Kuasa.  

Sebab, jika kemaksiatan telah merajalela di tengah-tengah masyarakat, maka bukan hanya para pelaku kemaksiatan itu yang akan merasakan dampak negatifnya, melainkan juga masyarakat di sekitarnya akan turut mengalami akibatnya. Realitas yang ada di masyarakat menjelaskan kondisi tersebut sepenuhnya.