Rabu, 09 November 2016

Agama dan Kebahagiaan



Apakah yang disebut bahagia? Ternyata pertanyaan ini menimbulkan beragam jawaban, tidak pernah ada jawaban tunggal terkait pertanyaan simpel ini. Bahkan setiap orang bisa menyebut lebih dari satu jawaban.

Mungkin pertanyaan yang lebih mudah adalah dari mana datangnya bahagia? Sejumlah penelitian mengungkapkan, ternyata 80% dari bahagia itu bersumber dari dalam diri manusia. Artinya bahagia itu bisa diciptakan dan dapat diwujudkan, bukan semata-mata terberikan. Bahagia itu tidak sepenuhnya takdir, melainkan lebih banyak merupakan konstruksi manusia. Hanya 20 % kebahagiaan dipengaruhi oleh faktor luar manusia seperti lingkungan, harta, kedudukan, pangkat dan sebagainya.

Sebuah penelitian yang dibuat oleh Harvard University mengungkapkan setidaknya ada satu faktor penting yang membuat seseorang bahagia, yakni relasi kemanusiaan yang hangat, akrab, intens dan bermakna. Kebahagiaan seseorang itu tergantung pada adanya relasi yang demikian dalam hubungan dengan pasangan, anggota keluarga, kolega dan komunitas yang lebih luas.

Namun, perlu dicatat bahwa dalam membangun relasi, yang penting adalah kualitasnya, bukan kuantitasnya. Kita tidak perlu memiliki banyak relasi namun kualitas relasi tersebut tidak mendukung munculnya ketenangan dan kedamaian dalam hidup. Relasi dengan pasangan amat menetukan kebahagiaan seseorang karena pasangan adalah orang yang paling dekat dalam pergaulan sehari-hari.
Dibutuhkan komitmen kuat, pengertian, kesabaran, cinta-kasih, dan tanggungjawab bersama untuk menjalin relasi yang hangat, akrab, intens dan bermakna dengan pasangan. Memang tidak mudah, tapi tidak sedikit di antara kita berhasil membangun relasi demikian, bahkan mempertahankannya sampai ajal menjemput.

Penelitian itu juga mengungkapkan berbagai perilaku yang dapat membuat seseorang bahagia, di antaranya: selalu berbuat baik, banyak bersyukur, mudah memaafkan, ringan tangan memberi pertolongan dan tidak dendam. Kelihatannya sangat mudah, tapi dalam prakteknya sangat sulit. Perilaku baik tersebut harus dibiasakan agar mentradisi dalam kehidupan kita.

Lalu, adakah uang membuat manusia bahagia? Pada awalnya uang berkorelasi positif dengan kebahagiaan seseorang. Orang sulit bahagia manakala kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Tetapi, jika uang sudah berlebih, faktanya uang tidak banyak memengaruhi kebahagiaan seseorang. Kecuali jika uang banyak itu digunakan untuk kepentingan sosial maka kebajikan ini menyumbang rasa bahagia. Itulah sebabnya semakin banyak orang kaya menyumbangkan hartanya untuk kepentingan sosial dan menolong kelompok miskin, marginal dan rentan serta untuk perbaikan lingkungan. Sebab, perilaku berbagi dengan orang lain akan menimbulkan rasa bahagia.

Sejak tahun 2012, Badan Internasional PBB mengembangkan sebuah cara mengukur tingkat kebahagiaan manusia melalui WHI (World Happiness Index). Indeks ini bukan hanya mengukur kemajuan ekonomi, melainkan juga mengukur hal lain di luar ekonomi, seperti social support, level of trust, freedom of choice, good governance, dan human rights. Pengukuran ini lalu dikenal dengan indeks kebahagiaan manusia.

Menarik disimak bahwa dari tahun 2012 s/d 2016 negara Denmark menempati urutan pertama dari tiga negara yang penduduknya paling bahagia, yaitu Switzerland, Iceland dan Norwegia. Mengapa Denmark? Sejumlah penelitian menemukan paling tidak ada delapan keunggulan Denmark. Pertama, masyarakatnya memiliki kualitas kehidupan sosial yang sangat hangat. Kedua, masyarakatnya memiliki tingkat trust (rasa percaya) yang sangat tinggi. Ketiga, masyarakatnya sangat memperhatikan kehidupan keluarga. Buktinya, jika seorang isteri melahirkan, maka bukan hanya isteri yang mendapatkan cuti, melainkan suami pun mendapatkan cuti selama 4 bulan. Bahkan kini, masyarakatnya memperjuangkan cuti selama setahun dengan alasan agar orang tua memiliki waktu yang cukup untuk mengasuh dan mendidik anak secara optimal dan berkualitas.

Keempat,  masyarakatnya gemar memberikan donasi, saling memberi dan saling menolong. Sikap solidaritas merupakan keunggulan dan kebanggaan. Kelima, masyarakatnya menikmati kebebasan penuh, mereka bebas memilih life style yang berbeda sejauh tak ada pemaksaan dan tidak melakukan kekerasan. Keenam, masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, menghormati keberagaman agama, etnis, orientasi seksual dan seterusnya. Ketujuh, kaum buruh bukan hanya mendapatkan gaji yang memadai, tetapi juga hubungan kerja yang sehat. Umumnya warga Denmark memilih hidup yang seimbang antara dunia kerja dan waktu untuk keluarga. Mereka umumnya tidak gila kerja sampai melupakan keluarga. Kedelapan, masyarakatnya menikmati hak-hak dasarnya sebagai warga-negara, demikian juga hak asasi mereka sebagai manusia merdeka.

Pertanyaan menarik, apakah ada hubungannya agama dan kebahagiaan? Apakah seseorang yang lebih relijius juga lebih bahagia? Sejumlah riset menyimpulkan, mereka yang berafiliasi dengan suatu agama lebih bahagia dibandingkan mereka yang tidak terafiliasi. Itulah sebabnya mengapa entitas agama tetap bertahan dan diminati.



Sisi apa dari agama membuat penganutnya lebih bahagia? Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa social network dalam setiap agama yang penuh kehangatan dan memberi makna bagi setiap anggotanya akan mendatangkan rasa bahagia.

Kalau agama memberi dampak positif bagi kebahagiaan penganutnya, lalu mengapa negara-negara yang kental agamanya tidak masuk dalam ranking indeks negara bahagia, bahkan sebaliknya. Lalu, sisi apa dari agama yang membuat negara agama seperti Syria dan Afganistan masuk dalam ranking paling rendah untuk indeks kebahagiaan penduduknya?

Agama hanya mendatangkan bahagia bagi pemeluknya manakala nilai-nilai agama universal, seperti kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan solidaritas mendominasi relasi sosial di antara para pemeluknya. Jika dalam sebuah lingkungan sosial keagamaan yang dikembangkan adalah nilai-nilai intoleransi, kekerasan, pemaksaan, dogma, tidak ada kebebasan memilih, dan penuh dengan konflik dan terror, maka dapat dipastikan bahwa lingkungan sosial keagamaan tersebut membuat warganya tidak bahagia. Bukan hanya tidak bahagia, melainkan juga menciptakan penyakit kejiwaan yang parah untuk waktu yang lama.

Mari memperbaharui komitmen untuk membuat lingkugan sosial kita penuh dihiasi dengan nilai-nilai kemanusiaan universal: kasih sayang, kejujuran, keadilan, kesetaraan dan kedamaian. Mari selalu merajut relasi kemanusiaan yang hangat, akrab, intens dan bermakna, dimulai dari dalam keluarga. Selanjutnya dengan kolega dekat dan kemudian dalam komunitas yang lebih luas. Semoga Tuhan menganugerahkan kebahagiaan hakiki untuk kita semua, amin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar