Senin, 29 Januari 2018

Mengapa Manusia Harus Bertaubat?



Kata “taubat” yang sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “taubat” mengandung dua pengertian, yaitu:  Pertama,  berarti sadar dan menyesal akan dosanya (perbuatan salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya. Kedua, berarti kembali kepada agama (jalan, hal) yang benar. “Bertaubat” berarti menyadari, menyesali, dan berniat hendak memperbaiki (perbuatan yang salah).

Dalam bahasa Arab, kata “taubat” itu adalah bentuk dasar (mashdar) dari kata “taba” (تَابَ) yang berarti „telah bertaubat“, “yatubu” (يَتُوْبُ), yang berarti „sedang/akan bertaubat“, “taubah” (تَوْبَةً), berarti „perbuatan taubat“.  Kata “taubat” berarti “kembali ke jalan yang benar”.

Kembali ke jalan benar menunjukkan ada penyimpangan yang terjadi yang menjadikan seseorang keluar dari jalan yang benar. Jalan yang benar itu adalah jalan Allah. Secara istilah, taubat berarti kembali kepada jalan yang benar, yaitu jalan Allah dengan melepaskan segala ikatan penyimpangan yang pernah dilakukan, kemudian bertekad untuk melaksanakan segala hak-hak Allah swt.

Kata “taubat” dapat didasandarkan kepada manusia maupun Allah. Kata “taubat” yang  disandarkan kepada manusia berarti “memohon ampun atas segala dosa yang telah lalu dan kembali kepada jalan Allah. Orang yang melakukan taubat disebut “ta’ib”, dan orang yang selalu dan senantiasa bertaubat disebut “tawwab”.

Kata “taubat” yang disandarkan kepada Allah berarti memberi ampun kepada hamba yang bertaubat. Allah disebut at-tawwab, karena Allah senantiasa memberikan pengampunan kepada hamba-hamba-Nya. At-Tawwab adalah salah satu nama Allah (al-Asma’ al-Husna) yang sangat Agung. Dengan sifat “a-tawwab” itu Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya.

Imam al-Gazali dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, menyatakan bahwa taubat dari dosa dengan cara kembali kepada Allah merupakan jalan pembuka bagi orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan. Taubat adalah  modal bagi orang-orang yang beruntung, langkah awal para murid. Taubat merupakan kunci istiqamah orang-orang yang condong kepada Allah, teropong bagi orang-orang pilihan dan orang-orang yang dekat kepada-Nya (muqarrabin), yang dilakukan oleh para Nabi, mulai dari Adam hingga Muhammad saw.
Taubat bagi anak-anak Adam dan umat para Nabi, termasuk kita sebagai umat Nabi Muhammad, adalah sangat layak dilakukan. Bertaubat berarti mengikuti sunnah (kebiasaan) para Nabi dan Rasulullah.

Perintah Taubat
Taubat merupakan salah bentuk kebajikan yang harus dilakukan oleh setiap manusia, baik yang merasa diri berdosa maupun tidak. Taubat bagi orang-orang yang berdosa merupakan jalan untuk memohonkan ampun kepada Allah agar dosa-dosanya diampukan Allah, sedangkan taubat bagi orang-orang merasa tidak berdosa merupakan jalan yang baik untuk menumpuk pahala. Oleh sebab itu, taubat merupakan salah satu perintah agama yang harus dilakukan oleh umat.

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan untuk melakukan taubat, demikian pula di dalam hadisnya, Rasulullah memerintahkan dan memberikan pujian kepada orang-orang yang melakukan hal yang sama. Istilah taubat dan kata-kata bentukannya, baik dalam bentuk kata kerja, maupun kata benda, disebut sebanyak 87 kali di dalam Al-Qur’an. Di antara perintah bertaubat di dalam Al-Qur’an terdapat di dalam S. Tahrim (66): 8:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ يَوْمَ لاَ يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(8)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".

Di antara hadis Nabi yang memerintahkan taubat ialah:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا وَبَادِرُوا بِالأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ قَبْلَ أَنْ تُشْغَلُوا وَصِلُوا الَّذِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ بِكَثْرَةِ ذِكْرِكُمْ لَهُ وَكَثْرَةِ الصَّدَقَةِ فِي السِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ تُرْزَقُوا وَتُنْصَرُوا وَتُجْبَرُوا.
Dari Jabir ia berkata, Rasulullah berkhutbah di hadapan kami, beliau berkata: “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah sebelum mati dan bersegerah melakukan amal-amal saleh sebelum engkau sibuk, jalinlah hubungan baik (silaturrahim) dengan sesama kalian dan dengan Allah, dengan memperbanyak berzikir kepada-Nya dan memperbanyak sadaqah, baik dalam keadaan sunyi maupun terang-terangan agar kalian diberi rezeki, ditolong, dan dirahmati Allah swt.

Di dalam hadis lain, Rasulullah memerintahkan agar melakukan taubat seperti yang beliau lakukan:
ابْنَ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ.
Dari Ibn Umar, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: Wahai manusia bertaubatlah kepada Allah sesungguhnya akau bertaubat kepada-Nya 100 kali dalam sehari
Urgensi Taubat
Manusia dalam hidupnya tidak akan pernah lepas dan bersih dari dosa. Artinya, bagaimanapun baik dan bersihnya seorang manusia, pasti ada kesalahan dan dosa yang dilakukannya. Sebaliknya bagaimanapun jahat dan bejatnya seorang manusia, pasti ada juga kebaikan dan kebajikan yang dilakukannya.

Artinya, tidak satu pun manusia yang bersih dari dosa, dan tidak satu pun manusia yang bersih dari kebaikan. Karena itu jangan pernah merasa sok bersih! Sebaliknya, jangan pula merasa putus asa karena menanggung banyak dosa! Mengapa demikian? Setiap manusia diciptakan oleh Allah dengan membawa dua potensi, yaitu potensi baik dan potensi buruk.

Potensi baik selalu membawa seseorang untuk melakukan perbuatan baik, dan potensi buruk selalu membawa seseorang kepada perbuatan buruk.  Kedua potensi ini selalu tarik-menarik di dalam diri seseorang untuk melakukan pekerjaan, baik atau bauruk. Jika potensi baik yang menang, maka seseorang akan melakukan pekerjaan baik, jika yang dominan adalah potensi buruk, maka seseorang akan melakukan pekerjaan buruk.

Agar selalu berbuat baik, seseorang harus berupaya agar potensi baik itu selalu mendominasi situasi kehidupan dengan cara melakukan segala yang diperintahkan Allah swt., dan meninggalkan segala hal yang dilarang. Seseorang yang selalu melanggar perintah Allah, kecenderungannya untuk melakukan hal-hal yang buru akan bertambah besar.

Taubat adalah sarana yang dipersiapkan oleh Allah swt. kepada umat manusia untuk kembali ke jalan Allah pada saat berada di persimpangan jalan, dan yang menyimpang dari jalan yang dikehendaki Allah, dan yang berada pada kondisi dosa. Taubat adalah jalan keluar untuk kembali kepada Allah setelah seseorang melakukan pelanggaran terhadap perintah-Nya. Taubat bagi orang yang telakukan perbuatan dosa adalah perbuatan terpuji dalam pandangan Allah. Hal ini seperti yang digambarkan Rasulullah di dalam salah hadsinya  yang berbunyi:

       -  كُلُّكُمْ خَطَّـاءُ وْنَ وَخَيْـرُ الْخَطَّائِيْـنَ التَّـوَّابُوْنَ.
Semua kalian berbuat kesalahan, dan orang-orang yang paling baik di antara mereka yang melakukan kesalahan itu adalah orang-orang yang bertaubat.

Jadi, taubat mempunyai urgensi yang sangat penting dalam rangka menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan memohon ampunan Allah swt. disertai tekad yang kuat untuk meninggalkan dan menjauhi yang kesalahan yang pernah dilakukan, dan meningkatkan amal kebajikan di masa-masa berikutnya.

Fungsi Taubat
Seseorang tidak boleh memandang dirinya bersih sehingga ia tidak mau lagi bertyaubat kepada Allah. Kalaupun seseorang menurut pandangan Allah bersih, maka harus tetap bertaubat. Karena taubat tidak hanya berfungsi sebagai media untuk meohon ampun atas perbuatan dosa, tetapi juga merupakan salah satu perintah Allah yang harus senantiasa dilakukan. Seseorang yang senantiasa melakukan taubat, walaupun ia sudah dipandang bersih dari dosanya, maka Allah akan membrikan ganjaran pahala atau taubat yang dilakukannya. Oleh sebab itu, jangan berhenti melakukan taubat.

Bagi orang yang merasa pernah melakukan dosa, perbuatan taubat berfungsi mengembalikan diri ke jalan yang benar setelah melakukan penyimpangan dari jalan Allah, atau mengembalikan diri ke jalan yang diridahi Allah swt, setelah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tuntunan Allah swt. Perbuatan taubat, pada umumnya, selalu dikaitkan dengan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya.

Bagi orang yang merasa tidak melakukan kesalahan, perbuatan taubat berfungsi sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran untuk selalu patuh terdapat perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Selain itu,  juga sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas iman, serta menjadi upaya meningkatkan kualitas zikrullah, yang kesemuanya pada akhirnya meningkatkan perolehan pahala yang diberikan Allah swt. Taubat adalah sebuah perbuatan yang sangat terpuji yang tidak hanya menjadi jalan untuk kembali ke jalan yang benar, tetapi juga menjadi sarana untuk peningkatan iman dan kedekatan diri kepada Allah swt.

Jadi, taubat itu pada dasarnya harus dilakukan kapan saja, apakah merasa mempunyai dosa atau tidak, apakah merasa menyimpang dari jalan yang benar atau tidak, dan dalam keadaan apa pun perbuatan taubat harus senantiasa dilakukan. Mari menjadi orang-orang yang gemar bertaubat.


Selasa, 23 Januari 2018

MEMAHAMI CORAK TASAWUF AL GAZALI




Pendahuluan
Tidak diragukan lagi, Al-Gazali adalah pribadi unggul dan pengaruhnya amat besar di dunia Islam. Beliau terkenal bukan hanya sebagai se4orang sufi ternama, tetapi juga sebagai seorang ahli fikih, ilmu kalam dan filosuf. Karya-karyanya telah banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Indonesia dan lain-lain.
Dalam bidang tasawuf, al-Gazali telah membuat tasawuf diterima secara luas oleh kaum syariat. Sebelumnya ulama memandang tasawuf sebagai hal yang menyeleweng dari Islam1. Bahkan ajaran-ajarannya dipandang telah menunjuki jalan sehingga manusia dapat hidup dalam hukum yang suci, tidak terikat secara eksklusif pada ketentuan harfiah teks suci melainkan juga menukik ke kedalaman makna teks2.

Riwayat Hidup Al Gazali dan Perkembangan Spiritualnya
Al-Gazali, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Gazali al-Thus. Ia seorang Persia asli. Dia di lahirkan pada tahun 450 H/1058 M. di Thus (sekarang dekat Meshed), sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran), dan di sisi pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H/1111 M.3
Ayahnya seorang pengrajin yang bekerja memintal wol, dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus. Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari kehidupan sufi. Sehingga ketika dia merasa ajalnya segera tiba, dia berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan bekal sedikit warisan yang ditinggalkannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir tak mampu memberinya tambahan. Maka al-Gazali dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan. Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Gazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya.4
Al-Gazali terkenal dengan julukan Hujjah al-Islam5 (Argumentasi Islam) dan Bahr al-Mughriq6 (Samudera yang menenggelamkan) ternyata adalah seorang yang suka melakukan pengamatan dan analisis, serta bersikap skeptis (peragu) terhadap setiap ilmu yang dipelajarinya. Hal ini dikemukakan beliau dalam karyanya Al-Munqizd Min al-Dhalal sebagai berikut:
Sejak aku berusia kurang dari 20 tahun (sekarang aku berusia lebih dari 50 tahun), aku tidak henti-hentinya menyelidiki setiap dogma (keyakinan). Setiap penganut Batiniah yang aku jumpai menimbulkan keinginan pada diriku untuk menyelidiki esoterismenya; tiada penganut Zahiriyah yang tidak menimbulkan keinginanku untuk mengetahui intisari literialismenya; tiada filsuf yang tidak membangkitkan keinginanku untuk mengetahui esensi filsafatnya; tiada teolog dialektis (ahli ilmu kalam) yang tidak mendorongku untuk memastikan objek dialektika dan teologinya; tiada sufi yang tidak menimbulkan hasratku untuk mengorek rahasia sufismenya; tiada asketik (zahid) yang aku lewatkan untuk menggali sumber asketismenya; tiada zindiq yang ateistik yang tidak menyebabkan aku meraba mencari penyebab ateisme dan kezindiqannya.7
Al-Gazali sangat tertarik pada ilmu tasawuf, tetapi tidak menerima tasawuf yang dikembangkan orang begiti saja. Dia terlebih dahulu mengkritisi tasawuf lalu menyusun corak tasawuf yang menurutnya tetap harus memperhatikan prinsip nalar kritis. Bahkan tasawuf dianggapnya sebagai pengetahuan yang meyakinkan. Setelah tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, al-Gazali meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah al-Nizamiah Bagdad di tahun 1095 M, dan pergi ke Damaskus untuk bertapa di salah satu menara masjid Umawi yang ada di sana.8
Di sini dia melakukan uzlah (isolasi diri), khalwah (menyepi dengan ibadah), riyadah (melatih diri dengan segala sifat yang baik dan meninggalkan sifat yang tercela), dan mujahadah (berjuang melawan tarikan hawa nafsu).9 Akhirnya al-Gazali mengaku memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang akidah dan juga berkesimpulan bahwa metode para sufilah yang paling tepat. Dia mengatakan:
Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi adalah betul-betul para salik menuju Allah semata, bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, jalan mereka adalah jalan terbenar dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Seandainya dikumpulkan akal para intelektual, filsafat para filsuf, dan ilmu para ulama, yang berpegang pada rahasia syariat berkumpul untuk merubah sedikit saja dari perjalanan mereka dan akhlak mereka, serta menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari itu, niscaya tidak ada jalan untuk itu. karena semua gerak dan diam mereka, lahir dan batin, diperoleh dari sinar nubuwwah. Tidak ada lagi suatu sinar apa pun yang bisa menerangi di muka bumi selain dari sinar nubuwwah.10
Meskipun al-Gazali menganggap tasawuf jalan terbaik menuju Allah, namun dia tetap selektif terhadap berbagai aliran sufisme yang ada pada masanya. Al-Gazali menolak paham Ma’rifah Zum Num dan Rakiah tidak mengungkapkan apa yang dia alami. Ma’rifah al-Gazali mengungkapkan apa yang dia alami, yaitu: melihat wajah Tuhannya ditolak hanya Hulul dan Ittihad Dizzat dengan dalil-dalil rasional.11 Bahkan al-Gazali menyebutkan ada kelompok-kelompok sufi yang tertipu dengan kehidupan sufi mereka.12
Di antara karya al-Gazali di bidang tasawuf, misalnya Ihya Ulum al-Din, Jawahir al-Quran, Bidayat al-Hidayah al-Qisthas al-Mustaqim, al-Arba’in fi Ushul al-Din, Kimiya al-Sa’idah, Ma’arik al-Salikin, Misykat al-Anwar, Nur al-Syam’ah, Madakhil al-Suluk, Ila Manazil al-Muluk, al-Zuhdu al-Fatih, Minhaj al’abidin, dan lain-lain.13

Corak Tasawuf al-Gazali
Pilihan al-Gazali jatuh pada tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyah dan aliran Syi’ah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga dia menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Gazali benar-benar bercorak Islam.14
Selanjutnya al-Taftazani menjelaskan tasawuf al-Gazali ditandai ciri-ciri psiko-moral. Dalam tasawufnya, seperti halnya al-Muhasibi serta para sufi abad ketiga dan keempat hijriah lainnya, dia begitu menaruh perhatian terhadap jiwa manusia dengan keburukannya maupun cara membinanya secara moral. Ringkasnya, tasawuf al-Gazali bercorak pendidikan.15
Menurut al-Gazali, jalan para sufi dalam tasawuf baru bisa dicapai dengan cara mengosongkan diri dari sikap ketergantungan dengan kelezatan duniawi atau sesuatu yang dapat menyibukkan (melupakan) dari al-Haq. Selanjutnya setelah mental dapat dibersihkan dari sifat dan sikap mental tidak baik dilalui, usaha itu harus dilanjutkan ke tahap yang kedua, yakni menghiasi diri dengan akhlak para sihiddiqin.
Dalam hal ini al-Gazali juga menganjurkan agar orang menempuh jalan: tobat, sabar, faqr, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat, dan kerelaan. Setelah semua ini ditempuh dengan kesungguhan (mujahadah), Allah akan menyikapkan hati seseorang sehingga dapat mengetahui cahaya keghaiban.16
Mengenai cahaya ini al-Gazali mengatakan: “Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas. cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan ke dalam sanubari seseorang.17
Al-Gazali telah berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan serta keadaan menurut jalan tersebut, yang akhirnya sampai pada kefanaan, tauhid, ma’rifat, dan kebahagiaan. Secara ringkas beberapa peringkat jalan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Jalan (al-Thariq)
Al-Gazali telah mensistematisasikan jalan menuju Allah dalam kitabnya al-Ihya’ disusun menjadi empat bab utama yaitu bab ibadah, adat istiadat, hal yang mencelakakan, dan hal yang menyelamatkan. Masing-masing bab terbagi dalam sepuluh pasal. Bab ibadah memperbicangkan pasal-pasal ilmu, prinsip-prinsip akidah, ibadah, peraturan membaca Alquran, zikir, doa, dan urutan wirid.
Dalam bab adat istiadat, al-Gazali memperbincangkan peraturan makan, perkawinan, mata pencaharian, halal-haram, persahabatan, hidup menyendiri, berpergian, belajar, tafakur, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam bab yang membahas tentang hal-hal yang mencelakakan, al-Gazali menguraikan segala yang berkaitan dengan jiwa, hawa nafsu yang timbul darinya dan berbagai keburukan mental, seperti marah, dengki, kikir, riya, sombong, dan sebagainya.
Sementara dalam bab terakhir, atau bab keempat apa yang oleh para sufi dinamakan dengan maqam dan hal. Di samping itu beliau menguraikan tingkatan-tingkatan taubat, sabar, syukur, rasa takut, rasa harap, hidup fakir, hidup zahid, tauhid, tawakal, cinta, dan ridha.
Sayyid Muhammad Aqil Ali al-Mahdi mengatakan tarekat al-Gazali bukanlah hal yang mudah, tetapi membutuhkan persyaratan-persyaratan berikut:

Mendahulukan ilmu dari ibadah.
        Al-Gazali mengatakan: “Ketahuilah olehmu bahwasanya wajib mendahulukan ilmu dari ibadah karena dua faktor. Pertama agar ibadah menjadi sah (benar). Kedua karena ilmu yang bermanfaat dapat membuahkan rasa takut kepada Allah. Dia akan terus membuahkan taat kepada Allah dan menjauhi maksiat”.
Mendahulukan mujahadah dan menghapus sifat-sifat tercela atau apa-apa yang berhubungan dengannya. Dalam hal ini seorang murid hendaklah mengasingkan dirinya di tempat yang terpisah (jauh dari keramaian) dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban, shalat-shalat sunat, dan selalu mengisi hati dengan ingat kepada Allah semata.
Mengekalkan zikir, fikir dan membaca wirid. Tarekat al-Gazali mementingkan zikir, fikir, dan membaca wirid karena dengan terus menerus zikir dan tekun melaksanakannya akan menghasilkan mahabbah (cinta) dan uns (rasa berteman). Dengan terus menerus berfikir akan menyikap ma’rifat. Selanjutnya al-Gazali menyusun rangkaian wirid yang harus dibaca malam dan siang, supaya hati selalu bersih dan suci.18
Di samping hal-hal di atas, al-Gazali mensyaratkan bagi seorang calon salik untuk memiliki guru. Guru dalam konsepsi al-Gazali disebut dengan al-syaikh (anutan) atau al-ustaz (guru). Eksistensi guru dalam suluk ini bersifat esensial. Karena, menurut al-Gazali, jalan agama yang benar bersifat tersamar, sedangkan jalan setan cukup banyak, maka seorang salik tanpa guru bisa jadi akan dituntun ke jalan yang sesat oleh setan.19
Berdasarkan uraian ini dapat dipahami tasawuf al-Gazali yang bercorak pendidikan moral memiliki tujuan yang jelas, yakni al-qurb (mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya). Anak didik, pendidik (guru), tempat berkhalwat (zawiyah), dan kegiatan yang melakukan dalam proses tersebut, baik dalam bimbingan guru atau secara sendiri adalah unsur-unsur yang harus ada dalam jalan (thariq) al-Gazali.

Al-Ma’rifah
Perbedaan al-Gazali dengan para sufi sebelumnya adalah karena dia telah menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal Allah (ma’rifah), yang jelas ciri-ciri dan batas-batasnya. Bagi al-Gazali ma’rifah ialah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.

Al-Mahabbah
Seterusnya al-Gazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, yaitu ‘arif, tidak akan mengatakannya ya Allah karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Ma’rifah bagi al-Gazali juga memandang kepada wajah Allah. Tetapi bagi al-Gazali ma’rifah terlebih dahulu dalam tertib dari mahabbah karena mahabbah timbul dari ma’rifah.
Dan mahabbah baginya bukan mahabbah seperti yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain.21
Kunci ma’rifah kepada Allah adalah pengenalan kepada diri sendiri. Pengenalan kepada diri yang sebenarnya menurut al-Gazali adalah mengenali siapa anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagian anda dan kesedihan anda yang sebenarnya?22
Untuk memperkuat pandangannya, al-Gazali mengutip ayat 53 surat Fushshilat yang artinya “Kami akan meperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka (anfusihim), sehingga jelaslah bagi mereka bahwasanya dia itu adalah al-Haq. Kemudian beliau mengutip sebuah hadis yang artinya “Siapa mengenal dirinya (nafsahu), dia akan mengenal Tuhannya”. Menurut al-Gazali pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.

Al-Fana
Al-Gazali membagi tasawuf kepada dua bagian. Pertama benar bersama Allah dan kedua, baiknya hubungan dengan ciptaan-Nya. Benar bersama Allah, yakni seorang hamba memfanakan dirinya dengan perintah-perintah Allah. Sedangkan baiknya hubungan seorang hamba dengan ciptaan-Nya, yakni seorang hamba tidak mementingkan keinginan-keinginannya atas keinginan-keinginan orang lain, selama keinginan-keinginan orang lain tersebut sesuai dengan syara’, karena setiap orang yang senang dengan penyelewengan syara’ tidaklah disebut sufi.23
Di bagian lain al-Gazali menjelaskan orang yang fana ialah orang yang mengesakan Allah dengan sebenar-benarnya, dan dia tidak melihat selain-Nya. Bahkan dia tidak memandang dirinya dari segi dirinya sendiri, tapi dari segi predikatnya sebagai hamba Allah. Inilah yang disebut dengan fana dalam tauhid,24 atau disebut juga dengan al-Fann bi al-Kulliyat fi Allah (fana secara totalitas di hadapan Allah). Fana dalam konteks inilah yang menjadi tujuan akhir seorang sufi dan al-Ma’rifah adalah sebagai pengantarnya. Seseorang yang fana berada dalam situasi yang “dekat” (al qurb) dengan Allah.

Pengaruh al-Gazali Dalam Tasawuf
Harun Nasution mengatakan, al-Gazalilah yang membuat tasawuf menjadi halal bagi kaum syari’at, sesudah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam, yaitu tasawuf sebagai yang diajarkan oleh al-Bustami dan al-Hallaj, ittihad dan hulul.25
Karya-karya al-Gazali dalam bidang tasawuf dianggap sebagai alat bantu untuk menunjuki jalan sehingga manusia dapat hidup dalam hukum yang suci, tidak terikat secara eksklusif pada ketentuan harfiah melainkan juga menukik ke kedalaman makna.
Hal ini disebabkan al-Gazali mengikat tasawufnya dengan dalil-dalil wahyu, baik ayat-ayat alquran atau hadis-hadis Nabi. Dengan karyanya Ihya Ulumuddin misalnya, al-Gazali betul-betul dapat menghidupkan kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya. Ke dalaman ajaran spritual yang ditimbulkan ajaran tasawuf bisa didayagunakan untuk mendukung kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengaruhnya.
Al-Taftazani mengatakan al-Gazali telah menyempurnakan tasawuf sehingga mencakup semua karakteristik tasawuf atau mistisime.27
Selanjutnya al-Taftazani mengutip perkataan de Boer yang mengatakan bahwa al-Gazali telah memperluas cakrawala tasawuf serta meletakkan pada landasan yang luas. Tasawuf dalam kalangan kaum muslimin, sejak masa al-Gazali, menjadi tonggak yang secara jelas didasarkan pada ilmu dan sebagai tanda di persimpangan jalan.28 Wal hasil, al-Gazali sangat besar pengaruhnya dalam tasawuf dan tasawufnya pun berpengaruh terhadap umat Islam sebagai alat bantu sehingga manusia dapat hidup dalam hukum yang suci.

Penutup
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa tasawuf al-Gazali adalah tasawuf sunni. Oleh karena itu, tasawuf al-Gazali lebih banyak bercirikan psiko-moral (tasawuf akhlak). Tasawuf yang menekankan pada pembinaan jiwa manusia dan cara-cara membinanya secara moral dengan selalu berada pada timbangan syari’ah, juga menjadi ciri bagi tasawuf sebelum al-Gazali. Hal ini karena al-Gazali banyak mengagumi dan menimba pengetahun dari para sufi abad ketiga dan keempat lewat karya-karya Abu Thalib al-Makki, al Muhasibi,29 al-Junaid dan lain-lain.
Di samping itu, menurut al-Gazali agar hati bisa bersinar dengan cahaya ketuhanan dan cahaya tersebut adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, maka seseorang yang menempuh jalan sufi harus banyak membaca Alquran, berzikir, berdoa, dan lain-lain. Dalam hal ini, tasawuf al-Gazali menekankan pula pada aspek perbuatan, baik perbuatan lahir atau batin (tasawuf amali).
Dalam tasawuf, al-Gazali menjauhkan semua kesenderungan gnotis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyah, Ihkwan al-Shafa, dan lain-lain. Juga dia menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Oleh karena itu tasawuf al-Gazali dapat dikatakan bercorak Islam.
Al-Gazali mempunyai posisi terhormat di kalangan kaum muslimin sunni. Dia membuat tasawuf halal bagi kaum syari’at dan sebelumnya ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari agama. Dia mengikat tasawuf dengan dalil-dalil Alquran dan sunnah, serta memperluas cakrawala tasawuf.







1 Harun Nasution Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Bulan Bintang, Jakarta, 1985. hlm.78
2 Lihat Muhtar Holand, Inner Dimension of Islamic Worship, The Islamic Fundation, tt., hlm.8.
3 HM. Zaurkani Jahja, Teologi al-Gazali Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 63-64 lihat juga al-Gazali, Mi’yr al-Ilm fi fann al-Mantiq, pada bagian terjemah al-Mushannif Muhyiddin Shabri, Kurdistan, 1346 H, hlm.2.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Ahmad al-Syirbshi, Al-Gazali wa al-Tashawwuf al-Islam, Dar al-Hilal, Mesir, tt., hlm. 29.
7 Al-Gazali, Al-Munqizd Min al-Dhall, Maktabah al-Sya’biyyah, Beirut, tt., hlm. 24-25. Lihat juga: C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic Word, diterjemahkan oleh hasan Basri, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. 133.
8 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 43.
9 Hm. Zurkani Jahja, Op.Cit., hlm. 78.
10 Al-Gazali, al-Munqizd, Op. Cit., hlm. 31.
11 Al-Gazali, Al-Maqshad al-Asna Syarh Asma al-Husna, Maktabat al-Jundi, Mesir, 1970, hlm. 147.
12 Lihat: Al-Gazali, Ihy Ulµm al-Din, XI, Dar al-Sya’bi, Mesir, tt., hlm. 122-127.
13 Lihat: Muhammad Ghullab, Al-Tashawwuf al-Muqrin, Maktabah Nahdhah, Mesir, tt., hlm. 76.
14 Al Taftazani, Madkhal Il Tashawwuf al-Islm, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi Utsmani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 156.
15 Ibid., hlm. 157.
16 Al-Gazali, Ihya Ulµm al-D£n, XVI, Op. Cit., hlm. 3033. Lihat: Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 62. Bandingkan dengan al-Gazali, Jawhir al-Qurn, Kurdistan al-‘Ilmiyyah, 1329, hlm. 39-40; dalam bab Fi Annahu lima ‘Ubira ‘An Ma’n£lam al-Malakµt f£ al-Qurn b£ Amtsilatin Ma’Khuzatin Min ‘lami al-Syahdah.
17 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 43-44.
18 Lihat: Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdi, Di rsah fi al-Thuruq al-Shufiyyah, Dar al-Had£s, 1414 H, hlm. 142-1145.
19 Hm. Zurkani Jahja, Op. Cit., hlm. 225.
21 Ibid.
22 Al-Gazali, Kimiyu al-Sa’dah, Al- Maktabah al-Sya’biyyah, Beirut, tt., hlm. 108.
23 Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdi, Op. Cit., hlm. 141-142.
24 Al-Taftazani, Op. Cit., hlm. 176.
25 Harun Nasution, Lok. Cit.
27 Al-Taftazani, Op. Cit., hlm. 184.
28 Ibid.
29 Karya al-Muhasibi berjumlah 36 buahm sebagiannya telah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia.

Minggu, 21 Januari 2018

Merevisi Dakwah Menjadi Upaya Transformasi




Dakwah pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengubah seseorang, sekelompok orang, atau suatu masyarakat menuju kepada kondisi atau keadaan yang lebih baik sesuai dengan perintah Allah swt. dan tuntunan Rasul-Nya. Dalam konteks Indonesia, dakwah dimaksudkan untuk mengubah posisi, situasi, dan kondisi umat Islam Indonesia yang timpang menuju keadaan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.

Dengan demikian, esensi dakwah adalah mengubah segala bentuk penyembahan kepada selain Allah kepada keyakinan tauhid, mengubah semua jenis kondisi kehidupan yang timpang ke arah kondisi kehidupan yang penuh dengan ketenangan batin dan kesejahteraan lahir berdasarkan nilai-nilai islami. Tentu saja, usaha itu hanya dapat terwujud manakala didukung oleh rencana yang terpadu dan adanya persiapan yang matang.

Perintah untuk mengubah kondisi yang timpang di masyarakat secara tegas dinyatakan dalam sabda Nabi saw: "Siapa pun yang melihat kemungkaran (ketimpangan), maka ia berkewajiban meluruskannya dengan tindakan, ucapan, dan paling tidak dengan hatinya. Upaya yang terakhir itu adalah gambaran selemah-lemahnya iman seseorang" (HR. Muslim).

Meskipun setiap orang diminta untuk melakukan dakwah melalui tiga cara tadi, yakni tindakan, ucapan, dan doa, namun jangan lupa semua upaya tersebut harus dilakukan tetap dengan cara-cara yang bijaksana, tidak memaksa dan yang pasti tidak menimbulkan rasa tidak nyaman bagi orang lain yang menjadi sasaran dakwah itu, seperti terbaca dalam ayat berikut: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk" (an-Nahl, 16:125).

Dengan ungkapan lain, dakwah apapun bentuknya hendaknya selalu dilakukan dengan cara-cara damai dan simpatik, bukan dengan cara-cara kekerasan, intimidasi, diskriminasi, dan eksploitasi. Di sinilah sesungguhnya esensi Islam yang hakiki, yaitu agama yang cinta damai dan berpihak kepada kedamaian. Bukankah Islam itu sendiri berasal dari kata salam yang esensinya menunjukkan kepada makna damai?

Ayat di atas menyerukan kepada setiap muslim, agar melakukan dakwah, mengajak, dan menyeru manusia ke "jalan Allah", yaitu dienul Islam melalui cara yang arif dan bijak, pelajaran dan contoh teladan yang baik, serta dialog atau diskusi yang baik pula. Kata hikmah mengandung pengertian yang sangat luas, di antaranya dapat diartikan bahwa dakwah itu harus kontekstual, disesuaikan dengan kebutuhan sasaran, atau dengan memperhatikan situasi sasaran. Nabi merupakan contoh bagi pelaksanaan dakwah yang kontekstual, misalnya ketika ditanyakan kepada beliau tentang amal apakah yang paling afdal? Ternyata jawaban Nabi sangat bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan situasi orang yang bertanya.

Walaupun terdapat ayat yeng menyuruh setiap orang untuk melakukan dakwah, namun realitas yang ada menunjukkan bahwa lebih efektif jika dakwah tersebut dilakukan oleh sekelompok orang yang memang terlatih atau terdidik untuk tujuan mulia tersebut. Artinya, perlu membentuk organisasi dakwah yang di dalamnya terhimpun individu-individu yang memiliki komitmen dan profesionalitas untuk melaksanakan dakwah sehingga kegiatan dakwah dalam masyarakat dapat berjalan lebih efektif.

Kewajiban membentuk organisasi dakwah tersebut berasal dari pemahaman terhadap perintah Allah dalam Q.S. Ali Imran, 3:104: "Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntun."  Kandungan ayat tersebut mengisyaratkan dua hal. Pertama, perlunya ada sekelompok umat yang bertanggung jawab dalam upaya amar ma`ruf nahi mungkar atau menekuni profesi dakwah. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan dakwah diorganisasikan sedemikian rupa untuk melanjutkan estafet perjuangan Nabi saw. dalam rangka menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dan kepada semua umat manusia sampai akhir zaman. Kedua,  perlunya upaya amar ma`ruf nahi mungkar itu dilakukan secara berkesinambungan sambil melakukan pembenahan yang terus menerus sehingga term amar ma`ruf nahi mungkar tidak menjadi slogan tanpa arti.

Dari uraian di atas, nampak bahwa makna dakwah senantiasa terkait dengan konteks atau setting sosial tertentu. Hal ini sejalan dengan fakta historis bahwa sepanjang sejarahnya, agama Islam disampaikan dengan berbagai pendekatan yang sangat lentur dan sangat kondisional. Mulai dari cara sembunyi-sembunyi sampai dengan cara yang sangat terbuka dan transparan. Mulai dari pendekatan yang penuh bijaksana sampai pada pengerahan angkatan perang jika kondisi menghendaki demikian.

Dakwah Melalui Media Massa
Berikut ini penulis akan coba memaparkan secara sekilas tentang kegiatan dakwah di media massa, khususnya media elektronik. Penulis akan membagi pemaparan tersebut ke dalam lima perspektif, yaitu dari segi metode, proses, pelaku, materi, sasaran, dan tujuan.

Dakwah di berbagai media, baik cetak maupun  elektronik selama ini terkesan sebagai suatu proses penyampaian informasi satu arah (one way traffic) yang dikemas dalam bentuk ceramah atau pidato yang dilakukan oleh kalangan tertentu yang sering disebut da`i atau muballigh (da`iyah/muballighat).

Menghadapi berbagai kondisi tersebut, sudah saatnya   dakwah bil lisan dalam bentuk ceramah dan pidato dimodifikasi ke dalam bentuk aksi yang konkret sehingga dapat memberikan solusi bagi pelbagai problema yang dihadapi umat. Dengan kata lain, proses dakwah yang diperlukan adalah dakwah bil hal.

Dakwah bil hal adalah dakwah dalam bentuk amal konkret, kerja nyata, dan upaya-upaya positif yang dilakukan untuk mengubah kondisi umat menuju kondisi yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengertian tersebut dakwah mencakup pengertian yang amat luas seluas segi kehidupan manusia itu sendiri.

Artinya, dakwah dalam pengertian tersebut mencakup upaya-upaya sebagai berikut: pemberantasan buta huruf, baik huruf Latin maupun Arab,   peningkatan pendidikan rakyat, mengasuh anak-anak yatim dan anak-anak terlantar, memberi santunan pada para manula, pengentasan kemiskinan, peningkatan pendapatan ekonomi keluarga, upaya  mengurangi pengangguran, upaya memperbaiki lingkungan hidup, memerangi dan mencegah meluasnya bahaya narkotika dan obat-obat terlarang, memerangi dan mencegah merebaknya virus HIV/AIDS dan berbagai penyakit menular seksual lainnnya.

Pada umumnya pelaku dakwah di media massa  adalah mereka yang sehari-hari memang dikenal sebagai ustaz atau ustazah atau orang-orang yang sehari-harinya berkecimpung dalam kegiatan dakwah di majelis-majelis taklim. Ada semacam anggapan yang melekat di masyarakat bahwa tugas dakwah itu hanyalah semata-mata menjadi tangung jawab para ustaz/ustazah, bukan tanggung jawab mereka yang tidak berkecimpung di sekitar majelis taklim.

Adanya anggapan bahwa tugas dakwah itu monopoli para ustaz atau ustazah, menimbulkan perasaan masa bodoh atau sikap permisif di kalangan umat manakala mereka melihat tindakan kemungkaran atau tindakan despotis di masyarakat. Padahal, setiap Muslim dihimbau untuk amar makruf nahi mungkar; menegakkan kebenaran dan menghapuskan ketimpangan di mana saja dan kapan saja ia menemukannya. Kalau bisa ia lakukan dengan bertindak, kalau tidak cukup dengan ucapan, dan paling tidak ia harus berdoa agar kebenaran dapat ditegakkan dan kemungkaran harus dilenyapkan dari kehidupan masyarakat.

Sesungguhnya dakwah itu dapat digolongkan ke dalam dua bagian, dakwah secara individual, dakwah secara organisatoris. Dakwah jenis pertama adalah tugas setiap Muslim yang dewasa dan sehat akal dan jasmaninya. Diharapkan setiap Muslim apa pun posisi mereka dapat turut mengambil bagian dari kesuksesan dakwah.

Seorang suami wajib berdakwah dalam keluarganya, seorang isteri harus memberikan dakwah bagi lingkungan keluarganya, bahkan setiap orang harus menjadi da'i (pelaku dakwah) sekurang-kurangnya atas dirinya sendiri. Jadi, dakwah merupakan tanggung jawab bersama umat Islam. Sukses tidaknya dakwah Islamiyah sepenuhnya terpulang kepada keseriusan umat Islam melakukan dakwah.

Dakwah jenis kedua, yakni secara organisatoris hendaknya dijalankan dengan manajemen yang rapi oleh mereka yang sehari-harinya sudah berkecimpung di dunia dakwah, seperti para ustaz/ustazah, guru-guru agama dan sebagainya. Selain itu, perlu ada kelapangan dada di kalangan para da`i/da`iyah untuk memberikan ruang pada mereka yang sehari-harinya tidak berprofesi sebagai da`i/da`iyah untuk memberikan kontribusi mereka dalam mensukseskan kegiatan dakwah Islamiyah dengan cara yang mereka pilih sendiri.

Materi dakwah lebih banyak mengulas tentang peribadatan sehingga terkesan seolah-olah Islam itu hanya mengandung aspek ibadah, padahal ajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya aspek hukum, teologi, tasawuf, filsafat, politik, ekonomi, dan seterusnya.

Aspek ibadah yang sering diulas di media massa juga terbatas pada ibadah mahdah (ibadah yang telah ditentukan tatacara dan waktunya), seperti salat, puasa, zakat dan haji. Ibadah itu pada hakikatnya adalah segala perilaku dan tindakan seseorang yang dilakukan dengan niat mencari ridha Allah semata. Jadi, ibadah itu meliputi seluruh aspek kehidupan manusia; mulai dari memberikan senyum yang tulus sampai membuang duri di jalan termasuk ibadah.

Materi ibadah hendaknya menyentuh hal-hal yang sedang dihadapi masyarakat pada masanya, misalnya dewasa ini masyarakat kita sedang dihadapkan pada masalah krisis ekonomi dan krisis politik. Dakwah hendaknya memberikan pesan-pesan keagamaan yang isinya memuat solusi terhadap pelbagai masalah yang dihadapi masyarakat.

Selain itu, ada kecenderungan para da`i/da`iyah di dalam menyampaikan dakwahnya lebih mementingkan aspek verbalnya, padahal dewasa ini umat Islam telah semakin kritis sehingga mereka perlu diberikan bukti-bukti konkret dari penjelasan keagamaan yang diberikan.

Ada kesan kuat bahwa dakwah yang disampaikan melalui media massa, cetak dan elektronik lebih banyak dikemas untuk orang dewasa, sedikit sekali atau bahkan tidak ada yang sengaja diperuntukkan bagi remaja dan anak-anak. Selain itu, ada pula kesan seolah-olah sasaran yang dituju dalam berdakwah itu adalah para ibu yang sudah lanjut usia, ibu-ibu yang tidak berpendidikan. Sepertinya ada anggapan bahwa sasaran dakwah adalah orang-orang bodoh yang tidak banyak tahu mengenai ajaran Islam sehingga ada kesan menggurui. Sebenarnya tidak salah anggapan seperti itu, hanya saja memperlakukan sasaran dakwah sebagai botol kosong merupakan kesalahan yang amat fatal.

Agar dakwah di media massa ini lebih efektif, hendaknya masyarakat yang menjadi sasaran dakwah ditempatkan sebagai subyek, bukan melulu sebagai obyek. Dalam kaitan ini kaum ulama, umara, dan para intelektual Muslim perlu menggalang suatu jaringan kerja (net working) dan menempatkan diri mereka sebagai fasilitator pengembangan masyarakat yang partisipatif.

Dengan menempatkan diri sebagai fasilitator, memungkinkan masyarakat yang diberi dakwah berani mengemukakan pendapat dan pikiran mereka, memahami keadaan dan permasalahan yang dihadapi, untuk selanjutnya dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang dipilih untuk memecahkan masalah mereka dan akhirnya mengevaluasi sendiri hasil yang mereka dicapai.

Dengan kata lain, diharapkan bahwa hubungan antara da`i dan masyarakat yang diberi dakwah bersifat kemitraan, bukan hubungan ketergantungan. Selanjutnya, dari hubungan kemitraan itu tumbuh masyarakat yang dapat berpikir kritis terhadap diri dan lingkungannya sehingga mampu mencari solusi bagi setiap problema yang dihadapinya.

Sejauh ini tujuan dakwah lebih ditekankan sekedar kepada upaya penyampaian informasi atau pesan-pesan keagamaan kepada masyarakat. Tidak heran, kalau kriteria keberhasilan dakwah hanya sebatas sampainya informasi dan pesan-pesan tersebut di masyarakat, bukan pada bagaimana pesan-pesan itu diterima dan dilaksanakan secara sadar oleh masyarakat sehingga terjadi transformasi ke arah kehidupan yang lebih baik. Kegiatan dakwah selanjutnya hanya dianggap sebagai wadah tempat berkumpul yang sifatnya rutin.  

Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi adanya kecenderungan melihat  dakwah sekedar sebagai suatu bentuk hiburan (entertainment) guna memuaskan hati atau  menghibur masyarakat pendengarnya. Dakwah diadakan agar supaya masyarakat tertarik untuk mendatangi suatu perhelatan dan di tempat itu mereka akan terhibur  oleh retorika yang indah, puisi yang menghanyutkan, ilustrasi yang lucu yang kemudian diselingi dengan musik, banyolan yang agak porno, dan sebagainya, padahal, sukses tidaknya suatu dakwah bukanlah diukur melalui gelak tawa atau tepuk riuh pendengarnya.

Seharusnya, sukses suatu dakwah dilihat dari bekas atau kesan yang ditinggalkan dalam jiwa pendengarnya yang kemudian terpantul pada perilaku mereka sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat. Dakwah harus mampu melahirkan perubahan perilaku masyarakat ke arah perilaku bermoral (akhlak karimah). Misalnya, tidak buang sampah sembarangan, tidak korupsi, tidak ngebut di jalan, tidak mengganggu keamanan masyarakat, serta tidak menyakiti sesama.

Demikianlah sekilas potret kegiatan dakwah di media massa. Fenomena yang digambarkan di atas membenarkan prediksi sejumlah pakar bahwa dakwah Islam  perlu dibenahi agar ajaran Islam dapat berjalan seiring dengan kemajuan zaman sehingga betul-betul menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Dengan kata lain, dakwah perlu dilakukan secara kontekstual, dengan mempertimbangkan kebutuhan pokok masyarakat sasaran, serta menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi yang dihadapi masyarakat tersebut.

Umat Islam hendaknya memahami bahwa Al-Qur`an sebagai pedoman hidup mengandung seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Melalui dakwah, para da`i/da`iyah dituntut untuk mampu menegakkan nilai-nilai universal Islam, seperti musyawarah (asy-syura), keadilan (al-`adl), persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawat), kebebasan (al-hurriyyah), dan tanggung jawab (al-amanah) dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial di masyarakat.

Dakwah harus mampu menggugah kesadaran umat Islam sehingga mereka dapat tampil sebagai umat yang  berkualitas. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya-upaya berikut: 1) meningkatkan keimanan umat sehingga tegar menghadapi segala bentuk pengaruh negatif dari kemajuan iptek dan paham-paham yang membahayakan negara, bangsa, dan agama; 2) meningkatkan kemampuan ekonomi umat melalui dorongan kerja keras dan menyadarkan mereka bahwa Islam mewajibkan kita untuk meraih hari esok yang lebih baik; dan 3) meningkatkan pembinaan akhlak umat, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, khususnya di bidang informatika dewasa ini, tidak ada pilihan lain kecuali memanfaatkan media massa, baik cetak maupun elektronik seefektif mungkin untuk kegiatan dakwah. Untuk itu, program-program dakwah, khususnya  melalui media massa perlu dikemas lebih baik dan lebih berkualitas agar tujuan dakwah, yaitu mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, dapat tercapai.

Media Massa dapat dijadikan wahana  yang sangat strategis dalam mengubah posisi dan kedudukan umat Islam Indonesia ke arah yang lebih menguntungkan di masa depan dalam rangka menegakkan kalimah Allah menuju terwujudnya masyarakat yang berkeadaban (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur). Tinggal bagaimana umat Islam mengantisipasi peluang emas yang ada di hadapan mereka. Wa Allah a`lam bi al-shawab