Adakah Hukuman Mati Dalam
Islam?
Masalah
hukuman mati dalam fiqh dibicarakan dalam isu jinayah. Pendapat para fukaha
(ahli hukum Islam) terhadap masalah ini tidak tunggal. Antara satu mazhab dan
mazhab lainnya memiliki keragaman pendapat. Keragaman pendapat itu timbul
karena perbedaan interpretasi dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas
hukuman mati
Sejumlah ulama menyebutkan bahwa disebutkannya
hukuman mati dalam Al-Qur’an tiada lain karena hal itu merupakan rekaman
Al-Qur’an terhadap kondisi sosiologis masyarakat Arab abad ke-7 Masehi yang
masih menerapkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk penghukuman yang
dianggap penting karena bentuk hukuman inilah yang dianggap paling efektif
untuk melawan kejahatan. Masa itu tingkat peradaban manusia belum mencapai
tingkat kesadaran kemanusiaan yang tinggi seperti di masa kita sekarang.
Kesadaran tentang pentingnya menjaga dan menegakkan harkat dan martabat manusia
belum menjadi kesadaran kolektif masyarakat.
Menarik
jika kita telusuri perbincangan dalam kitab fiqh terkait hukuman mati, di sana ada beragam pendapat dalam
penerapannya. Tidak selamanya dilakukan hukuman mati, melainkan bisa dengan diat
(denda) untuk pembunuhan atau pelukaan yang dilakukan dengan tidak sengaja. Dasarnya adalah firman
Allah SWT dalam surah an-Nisa (4) ayat 92. Besarnya diat untuk
tindak pidana pembunuhan tidak sengaja adalah 100 ekor unta atau sapi (HR.
An-Nasai, Malik, al-Baihaki, al-Hakim, dan Ibnu Hibban). Persoalannya, bagaimana
memastikan bahwa pembunuhan itu sengaja atau tidak sengaja? Hal itu tentu
terpulang pada proses peradilan. Jika peradilan berjalan dengan cara-cara yang
adil mungkin kebenaran dapat terungkap, tapi jika tidak?
Cara
lain selain diat adalah kafarat, yaitu berupa memerdekakan budak,
menyedekahkan harta senilai budak atau berpuasa dua bulan berturu-turut.
Hukuman membayar kafarat ini dikenakan dalam tindak pidana pembunuhan tidak
sengaja. Hal ini didasarkan juga pada firman Allah SWT dalam surah an-Nisa,
92. Akan tetapi, untuk pembunuhan
sengaja terdapat perbedaan pendapat ulama. Ulama Mazhab Syafii dan sebagian
ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa untuk pembunuhan sengaja pun wajib
dikenakan kafarat, dengan mengiaskannya pada pembunuhan tidak sengaja.
Menurut mereka, pembunuhan sengaja seharusnya lebih berhak dikenakan kafarat
dari pada pembunuhan tidak sengaja. Ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa
untuk pembunuhan sengaja tidak dikenakan kafarat, karena tidak ada nas yang
menetapkannya. Ulama Mazhab Maliki menyatakan bahwa untuk pembunuhan sengaja
kafarat hanya dianjurkan saja, bukan diwajibkan.
Membaca
sejumlah ayat yang bicara tentang hukuman mati, di sana juga selalu ada
alternatif pilihan, tidak mutlak bahwa hukuman mati harus dilaksanakan. Menarik
dicatat bahwa dalam sejumlah ayat yang bicara tentang hukuman mati, di sana
selalu ada alternatif pilihan, tidak mutlak bahwa hukuman mati harus
dilaksanakan. Selalu ada pilihan bagi penegak hukum atau keluarga korban untuk
memaafkan terdakwa. Sebagai gantinya, korban boleh membayar kafarat
sebesar yang disepakati. Kalau tidak mampu membayar denda (diat),
pilihan lain adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Artinya, tidak
mutlak harus menghukum mati. Bahkan, beberapa ayat menganjurkan pemberian maaf
atau berdamai merupakan perbuatan terpuji dan sangat diapresiasi.
Hal yang sangat penting dalam Islam adalah
menegakkan rasa keadilan dalam masyarakat sehingga tercipta kedamaian dan
kemashlahatan bagi seluruh masyarakat. Tujuan akhir dari upaya penegakan hukum
dalam Islam adalah menegakkan keadilan. Jadi, hukuman itu sendiri hanyalah alat
atau media menuju terciptanya keadilan.
Tidak heran jika Al-Qur’an
berlimpah dengan ayat-ayat yang memerintahkan para penguasa dan penegak hukum agar
sungguh-sungguh menegakkan keadilan. Bahkan, keadilan penguasa menjadi syarat
bagi rakyat untuk mematuhi mereka. Artinya, manakala penguasa abai terhadap
upaya penegakan keadilan maka hal itu dapat menjadi alasan penting bagi rakyat
untuk membangkan terhadap pemerintah atau penguasa. Keadilan menjadi ajaran
yang sangat esensial dalam Islam.
Kesimpulannya, semua ajaran Islam
yang berkaitan dengan hukuman mati haruslah dibaca sebagai ajaran yang bersipat
transisional yang merupakan konsekuensi dari tuntutan sosio-historis masyarakat
Arab ketika itu. Untuk kebutuhan masa sekarang dimana tuntutan kemanusiaan
global menghendaki adanya penghormatan yang tinggi kepada harkat dan martabat
manusia, maka ajaran yang membolehkan hukuman mati itu dianggap sudah tidak
berlaku lagi karena tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan manusia yang
menjadi inti dari seluruh bangunan syari’at.
Perlunya Penghapusan Hukuman Mati
Beberapa ahli
mengungkapkan bahwa hukuman mati berasal dari upacara pengorbanan suci agama,
di mana pengorbanan manusia dilakukan untuk menenangkan para dewa. Pandangan
lain meyatakan bahwa asal-usul hukuman mati berakar pada upaya balas dendam
atau dendam yang turun temurun pada masyarakat dinasti. Jenis hukuman purba dan
biadab ini tidak relevan lagi bagi masyarakat manusia yang semakin beradab dan
semakin menghargai hak asasi manusia
Sedikitnya, ada delapan
alasan mengapa perlu penghapusan hukuman mati. Pertama, hukuman
mati bertentangan dengan esensi ajaran semua agama dan kepercayaan yang
mengajarkan pentingnya merawat kehidupan sebagai anugerah terbesar dari Tuhan,
sang Pencipta. Dalam Islam misalnya, seluruh ajarannya memihak kepada
penghargaan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terbaik dan sempurna.
Hukuman mati berarti pelecehan terhadap Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan. Tidak
satu pun berhak mengakhiri hidup manusia, kecuali Dia sang Pencipta. Dia lah
pemberi kehidupan dan Dia pula sepatutnya penentu kematian. Bukan manusia atau
makhluk lain. Apa pun alasan dan motivasinya. Ajaran agama harus akomodatif
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Agama sepenuhnya harus pro-kemanusiaan.
Kedua, hukuman mati
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Studi mendalam mengenai latar
belakang dan penggunaan hukuman mati di dunia menunjukkan bahwa dewasa ini
hukuman mati dilakukan di negara-negara yang kurang demokratis. Karena itu,
penting memahami mengapa kebanyakan negara demokrasi menghapuskan hukuman mati.
Ketiga, hukuman mati
bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pelaksanaan hukuman mati
selalu mencerminkan bentuk penegasian atas hak hidup manusia, hak asasi yang
tidak boleh dikurangi sedikit pun (non-derogable) dalam kehidupan
manusia. Hukuman mati sangat merendahkan martabat manusia.
Keempat, hukuman mati hanya
sebagai alat penindasan. Sejarah panjang penggunaan hukuman mati membuktikan
bahwa ini lebih sering dipakai sebagai alat penindasan terhadap
kelompok-kelompok kritis, pro demokrasi, yang dituduh sebagai pemberontak, demi
merebut dan mempertahankan suatu kekuasaan. Contoh nyata kasus-kasus hukuman
mati terhadap pemberontak di Hungaria, Taiwan, Somalia, dan Suriah.
Kelima, hukuman mati hanya
sebagai tindakan pembalasan dendam politik. Lihat saja apa yang terjadi dengan
Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan (dieksekusi tgl 4 April 1979 karena divonis
membunuh lawan politiknya). Jadi, alasannya sangat politis. Bukan untuk
membangun keadilan dan kesejahteraan.
Keenam, hukuman mati sangat
sering dijatuhkan pada orang yang tidak terbukti bersalah. Pelaksanaan hukuman mati
sering dilakukan secara ceroboh, tanpa tanda bukti sama sekali.
Ketujuh, hukuman mati sering
digunakan sebagai cara yang paling efektif untuk menghilangkan jejak penting
dalam suatu perkara atau penghilangan tanda bukti dalam suatu kasus intelijen.
Kedelapan, hukuman mati ternyata
tidak membuat pelaku kejahatan berkurang atau menjadi jera. Studi mendalam
terhadap negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati membuktikan bahwa
angka kriminalitas di negara-negara tersebut meningkat setiap tahun secara
signifikan.
Solusi: Membangun Masyarakat Taat Hukum
1. Tingkatkan mutu pendidikan masyarakat melalui pendidikan yang murah, berkualitas dan terjangkau oleh seluruh masyarakat, khususnya di kalangan tidak mampu.
2. Tingkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembukaan lapangan kerja yang seluas-luasnya dan pembuatan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil.
3. Tingkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang berpihak pada kelompok kecil, dan masyarakat terpencil.
4. Tingkatkan kualitas institusi peradilan melalui revisi undang-undang yang diskriminatif, rekrutmen aparat peradilan yang bermutu dan profesional, serta reformasi birokrasi dan administrasi peradilan sehingga memihak kepada keadilan dan kebenaran.
5. Tingkatkan rasa keadaban masyarakat melalui sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai budi-pekerti dan ajaran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar