Umumnya masyarakat memandang kerja-kerja domestik
di rumah tangga sebagai kodrat perempuan. Tidak heran jika telah menikah, suami
dengan serta merta mewajibkan isteri untuk mengerjakan semua pekerjaan di
rumah. Bahkan, dalam banyak keluarga, pekerjaan domestik itu sudah menjadi
kewajiban perempuan sejak kecil. Sebaliknya, laki-laki dibebaskan dari tugas
domestik. Malah tidak sedikit menganggap tabu bagi laki-laki mengerjakannya.
Pekerjaan domestik mencakup spektrum yang amat
luas, seperti mengasuh anak, merawat dan mendidik mereka. Lalu berbelanja ke
pasar, mengelola uang belanja, memasak, mengatur menu, mencuci, membersihkan
lantai, membersihkan perabotan makan dan minum, mencuci pakaian dan semua
peralatan mandi dan tidur, serta menyeterikanya. Termasuk juga di dalamnya
membersihkan semua bagian rumah, taman dan gudang. Kerja-kerja domestik itu
sulit mengukur keberhasilannya karena tidak ada ukuran yang pasti dan bisa
diterapkan untuk semua orang.
Ketika ayat Al-Qur’an turun pada abad ke-7 Masehi,
masyarakat Arab masih sangat kental menerapkan segregasi ruang bagi perempuan
dan laki-laki. Perempuan hanya berkutat pada kerja-kerja domestik, sementara
laki-laki berburu, mencari nafkah untuk keluarga dengan berdagang melintasi
gurun sahara yang demikian gersang dan tandus. Pembagian kerja di masa itu
tidak banyak menimbulkan persoalan, bahkan menguntungkan bagi perempuan dan
laki-laki.
Ayat-ayat Qur’an yang turun di masa ini pastilah
merekam kondisi yang ada. Itulah sebabnya sejumlah ayat membuat segregasi ruang
kerja yang amat ketat: ruang domestik hanya untuk perempuan dan sebaliknya
ruang publik hanya untuk laki-laki. Karena itu, ayat-ayat yang berbicara soal
warisan meletakkan perempuan dalam posisi marjinal, bagian anak perempuan
hanyalah setengah dari bagian anak laki-laki.
Saya tidak menganggap ayat waris dan semacamnya
yang menerapkan pembedaan bagi anak laki-laki dan anak perempuan itu tidak
adil, boleh jadi ayat itu sangat adil jika dilihat pada masa turunnya, abad ke
7 M. Ketika itu, umumnya perempuan belum punya akses dalam ekonomi, hanya ada
segelintir perempuan, seperti Siti Khadijah, isteri Rasul saw yang sangat
mandiri.
Beliau bukan hanya mandiri dalam bidang ekonomi,
tapi juga memiliki pandangan yang sangat progres. Namun, kondisi umum perempuan
di masa itu sangat jauh dari figur Khadijah yang merdeka dan powerful.
Umumnya perempuan masih terbelenggu budaya patriarki yang berkelindan dengan
budaya feodalisme. Akibatnya, perempuan hanya dibebani kerja-kerja domestik dan
kebanyakan mereka tidak mendapatkan apresiasi atas jerih payah mereka mengelola
rumah tangga.
Labih fatal lagi, karena perempuan dianggap tidak
produktif dan tidak punya akses bekerja di luar rumah maka pembagian warisan
pun lalu dibuat diskriminatif. Perempuan hanya dapat setengah dari laki-laki. Formulasi
pembagian perempuan dapat setengah dari bagian laki-laki mungkin hanya cocok
jika perempuan dalam kondisi seperti di masa Nabi saw, yakni perempuan belum
punya akses dalam bidang ekonomi.
Akan tetapi, untuk masa sekarang pembedaan
tersebut tidak relevan lagi dimana sudah banyak perempuan memiliki akses dalam
ekonomi. Bahkan, tidak sedikit perempuan justru menjadi tulang punggung dalam
ekonomi keluarga. Suaminya tidak bekerja, kena PHK, atau bekerja tapi gajinya
tdk mencukupi dan sebagainya. Atau dalam kasus dimana anak perempuanlah yang
mengurusi kedua atau salah satu orangtuanya.
Masalahnya, kerja domestik selalu dianggap kerja
”gampangan” dan ”murahan” serta tak bernilai karena tidak menjanjikan
peningkatan keterampilan ataupun profesionalisme yang pada gilirannya akan
meningkatkan status sosial seseorang. Itulah sebabnya, tidak banyak laki-laki
yang bersedia turun tangan melakukan kerja-kerja domestik meski sudah
berkeluarga. Mereka tidak sadar bahwa seluaruh anggota keluarga membutuhkan
bantuan para lelaki dalam menyelesaikan kerja-kerja domestik yang tidak pernah
selesai itu.
Seharusnya kerja-kerja domestik merupakan
kewajiban bersama suami-isteri, ayah-ibu dan anak laki-laki dan perempuan. Mengapa?
Karena rumah tangga adalah milik bersama suami-isteri, keduanya harus
bertanggungjawab mengelola rumah tangga. Anak-anak pun merupakan amanah bersama
dan sekaligus tanggungjawab bersama pula. Dalam rumah tanga, siapa mengerjakan
apa tidaklah penting. Masing-masing dapat mengerjakan pekerjaan sesuai hobby, menyesuaikan
dengan kemampuan dan ketersediaan waktu. Yang penting, semua bertanggungjawab, merasakan pentingnya keadilan dan juga pentingnya
gotong-royong dan kerjasama dalam menyelesaikan kerja-kerja domestik. Adil tidak berarti sama persis
atau persis sama, melainkan berarti proporsional sesuai kebutuhan dan
kemaslahatan bersama; dan yang pasti tidak ada pihak yang dirugikan, baik laki
maupun perempuan.
Berbicara tentang kerja-kerja domestik, ada
perbedaan budaya antar bangsa. Perempuan yang berada dalam budaya Arab
sebetulnya lebih beruntung karena di sana berbelanja ke pasar, memasak dan
mengatur menĂº makanan merupakan kewajiban laki-laki. Bahkan, menyusui anak pun
bukan kewajiban isteri, itulah sebabnya mereka mengenal istilah ibu susuan yang
bisa mereka bayar mahal untuk menyusui dan merawat anak-anaknya. Nabi saw pun
mengalami hidup bersama ibu susuan dalam jangka waktu cukup lama.
Berbeda dengan perempuan Arab, di Indonesia para isteri
biasa bekerja di rumah dari pagi sampai pagi lagi. Beruntunglah mereka yang
bisa membayar asisten rumah tangga. Bahkan, cukup banyak isteri yang selain
bekerja domestik juga bekerja di luar rumah mencari nafkah karena suaminya tidak
bekerja, atau gaji suami tidak cukup untuk makan dan membayar biaya pendidikan
anak-anak.
Demikianlah, karena perempuan di Indonesia sejak
kecil sudah dibebani tanggung jawab. Masih kecil, anak perempuan harus membantu
ibunya di rumah, mengasuh adik-adik dan membersihkan rumah. Malah sangat sering
mereka juga ikut membantu keluarga mencari nafkah dengan berjualan kue atau menjadi
pembantu rumah tangga, misalnya. Ini realitas masyarakat yang harus kita cermati. Dalam
realitas nyata di masyarakat kewajiban perempuan sama beratnya dengan kewajiban
laki-laki. Bahkan, tidak sedikit perempuan memikul kewajiban lebih berat.
Boleh jadi, suami mencari nafkah di luar, tapi
jangan lupa kewajiban isteri di rumah jauh lebih berat dari kerjaan suami di
luar rumah. Saya misalnya, kalau disuruh memilih antara kerja domestik di rumah
dan kerja di area publik, pasti saya pilih kerja di area publik. Mengapa?
Karena kerja di ranah publik sangat teratur. Jumlah jam kerjanya jelas, job
kerjanya pun jelas. Bayaran atau gaji pun jelas. Kalau kerja di rumah gak ada jam kerja dan
gak ada job kerja yang jelas, dan gak ada promosi jabatan, sangat menyedihkan!!
Mengapa perempuan bersedia melakukannya?? Salah
satu penyebabnya adalah alasan agama. Perempuan dicekoki dengan penjelasan agama
yang keliru bahwa kerja domestik merupakan kodrat perempuan dan pahalanya sangat besar, membuat pelakunya
masuk sorga. Pertanyaan kritis, kalau memang pahalanya sangat besar mengapa
kebanyakan laki-laki tidak suka kerja-kerja domestik? Apakah mereka tidak
tergiur dengan janji pahala seperti dinyatakan kepada perempuan? Tentu tidak
semua laki-laki, saya juga menemukan sejumlah suami atau ayah atau anak
laki-laki yang sangat ringan tangan melakukan kerja-kerja domestik.
Saya sangat yakin, Tuhan Yang Maha Esa tidak membedakan
pahala buat laki dan perempuan. Keduanya akan mendapatkan pahala, ampunan dan
rahmat Tuhan sesuai ridha-Nya. Karena itu, perempuan harus kritis dan cerdas
sehingga tidak akan mudah percaya dengan berbagai argumentasi, termasuk
argumentasi agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarkal. Agama harus
menjadi pencerahan bagi semua manusia, bukan sebaliknya.