Senin, 24 Juni 2019

Kajian Islam SALAM ke-10 Halal bi Halal dan Saling Memaafkan

Kajian Islam SALAM ke-10
Tema: Halal bi Halal dan Saling Memaafkan 
Kantor ICRP - 23  Juni  2019
Narsum: Musdah Mulia




Definisi

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan kegiatan halal bi halal adalah berkumpulnya sejumlah orang pada suatu tempat tertentu yang diadakan setelah Idul Fitri. Tujuannya untuk silaturrahim dan maaf-memaafkan. Menarik dicatat, tradisi halal bi halal  hanya dijumpai di Indonesia. Karena itu, kegiatan ini tidak dikenal di negara-negara Islam lainnya, bahkan di Arab Saudi tempat asal agama Islam. 

Makna Halal bi Halal

Secara linguistik halal bi halal adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal dan diantarai oleh sebuah kata penghubung. Kata halal berasal dari akar kata halla atau halala yang mengandung beberapa pengertian. Di antaranya dapat berarti 'melepaskan ikatan', 'mengurai benang kusut', 'mencairkan kebekuan', dan 'menyelesaikan masalah'. 

Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik suatu benang merah yang merupakan esensi halal bi halal, yaitu aktivitas silaturahim yang dilakukan setelah puasa Ramadhan dan setelah shalat Idul Fitri untuk lebih mempererat hubungan persaudaraan dan kekeluargaan serta hubungan kemanusiaan di antara anggota keluarga, tetangga, kerabat dan kolega. Tujuannya, agar tidak ada lagi perasaan bersalah atau belenggu yang mengganggu perasaan terhadap sesama. Tidak ada lagi kebekuan dan masalah yang merintangi hubungan dan komunikasi di antara sesama.

Kapan tradisi Halal bi Halal mulai?

Sulit memastikan kapan tradisi ini muncul, tetapi yang jelas tradisi ini mulai dilembagakan di tanah air dalam bentuk upacara sekitar tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah 1950-an. Kini penyelenggaraan halal bi halal dijumpai pada seluruh lapisan masyarakat Muslim, baik di lingkungan instansi negara maupun swasta, serta di lingkungan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya.

Akar teologis

Walaupun tidak dilakukan di lingkungan masyarakat Muslim lain, namun tradisi ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, khususnya ajaran mengenai perlunya mempererat hubungan silaturahim dan saling memaafkan di antara sesama manusia, misalnya sebagai berikut:

Q.S an-Nur, 24:22, 
وَلَا يَأۡتَلِ أُوْلُواْ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤۡتُوٓاْ أُوْلِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ  
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,

al-Baqarah, 2:237, dan  

وَإِن طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدۡ فَرَضۡتُمۡ لَهُنَّ فَرِيضَةٗ فَنِصۡفُ مَا فَرَضۡتُمۡ إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ وَلَا تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ  
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

al-Maidah, 5:13
فَبِمَا نَقۡضِهِم مِّيثَٰقَهُمۡ لَعَنَّٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَٰسِيَةٗۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَنَسُواْ حَظّٗا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِۦۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآئِنَةٖ مِّنۡهُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنۡهُمۡۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱصۡفَحۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Perlunya mensucikan jiwa

Islam secara tegas mengajarkan bahwa manusia itu pada dasarnya suci. Hanya saja dalam perjalanan hidupnya manusia tercemar oleh berbagai kesalahan dan dosa. Pencemaran terjadi karena dalam diri manusia ada tendensi untuk mengikuti hawa nafsu yang bersifat irasional dan senantiasa membujuk manusia berpaling dari fitrah kesucian. Hawa nafsu merupakan pangkal dari semua penyakit hati dalam kehidupan manusia, yaitu sombong, arogan, dengki, dendam, benci, iri, rakus, senang menebar hoaks dan fitnah, serakah harta dan kekuasaan serta semua bentuk sifat keji lainnya. 

Hawa nafsu pada dasarnya adalah kecenderungan jiwa yang salah. Allah swt. berfirman: "Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini (QS. al-Mukminun, 23:71). Di kalangan sufi dikenal ungkapan: "musuh manusia yang paling berbahaya adalah nafsunya sendiri". Ketika usai perang Badr yang terkenal sangat dahsyat, Nabi saw. berkata kepada para sahabatnya: "kita baru saja selesai dengan perang yang kecil menuju perang yang lebih besar", para sahabat terperanjat dan bertanya perang apakah gerangan yang lebih dahsyat dari perang Badr, Nabi pun menjawab: perang melawan hawa nafsu". 

Anehnya, sekalipun telah dianugerahi fitrah yang hanif, manusia tetap merupakan makhluk lemah. Kelemahan utama manusia justru terletak pada dua sifat yang menonjol, yakni kepicikan atau sempit pikiran (al-dha`f) dan kekikiran (al-qatr). Hampir semua bentuk kesalahan, kekhilafan, dan dosa yang diperbuat manusia timbul akibat dua sifat tersebut (Perhatikan kandungan QS. al-Ma`rij, 70:19-21,  an-Nisa`, 4:128,  al-Hasyr, 59:9, at-Taghabun, 64:16,  al-Isra`, 17:100).

Karena dua sifat buruk: kepicikan dan kekikiran itu lah manusia mudah tergoda oleh daya tarik jangka pendek suatu perbuatan sambil melupakan akibat jangka panjangnya yang seringkali merugikan dan membahayakan, bukan hanya dirinya melainkan juga keluarga dan orang banyak. Tidak heran jika manusia mudah tergoda untuk berdusta dan menipu secara licik dan keji demi mendapatkan harta, meraih jabatan dan kekuasaan, korupsi, menebar berita hoax dan fitnah, mudah terpicu provokasi yang berakhir konflik. Karena kepicikannya, manusia sering tergelincir pada dosa dan fitnah. Demikian pula karena kekikirannya, manusia cenderung menimbun harta, malas bersedeqah, berinfak dan membayar zakat serta hilang empati kemanusiaannya untuk membantu sesama, khususnya mereka yang sedang kesulitan dan tertindas.

Kedua sifat buruk itulah yang menjadikan manusia mempunyai sifat tergesa-gesa (panik dan tidak sabaran), dan tidak suka merenungkan akibat jangka panjang dari semua tindakannya (QS. al-Anbiya`, 21:37, al-Isra`, 17:11, al-Qiyamah, 75:20-21,  al-Baqarah, 2:10, dan al-Muzammil, 73:20).  Manusia cenderung sulit menahan diri dari godaan dosa dan zulm (kegelapan) sehingga menjadi pelaku dosa dan dirinya diliputi kegelapan. Makin parah manusia bergelimang dosa makin gelaplah hatinya dan pada akhirnya hati itu akan berubah dari nurani (terang benderang) menjadi  zulmani (gelap gulita).

Sifat tergesa-gesa membuat seseorang mudah menebar berita hoax dan fitnah tanpa merasa perlu tabayun atau klarifikasi terlebih dahulu. Akibatnya, bagai sumbu pendek yang mudah meledak, manusia mudah sekali terjerumus dalam konflik, permusuhan dan perseteruan lantaran berita hoax dan fitnah tadi. 

Sifat  tergesa-gesa juga membawa kepada sifat sombong dan arogan, serta mudah putus asa atau frustrasi. Tidak ada makhluk lain di jagad raya yang demikian mudahnya menjadi arogan dan frustrasi seperti halnya manusia. Al-Qur`an berulang kali menandaskan kedua sifat tercela ini, yakni jika memperoleh rahmat dari Tuhan manusia lalu bersikap sombong dan arogan karena merasa rahmat itu datang karena ikhtiarnya semata, bukan karena anugerah Tuhan Sang Pencipta.  Sebaliknya, jika rahmat Tuhan  ditarik kembali dari dirinya atau mereka ditimpa bencana dan musibah mereka pun menjadi putus asa dan kecewa, seolah-olah Tuhan tidak pernah menganugerahinya rahmat (QS. al-Fussilat, 41:49-51,  dan al-Isra` 17:83, 10:12). 


Ibadah mensucikan jiwa

Semua ibadah yang diperintahkan Allah pada hakikatnya bertujuan melatih jiwa manusia untuk mengekang dan mengendalikan hawa nafsu. Puasa, misalnya merupakan media pensucian ruhani sebagai latihan pengendalian diri dari berbagai godaan hawa nafsu sehingga menjadi manusia yang bertaqwa, yaitu manusia yang menang dalam perjuangan menghadapi segala macam godaan. 

Penyucian jiwa melalui puasa tidak terbatas pada aspek pengekangan diri terhadap kebutuhan fisik material belaka (makan, minum, dan hubungan seksual), melainkan mencakup juga memupuk sikap positif yang ditandai dengan sikap syukur kepada-Nya. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur`an menegaskan bahwa puasa yang produktif adalah puasa yang mampu mengantarkan pelakunya menjadi orang yang bertakwa dan bersyukur. 


Puasa membimbing manusia untuk kembali kepada fitrah, yakni asal kejadiannya. Itulah sebabnya setelah usai berpuasa selama bulan Ramadhan umat Islam ber`idul fitri atau kembali ke fitrahnya. Diharapkan pada `Idul fitri ini setiap individu berhasil tampil kembali sebagai manusia suci seperti ketika ia dilahirkan. 

Selanjutnya diharapkan melalui tradisi halal bi halal tersebut, manusia dapat terus-menerus menyadari bahwa kesucian adalah pembawaan alami dirinya yang harus dipertahankan dengan ucapan, sikap, dan perilaku yang baik, positif dan konstruktif. 

Mengapa harus saling memaafkan?

“Mohon maaf lahir batin”. Apa makna ucapan seperti itu bagi seseorang? 
Para ahli psikologi agama menyebutkan bahwa ucapan maaf itu besar maknanya, yakni sebagai langkah awal untuk menyatakan penyesalan. Itulah tindakan paling sederhana untuk menunjukkan sikap penyesalan seseorang terhadap berbagai kesalahan yang pernah diperbuatnya. 

Namun, yang lebih berarti bagi seseorang yang melakukan kesalahan adalah bahwa penyesalan yang diucapkan itu sungguh-sungguh merupakan refleksi batin dan sebagai komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan lagi. 

Al-Qur`an mengajarkan tiga hal yang harus dilakukan oleh seorang Muslim yang bertakwa berkenaan dengan orang yang berbuat kesalahan terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik kepadanya (QS. al-Maidah, 5:134). Bahkan, sekalipun orang lain bersumpah untuk tidak berbuat baik kepadanya, ia pun tetap dianjurkan untuk memaafkan dan menghapuskan kesalahannya (QS. an-Nur, :22). 

Makna Idul Fitri

Ber`idul fitri pada hakikatnya bermakna merayakan kembalinya sifat kemanusiaan sejati. Manusia hendaknya diliputi rasa cinta kasih dan kemurahan hati yang disertai dengan kemampuan menahan marah serta keinginan tulus untuk meminta maaf dan memaafkan sesama. Sikap-sikap terpuji inilah yang sesungguhnya merupakan wujud nyata dari fitrah manusia yang dituliskan Allah dalam diri manusia pada awal penciptaannya (QS. ar-Rum, 30:30).

Kesadaran akan fitrah manusia dan kenyataan bahwa dalam realitas tidak ada manusia yang luput dari dosa dan kesalahan membawa kepada kesadaran baru akan perlunya meminta maaf kepada sesama manusia, terutama kepada orang tua: ibu dan bapak serta kerabat dekat. Bukan hanya meminta maaf, tetapi juga memberi maaf kepada sesama tidak kalah pentingnya. Sebesar apa pun kesalahan orang lain tidak perlu dihitung. Berpasrahlah hanya kepada Allah karena Dia lebih tahu hitungannya. Yang penting bagi kita adalah memberi maaf dan tunjukkan sikap yang lebih baik. Memang sangat tidak mudah melakukan ini, tapi itulah perintah agama demi membangun kehidupan damai dan harmoni dengan sesama.

Dalam interaksi antar-sesama manusia sulit dihindarkan adanya saling benturan kepentingan, salah faham, dan salah persepsi. Namun kenyataan ini tidaklah membuat manusia mudah melupakan kesalahan orang lain atau meminta maaf. Orang umumnya lebih suka membayar ganti rugi atau membayar sanksi daripada harus meminta maaf.  Sebab, meminta maaf sering keliru diidentikkan dengan kehilangan harga diri atau kehilangan muka. 

Untuk menghapus keengganan meminta maaf dan memaafkan sesama, agaknya perlu direnungkan sifat-sifat Tuhan yang baik (al-asma`ul husna). Di antara 99 al-asma`ul husna empat yang berkaitan dengan sifat pemaaf, yakni sifat-sifat al-Ghaffar, al-Ghafur, al-Thawwab, dan al-Afwu. Sebagai al-Ghaffar, Allah senantiasa berjanji menutupi kesalahan dan dosa orang-orang yang bertaubat, bahkan kesalahannya akan ditukar dengan kebajikan (QS. al-Furqan, 25:70). 

Allah swt. menyambut permohonan tulus hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapa pun besar dan banyak dosanya selama yang bersangkutan tidak mempersekutukan Allah (QS. al-Furqan, 25:70). Allah swt. memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maaf dan ampunan (Q.S. al-Jatsiyah, 45:15), bahkan ditegaskan bahwa: "siapa yang bersabar dan memaafkan kesalahan orang lain maka hal demikian termasuk sifat utama" (asy-Syura`, 42:43). 

Ampunan Tuhan tak terbatas dan tak ternilai oleh apa pun. Hanya satu syarat yang digariskan, yaitu tidak mempersekutukan Allah dengan suatu apapun. Mari kita renungkan bunyi suatu hadis qudsi sebagai berikut: "Hamba-Ku, seandainya kalian datang kepada-Ku dengan membawa sepenuh isi bumi dosa, Aku pasti menyambut kalian dengan sepenuh bumi ampunan, asalkan kalian tidak mempersekutukan Aku" (HR Tarmizi dari Anas ibn Malik).

Sebagai konklusi dapat disimpulkan bahwa halal bi halal bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, melainkan lebih dari pada itu, yakni agar setiap orang berbuat lebih baik, bahkan yang terbaik kepada siapa pun. Itulah landasan filosofis dari halal bi halal. Dengan demikian, esensi halal bi halal tidak terhenti hanya sesudah lebaran, tetapi hendaknya berlangsung sepanjang hayat. 

Untuk itu, marilah kita pada halal bi halal kali ini membuat komitmen baru pada diri kita masing-masing. Komitmen tersebut adalah kita bertekad menjaga jiwa agar tetap bersih dan senantiasa berada dalam koridor fitrahnya sehingga kita semua tergolong dalam kelompok al-a`idin wal faizin (orang-orang yang kembali ke fitrah dan menggapai kemenangan abadi). Amin, ya rabbal alamin.



Senin, 03 Juni 2019

Idul Fitri dan Spiritualitas Baru



Musdah Mulia

Umat Islam segera merayakan hari kemenangan atau`Idul Fitri, 1 Syawal 1440 H setelah berpuasa selama sebulan penuh. Biasanya, ada dua ungkapan populer terdengar saat `Idul Fitri, yaitu min al-`aidin wa al-faizin (biasa ditulis: minal ‘aidin wal faizin) dan mohon maaf lahir batin. Banyak mengira, kalimat kedua adalah terjemah dari kalimat sebelumnya, padahal bukan. Ungkapan “mohon maaf lahir batin” merupakan tradisi khas umat Islam Indonesia, tidak dikenal di negara-negara Arab.

Min al-`aidin wa al-faizin sejatinya adalah do`a yang selengkapnya berbunyi: ja`alana Allah wa iyyakum min al-`aidin wa al-faizin. Artinya: semoga Allah menjadikan kita semua tergolong orang-orang yang kembali  dan memperoleh kemenangan. Do`a tersebut mengandung dua konsep, yakni al-`aidin (orang-orang yang kembali) dan al-faizin (orang-orang yang memperoleh kemenangan). Muncul pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan mereka yang kembali dan memperoleh kemenangan?

Puasa Ramadhan berakhir dengan `Idul Fitri. Kata `id bahasa Arab artinya kembali, jadi  al-`aidin, orang yang kembali. Adapun fithr berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian. `Idul Fitri berarti kembali kepada asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian yang merupakan fitrah manusia. Sedangkan al-fa`izin berarti orang-orang yang menang (QS. al-Hasyr, 59:20 dan Ali-Imran, 3:185). 

Puasa Ramadhan hakikatnya adalah suatu  mekanisme pengendalian diri demi menyucikan hati dan jiwa, kembali ke jati diri manusia yang fitri yang selalu cenderung pada kebaikan dan kedamaian. Mereka yang puasa dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, bukan karena terpaksa atau riya (pamer) dinamakan orang-orang yang menang. 

Melalui aktivitas puasa, diharapkan manusia menjadi lebih suci, lebih beriman dan lebih takwa. Dengan begitu, puasa menjadi media transformasi diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik, positif dan konstruktif. Sekaligus juga menjadi media pembebasan diri dan masyarakat dari musuh-musuh agama yang konkret, seperti ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan.

Mengapa manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrah yang suci? Islam sangat optimis memandang manusia dan meyakini setiap individu dilahirkan dalam kondisi fitrah. Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan (tauhid) yang tertanam dalam lubuk hati (nurani) yang merupakan pusat kedirian manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan alamiah mencari kebenaran, kedamaian dan kebaikan sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk hanif (lurus). 

Ditemukan cukup banyak ayat menegaskan, dalam hati nurani manusia telah dituliskan komitmen suci untuk selalu mengikuti kebenaran dan kebaikan. Tugas para Nabi dan Rasul hanyalah mengingatkan kembali akan komitmen suci tadi. Supaya selamat dan tidak melanggar komitmen, seharusnya setiap individu selalu mendengarkan hati nuraninya. Setiap bentuk penyimpangan dari komitmen tersebut adalah dosa, dan itulah mengapa manusia perlu bertobat. 

Menarik dicermati, kata taubat dalam Bahasa Arab berarti kembali, kembali kepada fitrah. Manusia yang baik bukan karena tidak pernah menyimpang dari komitmen sucinya karena hal itu mustahil. Tidak ada manusia luput dari kesalahan dan dosa. 

Akan tetapi, manusia yang baik adalah jika menyimpang, dia segera sadar dan bertobat sambil bertekad tidak mengulangi kesalahan lagi (QS. Ali Imran, 3:135). Puasa Ramadhan dan segala amal saleh di dalamnya merupakan bentuk pertobatan manusia. Setelah sebulan berpuasa (tentu dengan memenuhi semua persyaratannya) seseorang dapat suci kembali, seperti sucinya seorang bayi yang baru lahir, demikian hadis Nabi. 

Seharusnya dengan puasa umat Islam menjadi lebih meningkat kekuatan spiritualnya, dan itu harus tercermin dari perilaku sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Spiritualitas mendorong manusia selalu aktif melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi, antara lain  melalui kegiatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya agar diri sendiri atau masyarakat semakin memahami agama secara kritis dan rasional. 
Upaya humanisasi dapat juga berbentuk aktivitas pemberdayaan bagi kelompok lemah, miskin, rentan dan marjinal; dan juga aktif melakukan kegiatan advokasi terhadap kelompok tertindas; melawan semua bentuk kezaliman, ketidakadilan dan kekerasan, terutama dilakukan oleh kelompok yang berkuasa.

Ironisnya, dalam realitas sosiologis banyak orang mengaku berpuasa, tetapi tidak memiliki kesadaran spiritualitas. Indikasinya, mereka tidak memiliki kepekaan untuk melawan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan, bahkan menjadi pelakunya. Mereka tidak tergerak untuk menghapus segala bentuk perilaku diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan, juga tidak terpanggil untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan demi kemaslahatan orang banyak. Hal itu karena puasa dipahami sebatas ajaran bersifat ritual formal. 

Kekuatan spiritual amat penting dalam diri manusia karena mendorong manusia selalu berbuat kebaikan dan kemashlahatan. Bahkan, juga mendorongnya untuk memperindah akhlak mulia secara terus menerus, serta membentengi diri dari semua perbuatan keji dan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik dalam relasi vertikal dengan Allah, maupun dalam relasi horizontal dengan sesama manusia, bahkan sesama makhluk, termasuk lingkungan sekitarnya. 

Umat Islam sebagai kelompok terbanyak di negeri ini seharusnya mampu memberi warna positif dan konstruktif pada kehidupan bangsa dan negara. Makna puasa Ramadhan harus terefleksi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Puasa dan semua ibadah lainnya hendaknya bukan hanya mewujudkan kesalehan individual, melainkan juga kesalehan sosial yang berdampak pada kemashlahatan seluruh masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan dan marjinal.

Yang jelas, identitas al-`aidin wa al-faizin dapat terlihat pada mereka yang sudah berkomitmen untuk tidak mengeksploitasi sesama manusia melalui kerja-kerja yang koruptif dan manipulatif; tidak berperilaku anarkis, tiranik dan despotik; tidak mendiskriminasikan sesama atas dasar gender, etnis, agama dan sebagainya; tidak merusak dan mengeksploitasi lingkungan atas nama pembangunan dan atas nama apa pun; tidak menjual agama demi kepentingan apa pun; tidak mencuri kekayaan negara demi kesenangan diri, keluarga dan kelompok; dan tidak tergoda hidup mewah, konsumtif dan hedonistik.  Sebaliknya, al-`aidin wa al-faizin adalah mereka yang terpanggil untuk sepenuhnya mendonasikan hidup dan karya demi kemashlahatan dan kebaikan orang banyak. 

Apakah kita sungguh-sungguh tergolong al-`aidin wa al-faizin? Jawabnya, ada pada nurani masing-masing. Akhirnya, mari bersama mengucapkan min al-`aidin wa al-faizin, semoga Tuhan memberkati semua manusia.