Kamis, 22 Desember 2016

Perlukah Aceh Qanun Jinayat ?

  

Prinsip Dasar Penetapan Hukum dalam Islam
Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, bukan hanya untuk manusia, melainkan juga bagi semua makhluk di alam semesta. Karena itu, harus diyakini bahwa ajaran Islam, termasuk juga ajarannya yang bicara tentang hukum, dimaksudkan sepenuhnya untuk kemashlahatan alam semesta, khususnya kemashlahatan manusia sebagai makhluk paling mulia. Untuk itulah Islam menggariskan sejumlah prinsip dasar dalam penetapan hukum, antara lain:
1.      Segala urusan sesuai dengan maksudnya (al-umuru bi al-maqashiduha).
Segala amal manusia bermula dari iradat-nya, yaitu: berangkat dari ikhtiar, yang berhajat kepada sesuatu pekerjaan dengan sesuatu maksud yang disebut qashad atau niat. Niat yang terkandung dalam hati seseorang pada saat melakukan suatu aktifitas menjadi kriteria dalam menentukan nilai dan status hukum aktifitas tersebut, apakah nilai perbuatan itu termasuk amal syariat atau perbuatan biasa. Adapun yang menjadi sumber dasar kaidah ini, antara lain, firman Allah swt. dalam Surat Ali Imran (3): 145: …Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Ayat ini mengandung prinsip bahwa aktifitas manusia dinilai Allah swt. berdasarkan niat pelakunya, apakah yang dilakukan oleh manusia itu semata-mata untuk kesenangan dunia, atau dimaksudkan untuk kesenangan di akhirat kelak atau kedua-duanya. Ayat di atas juga dipertegas dalam hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:… Sesungguhnya segala amal itu menurut niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh apa yang diniatkannya … (HR. Jama’ah dari Umar).
   Imam Syafi‘i, Ahmad, Abu Daud, dan Daruquthni sepakat menetapkan bahwa niat menempati sepertiga dari ilmu pengetahuan Islam. Niat berpangkal pada hati yang sering disebut aktifitas kejiwaan. Aktifitas kejiwaan ini lebih kuat daripada aktifitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. Hal ini disebabkan karena niat dapat berfungsi ibadah yang berdiri sendiri, sedangkan aktifitas yang lain tidak dapat berfungsi ibadah jika tidak didukung niat. Kesimpulannya, penetapan suatu hukum harus didasarkan pada niat untuk membangun mashlahat, bukan untuk balas dendam atau menyakiti seseorang atau kelompok. Karena itu, penetapan hukum Islam harus mendatangkan mashlahat bagi semua manusia dan kemanusiaan.
2.      Kesukaran mendatangkan kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taisir)
Syariat Islam bersifat umum, tidak hanya untuk suatu keadaan atau situasi tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian, dalam keadaaan tertentu dapat menimbulkan kesukaran dan kemudaratan pada sebahagian manusia. Dalam keadaan demikian, syariat Islam memberikan kelapangan bagi siapa pun untuk menolak hukum Islam manakala di dalamnya terdapat unsur yang menyulitkan, seperti yang tercantum dalam firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah (2): 185:… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …
Ayat ini menjelaskan adanya keringanan dan kemudahan terhadap sesuatu beban hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakan karena adanya uzur tertentu. Alquran dalam menetapkan hukum tidak menyulitkan manusia dalam pelaksanaannya, dan tidak menetapkan hukum yang pelaksanaannya berada di luar kemampuan manusia, dan ini merupakan rahmat Allah swt. pada hamba-Nya. Prinsip ini juga bermakna, segala kesulitan dan kesukaran yang tidak dapat dielakkan oleh manusia akan diberi keringanan oleh Allah swt..
Para ulama usul fikhi telah menetapkan sebab-sebab timbulnya keringanan hukum yaitu: 1) Musafir: yaitu orang yang sedang dalam perjalanan jauh. Ia, dalam pandangan hukum Islam, diperbolehkan tidak berpuasa, meng-qashar dan men-jama‘ salat, meningalkan salat  jumat dan sebagainya; 2) Orang sakit: yaitu orang yang terganggu kesehatannya. Ia diperbolehkan tidak berpuasa, bertayammum, boleh salat dalam keadaan duduk, berbaring  dan sebagainya; 3) Orang terpaksa, yaitu orang yang bertindak di luar kehendaknya sendiri dan terdapat unsur paksaan dari pihak lain. Ia dimaafkan bila melakukan hal-hal yang terlarang atau haram jika terpaksa; 4) Orang lupa, yaitu orang yang tidak melakukan kewajiban agama karena lupa atau tanpa sengaja. Ia dapat dimaafkan asalkan sungguh-sungguh lupa; 5) Orang yang tidak tahu, yaitu orang yang melanggar ketetapan hukum karena tidak mengetahui sama sekali hukum suatu perbuatan yang dilakukannya. Ia tidak dikenakan sanksi; 6) Orang yang kurang mampu, yaitu orang yang tidak dapat melakukan kewajiban agama karena ketidakmampuan kesehatannya, seperti kelompok disabilitas. Ia dapat  dibebaskan dari kewajiban agama; 7) Kesukaran umum  yaitu seseorang yang meninggalkan suatu kewajiban untuk kemaslahatan umum. Dalam kaitan dengan hal tersebut, ia  tidak dibebani sanksi hukum padanya.
Dengan demikian, semua perintah Allah dapat dilaksanakan karena adanya kemudahan yang diberikan kepada manusia. Dalam kondisi dimana manusia mengalami kesulitan untuk melaksanakannya, maka ia dimaafkan. Artinya, hukum Tuhan diberlakukan dengan tujuan akhir kemashlahatan manusia, bukan kemashlahatan Tuhan.
3.      Kemudaratan harus ditinggalkan (al-dhararu yuzalu)
Sumber dari kaidah ini yaitu firman Allah dalam Surat al-Qashash (28): 77:…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.  Ayat ini menjelaskan aturan-aturan bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan cara-cara ma’ruf dan menghindari hal-hal yang mendatangkan kemudaratan. Dari kaedah ini dapat dipahami bahwa suatu tindakan yang semula diharamkan oleh syariat, tetapi karena adanya suatu hajat untuk melepaskan diri dari suatu kesulitan, maka gugurlah keharamannya untuk sementara waktu, hingga berakhirnya hajat itu.
   Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa, apabila terapat dua perlawanan dalam satu masalah, yaitu; antara kerusakan (kemudharatan) dan kemasalahatan, maka menolak kerusakan harus lebih didahulukan, daripada mencari kemaslahatan (dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih). Begitu juga apabila terdapat dua kerusakan, maka harus terlebih dahulu dipilih mana yang lebih kecil mudharatnya, sekalipun pada dasarnya setiap kemudaratan besar atau kecil harus dihindari. Misalnya, melakukan hukuman cambuk bagi perempuan akan menimbulkan stigma bagi dirinya seumur hidup, maka menghindari hukuman cambuk akan jauh lebih afdhal dan juga lebih manusiawi.
   Perlu diperhatikan bahwa dalam kaidah ini erat hubungannya dengan kadar (ukuran) dan yang berkaitan dengan waktu (masa). Sesuatu larangan dibolehkan sesuai dengan kadarnya dan sesuatu kewajiban dapat ditinggalkan karena sifatnya temporer.

4.      Adat dapat ditetapkan menjadi hukum (al-‘adatu muhakkamah).
Kaidah ini bersumber, antara lain dalam Surat al-A'raf (7): 157:…Menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang munkar... Ayat ini menjelaskan bahwa sejumlah adat kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum, apabila adat kebiasaan itu dinilai baik dan membawa kemaslahatan manusia. Adat yang baik adalah kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan akal sehat dan sejalan dengan hati nurani serta dalam penerapannya sulit untuk ditolak sebagai suatu hukum yang berlaku. Adat kebiasaan yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang telah mafhum di tengah-tengah masyarakat karena berulang kali dilaksanakan, sehingga menjadi norma hukum dalam masyarakat bersangkutan.
Kalau kita menyimak sejarah pertumbuhan hukum Islam, akan terlihat betapa kuat pengaruh adat terhadap pembentukan hukum Islam. Hal ini terlihat pada hasil ijtihad para imam mazhab. Cotohnya, pandangan hukum Imam Malik banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan masyarakat kota Madinah; sementara pandangan hukum Imam Syafi’i banyak dipengaruhi adat kebiasaan masyarakat Mesir, terutama pada qaul jadid-nya (pandangan hukum beliau ketika bermukim di Mesir), sebaliknya ketika berdomisili di Baghdad, pandangan hukum beliau terpengaruh oleh adat kebiasaan masyarakat Bagdad (qaul qadim). Menarik bahwa Imam Syafi’i bisa mempunyai dua pandangan hukum yang berbeda karena pengaruh adat kebiasaan masyarakat dimana beliau berdomisili. Jelas bahwa hukum tidak dibangun di ruang hampa, melainkan sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya, demikian pula halnya dengan hukum Islam dewasa ini. Hukum Islam yang dipraktekkan di Saudi Arabia bisa berbeda dengan hukum Islam yang diamalkan di Mesir. Perbedaan itu mengindikasikan adanya perbedaan penafsiran terhadap sumber-sumber keislaman.
   Pengaruh adat dalam kehidupan hukum adalah sesuatu hal yang tidak perlu dirisaukan, sebab hukum yang bersumber dari adat pada prinsipnya mengandung unsur dinamika dan mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menumbuhkan suatu kebiasaan agar dapat sesuai dengan perkembangan zaman dan agama sekaligus tetap memperhatikan kemashlahatan masyarakat.
   Dalam hukum Islam adat suatu masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila tidak bertentangan dengan nas (teks suci), atau kaidah-kaidahnya tidak terdapat dalam nas. Hal ini dapat dipahami bahwa adat yang diterima ialah yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
   Dengan demikian, adat dalam pembentukan hukum Islam menjadi salah satu sumber penting. Hukum adat dapat diberlakukan sebagai sumber hukum Islam apabila kaidah-kaidahnya tidak terdapat dalam nas dan tidak bertentangan dengan nas, yang mengakibatkan timbulnya pertentangan antara sumber hukum Islam dengan kebiasaan yang mentradisi.

5.      Sesuatu yang diyakini kebenarannya tidak terhapus karena adanya keraguan (al-yaqin la yuzal bi al- syak).
Kaidah ini bersumber dari firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2): 200-201:… Maka di antara manusia ada orang yang berdo`a: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
Ayat ini menjelaskan bahwa prinsip keyakinan tidak dapat dihapus oleh adanya keraguan. Ayat pertama (Surat Al-Baqarah, 2: 200) mengisyaratkan adanya di antara segolongan umat Islam yang belum mempunyai keyakinan secara mantap terhadap suatu kebahagiaan yang abadi. Mereka meyakini segala sesuatu yang bersifat faktual, sehingga dalam berdoa tujuannya untuk mencapai kebahagiaan dunia semata. Sedangkan ayat kedua (Surat Al-Baqarah, 2: 201) mengisyaratkan bahwa sebagian manusia telah yakin adanya kehidupan yang abadi, sehingga dalam berdoa senantiasa memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat serta keselarasan antara keduanya.
Kaidah lain yang tak kurang pentingnya adalah Makna yang terkandung dalam nas Alquran tidak hanya dapat dipahami secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual. Menurut ulama usul fikhi, suatu nas paling tidak dapat bermakna ganda bila dilihat dari dalalah-nya, yaitu dalalah manthuq (makna tekstual) dan dalalah mafhum (makna kontekstual). Dalalah manthuq ialah makna yang ditarik dari nas secara denotatif (tekstual), sedangkan dalalah mafhum ialah makna yang dapat dipahami secara konotatif (berdasarkan konteks). Dari hal tersebut lahir beberapa jenis hukum yang bersumber hanya dari satu nas. Sebagai contoh, Firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah (2): 233:… Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf …
Secara ibarat (dilihat dari teksnya) ayat tersebut menunjukkan implikasi hukum, bahwa mencari nafkah untuk isteri menjadi kewajiban bagi suami. Sedangkan, secara isyarat menunjukkan bahwa hukum memberikan nafkah kepada anak juga menjadi kewajiban khusus suami, hal ini juga dipahami dari ‘ibarat nas (wa ‘ala al-maulud lahu) yang berarti kewajiban khusus bagi suami.
Nas-nas Alquran tidak hanya menetapkan hukum-hukum yang terbatas pada illat atau kemaslahatan pokok sebagai dasar disyariatkannya. Akan tetapi, illat atau kemaslahatan pokok yang terdapat dalam suatu nas, dapat dijadikan dasar analogi dalam menetapkan hukum suatu masalah baru yang sejalan dengan illat atau kemaslahatan pokok itu, seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Ma’idah (5): 91 tentang khamar dan judi, Surat al-Baqarah (2): 222 tentang haid.
 Illat hukum diharamkannya khamar dan judi serta mendekati isteri ketika haid, keduanya dapat dijadikan dasar kiyas untuk menetapkan hukum haramnya permasalahan serupa. Hal ini dapat juga menjadi isyarat bahwa hukum-hukum yang disyariatkan Allah swt. bukan semata-mata sebagai ibadah kepada-Nya, melainkan bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Demikian pula hukum-hukum yang disyariatkan Allah swt. seiring dengan kepentingan dan kemaslahatan manusia dan sebagai petunjuk bagi para mujtahid dalam menganalogikan suatu permasalahan yang tidak terdapat dalam nas.
Nas-nas Alquran tentang aspek-aspek hukum yang bersifat praktis seperti hukum perdata, jinayat, ketatanegaraan, ekonomi telah sempurna dalam meletakkan prinsip-prinsip umum serta aturan-aturan pokoknya. Dengan demikian, para mujtahid dapat menjadikan pedoman dalam menetapkan dan menerangkan hukum-hukum sesuai dengan semangat dan prinsip keadilan serta kemaslahatan masyarakat.
Para ulama usul fiqhi telah menyusun berbagai kaidah fiqhi atau istinbath berdasarkan pemahaman terhadap prinsip umum yang terkandung dalam nas Alquran, seperti kaidah yang berbunyi al-ashlu  fi al- asyya’ al-ibahah (hukum asal segala sesuatu adalah boleh), dipahami, misalnya, Surat al-Baqarah (2): 29,  Surat al-Jasiyah (45):13 dan Surat al-A'raf (7): 32. Kaidah ini dan berbagai kaidah istinbat lainnya yang digali dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Alquran sebagai petunjuk abadi dalam segala aspek hidup dan kehidupan manusia. Jadi, prinsipnya adalah selama tidak dijumpai teks suci menyatakan sesuatu itu haram, maka hukumnya boleh (halal).
Kepastian dan Kebijaksanaan Hukum dalam Alquran
Di dalam ilmu usul fikhi terdapat pembahasan tentang qath’iy dan zhanniy. Qath’i, yaitu nas-nas yang pasti, jelas dan tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, Zhanni, adalah nas-nas yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nas (nas yang mengaturnya bersifat zhanniy) hukumnya dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Akan tetapi, dalam pesoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nas (nas yang mengaturnya bersifat qath’iy) umumnya ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.
Berbeda dengan kebanyakan pendapat ulama tersebut, yurisprudensi (keputusan-keputusan hukum berdasarkan ijtihad dan fatwa), Khalifah Umar ra., menunjukkan kebolehan perubahan ketentuan hukum atau nas, jika kondisi atau kemaslahatan masyarakat menghendakinya. Dalam kaitan inilah akan terlihat sejauh mana tindakan yang dilakukan Umar ra. tersebut mempunyai dasar legitimasi dalam Alquran.
Pandangan hukum Umar bin Khattab didasarkan pada kaidah-kaidah fikih sebagai berikut:
1.      Kebolehan karena darurat (al-Ibahah bi al-dharurah)
Salah satu prinsip kebijaksanaan hukum dalam Alquran ialah bahwa sesuatu yang semula hukumnya haram dapat berubah menjadi halal karena adanya faktor kedaruratan (terpaksa/hal yang dapat membahayakan hukum dharuriy). Di dalam Alquran telah ditentukan hukum perbuatan-perbuatan yang diharamkan, seperti; keharaman riba, judi, khamar dan memakan bangkai. Keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain, ditegaskan dalam Surat al-Baqarah (2): 173 dan Surat al-Ma’idah (5): 3. Namun dibalik ketegasan hukum itu, dalam kedua ayat tersebut dan ayat 119 al-An’am ditekankan adanya keadaan darurat: … Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…
Al-Jashshash menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran tersebut menyatakan faktor darurat sebagai dasar kebolehan perbuatan-perbuatan yang telah diharamkan. Apakah konpensasi tersebut dapat berlaku umum pada setiap orang mukmin. Menurut Ibn Abbas; “kebolehan (memakan bangkai) karena darurat berlaku untuk semua orang beriman. Pendapat ini juga didukung oleh al-Jashash sesuai dengan penafsiran yang diberikan Ibn Abbas, Hasan dan Masruk; bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah tidak berlebihan dalam memakan bangkai.
Apakah kebolehan karena darurat hanya berlaku pada perbuatan-perbuatan yang disebutkan secara khusus dalam ketiga ayat tersebut, atau juga berlaku pada semua perbuatan yang sudah diharamkan? Dalam kaitan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa kebolehan atas perbuatan yang telah diharamkan, dalam keadaan darurat hanya terbatas pada perbuatan yang telah disebutkan secara khusus dalam nas Alquran. Akan tetapi, dengan disepakatinya kaidah (al-dharurat bih al-mahzhurat), maka pada prinsipnya semua ulama sepakat memilih pendapat kebolehan karena darurat berlaku untuk semua perbuatan haram atau terlarang.
Adanya keadaan darurat menunjukkan bahwa Alquran memberikan kebijaksanaan dibalik kepastian hukum yang telah ditetapkannya, dengan maksud agar kemaslahatan manusia (al-mashlahat al-insaniyyah) dapat terealisasi sejalan dengan kadar kemampuan manusia.
2.      Keringanan dalam kesulitan (al-rukhshah bi al-masyaqqah)
Perlu ditegaskan bahwa kemampuan manusia merupakan ukuran untuk dapat diterapkan secara sempurna suatu ketentuan hukum. Oleh karena itu, jika dalam proses pelaksanaan ketentuan hukum ditemukan keadaan yang menyulitkan (al-masyaqqah), maka berlaku hukum rukhshah, yakni pemberian keringanan dalam pelaksanaan hukum melalui penyimpangan dari ketentuan hukum semula (‘azimah), seperti firman Allah swt.dalam Surat al-Nisa' (4): 101: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. … Ayat ini menjelaskan kebolehan memendekkan shalat di kala bepergian (safar) yang pada umumnya menimbulkan berbagai kesulitan dan kesusahan, sehingga suatu kewajiban tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Tentang alasan atau illat adanya rukhshah seperti dapat dipahami dari ayat tersebut, adalah karena dalam keadaan khauf (takut karena dalam keadaan berperang/gawat). Namun demikian, alasan kebolehan rukhshah tidak hanya karena khauf dan safar, bahkan dapat ditafsirkan kepada hal-hal yang lebih luas lagi yang mengandung unsur kesulitan. Oleh karena itu, keadaan darurat merupakan salah satu alasan kebolehan atau berlakunya hukum rukhshah.
   Puasa wajib telah ditetapkan waktu pelaksanaannya dalam Alquran, yakni pada bulan Ramadan. Akan tetapi bagi mereka yang dalam keadaan kesulitan (kurang mampu melaksanakan pada bulan Ramadan) diberi keringanan berbuka dan menunda pelaksanaannya atau menggatikan di luar bulan Ramadan. Demikian pula kewajiban berwudhu dapat diganti dengan tayamum dikala tidak ditemukan air atau persediaan air terbatas. Semua ini merupakan dispensasi yang menunjukkan bahwa syariat Islam sangat memperhatikan kondisi aktual masyarakat dalam proses penerapan ketentuan-ketentuan hukum yang telah digariskan dalam sumber pokoknya.


Kebijaksanaan dalam pelaksanaan hukum (al-‘uqubat).
Setiap pelanggaran (al-Jarimah) dalam hukum Islam terdapat ancaman hukuman bagi pelakunya (al-Jani). Namun demikian, jika dibandingkan antara ancaman hukum yang telah ditetapkan (hudud) dan yang belum ada ketentuannya (ta‘zir) ternyata ta’zir lebih banyak dari hudud. Artinya, peluang ta‘zir lebih banyak dan lebih luas dari pada peluang untuk melaksanakan hukuman hudud.
Sanksi jarimah hudud dalam Alquran hanya dapat ditemukan secara pasti pada empat ayat, yaitu ayat dua dan empat Surat al-Nur (24), tentang hukuman bagi pezina (al-zani) dan penuduh zina (qazhf, al-muhshanat); ayat 33 dan 38 Surah al-Ma’idah tentang hukuman pengacau dan pencuri. Sedangkan jarimah hudud lainnya yang telah disepakati para ulama, ketentuan sanksi hukumnya ditetapkan berdasarkan hadis, bukan Alqur’an. Demikian pula dalam jarimah qishash, ancaman hukumannya telah ditentukan, dapat berubah menjadi hukuman denda (diyat) yang ketentuannya (ukuran/kadar banyaknya) ditetapkan berdasarkan hadis, dan ijtihad ulama.
   Selanjutnya, kebijaksanaan dalam proses pelaksanaan hukuman dapat dikemukakan contoh-contoh dalam Alquran sebagai berikut:
a.      Hukuman bagi perusuh dan pengacau keamanan (al-hirabah).
Jarimah hirabah merupakan tindak pidana yang menempati peringkat pertama di atas jarimah-jarimah yang ada karena di samping secara lansung melanggar hak-hak masyarakat dengan timbulnya kerusuhan dan ketidakstabilan keamanan juga melanggar hak-hak Allah swt., pelakunya diancam dengan beberapa alternatif, seperti ditegaskan dalam Surat al-Ma’idah (5): 33:Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut Mujahid yang dimaksud dengan al-fasad dalam ayat ini adalah berzina, mencuri, membunuh manusia dan binatang ternak serta merusak tanaman. Sebagian ulama tidak setuju dengan pendapat Mujahid; mereka beralasan bahwa jarimah-jarimah itu sudah mempunyai sanksi hukum tersendiri. Pendapat ini dibantah dengan alasan; bahwa jarimah-jarimah tersebut mempunyai sanksi hukum masing-masing jika dilakukan secara terpisah, atau pelakunya secara perseorangan, sebagaimana yeng terlihat pada ayat yang mengaturnya (al-zaniyah wa al-zani, al-sariqu wa al-sariqah,) serta dilakukan secara tidak terang-terangan.
Berbeda dengan pelaku jarimah yang beraksi secara terang-terangan serta berkelompok, juga tindakan mereka tidak hanya tergolong dalam salah satu jenis jarimah, melainkan dapat bermacam-macam, berupa membunuh, merampas, memperkosa, dan sebagainya.
Kendatipun jarimah-jarimah membahayakan ketenangan hidup masyarakat, namun Alquran hanya menyiapkan beberapa alternatif hukuman bagi pelakunya dan tidak menetapkan secara pasti jenis hukumannya yang harus diterapkan. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, hikmahnya adalah karena jarimah hirabah bisa saja berbeda, akibat perbedaan masa dan tempat, hal ini sejalan dengan keberadaan ciri khas Alquran sebagai petunjuk yang bersifat ruhiyyat sehingga dalam persoalan-persoalan muamalah tidak menentukan hukum secara pasti, kecuali hal-hal tertentu saja. Tujuannya, tiada lain agar pelaksanaan hukumnya diserahkan pada pertimbangan pengambil keputusan yang diharapkan adil dan mengedepankan kepentingan dan kemashlahatan manusia.
Pada ayat selanjutnya, (Surat al-Ma’idah (5): 34) ditegaskan kemungkinan tidak diterapkannya hukuman yang telah disebutkan pada (Surat al-Ma’idah (5): 33), apabila para pelakunya taubat sebelum ditangkap atau ditentukan hukumannya. Sekalipun terdapat pendapat-pendapat di kalangan ulama tentang sebahagian atau keseluruhan hukuman, namun Alquran telah menunjukkan dan menetapkan garis kebijaksanaan dalam proses pelaksanaan hukuman itu. Pengambilan keputusan dapat memilih antara menerapkan hukuman ta‘zir atau menghapuskan sama sekali menurut kondisi aktual.
b. Hukuman qishash diyah dalam jarimah pembunuhan.
Alquran menetapkan bahwa hukuman qisas bagi pelaku tindak pidana pembunuhan (pembunuhan secara sengaja) adalah hukuman mati (qisas). Sebaliknya, hukuman bagi pembunuhan secara tidak sengaja adalah hukuman denda (diyat) berupa pembebasan seorang budak (Surat al-Isra' (17): 33, Surat al-Nisa' (4): 92). Akan tetapi pada ayat 178 Surat al-Baqarah (2), terdapat ketentuan hukuman lain bagi pembunuhan sengaja, yakni hukuman denda bagi pelakunya jika dimaafkan oleh wali korban atau siterbunuh: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Ayat di atas menegaskan bahwa pembayaran denda (sebagai pengganti hukuman qisas karena adanya pemaafan dari pihak keluarga korban) dalam pembunuhan secara sengaja merupakan suatu keringanan dan rahmat Allah swt. Di katakan demikian, karena ketentuan membayar denda bukan atas ketentuan Allah swt.  Al-Qurthubi mengemukakan bahwa umat-umat sebelum Islam tidak diberikan ketentuan seperti itu. Hukum tersebut hanya dianugerahkan kepada umat Nabi Muhammad saw.
   Unsur pemaafan atau pengampunan dalam hukum Islam merupakan salah satu faktor yang patut diperhatikan dalam proses pengambilan keputusan (kebijaksanaan) hukuman terhadap pelaku jarimah pembunuhan. Sekalipun jenis jarimah itu merupakan tindakan yang mengancam jiwa manusia.



Hukuman bagi pezina dan penuduh zina.
Bagi pezina dan penuduh zina terhadap perempuan baik-baik, Alquran telah menetapkan hukumannya, yaitu seratus kali dera (al-Jald) bagi pezina berdasarkan Surat al-Nur (24): 2; dan delapan puluh kali dera bagi penuduh zina, berdasarkan Surat al-Nur (24): 4. Namun pada ayat selanjutnya (ayat 5) ditegaskan bahwa mereka yang bertaubat dan kembali berbuat baik akan mendapat ampunan dari Allah swt. dalam ayat ini tidak ditegaskan bahwa pelakunya akan dibebaskan dari hukuman dunia, tidak seperti halnya dengan ayat tentang jarimah hirabah (Surat al-Ma’idah (5):33–34). Dari sisni kebanyakan ulama memandang penghapusan hukuman karena taubat hanya berlaku pada jarimah hirabah tidak pada yang lainnya.
Ayat 4 Surat al-Nur mengatur secara umum tentang tuduhan berzina yang pelakunya diancam human dera delapan puluh kali. Sedangkan, ayat 6–9 pada surah yang sama mengatur secara khusus sanksi hukum bagi penuduh zina yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya, yakni kewajibannya  bersumpah empat kali ditambah sumpah kelima. Demikian pula pihak isteri (li‘an). Oleh karena itu, ketentuan sanksi hukum yang kedua di atas merupakan pengecualian (kebijaksanaan) dari ketentuan sanksi dari sanksi hukum yang pertama, sebab keduanya sebagai jarimah qazhf (tuduhan berzina).
Adanya dispensasi sanksi hukum bagi suami yang menuduh isterinya berzina tanpa mendatangkan empat orang sanksi, karena adanya faktor yang membedakannya dengan penuduh zina pada umumnya yang bukan pada isterinya, misalnya; mungkin saja seorang suami melihat isterinya berbuat zina dengan laki-laki lain, tetapi tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, maka sebagai orang yang terdekat, diberi kelonggaran (cara lain) untuk membuktikan kebenaran tuduhan itu.
Di samping contoh-contoh khusus tersebut, akan dikemukakan pula contoh lain yang bersifat umum tentang kebijaksanaan di balik ketegasan hukum dalam Alquran. Salah satu contoh, ialah ayat 66 Surat al-Anfal (8) tentang instruksi kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengobarkan semangat juang (perang) kaumnya, yang oleh sebahagian ahli tafsir menilai sebagai ayat yang termasuk kategori nasikh-mansukh, dan tidak bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, kedua ayat tersebut perlu dipahami dan ditempatkan menurut kedudukan dan kondisi.
Dalam kaitan ini Abdoerrauf, mengatakan bahwa ayat 65 diturunkan pada saat kaum muslimin siap berperang dengan kekuatan dan perlengkapan serta bala tentara yang mantap. Sedangkan ayat 66 diturunkan ketika kaum muslimin menghadapi peperangan, sementara perlengkapan perangnya sangat minim, tambah lagi bala tentara kurang berpengalaman. Dengan demikian, ayat yang kedua (Surat al-Anfal (8): 66) tidaklah bertentangan dengan ayat pertama (Surat al-Anfal (8): 65). Ayat kedua merupakan keringanan atau dispensasi dari ketentuan yang termaktub di ayat pertama.
Dalam Surat al-Nahl (16): 106, ditegaskan ancaman hukum bagi setiap orang yang ingkar kepada Allah swt. setelah beriman, akan mendapat murka dan siksa dari Allah swt.. Dalam ayat itu juga terdapat pengecualian bagi seseorang yang dalam keadaan terpaksa, yaitu dibolehkan mengucapkan kata-kata kafir atau mengingkari Allah swt. ucapan kata kafir di sini sekedar berpura-pura guna menyelamatkan jiwanya dari ancaman.
Pengecualian dari ayat tersebut di atas berkaitan dengan soal akidah. Dalam hal ini, pengecualian dan keringanan itu hanya bersifat sementara. Jika dalam masalah akidah, Alquran telah memberikan pengecualian dan keringanan terhadap persoalan-persoalan hukum yang bersifat (furu‘) lebih dimungkinkan lagi. Pengecualian yang dimaksud ialah termasuk perbuatan dan ucapan.
Dengan menelusuri kembali kenyataan-kenyataan yang telah ada dalam uraian di atas, semakin jelaslah bahwa di balik ketegasan dan kepastian hukum Alquran, terkandung kebijaksanaan berupa pemberian kelonggaran di saat kondisi tekstual masyarakat menghendakinya, guna terwujudnya perbaikan dan kemaslahatan dalam aspek kehidupan manusia (al-masalih al-Insaniyah).
Sebagai penutup uraian ini, menarik untuk dikaji komentar Abbas Mahmud al-Aqqad tentang tindakan atau fatwa khalifah Umar ra., yang secara tekstual menyalahi nas. Beliau menyatakan bahwa ijtihad Umar ra., tersebut bukanlah berarti bertentangan dengan nas, tetapi justru sejalan dengan nas. Karena pada prinsipnya konteks nas itu dapat dipisahkan dengan kondisi masyarakat. Tidak ada keharusan memaksakan kemutlakan hukum-hukum Islam secara utuh ke dalam masyarakat yang masih bervariasi.
Dengan demikian tindakan Abu Bakar ra., Umar ra., dalam mengumpulkan dan mengkodifikasikan Alquran tidaklah bertentangan dengan nas dan maksud syariat. Sebab, sekalipun tidak secara jelas ditunjuk suatu nas, akan tetapi tuntutan kemaslahatan yang menghendakinya. Demikian pula tindakan Umar ra., (yang sering dinilai sebagai suatu tindakan kontroversial) sekalipun secara tekstual menyalahi nas Alquran, akan tetapi dilihat dari ruh syariat, tidak bertentangan dengan Alquran. tindakan Umar ra., merupakan upaya pemahaman terhadap hikmah tertentu yang terkandung di balik suatu nas.
Alquran sebagai kitab suci yang diturunkan terakhir merupakan petunjuk abadi untuk kebahagiaan umat manusia sepanjang masa. Di dalamnya terkandung ajaran yang dibutuhkan manusia untuk nengatur totalitas kehidupannya. Karena keberadaan Alquran sebagai petunjuk abadi dan menyeluruh sifatnya dalam menetapkan hukum suatu masalah; Alquran senantiasa memperhatikan kondisi sosial yang berkembang dalam masyarakat.
Dengan demikian adalah sangat logis bila dalam suatu masalah Alquran hanya berbicara dalam konteks global dan kemudian penganutnya mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Itulah mengapa Alquran diturunkan secara bertahap dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun. Hal ini dimaksudkan agar hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran dapat berfungsi sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dan sekaligus berfungsi untuk menjaga kemashlahatan masyarakat. Karena itu, pemahaman terhadap prinsip-prinsip dan metode-metode (kaidah-kaidah) penetapan hukum dalam Islam mutlak diperlukan.
            Menurut Ahmad Syalabi, Alquran menetapkan hukum-hukum dengan cara berangsur-angsur dengan tiga cara. Pertama, mendiamkan, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena sementara, pernah diperkenankan, lalu diharamkan; Kedua, menyinggung sesuatu secara global (belum diterangkan secara jelas), kemudian diberi tafsil (keterangan yang luas dan jelas); dan ketiga, mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur.
Sebagai contoh cara pertama adalah Islam tidak segera mengubah aturan hukum kewarisan yang berlaku pada bangsa Arab sebelum turunnya ayat kewarisan, walaupun pada akhirnya dibatalkan. Cara kedua dapat dilihat dalam hal dasar hukum peperangan dan jihad pada masa permulaan Islam di kota Madinah, dan cara ketiga antara lain dapat dilihat pada proses pengharaman minuman keras.
   Proses pengharaman minuman keras, Alquran pada awalnya memberikan keterangan kepada Nabi Muhammad saw. untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya mengenai persoalan judi dan minuman keras, seperti yang termaktub dalam Surat al-Baqarah (2): 219: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, …
Ayat ini belum menuntut orang meninggalkan minum arak dan judi, tetapi hanya memberikan informasi bahwa dalam keduanya terdapat dosa besar, tapi juga mempunyai manfaat terhadap manusia. Meskipun dari sudut bahasa yang dipergunakan mengesankan suatu larangan sebab memberikan alternatif pemilihan antara mengerjakan sesuatu yang mengandung dosa besar atau hanya melihat manfaat pada diri pelakunya. Dengan mengungkap bahwa kedua perbuatan tersebut terdapat dosa besar yang mengatasi unsur manfaatnya, maka jelaslah bahwa ayat ini menganjurkan kepada manusia untuk meninggalkannya, sekalipun tidak secara tegas.
Pada fase selanjutnya, setelah Surat al-Baqarah (2): 219 tersebut diturunkan, kaum muslimin yang kuat imannya segera meninggalkan perbuatan itu, akan tetapi, yang lemah imannya masih tetap melaksanakan perbuatan tersebut. Kemudian turunlah ayat kedua tentang pengharaman khamar, dalam Surat al-Nisa' (4): 43:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, …
Ayat ini mengandung larangan meminum khamar pada saat akan melaksanakan salat, karena dikhawatirkan mabuk dalam keadaan salat, sehingga tidak mengerti apa yang diucapkan. Mabuk itu diharamkan karena dapat merusak akal. Jadi, dalam ayat ini, meminum khamar dilarang pada saat akan melaksanakan salat. Kemudian ayat berikutnya, ditetapkan bahwa meminum khamar dan judi adalah termasuk perbuatan setan, seperti yang termaktub dalam Surat al-Ma’idah (5): 90:Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Dalam ayat ini tersirat bahwa meminum khamar itu adalah haram secara mutlak, baik karena mengganggu shalat atau tidak, demikian juga segala sesuatu yang sejenis dengan khamar yang dapat memabukkan.
Penetapan hukum dalam Alquran secara berangsur-angsur, menunjukkan bahwa hukum Islam selalu berpegang pada prinsip meringankan beban manusia. Sehingga proses pengharaman suatu masalah yang telah menjadi kebiasaan dapat diterima secara sadar dan ikhlas.
Metode Alquran seperti ini juga terlihat pada proses turunnya. Ayat-ayat yang turun sebelum hijrah (makkiyah) pada umumnya berkisar pada perbaikan akidah dan hal-hal pokok yang berkaitan dengan akidah. Pada periode pasca Hijrah (madaniyyah) kemudian diturunkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum kemasyarakatan yang bersifat praktis. Seperti hukum-hukum kekeluargaan, ekonomi, jinayat, serta hal-hal yang mengarah pada pembinaan kemaslahatan individu maupun masyarakat (mu’amalah).
Manusia merupakan obyek dan subyek pembinaan hukum-hukum Alquran. Semua hukum-hukum Alquran diperuntukkan pada kepentingan dan perbaikan kehidupan manusia, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, agama maupun dalam pengelolaan harta bendanya. Sehingga dalam hukum-hukum Alquran selalu konsisten dengan kemaslahatan umat manusia.
Setiap ketetapan, aturan atau adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip nas dalam Alquran yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dapat dikategorikan sesuai syariat Islam. Sehingga dengan demikian, sebagaian ulama mengungkapkan bahwa di mana saja terdapat kemaslahatan, maka di situlah terdapat syariat Islam.
Kedatangan Islam bukanlah sebagai doktrin belaka yang membawa beban di atas pundak manusia, tetapi juga mengandung ajaran untuk kesejahteraan manusia. Olehnya itu, segala sesuatu yang ada di muka bumi merupakan fasilitas bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Firman Allah swt. dalam Surat Luqman (31): 20: Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni`mat-Nya lahir dan batin. …  Ayat ini menjelaskan apa yang ada di langit berupa matahari, bulan, air hujan, dan sebagainya, serta apa yang terdapat di bumi beserta isinya, adalah dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia lahir dan batin.
Prinsip kemaslahatan manusia merupakan ketetapan hukum dalam Alquran yang pada suatu saat apabila tidak lagi sejalan dengan prinsip tersebut, dapat dihapus atau ditangguhkan pelaksanaannya. Prinsip ini dapat ditemukan, baik dalam Alquran maupun dalam sejarah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyelaraskan ketetapan-ketetapan hukum yang ditetapkan dengan konteks kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Sekali lagi, kesimpulannya adalah kepentingan dan kemaslahatan masyarakat harus tetap dilindungi.
Dihadapkan pada berbagai suku bangsa, pembinaan hukum Islam senantiasa memperhatikan kemaslahatan mereka, serta dengan adat kebudayaan serta situasi setempat. Jika kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka didahulukan kemaslahatan umum dari yang bersifat khusus dan diharuskan menolak kemudaratan yang lebih besar dengan jalan meninggalkan dan melaksanakan yang lebih sedikit mudaratnya.
Dalam pembahasan usul fiqhi, maslahat merupakan perpanjangan dari penalaran ta‘lili, karena didasarkan pada pemahaman bahwa Allah swt. menurunkan aturan dan ketentuannya untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, penetapan hukum berdasar atas ketentuan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk ketentuan tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Metode ini digunakan apabila penalaran bayaniy dan ta’liliy tidak dapat dilakukan.
Memperhatikan sasaran yang ingin dicapai melalui perintah, larangan, dan keizinan yang dibebankan oleh Allah swt. dan rasul-Nya para ulama usul fiqhi menyimpulkan tiga kategori sasaran yang ingin dicapai dan dipertahankan yaitu: 1) dharuriyyat, 2) hajjiyyat, dan 3) tahsiniyyat. Dharuriyyat dimasukkan sebagai perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat esensial dalam kehidupan manusia, sedangkan, hajjiyyat dimaksudkan sebagai pemenuhan hal-hal yang diperlukan dalam hidup manusia, akan tetapi kapasitasnya di bawa kadar kepentingan yang bersifat esensial. Tahsiniyyat dimaksudkan untk mewujudkan hal-hal yang dapat menunjang peningkatan kondisi pribadi dan masyarakat, sesuai dengan tuntutan tempat dan waktu, selera dan rasa kepatutan, agar lebih mampu mengelola persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Perbedaan tujuan hukum tersebut, terletak pada kapasitas dan prioritas kepentingannya. Syariat menginginkan agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi, karena tujuannya adalah kebahagiaan dan keselamatan manusia di dunia dan di akhirat.
Dalam pelaksanaan syariat Islam selalu menyamaratakan manusia, tidak membedakan antara suatu bangsa dan bangsa lainnya, antara individu dengan individu lainnya. Syariat Islam menyamaratakan antara sesama umat Islam dan antara mereka dengan umat yang lain berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan yang ditetapkan dalam nas. Dan yang membedakan adalah terletak pada faktor ketakwaan, firman Allah swt. dalam Surat al-Hujurat (49): 13: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa sebab turunnya ayat ini, berkenaan dengan peristiwa Bilal yang hendak naik ke atas Kabah untuk azan. Kemudian beberapa orang menegur, “Apakah pantas budak hitam melakukan azan di atas Kabah?”, maka sebagian di antara mereka berkata “Jika sekiranya Allah swt. membenci orang itu, pasti Allah swt. akan menggantinya”,. Lalu, turunlah ayat ini untuk memberi penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi dan manusia paling mulia di sisi Allah swt. terletak pada tingkat ketakwaan.
Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa konsep manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat, terdiri dari berbagai suku bagngsa, diperintahkan untuk membentuk suatu pergaulan hidup yang sama, tanpa melihat ras, suku, dan bangsa. Agar mereka saling membantu dalam kebaikan, serta mengingatkan bahwa kesuksesan manusia dalam suatu pekerjaan terkait erat dengan adanya kerjasama dengan manusia lainnya.
Persamaan hak di muka hukum adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang menyangkut soal ibadah dalam arti khusus, yakni; hubungan antara makhluk dengan Khaliknya, maupun dalam arti luas, yaitu; hubungan muamalah antara manusia. Syariat Islam mengakui dan menegakkan prinsip persamaan hak di muka hukum untuk semua manusia.
Persamaan hak tersebut, tidak saja berlaku bagi umat Islam, tetapi juga bagi penganut agama lain. Mereka diberikan hak sepenuhnya untuk berhukum menurut agamanya masing-masing, kecuali kalau mereka sendiri dengan suka rela meminta menurut hukum Islam.
Sedangkan, dalam hubungan dengan prinsip keadilan dalam penetapan hukum Alquran, dapat dilihat antara lain dalam Surat al-Nisa' (4): 58:… Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. …
Ayat ini menegaskan bahwa dalam menetapkan dan menerapkan hukum hendaklah memperhatikan prinsip persamaan hak di antara sesama manusia dan diselesaikan berdasarkan ketetapan yang terkandung dalam nas (Alquran dan hadis). Prinsip persamaan dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan dalam rangka pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah).

Kesimpulan

Dari uraian panjang di atas dapat disimpulkan bahwa bagian Pasal tentang Perkosaan dalam Qanun Jinayat Aceh tidak sejalan dengan kemashlahatan yang merupakan esensi hukum Islam. Sebab, pasal tersebut memiliki kecenderungan untuk memudahkan pelaku (para lelaki) dan menyulitkan korban (para perempuan) dengan hak sumpah bagi pelaku sehingga dapat bebas tanpa syarat.  
Faktanya, dalam banyak kasus perkosaan, pelaku umumnya bebas karena dapat bersumpah, meski sumpahnya dengan berdusta. Sebaliknya, para korban tidak bisa membebaskan dirinya karena sejumlah bukti yang tidak mungkin dihilangkan, misalnya kehamilan dan sebagainya. Namun, hal lain yang perlu diperhatikan oleh para pembuat hukum adalah kebanyakan perempuan yang menjadi korban perkosaan tidak memiliki kebebasan seperti dimiliki para pelaku. Umumnya, mereka adalah korban trafficking (perdagangan manusia), atau diperdaya dengan berbagai rayuan dan sebagainya, juga akibat relasi gender yang tidak setara di masyarakat.
Demikian juga Pasal Zina yang memblamming perempuan, misalnya perempuan yang memiliki bayi tanpa ayah langsung dituduh berbuat zina. Padahal bisa saja anak tersebut lahir karena ibunya adalah korban perkosaan. Tidak jauh berbeda dengan kasus perkosaan, umumnya perempuan berzina juga mengalami hal-hal yang memaksanya untuk berzina. Berbeda dengan laki-laki yang berzina karena kemauan bebasnya, umumnya perempuan berzina karena terperangkap atau terpaksa. Misalnya, perempuan terpaksa merelakan dirinya karena diancam untuk “diputuskan” oleh pacarnya. Terpaksa berzina karena takut tidak dinikahi oleh calon suami. Terpaksa berzina karena kebutuhan ekonomi yang mendesak demi menghidupi orang tua atau keluarganya yang rentan. Dalam kondisi demikian, apakah perempuan masih bisa disebut berzina? Sebab, menurut saya sebetulnya mereka adalah korban perkosaan akibat ketimpangan gender. Umumnya perempuan berada dalam posisi tidak bebas memilih, seperti kebanyakan laki-laki.
Hal lain yang lebih menggenaskan adalah bahwa Zina, khalwat, dan ikhtilat berdampak lebih buruk pada perempuan dan memengaruhi perkembangan mental dan psikologisnya untuk waktu yang sangat lama, mungkin seumur hidupnya. Sebab, budaya patriarki yang masih kental di masyarakat membuat stigma negatif masyarakat dan doktrin agama yang misoginis hanya tertuju kepada perempuan, tidak kepada laki-laki walau keduanya sama-sama pelaku. Tidak heran jika akhirnya perempuanlah yang menderita dan menjadi korban oleh ketentuan hukum Islam ini.
Selain itu, pelaksanaan hukum cambuk yang dilaksanakan di depan masyarakat umum, berdampak lebih besar terhadap perempuan. Sebab, perempuan akan dipermalukan sekaligus mendapatkan stigma negatif sehingga berdampak pada peminggiran di keluarga maupun masyarakat, dan implikasinya meluas ke seluruh kehidupan perempuan. Seumur hidupnya perempuan akan menanggung beban penderitaan tersebut. Tentu saja hal ini bertentangan dengan tujuan hukum Islam yang mementingkan kemashalahatan masyarakat.
Akhirnya, berdasarkan uraian usul fikih yang saya kemukakan di awal tulisan ini, Qanun Jinayat di Aceh perlu ditinjau ulang, khususnya dalam memperlakukan perempuan karena sangat bertentangan dengan esensi ajaran Islam. Marilah kita umat Islam lebih mengedepankan esensi Syariat dari pada sekedar mengambil bentuk formalitas hukum yang sangat rawan kekerasan dan sarat perlakuan diskriminasi, khususnya terhadap korban yang umumnya berjenis kelamin perempuan. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih menunjuki kita semua ke jalan-Nya yang lurus dan penuh kedamaian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar