Apakah
yang disebut bahagia? Ternyata pertanyaan ini menimbulkan beragam jawaban,
tidak pernah ada jawaban tunggal terkait pertanyaan simpel ini. Bahkan setiap
orang bisa menyebut lebih dari satu jawaban.
Mungkin
pertanyaan yang lebih mudah adalah dari mana datangnya bahagia? Sejumlah
penelitian mengungkapkan, ternyata 80% dari bahagia itu bersumber dari dalam
diri manusia. Artinya bahagia itu bisa diciptakan dan dapat diwujudkan, bukan
semata-mata terberikan. Bahagia itu tidak sepenuhnya takdir, melainkan lebih
banyak merupakan konstruksi manusia. Hanya 20 % kebahagiaan dipengaruhi oleh
faktor luar manusia seperti lingkungan, harta, kedudukan, pangkat dan
sebagainya.
Sebuah
penelitian yang dibuat oleh Harvard University mengungkapkan setidaknya ada
satu faktor penting yang membuat seseorang bahagia, yakni relasi kemanusiaan
yang hangat, akrab, intens dan bermakna. Kebahagiaan seseorang itu tergantung
pada adanya relasi yang demikian dalam hubungan dengan pasangan, anggota
keluarga, kolega dan komunitas yang lebih luas.
Namun,
perlu dicatat bahwa dalam membangun relasi, yang penting adalah kualitasnya,
bukan kuantitasnya. Kita tidak perlu memiliki banyak relasi namun kualitas
relasi tersebut tidak mendukung munculnya ketenangan dan kedamaian dalam hidup.
Relasi dengan pasangan amat menetukan kebahagiaan seseorang karena pasangan
adalah orang yang paling dekat dalam pergaulan sehari-hari.
Dibutuhkan
komitmen kuat, pengertian, kesabaran, cinta-kasih, dan tanggungjawab bersama
untuk menjalin relasi yang hangat, akrab, intens dan bermakna dengan pasangan.
Memang tidak mudah, tapi tidak sedikit di antara kita berhasil membangun relasi
demikian, bahkan mempertahankannya sampai ajal menjemput.
Penelitian
itu juga mengungkapkan berbagai perilaku yang dapat membuat seseorang bahagia,
di antaranya: selalu berbuat baik, banyak bersyukur, mudah memaafkan, ringan
tangan memberi pertolongan dan tidak dendam. Kelihatannya sangat mudah, tapi
dalam prakteknya sangat sulit. Perilaku baik tersebut harus dibiasakan agar
mentradisi dalam kehidupan kita.
Lalu,
adakah uang membuat manusia bahagia? Pada awalnya uang berkorelasi positif dengan
kebahagiaan seseorang. Orang sulit bahagia manakala kebutuhan dasarnya tidak
terpenuhi. Tetapi, jika uang sudah berlebih, faktanya uang tidak banyak memengaruhi
kebahagiaan seseorang. Kecuali jika uang banyak itu digunakan untuk kepentingan
sosial maka kebajikan ini menyumbang rasa bahagia. Itulah sebabnya semakin
banyak orang kaya menyumbangkan hartanya untuk kepentingan sosial dan menolong
kelompok miskin, marginal dan rentan serta untuk perbaikan lingkungan. Sebab,
perilaku berbagi dengan orang lain akan menimbulkan rasa bahagia.
Sejak
tahun 2012, Badan Internasional PBB mengembangkan sebuah cara mengukur tingkat
kebahagiaan manusia melalui WHI (World Happiness Index). Indeks ini
bukan hanya mengukur kemajuan ekonomi, melainkan juga mengukur hal lain di luar
ekonomi, seperti social support, level of trust, freedom of choice, good
governance, dan human rights. Pengukuran ini lalu dikenal dengan indeks
kebahagiaan manusia.
Menarik
disimak bahwa dari tahun 2012 s/d 2016 negara Denmark menempati urutan pertama
dari tiga negara yang penduduknya paling bahagia, yaitu Switzerland, Iceland
dan Norwegia. Mengapa Denmark? Sejumlah penelitian menemukan paling tidak ada
delapan keunggulan Denmark. Pertama, masyarakatnya memiliki kualitas kehidupan
sosial yang sangat hangat. Kedua, masyarakatnya memiliki tingkat trust
(rasa percaya) yang sangat tinggi. Ketiga, masyarakatnya sangat memperhatikan
kehidupan keluarga. Buktinya, jika seorang isteri melahirkan, maka bukan
hanya isteri yang mendapatkan cuti, melainkan suami pun mendapatkan cuti selama
4 bulan. Bahkan kini, masyarakatnya memperjuangkan cuti selama setahun dengan
alasan agar orang tua memiliki waktu yang cukup untuk mengasuh dan mendidik
anak secara optimal dan berkualitas.
Keempat, masyarakatnya gemar memberikan donasi, saling
memberi dan saling menolong. Sikap solidaritas merupakan keunggulan dan
kebanggaan. Kelima, masyarakatnya menikmati kebebasan penuh, mereka bebas
memilih life style yang berbeda sejauh tak ada pemaksaan dan tidak
melakukan kekerasan. Keenam, masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai
pluralisme, menghormati keberagaman agama, etnis, orientasi seksual dan
seterusnya. Ketujuh, kaum buruh bukan hanya mendapatkan gaji yang memadai,
tetapi juga hubungan kerja yang sehat. Umumnya warga Denmark memilih hidup yang
seimbang antara dunia kerja dan waktu untuk keluarga. Mereka umumnya tidak gila
kerja sampai melupakan keluarga. Kedelapan, masyarakatnya menikmati hak-hak
dasarnya sebagai warga-negara, demikian juga hak asasi mereka sebagai manusia
merdeka.
Pertanyaan
menarik, apakah ada hubungannya agama dan kebahagiaan? Apakah seseorang yang lebih
relijius juga lebih bahagia? Sejumlah riset menyimpulkan, mereka yang berafiliasi
dengan suatu agama lebih bahagia dibandingkan mereka yang tidak terafiliasi. Itulah
sebabnya mengapa entitas agama tetap bertahan dan diminati.
Sisi
apa dari agama membuat penganutnya lebih bahagia? Sejumlah penelitian
menyimpulkan bahwa social network dalam setiap agama yang penuh
kehangatan dan memberi makna bagi setiap anggotanya akan mendatangkan rasa
bahagia.
Kalau
agama memberi dampak positif bagi kebahagiaan penganutnya, lalu mengapa
negara-negara yang kental agamanya tidak masuk dalam ranking indeks negara
bahagia, bahkan sebaliknya. Lalu, sisi apa dari agama yang membuat negara agama
seperti Syria dan Afganistan masuk dalam ranking paling rendah untuk indeks
kebahagiaan penduduknya?
Agama
hanya mendatangkan bahagia bagi pemeluknya manakala nilai-nilai agama
universal, seperti kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan solidaritas mendominasi
relasi sosial di antara para pemeluknya. Jika dalam sebuah lingkungan sosial
keagamaan yang dikembangkan adalah nilai-nilai intoleransi, kekerasan, pemaksaan,
dogma, tidak ada kebebasan memilih, dan penuh dengan konflik dan terror, maka
dapat dipastikan bahwa lingkungan sosial keagamaan tersebut membuat warganya tidak
bahagia. Bukan hanya tidak bahagia, melainkan juga menciptakan penyakit
kejiwaan yang parah untuk waktu yang lama.
Mari
memperbaharui komitmen untuk membuat lingkugan sosial kita penuh dihiasi dengan
nilai-nilai kemanusiaan universal: kasih sayang, kejujuran, keadilan,
kesetaraan dan kedamaian. Mari selalu merajut relasi kemanusiaan yang hangat,
akrab, intens dan bermakna, dimulai dari dalam keluarga. Selanjutnya dengan
kolega dekat dan kemudian dalam komunitas yang lebih luas. Semoga Tuhan
menganugerahkan kebahagiaan hakiki untuk kita semua, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar