Sabtu, 21 Oktober 2017

Perayaan Dwiabad Agama Baha’i: Pentingnya Persatuan Manusia


Musdah Mulia



Hari ini umat Baha’i di seluruh dunia berada dalam suka cita merayakan dwiabad atau genap 200 tahun kelahiran Baha’ullah. Untuk konteks Indonesia, Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia memperingati hari bersejarah Baha’i di Jakarta, tepatnya di Hotel Sari Pan Pacific, Sabtu tanggal 21 Oktober 2017.

Hadir para pemuka agama Baha’i dari berbagai wilayah, wakil pemerintah, para aktivis perdamaian, pimpinan LSM dan Ormas serta sejumlah perwakilan agama lain. Acara dibuka dengan beragam doa dalam bentuk nyanyian dan puisi religi yang membangkitkan rasa spiritual dalam diri mereka yang betul-betul mendengarkan dengan seksama. Beberapa doa dan sabda Baha’ullah yang dibacakan bergantian oleh beberapa pemuda terasa sangat menggugah nurani dan membuatku -tanpa terasa- menitikkan air mata dan muncul semacam perasaan syahdu dan kerinduan yang dalam akan Sang Khalik

Baha’ullah, Sang Nabi pembawa agama Baha’i lahir di Persia, tepatnya di kota Teheran, Iran pada tahun 1817. Sebagaimana halnya para pembawa wahyu agama-agama lain, Baha’ullah juga mendapatkan tantangan dan penolakan yang luar biasa dari masyarakatnya. Karena wahyu Tuhan yang dibawanya sangat transformatif dan visioner, beragam siksaan berat dialami sepanjang tugas kenabiannya, mulai dari dipenjarakan, disiksa dengan dirantai, dihinakan dan kemudian diusir dari kampung halamannya.

Beliau tidak pernah kembali ke negeri asalnya hingga wafat di penjara Akka pada tahun 1892. Kota Akka lalu menjadi tempat tersuci umat Baha’i di seluruh dunia. Semua penderitaan dan penghinaan itu tidak sedikit pun membuat Bha’ullah lelah dan putus asa mengembangkan ajaran yang diturunkan Tuhan kepadanya. Sebaliknya, malah membuatnya semakin tegar mendakwahkan ajaran Tuhan yang intinya ingin mempersatukan semua manusia dalam damai dan bahagia. Dia rela  menderita, berkorban membiarkan dirinya menjadi tawanan dalam benteng yang kokoh. Itu dilakukan semata untuk kemuliaan manusia.

Demikianlah, cerita kenabian dan kerasulan selalu menarasikan penderitaan, kedukaan dan kepahitan. Seperti kisah Sang Budha Gautama, Baha'ullah juga meninggalkan kehidupan mewah dan nyaman untuk menyebarkan kebenaran dan keadilan. Dia sangat yakin, sudah tiba saatnya manusia harus berubah ke arah yang lebih baik.

Mengapa para Nabi dan Rasul ditolak? Tiada lain karena mayoritas masyarakat belum mampu menerima perubahan ke arah kebaikan dan perdamaian. Umumnya masyarakat memilih untuk hidup seperti apa yang telah dijalani orang tua dan leluhur mereka. Perubahan yang akan membuat semua manusia setara dan sederajat serta hidup tanpa kasta sehingga sulit terjadi diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Berubah adalah sesuatu yang paling menakutkan bagi umumnya masyarakat, terutama mereka yang telah menikmati kemapanan dan kenyamanan hidup.

Kini agama Baha’i tersebar di 191 negara di dunia terdiri dari 46 wilayah territorial, dengan sejumlah 182 Majelis Nasional. Orang-orang Baha’i secara individu atau kolektif berusaha keras untuk menyelaraskan diri dengan daya-daya yang terkait dengan terwujudnya persatuan umat manusia. Mereka yakin bahwa perdamaian harus dicapai melalui proses peningkatan kesadaran umat manusia yang diperoleh dari proses pendidikan yang sistematis, tanpa prasangka, dan berdasarkan proses pencarian kebenaran yang mandiri.

Baha'i adalah salah satu agama yang berkembang di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan. Meski dalam kebijakan pemerintah agama ini tidak termasuk agama yang diakui, namun kehadiran dan juga pertumbuhannya di tanah air sungguh tidak bisa diingkari. Menurut saya, pengakuan pemerintah terhadap sebuah agama adalah kebijakan yang keliru. Sebab, kehadiran agama tidak perlu pengakuan pemerintah.

Kewajiban pemerintah yang utama adalah memenuhi hak-hak asasi manusia yang paling dasar bagi semua warga, apa pun agama dan kepercayaannya, baik sebagai manusia merdeka maupun sebagai warga negara penuh. Bahkan juga bagi warga yang tidak beragama. Pemerintah hendaknya menjamin tidak ada penganut agama yang mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis apa pun, termasuk atas dasar agama sekali pun. Di sinilah pentingnya umat Baha'i mendapatkan perlakuan setara sebagaimana penganut agama dan kepercayaan lain di Indonesia.

Baha’ullah datang untuk menyeru manusia tentang cahaya perubahan. Beliau menyadarkan manusia bahwa semua adalah buah-buah dan daun-daun dari satu pohon yang sama.  Tidak patut ada manusia yang meninggikan dirinya sendiri sambil merendahkan sesama. Intinya, semua manusia adalah setara dan sederajat.

Dia mengingatkan umat manusia bahwa hanya dengan persatuan dan kesatuan maka kedamaian dan kesejahteraan dapat diwujudkan di muka bumi. Baha’ullah berjanji menyebarkan cahaya kebenaran ke seluruh penjuru dunia dan menghapus ketidakadilan yang menyengsarakan manusia. Manusia diciptakan dalam bentuk dan derajat yang mulia. Namun manusia itu sendiri yang merendahkan diri mereka dengan berbagai dosa dan kesalahan.



Bagi umat Baha’i, perdamaian dunia bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Perdamaian meyatukan hati semua manusia untuk menciptakan kebahagiaan duniawi. Berbeda dengan agama lain yang penganutnya senang mendirikan rumah ibadah. Umat Baha' i belum punya rumah ibadah resmi di Indonesia. Saya pribadi pernah berkunjung ke rumah ibadah Baha'i di Australia. Umumnya rumah ibadah Baha'i di berbagai tempat di dunia dikenal dengan bentuknya yang mengedepankan seni arsitektur yang indah memukau.

Agama Baha'i sangat mengutamakan ajaran tentang persatuan dan persaudaraan sehingga tidak heran jika umat Baha'i di seluruh dunia memiliki ikatan solidaritas yang kuat sebagai saudara. Motto umat Baha'i yang terkenal adalah “Persatuan, Keadilan dan Persaudaraan.” Baha’ullah sangat gigih memperjuangkan kemanusiaan. Umat Baha'i juga sangat peduli pada pendidikan dan upaya-upaya transformasi manusia.

Agama Baha’i selalu mengingatkan manusia agar berkolaborasi menciptakan perdamaian melalui persatuan abadi. Semua manusia juga harus bersatu melawan ketidakadilan yang menjadi musuh utama semua agama dan kepercayaan. Simak ajaran Baha’ullah berikut: “Kesejahteraan, kedamaian dan keamanan umat manusia, tidak mungkin tercapai kecuali bila persatuan telah didirikan dengan teguh.


Ajaran Bahai sangat kuat mengajarkan cinta dan kasih sayang untuk semua manusia, bukan hanya kepada sesama manusia, melainkan juga kepada tumbuhan dan binatang melata di sekitar kita. Semoga ajaran Baha’ullah menginspirasi kita semua para penganut agama untuk lebih memahami agama masing-masing dan pada akhirnya kita semua dibimbing Tuhan menuju jalan yang penuh rahmat dan kasih sayang-Nya. Intinya, sebagai sesama umat beragama, kita semua berada dalam perjalanan yang sama. 

Karena itu, sebaiknya kita bergandeng-tangan, berkolaborasi dan bekerjasama dengan penuh tanggung jawab menghadapi musuh agama yang paling nyata, yaitu ketidakadilan. Ketidakadilan dalam masyarakat muncul dalam banyak wajah, seperti korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial dan ekonomi, kekerasan, termasuk KDRT, sistem politik yang despotik dan tiranik serta sikap dan perilaku intoleran, hedonistik yang membawa kepada suburnya kapitalisme dan imperialisme.

Akhirnya, sekali lagi saya ucapkan kepada seluruh umat Baha’i, Selamat Merayakan Hari Kelahiran Baha’ullah yang ke-200 semoga semua manusia mendapatkan limpahan kasih Tuhan yang Maha Pengasih.





The Role of Indonesian Muslim Women in Promoting Democracy, Human Rights and Gender Equality

Witness to the Truth and Light

Witness to the Truth and Light[1]

Musdah Mulia[2]


Foreword

As a Moslem, I truly believe that Christianity is the closest to Islam in terms of faith. If Christianity and Islam were of one family, Christianity would be the older sibling of Islam. The Qur’an mandates Moslems to believe in the Christian Prophet and Holy Bible just as they do the Prophet Muhammad and the Holy Qur’an that was revealed to him.

Likewise, we are also obligated to believe in the Prophets and Apostles as well as all the holy books revealed to them. The central figures in Christianity, particularly Mother Mary and her son, Jesus Christ the Messiah are placed in noble positions in the Qur’an. They are holy persons who must be revered by all human beings.

I have also witnessed the great contribution of Christianity in Indonesia through enlightenment and transformation of the nation towards a more civilized Indonesia. The Christian teaching of loving one another becomes a strong foundation for the nation in maintaining peace and establishing a solid civilization.

Prominent Christian leaders also contributed towards Indonesia’s independence from the colonialists. They fought hard hand in hand with other Moslem, Buddhist, Hindu combatants alongside others to secure an independent Indonesia with Pancasila as its state ideology. Our religious leaders agreed to make Indonesia a democratic state as a homeland for all who would work hand in hand to for the betterment of Indonesia.

Christians, through their various religious organizations as well as women’s organizations are also actively participating in nation development all over Indonesia. The Christian teaching that emphasizes on universal humanitarian values is one of the foundations for the development of an Indonesian culture upholding the principle of unity in diversity. This means that, although comprising people from various religions, faiths, races, traditions and languages, Indonesia is one nation, the nation of Indonesia.

ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace) is an inter-faith organization that has been in existence since the 1990s. Representatives from various religions and faiths have sat on the main committee of this organization, including Christians, both Protestants and Catholics. Since 2007, I have been entrusted as head of the organization. We actively establish and promote peace through cooperation of all religious congregations. This is because we have the conviction that all religions have one common enemy, and that is injustice.
Islam and Christianity are the religions of humanity

Islam and Christianity are actually not the native religion of Indonesian people. Islam came to Indonesia in the 13th century and was spread by traders and preachers who disseminated Islamic teachings throughout the Indonesian archipelago. The key to the success of Islamic propagation in the archipelago was not conquest. That is a fact. Rather, it was the ability of Islamic preachers to adopt a cultural approach to the local traditions, beliefs and wisdom dominated by Hinduism and Buddhism prior to the coming of Islam.

Instead of forcing sharia (Islamic law) on the community, the preachers of Islam who well known as nine saints, especially in Java, develop a cultural Islamic approach by accommodating certain aspects of local traditions, beliefs and wisdom. As a result, there was a process of indigenization of Islam in Indonesia. Throughout the history of Indonesia, Muslims were able to develop mutual respect, understanding and tolerance of others. It is obvious that the development of Islam in Indonesia is very different compared to that of Islam in the Middle East.

Meanwhile, the population of Christianity in Indonesia now is approximately 24 millions people; it equals total population of Malaysia, and equals 6 times the population of Singapore. Christianity came to Indonesia in the 16th century with colonialism, especially, Dutch colonialism and Portuguese colonialism. The close association of Christianity with Western imperialism and colonialism has made many Muslims always consider Christians as colonialism.  In fact, both religions came from out side Indonesia. Islam is always understood as Arabic religion or East religion, meanwhile Christianity is considered as European religion or Western religion. This misuse understanding brings to prejudice.

It is very interesting to note that despite the association of Christianity with colonialism, Indonesians Christians tend to be very nationalistic. Most Indonesians Christians enthusiastically joined in the struggle for independence. It is very important to note that every general election, The Catholic Council of Bishops and The Indonesian National of Churches issued a political statement.

The statement or declaration praises God for the Indonesian nation-state and thanks God for accompanying the Indonesian people in their struggle to realize the ideals of constitution of Indonesia 1945, namely national sovereignty, justice, prosperity and peace. The Declaration states that all Indonesian Christians are called by God to participate in the national elections to choose leaders who are committed to Pancasila, the constitution and the national ideals. 

Our task as peace lover is to campaign and to make people realize that Islam and Christianity are two religions which carry the universal message of peace, freedom and salvation.  Both are present in the face of mankind, in the realm of conveying a new morality for social transformation. Islam and Christianity are a moral force because of its metaphysic and humanistic character. Islam and Christianity not only carry teachings in vertical aspect (between human and God) but also carry teachings which contain horizontal aspects (among human beings). So, both religions respect humanity.

Religious commitment of the founding fathers

Indonesia epitomizes a case of exceptional uniqueness. Indonesia is the largest Muslim country in the world. It is home to almost two hundred million Muslims, which is approximately 85 % of the total population of Indonesia. Despite the fact that the majority of Indonesians are Muslims, Indonesia is not an Islamic state.

Indonesia’s state ideology is not Islam, but is based on Pancasila (Five principles, namely Belief in God; Just and civilized humanism; Unity of Indonesia; People’s power; and social justice). These five principles are very compatible with the universal values of human rights. And also it is very conducive for building peace among the community.

Indonesia protects all believers of religions and beliefs as stated in its Constitution.  Such condition came up because the founding fathers of this republic –they were prominent Muslims and Christians- did not choose religion as the foundation of the state. Rather, they chose Pancasila as state philosophical foundation and at the same time as the guideline in establishing the state’s political power. Certainly, such a choice was not made without reason nor was an easy thing to do.

Historical record has expressly displayed and born clear witness to the fact that the debate of our founding fathers had torn the group into two severely opposing poles: the nationalists and the Islamists was aggravatingly bitter and tough. The former advocated Pancasila, and the latter wanted Indonesia to be based on the Islamic Ideology. Such heated debate occurred in meetings prior to or in the wake of the Independence Proclamation, especially in the sessions held in the Parliament in the year of 1945.

The choice of Pancasila as the foundation on which the state and nation life is based, witnesses the victory of nationalistic Muslims and Christians, the victory of moderate Muslims and Christians in Indonesia. This fact also proves that since the onset Muslims and Christians key figures have put into account the importance of maintaining pluralistic and democratic value in shared life as nation in Indonesia.

 This fact of pluralism shall always be manifested and may not be negated in the life of the state and nation. Also, the active roles played by both Christian and Muslim leading figures, especially those of the founding fathers in embodying peaceful, tranquil, inclusive and pluralism-respecting Indonesia shall always be born in mind and disseminated. These two ideas are of considerable usefulness and can serve as the inspiration-generator for the efforts to foster peace, justice, and humanity in Indonesia.

Pancasila as the common ground to overcoming prejudice

Thereafter, based on Pancasila, our founding fathers prepared the Indonesian constitution. This constitution has been amended four times, yet the regulation concerning religion as stipulated in Article 29 of the 1945 Constitution has remained the same. The articles reads : The state is based on the Belief in One Supreme God (2) The State guarantees the freedom of each of its citizen to embrace their respective religion and to perform religious duties in accordance with their respective religion and belief. The provision of the article expressly indicates that Indonesia state comprehensively guarantees the religious freedom to its citizens.

The thing worth underlining here is that Indonesian Christian and Muslim eminent religious leaders hold inclusive, moderate and tolerant disposition. They are of the belief that the importance of maintaining harmonious togetherness as a nation, as well as the significance of  upholding human dignity and esteem regardless differences of religion; and the importance of enforcing human basic rights, especially the rights of religious freedom for all civilian including the minority and vulnerable groups.

The endeavors made by both the Christian and Muslim community to establish strong and solid civil society by upholding democracy, reinforcing human rights and promoting justice, including in it the gender justice, have become more apparent. The strong indication towards this tendency was made clear by the advent of a number of legislations and public policies, such as Act Number 39 of 1999 on Human Rights. As far as religious life is concerned, this Act lays down (in Article 22) : (1) Every individual is given a free choice for embracing his or her own religion and belief and for performing his or her duties in compliance with the religion or belief adhered to. (2) The state guarantees followers of any religion or belief with freedom to observe and perform religious duties in accordance with his or her religion or belief. In addition, the commitment upheld by Indonesia has become stronger by the birth of Act Number 12 of 2005 on the Ratification of International Covenants concerning civil-political rights stipulated therein the assertion of freedom of advocating any belief.

Recommendation and solution
It can be concluded that Indonesia is very unique. Indonesian Christian and Muslim community is intensely influenced by local culture which is very tolerant, open, inclusive as well as respectful to the humanity.  Indonesian Muslim community is very different from those of other areas, especially Middle East. Indonesian Muslim community has long experience of living together – side by side – with people with different religions, different faith. The founding fathers of this country are very respectful for humanity and actively in efforts to overcoming prejudice and campaigning justice and peace.

Now, what should be done by all Muslims and Christians as the important contribution for the civilization of peace? I propose three concrete actions as follows: 

Firstly, Muslims and Christians work together to continue the efforts of cultural reconstruction through education in its wide sense, particularly education in family life. These efforts are needed to be implemented because culture of peace, respect, tolerant and inclusive cannot emerge naturally and spontaneously in society, instead it must be arranged in such way through education system. Why it is important? To reduce prejudice behavior in society, children must be taught to embrace multiculturalism. A few researches stated that prejudice and bias are very often learned in childhood. So, education is a means to a harmonious intercultural society. Multicultural education can shield people from the negative effects of globalization. Multicultural education promotes universal values of religion which teach peace, justice, and encourage human dignity. I believe that the implementation of multicultural education will be very useful for a diverse country like Indonesia.

Secondly, Muslims and Christians work together to continue the efforts of law reform. We have to reform some laws and public policies which are not conducive to the establishment of peace and justice as well as the upholding of democracy and human rights.

Thirdly, Muslims and Christians work together to continue the efforts of religious interpretations. We have to propose a new religious interpretation which is more conducive for promoting peace, justice, and upholding human rights. Unfortunately, the widespread interpretation and widely practiced in the Muslim community does not at all compatible with the principles of human rights, particularly women’s rights and gender equality.

Finally, I would like to recommend that Muslims and Christians should work together to continue to campaign religious interpretation will lead us to an in-depth understanding and appreciation of universal values of morality with compatible with human rights. It is this type of interpretation which will lead us to eliminate all forms of prejudice, hatred and violence.
 
Thank You so much.















[1] Paper submitted on Christian Conference of Asia, on 12-17 Oct 2017 in Yangon, Myanmar.
[2] President of Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP), and also Lecturer of Islamic State University, Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia. She can be contacted at: m-mulia@indo.net.id  or icrp@cbn.net.id.

Da’wah Sebagai Media Transformasi Sosial

Bagian III


Musdah Mulia

International Da’wah Conference 2017, held by Faculty of Da’wah and Communication, Sunan Kalijaga State Islamic University, 4-5 Oct 2017 in Yogyakarta.


Reformulasi dakwah: Menjembatani keragaman dan menguatkan kemanusiaan

Sebelumnya, saya sungguh mengapresiasi semua upaya yang telah dilakukan banyak pihak untuk meningkatkan kualitas dakwah di Indonesia, termasuk seminar internasional yang dilakukan UIN Sunan Kalijaga hari ini. Saya mengakui banyak kemajuan telah dicapai terkait peningkatan kualitas dakwah berkat kerja keras banyak pihak, khususnya para pegiat dakwah.

Namun, harus pula diakui bahwa keberhasilan yang ada belum memenuhi harapan, khususnya dikaitkan dengan kondisi obyektif umat Islam. Menurut saya, reformulasi dakwah mendesak dilakukan agar dakwah mampu menjembatani keragaman dan menguatkan kemanusiaan (bridging diversity and enriching humanity).
Dalam reformulasi dakwah, setidaknya ada lima unsur dakwah yang harus ditingkatkan kualitasnya, yaitu: Pertama, unsur pelaku dakwah (da’i/da’iyah). Seorang pelaku dakwah, siapa pun dia, selayaknya memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang memadai terkait dakwah. Para pelaku dakwah bukan hanya memiliki kompetensi, melainkan yang terpenting adalah integritas[1] dan passion kemanusiaan.
Mereka harus punya komitmen menebarkan interpretasi keagamaan yang baru yang lebih humanis, demokratis dan rasional selaras dengan kondisi obyektif masyarakat yang dihadapi.[2] Dalam konteks Indonesia, dibutuhkan da’i yang mengerti falsafah Pancasila dan Konstitusi, serta nilai-nilai universal hak asasi manusia. Selain itu, juga mengenali nilai-nilai kearifan lokal yang sudah membudaya di masyarakat.
Umat Islam membutuhkan da’i yang mampu menghidupkan nilai-nilai moral dalam diri individu dan masyarakat sehingga masyarakat terdorong untuk selalu berpikir positif dan aktif berkarya demi kemaslahatan semua manusia. Jika nilai-nilai moral tersebut hidup dan aktif, manusia terdorong melakukan upaya-upaya amar ma’ruf nahy munkar dengan cara-cara yang santun dan beradab sesuai kapasitas masing-masing.
Umat Islam membutuhkan da’i yang berkomitmen memajukan masyarakat dengan menebar kasih-sayang dan merajut perdamaian.[3] Bukan da’i yang pemarah, senang memprovokasi masyarakat dengan ujaran kebencian dan permusuhan serta menggiring umat kepada kehancuran peradaban.
Kedua, unsur penerima dakwah (mad’u, audience). Masyarakat penerima dakwah, walaupun sesama umat Islam, namun kondisi mereka sangat beragam: antara lain beragam etnis, ras, bahasa, adat-istiadat, gender, tingkat intelektual, pemahaman keislaman, dan pilihan politik. 
Dakwah seharusnya mengedukasi mereka menjadi lebih spiritual dan beradab melaui upaya menghidupkan nilai-nilai moral agama. Jika penerima dakwah terdiri dari orang-orang yang berpikiran terbuka, kritis, dinamis, senang belajar, ingin berubah, dakwah merupakan pemicu yang akan mempercepat terjadinya transformasi masyarakat.
Sebaliknya, jika penerima dakwah terdiri dari orang-orang yang skeptis, apatis, mudah diprovokasi, tidak kritis dan tidak rasional, maka kegiatan dakwah tidak banyak membantu mereka melakukan transformasi. Jika demikian kondisinya, maka dakwah akan berubah bentuk dari tuntunan menjadi tontonan dan menjadikan penerima dakwah sebagai obyek tontonan atau bahkan hanya menjadi obyek politik untuk pemenangan partai atau kelompok tertentu.
Ketiga, unsur materi dakwah (maddah) atau disebut juga pesan-pesan dakwah. Materi dakwah setidaknya menjelaskan nilai-nilai moral keagamaan yang harus dihidupkan dalam diri setiap manusia agar menjadi manusia berakhlak karimah. Sebab, itulah tujuan utama dari misi kenabian. Sesuai sabda Nabi Muhammad saw: ”aku diutus semata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Minimal menjelaskan nilai keadilan dan kesetaraan manusia, termasuk keadilan dan kesetaraan gender. Sebab, pengingkaran terhadap nilai tersebut membawa kepada berbagai ketidakadilan dalam masyarakat.
Dakwah akan berhasil manakala materinya memenuhi kebutuhan masyarakat penerima dakwah. Misalnya, konten dakwah terhadap masyarakat petani hendaknya dikaitkan dengan upaya-upaya peningkatan kualitas hasil pertanian mereka. Materinya lebih banyak berisi pesan-pesan moral agama yang mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai pekerja dan pengabdi kemanusiaan. Konten dakwah hendaknya memberikan harapan hidup yang lebih baik, kepastian dan janji kebahagiaan, bukan berisi ancaman, provokasi kebencian, makian dan cerita horor yang penuh hoax dan kebohongan.
Keempat, unsur media dakwah (wasilah). Dikenal beragam wasilah, seperti dakwah dengan lisan, tulisan, lukisan, dan audiovisual dalam bentuk film dan video singkat, meme, foto dan kaligrafi. Kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi dan informatika menawarkan begitu banyak ragam media yang dapat digunakan untuk melakukan dakwah.
Para pelaku dakwah hendaknya berani dan mampu menggunakan semua media untuk tujuan keberhasilan dakwah, bahkan mereka perlu menciptakan media baru yang lebih efektif untuk dakwah. Apa pun media yang dipilih yang penting adalah tetap konsisiten menggunakan bahasa yang santun dan menyentuh empati kemanusiaan.

Kelima, unsur metode dakwah (thariqah). Alquran secara jelas mengemukakan metode dakwah mengandung tiga prinsip: hikmah, maw’izhati`l-hasanah, dan mujadalah bi`l-latî hiya ahsan. Perlu dicatat bahwa pemberian maw’izhah harus dilakukan dengan cara-cara yang baik (hasanah) dan mujadalah harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih baik lagi (bi`l-lati hiya ahsan). Sangat perlu diingat, dalam Islam cara sama pentingnya dengan tujuan. Islam tidak membenarkan penggunaan cara-cara keji dan batil, seperti berita hoax, data palsu dan informasi bohong demi mencapai tujuan, walaupun tujuan yang sangat mulia sekali pun.
Abdullah Syihhata mengartikan kata الحكمة dengan memperhatikan sasaran dakwah sehingga materi yang disampaikan tidak memberatkan, serta mengajak mereka sesuai dengan kondisi dan tingkat keadaannya. Kata الموعظة الحسنة diartikan dengan memberi pelajaran yang baik, halus, lembut, tanpa kekerasan dan kemarahan.[4] Sedang pakar tafsir, al-Maraghi mengartikan kata المجادلة dengan tukar pikiran dan perdebatan untuk mencapai kesepakatan.[5]

Berbeda dengan yang di atas, M. Natsir lebih menekankan ketiga metode tersebut dengan situasi dan kondisi sasaran dakwah, yang terdiri atas golongan pelajar/siswa, ilmuwan dan golongan awam. Kata الحكمة lebih ditekankan kepada taktik berdakwah, sedang kata الموعظة الحسنة dan المجادلة ditekankan pada bentuk-bentuk dakwah yang dipergunakan.[6] Khusus untuk metode terakhir (المجادلة), perlu ditegaskan bahwa diskusi itu bukan bertujuan mengalahkan mereka, tetapi hanya untuk memberi peringatan, pengertian dan memadukan pendapat untuk menemukan kebenaran. Berdiskusi dengan baik adalah dengan cara agar pihak lain merasa dirinya tidak tersinggung dari prinsip dan harga diri.

Saya yakin jika upaya reformulasi dakwah dilakukan sesuai dengan tawaran peningkatan kualitas unsur-unsur dakwah tadi, maka dakwah mampu menjembatani keragaman dan menguatkan kemanusiaan (bridging diversity and enriching humanity). Akhirnya, dakwah akan berhasil mengubah umat Islam menjadi umat terdepan dalam memajukan peradaban manusia dan menjaga perdamaian dunia.
Pengalaman panjang yang saya temukan dalam banyak dialog agama menyimpulkan, semua agama (baca penganut) memiliki musuh yang sama, yaitu ketidakadilan. Ketidakadilan mewujud dalam banyak bentuk, seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, sistem politik yang tiranik dan despotik yang membawa kepada kolonialisme dan imperialisme. Ketidakadilan juga melahirkan pendewaan diri melalui perilaku konsumeristik, individualistik, dan hedonistik. Ketidakadilan mewujud dalam bentuk relasi tidak setara yang pada gilirannya melahirkan dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan beragam kekerasan dan kebiadaban.
Karena itu, dakwah dalam semua agama hendaknya diarahkan untuk mengeliminasi musuh yang sama agar terwujud masyarakat bermoral dan berkeadaban, yaitu masyarakat yang mencintai keadilan. Untuk dapat mencintai keadilan, seseorang atau masyarakat harus memiliki spiritualitas yang kuat, dan ini diperoleh dengan berupaya menghidupkan nilai-nilai moral yang sudah ada dalam diri setiap manusia sebagai anugerah Tuhan.

Kesimpulannya, dakwah harus mampu menghidupkan nilai-nilai  moral agama yang esensinya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan. Dengan menghidupkan nilai-nilai tersebut, akan terbangun relasi kemanusiaan yang hangat, akrab, intens dan bermakna, dimulai dari diri sendiri dalam keluarga. Dakwah harus berujung pada terwujudnya masyarakat yang damai dan bahagia,  dalam term Alqur’an disebut baldatun thayyibah wa Rabbun ghafur.

Akhirnya, saya sangat ingin suatu saat nanti memberikan testimoni akan keberhasilan dakwah dalam mentransformasi masyarakat menjadi lebih baik, sebagaimana testimoni yang disampaikan oleh Jafar ibn Abu Thalib yang saya utarakan di awal tulisan ini. Semoga!




























                                       



[1] Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam (Ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, t.thn.), h. 138-140.
[2] Q.S. Ibrahim, 14: 4.
[3] Q.S. al-Shaf, 61:3.
[4] Penjelasan yang lebih rinci dapat dilihat pada Abdullah Syihhata, al-Da’wat al-Islamiyat wa al-I’lam al-Diniyah, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ibrahim Hosen et. al. Dengan judul Dakwah Islamiyah (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perg. Tinggi Agama/IAIN, 1986), h. 6-7.
[5] Lihat Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz XIV (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.thn.), h. 157-158.
[6] Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada M. Natsir, Fiqhud Da’wah (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1978), h. 165.

Da’wah Sebagai Media Transformasi Sosial

Bagian II

Musdah Mulia

International Da’wah Conference 2017, held by Faculty of Da’wah and Communication, Sunan Kalijaga State Islamic University, 4-5 Oct 2017 in Yogyakarta.

Menghidupkan nilai-nilai moral: Meningkatkan kualitas spiritual

Persoalan paling mendasar umat beragama adalah mereka belum secara sungguh-sungguh menjadikan keberagamaan sebagai bagian penting dari kemanusiaan. Sejatinya, tujuan akhir agama adalah memanusiakan manusia. Semakin kuat manusia beragama, maka selayaknya semakin peka rasa empatinya kepada sesama, bahkan juga kepada semua makhluk.

Manusia diberi tugas sebagai khalifah fil ardh,[1] karena itu manusia dibekali fitrah untuk membedakan yang baik dan yang buruk.[2] Fitrah dimaksud tiada lain adalah nilai-nilai moral agama yang esensinya sama dengan nilai-nilai universal kemanusiaan.

Kesalahan penggunaan fitrah adalah pengingkaran hati yang paling dalam sehingga menyebabkan hidup tanpa keseimbangan, dan pada gilirannya jatuh pada kenistaan (safilin), bahkan lebih nista dari binatang melata. Nilai-nilai moral agama yang menjadi fitrah manusia sudah tertanam dalam diri setiap manusia sejak lahir.

Adalah tugas orang tua, guru dan para da’i/da’iyah atau muballigh/muballighah serta lingkungan masyarakat berupaya menghidupkan nilai-nilai moral tersebut agar berfungsi mengarahkan manusia kepada kebaikan dan kebenaran. Inti dakwah adalah menghidupkan nilai-nilai moral agama. Upaya menghidupkan nilai-nilai moral agama sebaiknya dimulai sejak kecil, dimulai dari kehidupan rumah tangga dan dilakukan secara terus-menerus sehingga membentuk akhlak karimah dalam diri manusia.

Esensi dari  nilai-nilai moral agama tersebut adalah nilai keadilan. Sejatinya, keadilan merupakan esensi ajaran Islam,[3] bahkan semua agama dan kepercayaan mengajarkan pentingnya keadilan. Keadilan dalam relasi dengan Tuhan melahirkan kepatuhan mutlak hanya kepada-Nya, tawadhu, tawakkal, sabar dan selalu bersyukur.

Keadilan dalam relasi antar manusia melahirkan kasih-sayang, cinta, ikhlas, solidaritas, berani dan tanggung jawab. Keadilan membawa manusia menghindari semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Menjauhi semua hal yang mencederai kemanusiaan, seperti perilaku korupsi, nepotisme, konsumeristik, hedonistik, serta sikap tiranik, arogan dan despotik. Keadilan dalam hubungannya dengan alam melahirkan sikap peduli pada lingkungan, selalu berupaya agar lingkungan tetap hijau dan asri serta  terjaga, menghindari semua bentuk eksploitasi alam yang berujung pada bencana kemanusiaan.

Al-Qur’an menegaskan, manusia memiliki potensi yang sangat penting terkait upaya-upaya humanisasi, liberasi dan transendensi.[4] Humanisasi maksudnya manusia berpotensi menjadikan dirinya dan masyarakatnya menjadi lebih manusiawi melalui berbagai kegiatan, seperti pendidikan, pelatihan, kesenian, seminar, workshop dan penelitian. Semuanya kegiatan dimaksud diarahkan untuk merekayasa individu dan masyarakat menuju kondisi kehidupan yang lebih berkualitas. Liberasi adalah potensi manusia untuk membebaskan sesama manusia dari ketidakadilan, kungkungan bid’ah, khurafat dan radikalisme. Adapun transendensi terkait potensi manusia meningkatkan kemampuan spiritualnya sehingga selalu terdorong melakukan perbuatan terpuji dan menjauhi perbuatan terkutuk.
Konsep al-khayr (kebaikan universal) dalam sejumlah ayat Al-Qur’an merujuk kepada nilai-nilai moral agama yang nota bene juga merupakan nilai-nilai kemanusiaan universal. Nilai-nilai inilah yang menjadi titik temu di atara semua agama dan kepercayaan.[5] Dakwah seharusnya diarahkan untuk menghidupkan nilai-nilai moral agama dalam diri setiap individu dan kelompok yang efeknya adalah peningkatan kualitas spiritual manusia.

Spiritualitas yang kuat akan mendorong manusia berani menegakkan keadilan dengan mengeliminasi semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, termasuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Spiritualitas yang kokoh membimbing manusia tegar melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dalam memajukan sains dan teknologi demi kemashlahatan semua manusia. Spiritualitas yang matang menuntun manusia melawan semua bentuk korupsi, nepotisme dan perbudakan, mengikis semua bentuk imperialisme dan kolonialisme, termasuk mengikis cara hidup konsumeristik dan hedonistik yang membuat manusia tercerabut jati dirinya. Spiritualitas yang solid mengarahkan manusia mencintai perdamaian dan keharmonisan, menolong sesamanya dari kehancuran peradaban sekaligus menjaga kelestarian alam semesta.
Intinya, dakwah harus mampu meningkatkan kualitas spitual manusia yang tercermin dari perilakunya sehari-hari, baik dalam relasi dengan Tuhan, sesama manusia, maupun dalam relasi dengan lingkungan dan makhluk lainnya di muka bumi. Dakwah harus mampu membuat manusia menjadi lebih manusiawi.





[1] Q.S. al-Baqarah, 2:30, Sad, 38:26
[2] Q.S. al-Balad, 90: 10.
[3] Q.S. an-Nisa, 4:58, al-Maidah, 5: 8.
[4] Q.S. Ali Imran, 5:110
[5] Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1997, hal. 90-91.