Prinsip
Dasar Penetapan Hukum dalam Islam
Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk
menjadi rahmat bagi alam semesta, bukan hanya untuk manusia, melainkan juga
bagi semua makhluk di alam semesta. Karena itu, harus diyakini bahwa ajaran
Islam, termasuk juga ajarannya yang bicara tentang hukum, dimaksudkan sepenuhnya
untuk kemashlahatan alam semesta, khususnya kemashlahatan manusia sebagai
makhluk paling mulia. Untuk itulah Islam menggariskan sejumlah prinsip dasar
dalam penetapan hukum, antara lain:
1.
Segala urusan
sesuai dengan maksudnya (al-umuru bi al-maqashiduha).
Segala amal manusia bermula dari iradat-nya,
yaitu: berangkat dari ikhtiar, yang berhajat kepada sesuatu pekerjaan dengan
sesuatu maksud yang disebut qashad atau niat. Niat yang terkandung dalam
hati seseorang pada saat melakukan suatu aktifitas menjadi kriteria dalam
menentukan nilai dan status hukum aktifitas tersebut, apakah nilai perbuatan
itu termasuk amal syariat atau perbuatan biasa. Adapun yang menjadi sumber
dasar kaidah ini, antara lain, firman Allah swt. dalam Surat Ali Imran
(3): 145: …Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.
Ayat ini mengandung prinsip bahwa aktifitas
manusia dinilai Allah swt. berdasarkan niat pelakunya, apakah yang
dilakukan oleh manusia itu semata-mata untuk kesenangan dunia, atau dimaksudkan
untuk kesenangan di akhirat kelak atau kedua-duanya. Ayat di atas juga
dipertegas dalam hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:…
Sesungguhnya segala amal itu menurut niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang
hanya memperoleh apa yang diniatkannya … (HR. Jama’ah dari Umar).
Imam
Syafi‘i, Ahmad, Abu Daud, dan Daruquthni sepakat menetapkan bahwa niat
menempati sepertiga dari ilmu pengetahuan Islam. Niat berpangkal pada hati yang
sering disebut aktifitas kejiwaan. Aktifitas kejiwaan ini lebih kuat daripada
aktifitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. Hal ini disebabkan
karena niat dapat berfungsi ibadah yang berdiri sendiri, sedangkan aktifitas
yang lain tidak dapat berfungsi ibadah jika tidak didukung niat. Kesimpulannya,
penetapan suatu hukum harus didasarkan pada niat untuk membangun mashlahat,
bukan untuk balas dendam atau menyakiti seseorang atau kelompok. Karena itu, penetapan
hukum Islam harus mendatangkan mashlahat bagi semua manusia dan kemanusiaan.
2.
Kesukaran
mendatangkan kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taisir)
Syariat Islam bersifat umum, tidak hanya untuk suatu
keadaan atau situasi tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian,
dalam keadaaan tertentu dapat menimbulkan kesukaran dan kemudaratan pada
sebahagian manusia. Dalam keadaan demikian, syariat Islam memberikan kelapangan
bagi siapa pun untuk menolak hukum Islam manakala di dalamnya terdapat unsur
yang menyulitkan, seperti yang tercantum dalam firman Allah swt. dalam
Surat al-Baqarah (2): 185:… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu …
Ayat ini menjelaskan adanya keringanan dan
kemudahan terhadap sesuatu beban hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakan
karena adanya uzur tertentu. Alquran dalam menetapkan hukum tidak
menyulitkan manusia dalam pelaksanaannya, dan tidak menetapkan hukum yang
pelaksanaannya berada di luar kemampuan manusia, dan ini merupakan rahmat Allah
swt. pada hamba-Nya. Prinsip ini juga bermakna, segala kesulitan dan
kesukaran yang tidak dapat dielakkan oleh manusia akan diberi keringanan oleh
Allah swt..
Para ulama usul fikhi telah menetapkan
sebab-sebab timbulnya keringanan hukum yaitu: 1) Musafir: yaitu orang yang
sedang dalam perjalanan jauh. Ia, dalam pandangan hukum Islam, diperbolehkan
tidak berpuasa, meng-qashar dan men-jama‘ salat, meningalkan
salat jumat dan sebagainya; 2) Orang
sakit: yaitu orang yang terganggu kesehatannya. Ia diperbolehkan tidak
berpuasa, bertayammum, boleh salat dalam keadaan duduk, berbaring dan sebagainya; 3) Orang terpaksa, yaitu orang
yang bertindak di luar kehendaknya sendiri dan terdapat unsur paksaan dari
pihak lain. Ia dimaafkan bila melakukan hal-hal yang terlarang atau haram jika
terpaksa; 4) Orang lupa, yaitu orang yang tidak melakukan kewajiban agama karena
lupa atau tanpa sengaja. Ia dapat dimaafkan asalkan sungguh-sungguh lupa; 5) Orang
yang tidak tahu, yaitu orang yang melanggar ketetapan hukum karena tidak
mengetahui sama sekali hukum suatu perbuatan yang dilakukannya. Ia tidak
dikenakan sanksi; 6) Orang yang kurang mampu, yaitu orang yang tidak dapat
melakukan kewajiban agama karena ketidakmampuan kesehatannya, seperti kelompok
disabilitas. Ia dapat dibebaskan dari
kewajiban agama; 7) Kesukaran umum yaitu
seseorang yang meninggalkan suatu kewajiban untuk kemaslahatan umum. Dalam
kaitan dengan hal tersebut, ia tidak
dibebani sanksi hukum padanya.
Dengan demikian, semua perintah Allah dapat
dilaksanakan karena adanya kemudahan yang diberikan kepada manusia. Dalam
kondisi dimana manusia mengalami kesulitan untuk melaksanakannya, maka ia
dimaafkan. Artinya, hukum Tuhan diberlakukan dengan tujuan akhir kemashlahatan
manusia, bukan kemashlahatan Tuhan.
3.
Kemudaratan
harus ditinggalkan (al-dhararu yuzalu)
Sumber dari kaidah ini yaitu firman Allah dalam
Surat al-Qashash (28): 77:…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. Ayat ini menjelaskan
aturan-aturan bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat dengan cara-cara ma’ruf dan menghindari hal-hal yang
mendatangkan kemudaratan. Dari kaedah ini dapat dipahami bahwa suatu tindakan
yang semula diharamkan oleh syariat, tetapi karena adanya suatu hajat untuk
melepaskan diri dari suatu kesulitan, maka gugurlah keharamannya untuk
sementara waktu, hingga berakhirnya hajat itu.
Dari
penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa, apabila terapat dua perlawanan dalam
satu masalah, yaitu; antara kerusakan (kemudharatan) dan kemasalahatan, maka
menolak kerusakan harus lebih didahulukan, daripada mencari kemaslahatan (dar’
al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih). Begitu juga apabila terdapat
dua kerusakan, maka harus terlebih dahulu dipilih mana yang lebih kecil mudharatnya,
sekalipun pada dasarnya setiap kemudaratan besar atau kecil harus dihindari.
Misalnya, melakukan hukuman cambuk bagi perempuan akan menimbulkan stigma bagi
dirinya seumur hidup, maka menghindari hukuman cambuk akan jauh lebih afdhal
dan juga lebih manusiawi.
Perlu
diperhatikan bahwa dalam kaidah ini erat hubungannya dengan kadar (ukuran) dan
yang berkaitan dengan waktu (masa). Sesuatu larangan dibolehkan sesuai dengan
kadarnya dan sesuatu kewajiban dapat ditinggalkan karena sifatnya temporer.
4.
Adat dapat
ditetapkan menjadi hukum (al-‘adatu muhakkamah).
Kaidah ini bersumber, antara lain dalam Surat
al-A'raf (7): 157:…Menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka mengerjakan yang munkar... Ayat ini menjelaskan bahwa sejumlah adat kebiasaan yang berkembang
dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum, apabila adat kebiasaan
itu dinilai baik dan membawa kemaslahatan manusia. Adat yang baik adalah
kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan akal sehat dan sejalan dengan hati
nurani serta dalam penerapannya sulit untuk ditolak sebagai suatu hukum yang
berlaku. Adat kebiasaan yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang telah
mafhum di tengah-tengah masyarakat karena berulang kali dilaksanakan, sehingga
menjadi norma hukum dalam masyarakat bersangkutan.
Kalau kita menyimak sejarah pertumbuhan hukum
Islam, akan terlihat betapa kuat pengaruh adat terhadap pembentukan hukum
Islam. Hal ini terlihat pada hasil ijtihad para imam mazhab. Cotohnya, pandangan
hukum Imam Malik banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan masyarakat kota
Madinah; sementara pandangan hukum Imam Syafi’i banyak dipengaruhi adat
kebiasaan masyarakat Mesir, terutama pada qaul jadid-nya (pandangan
hukum beliau ketika bermukim di Mesir), sebaliknya ketika berdomisili di
Baghdad, pandangan hukum beliau terpengaruh oleh adat kebiasaan masyarakat
Bagdad (qaul qadim). Menarik bahwa Imam Syafi’i bisa mempunyai dua
pandangan hukum yang berbeda karena pengaruh adat kebiasaan masyarakat dimana
beliau berdomisili. Jelas bahwa hukum tidak dibangun di ruang hampa, melainkan
sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya, demikian pula halnya dengan
hukum Islam dewasa ini. Hukum Islam yang dipraktekkan di Saudi Arabia bisa
berbeda dengan hukum Islam yang diamalkan di Mesir. Perbedaan itu
mengindikasikan adanya perbedaan penafsiran terhadap sumber-sumber keislaman.
Pengaruh
adat dalam kehidupan hukum adalah sesuatu hal yang tidak perlu dirisaukan,
sebab hukum yang bersumber dari adat pada prinsipnya mengandung unsur dinamika
dan mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi.
Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menumbuhkan suatu kebiasaan agar dapat
sesuai dengan perkembangan zaman dan agama sekaligus tetap memperhatikan
kemashlahatan masyarakat.
Dalam
hukum Islam adat suatu masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila
tidak bertentangan dengan nas (teks suci), atau kaidah-kaidahnya tidak terdapat
dalam nas. Hal ini dapat dipahami bahwa adat yang diterima ialah yang tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Dengan
demikian, adat dalam pembentukan hukum Islam menjadi salah satu sumber penting.
Hukum adat dapat diberlakukan sebagai sumber hukum Islam apabila
kaidah-kaidahnya tidak terdapat dalam nas dan tidak bertentangan dengan nas,
yang mengakibatkan timbulnya pertentangan antara sumber hukum Islam dengan
kebiasaan yang mentradisi.
5.
Sesuatu yang
diyakini kebenarannya tidak terhapus karena adanya keraguan (al-yaqin la
yuzal bi al- syak).
Kaidah ini bersumber dari firman Allah dalam
Surat al-Baqarah (2): 200-201:… Maka di antara manusia ada orang yang
berdo`a: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan
tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara
mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
Ayat ini menjelaskan bahwa prinsip keyakinan
tidak dapat dihapus oleh adanya keraguan. Ayat pertama (Surat Al-Baqarah, 2:
200) mengisyaratkan adanya di antara segolongan umat Islam yang belum mempunyai
keyakinan secara mantap terhadap suatu kebahagiaan yang abadi. Mereka meyakini
segala sesuatu yang bersifat faktual, sehingga dalam berdoa tujuannya untuk
mencapai kebahagiaan dunia semata. Sedangkan ayat kedua (Surat Al-Baqarah, 2:
201) mengisyaratkan bahwa sebagian manusia telah yakin adanya kehidupan yang
abadi, sehingga dalam berdoa senantiasa memohon kebahagiaan di dunia dan
akhirat serta keselarasan antara keduanya.
Kaidah lain yang tak kurang pentingnya adalah Makna
yang terkandung dalam nas Alquran tidak hanya dapat dipahami secara tekstual,
tetapi juga secara kontekstual. Menurut ulama usul fikhi, suatu nas paling
tidak dapat bermakna ganda bila dilihat dari dalalah-nya, yaitu dalalah
manthuq (makna tekstual) dan dalalah mafhum (makna kontekstual).
Dalalah manthuq ialah makna yang ditarik dari nas secara denotatif
(tekstual), sedangkan dalalah mafhum ialah makna yang dapat dipahami
secara konotatif (berdasarkan konteks). Dari hal tersebut lahir beberapa jenis
hukum yang bersumber hanya dari satu nas. Sebagai contoh, Firman Allah swt.
dalam Surat al-Baqarah (2): 233:… Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf …
Secara ibarat (dilihat dari teksnya) ayat
tersebut menunjukkan implikasi hukum, bahwa mencari nafkah untuk isteri menjadi
kewajiban bagi suami. Sedangkan, secara isyarat menunjukkan bahwa hukum
memberikan nafkah kepada anak juga menjadi kewajiban khusus suami, hal ini juga
dipahami dari ‘ibarat nas (wa ‘ala al-maulud lahu) yang berarti
kewajiban khusus bagi suami.
Nas-nas Alquran tidak hanya menetapkan
hukum-hukum yang terbatas pada illat atau kemaslahatan pokok sebagai
dasar disyariatkannya. Akan tetapi, illat atau kemaslahatan pokok yang
terdapat dalam suatu nas, dapat dijadikan dasar analogi dalam menetapkan hukum
suatu masalah baru yang sejalan dengan illat atau kemaslahatan pokok
itu, seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Ma’idah (5): 91 tentang
khamar dan judi, Surat al-Baqarah (2): 222 tentang haid.
Illat hukum
diharamkannya khamar dan judi serta mendekati isteri ketika haid, keduanya
dapat dijadikan dasar kiyas untuk menetapkan hukum haramnya permasalahan
serupa. Hal ini dapat juga menjadi isyarat bahwa hukum-hukum yang disyariatkan
Allah swt. bukan semata-mata sebagai ibadah kepada-Nya, melainkan
bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Demikian pula hukum-hukum yang
disyariatkan Allah swt. seiring dengan kepentingan dan kemaslahatan
manusia dan sebagai petunjuk bagi para mujtahid dalam menganalogikan suatu
permasalahan yang tidak terdapat dalam nas.
Nas-nas Alquran tentang aspek-aspek hukum yang
bersifat praktis seperti hukum perdata, jinayat, ketatanegaraan, ekonomi telah sempurna
dalam meletakkan prinsip-prinsip umum serta aturan-aturan pokoknya. Dengan
demikian, para mujtahid dapat menjadikan pedoman dalam menetapkan dan
menerangkan hukum-hukum sesuai dengan semangat dan prinsip keadilan serta kemaslahatan
masyarakat.
Para ulama usul fiqhi telah menyusun berbagai
kaidah fiqhi atau istinbath berdasarkan pemahaman terhadap prinsip umum
yang terkandung dalam nas Alquran, seperti kaidah yang berbunyi al-ashlu fi al- asyya’ al-ibahah (hukum asal
segala sesuatu adalah boleh), dipahami, misalnya, Surat al-Baqarah (2):
29, Surat al-Jasiyah (45):13 dan Surat
al-A'raf (7): 32. Kaidah ini dan berbagai kaidah istinbat lainnya yang digali
dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Alquran sebagai petunjuk abadi dalam segala
aspek hidup dan kehidupan manusia. Jadi, prinsipnya adalah selama tidak
dijumpai teks suci menyatakan sesuatu itu haram, maka hukumnya boleh (halal).
Kepastian dan Kebijaksanaan Hukum dalam Alquran
Di dalam ilmu usul fikhi terdapat pembahasan
tentang qath’iy dan zhanniy. Qath’i, yaitu nas-nas yang
pasti, jelas dan tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan.
Sebaliknya, Zhanni, adalah nas-nas yang masih membutuhkan penafsiran dan
penjelasan. Para ulama sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan
hukumnya dalam nas (nas yang mengaturnya bersifat zhanniy) hukumnya
dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Akan tetapi,
dalam pesoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nas (nas yang
mengaturnya bersifat qath’iy) umumnya ulama tidak membolehkan perubahan
penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.
Berbeda dengan kebanyakan pendapat ulama
tersebut, yurisprudensi (keputusan-keputusan hukum berdasarkan ijtihad dan
fatwa), Khalifah Umar ra., menunjukkan kebolehan perubahan ketentuan
hukum atau nas, jika kondisi atau kemaslahatan masyarakat menghendakinya. Dalam
kaitan inilah akan terlihat sejauh mana tindakan yang dilakukan Umar ra.
tersebut mempunyai dasar legitimasi dalam Alquran.
Pandangan hukum Umar bin Khattab didasarkan pada
kaidah-kaidah fikih sebagai berikut:
1.
Kebolehan
karena darurat (al-Ibahah bi al-dharurah)
Salah satu prinsip kebijaksanaan hukum dalam
Alquran ialah bahwa sesuatu yang semula hukumnya haram dapat berubah menjadi
halal karena adanya faktor kedaruratan (terpaksa/hal yang dapat membahayakan
hukum dharuriy). Di dalam Alquran telah ditentukan hukum perbuatan-perbuatan
yang diharamkan, seperti; keharaman riba, judi, khamar dan memakan bangkai.
Keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain, ditegaskan dalam
Surat al-Baqarah (2): 173 dan Surat al-Ma’idah (5): 3. Namun dibalik ketegasan hukum
itu, dalam kedua ayat tersebut dan ayat 119 al-An’am ditekankan adanya keadaan
darurat: … Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…
Al-Jashshash menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran
tersebut menyatakan faktor darurat sebagai dasar kebolehan perbuatan-perbuatan
yang telah diharamkan. Apakah konpensasi tersebut dapat berlaku umum pada
setiap orang mukmin. Menurut Ibn Abbas; “kebolehan (memakan bangkai) karena
darurat berlaku untuk semua orang beriman. Pendapat ini juga didukung oleh
al-Jashash sesuai dengan penafsiran yang diberikan Ibn Abbas, Hasan dan Masruk;
bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah tidak berlebihan dalam memakan
bangkai.
Apakah kebolehan karena darurat hanya berlaku
pada perbuatan-perbuatan yang disebutkan secara khusus dalam ketiga ayat
tersebut, atau juga berlaku pada semua perbuatan yang sudah diharamkan? Dalam
kaitan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa kebolehan atas perbuatan yang
telah diharamkan, dalam keadaan darurat hanya terbatas pada perbuatan yang
telah disebutkan secara khusus dalam nas Alquran. Akan tetapi, dengan
disepakatinya kaidah (al-dharurat bih al-mahzhurat), maka pada
prinsipnya semua ulama sepakat memilih pendapat kebolehan karena darurat
berlaku untuk semua perbuatan haram atau terlarang.
Adanya keadaan darurat menunjukkan bahwa Alquran
memberikan kebijaksanaan dibalik kepastian hukum yang telah ditetapkannya,
dengan maksud agar kemaslahatan manusia (al-mashlahat al-insaniyyah) dapat
terealisasi sejalan dengan kadar kemampuan manusia.
2.
Keringanan
dalam kesulitan (al-rukhshah bi al-masyaqqah)
Perlu ditegaskan bahwa kemampuan manusia
merupakan ukuran untuk dapat diterapkan secara sempurna suatu ketentuan hukum.
Oleh karena itu, jika dalam proses pelaksanaan ketentuan hukum ditemukan
keadaan yang menyulitkan (al-masyaqqah), maka berlaku hukum rukhshah,
yakni pemberian keringanan dalam pelaksanaan hukum melalui penyimpangan dari
ketentuan hukum semula (‘azimah), seperti firman Allah swt.dalam
Surat al-Nisa' (4): 101: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. … Ayat ini menjelaskan kebolehan memendekkan shalat di kala bepergian
(safar) yang pada umumnya menimbulkan berbagai kesulitan dan kesusahan,
sehingga suatu kewajiban tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Tentang alasan atau illat adanya rukhshah
seperti dapat dipahami dari ayat tersebut, adalah karena dalam keadaan khauf
(takut karena dalam keadaan berperang/gawat). Namun demikian, alasan kebolehan rukhshah
tidak hanya karena khauf dan safar, bahkan dapat ditafsirkan
kepada hal-hal yang lebih luas lagi yang mengandung unsur kesulitan. Oleh
karena itu, keadaan darurat merupakan salah satu alasan kebolehan atau
berlakunya hukum rukhshah.
Puasa
wajib telah ditetapkan waktu pelaksanaannya dalam Alquran, yakni pada bulan
Ramadan. Akan tetapi bagi mereka yang dalam keadaan kesulitan (kurang mampu
melaksanakan pada bulan Ramadan) diberi keringanan berbuka dan menunda
pelaksanaannya atau menggatikan di luar bulan Ramadan. Demikian pula kewajiban
berwudhu dapat diganti dengan tayamum dikala tidak ditemukan air atau
persediaan air terbatas. Semua ini merupakan dispensasi yang menunjukkan bahwa
syariat Islam sangat memperhatikan kondisi aktual masyarakat dalam proses
penerapan ketentuan-ketentuan hukum yang telah digariskan dalam sumber
pokoknya.
Kebijaksanaan dalam pelaksanaan hukum (al-‘uqubat).
Setiap pelanggaran (al-Jarimah) dalam
hukum Islam terdapat ancaman hukuman bagi pelakunya (al-Jani). Namun
demikian, jika dibandingkan antara ancaman hukum yang telah ditetapkan (hudud)
dan yang belum ada ketentuannya (ta‘zir) ternyata ta’zir lebih
banyak dari hudud. Artinya, peluang ta‘zir lebih banyak dan lebih
luas dari pada peluang untuk melaksanakan hukuman hudud.
Sanksi jarimah hudud dalam Alquran hanya
dapat ditemukan secara pasti pada empat ayat, yaitu ayat dua dan empat Surat
al-Nur (24), tentang hukuman bagi pezina (al-zani) dan penuduh zina (qazhf,
al-muhshanat); ayat 33 dan 38 Surah al-Ma’idah tentang hukuman pengacau dan
pencuri. Sedangkan jarimah hudud lainnya yang telah disepakati para
ulama, ketentuan sanksi hukumnya ditetapkan berdasarkan hadis, bukan Alqur’an.
Demikian pula dalam jarimah qishash, ancaman hukumannya telah
ditentukan, dapat berubah menjadi hukuman denda (diyat) yang
ketentuannya (ukuran/kadar banyaknya) ditetapkan berdasarkan hadis, dan ijtihad
ulama.
Selanjutnya,
kebijaksanaan dalam proses pelaksanaan hukuman dapat dikemukakan contoh-contoh
dalam Alquran sebagai berikut:
a.
Hukuman bagi
perusuh dan pengacau keamanan (al-hirabah).
Jarimah hirabah merupakan tindak pidana yang menempati
peringkat pertama di atas jarimah-jarimah yang ada karena di samping
secara lansung melanggar hak-hak masyarakat dengan timbulnya kerusuhan dan
ketidakstabilan keamanan juga melanggar hak-hak Allah swt., pelakunya
diancam dengan beberapa alternatif, seperti ditegaskan dalam Surat al-Ma’idah
(5): 33:Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar. kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Menurut Mujahid yang dimaksud dengan al-fasad
dalam ayat ini adalah berzina, mencuri, membunuh manusia dan binatang ternak
serta merusak tanaman. Sebagian ulama tidak setuju dengan pendapat Mujahid;
mereka beralasan bahwa jarimah-jarimah itu sudah mempunyai sanksi hukum
tersendiri. Pendapat ini dibantah dengan alasan; bahwa jarimah-jarimah
tersebut mempunyai sanksi hukum masing-masing jika dilakukan secara terpisah,
atau pelakunya secara perseorangan, sebagaimana yeng terlihat pada ayat yang
mengaturnya (al-zaniyah wa al-zani, al-sariqu wa al-sariqah,) serta
dilakukan secara tidak terang-terangan.
Berbeda dengan pelaku jarimah yang
beraksi secara terang-terangan serta berkelompok, juga tindakan mereka tidak
hanya tergolong dalam salah satu jenis jarimah, melainkan dapat
bermacam-macam, berupa membunuh, merampas, memperkosa, dan sebagainya.
Kendatipun jarimah-jarimah membahayakan
ketenangan hidup masyarakat, namun Alquran hanya menyiapkan beberapa alternatif
hukuman bagi pelakunya dan tidak menetapkan secara pasti jenis hukumannya yang
harus diterapkan. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, hikmahnya adalah karena jarimah
hirabah bisa saja berbeda, akibat perbedaan masa dan tempat, hal ini
sejalan dengan keberadaan ciri khas Alquran sebagai petunjuk yang bersifat ruhiyyat
sehingga dalam persoalan-persoalan muamalah tidak menentukan hukum secara
pasti, kecuali hal-hal tertentu saja. Tujuannya, tiada lain agar pelaksanaan
hukumnya diserahkan pada pertimbangan pengambil keputusan yang diharapkan adil
dan mengedepankan kepentingan dan kemashlahatan manusia.
Pada ayat selanjutnya, (Surat al-Ma’idah (5):
34) ditegaskan kemungkinan tidak diterapkannya hukuman yang telah disebutkan
pada (Surat al-Ma’idah (5): 33), apabila para pelakunya taubat sebelum
ditangkap atau ditentukan hukumannya. Sekalipun terdapat pendapat-pendapat di
kalangan ulama tentang sebahagian atau keseluruhan hukuman, namun Alquran telah
menunjukkan dan menetapkan garis kebijaksanaan dalam proses pelaksanaan hukuman
itu. Pengambilan keputusan dapat memilih antara menerapkan hukuman ta‘zir
atau menghapuskan sama sekali menurut kondisi aktual.
b. Hukuman qishash diyah dalam jarimah pembunuhan.
Alquran menetapkan bahwa hukuman qisas bagi
pelaku tindak pidana pembunuhan (pembunuhan secara sengaja) adalah hukuman mati
(qisas). Sebaliknya, hukuman bagi pembunuhan secara tidak sengaja adalah
hukuman denda (diyat) berupa pembebasan seorang budak (Surat al-Isra'
(17): 33, Surat al-Nisa' (4): 92). Akan tetapi pada ayat 178 Surat al-Baqarah
(2), terdapat ketentuan hukuman lain bagi pembunuhan sengaja, yakni hukuman
denda bagi pelakunya jika dimaafkan oleh wali korban atau siterbunuh: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.
Ayat di atas menegaskan bahwa pembayaran denda
(sebagai pengganti hukuman qisas karena adanya pemaafan dari pihak keluarga
korban) dalam pembunuhan secara sengaja merupakan suatu keringanan dan rahmat
Allah swt. Di katakan demikian, karena ketentuan membayar denda bukan
atas ketentuan Allah swt. Al-Qurthubi mengemukakan bahwa umat-umat
sebelum Islam tidak diberikan ketentuan seperti itu. Hukum tersebut hanya
dianugerahkan kepada umat Nabi Muhammad saw.
Unsur
pemaafan atau pengampunan dalam hukum Islam merupakan salah satu faktor yang
patut diperhatikan dalam proses pengambilan keputusan (kebijaksanaan) hukuman
terhadap pelaku jarimah pembunuhan. Sekalipun jenis jarimah itu
merupakan tindakan yang mengancam jiwa manusia.
Hukuman bagi pezina dan penuduh zina.
Bagi pezina dan penuduh zina terhadap perempuan
baik-baik, Alquran telah menetapkan hukumannya, yaitu seratus kali dera (al-Jald)
bagi pezina berdasarkan Surat al-Nur (24): 2; dan delapan puluh kali dera bagi
penuduh zina, berdasarkan Surat al-Nur (24): 4. Namun pada ayat selanjutnya
(ayat 5) ditegaskan bahwa mereka yang bertaubat dan kembali berbuat baik akan
mendapat ampunan dari Allah swt. dalam ayat ini tidak ditegaskan bahwa
pelakunya akan dibebaskan dari hukuman dunia, tidak seperti halnya dengan ayat
tentang jarimah hirabah (Surat al-Ma’idah (5):33–34). Dari sisni
kebanyakan ulama memandang penghapusan hukuman karena taubat hanya berlaku pada
jarimah hirabah tidak pada yang lainnya.
Ayat 4 Surat al-Nur mengatur secara umum tentang
tuduhan berzina yang pelakunya diancam human dera delapan puluh kali.
Sedangkan, ayat 6–9 pada surah yang sama mengatur secara khusus sanksi hukum
bagi penuduh zina yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya, yakni
kewajibannya bersumpah empat kali
ditambah sumpah kelima. Demikian pula pihak isteri (li‘an). Oleh karena
itu, ketentuan sanksi hukum yang kedua di atas merupakan pengecualian
(kebijaksanaan) dari ketentuan sanksi dari sanksi hukum yang pertama, sebab
keduanya sebagai jarimah qazhf (tuduhan berzina).
Adanya dispensasi sanksi hukum bagi suami yang
menuduh isterinya berzina tanpa mendatangkan empat orang sanksi, karena adanya
faktor yang membedakannya dengan penuduh zina pada umumnya yang bukan pada
isterinya, misalnya; mungkin saja seorang suami melihat isterinya berbuat zina
dengan laki-laki lain, tetapi tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, maka
sebagai orang yang terdekat, diberi kelonggaran (cara lain) untuk membuktikan
kebenaran tuduhan itu.
Di samping contoh-contoh khusus tersebut, akan
dikemukakan pula contoh lain yang bersifat umum tentang kebijaksanaan di balik
ketegasan hukum dalam Alquran. Salah satu contoh, ialah ayat 66 Surat al-Anfal
(8) tentang instruksi kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengobarkan
semangat juang (perang) kaumnya, yang oleh sebahagian ahli tafsir menilai
sebagai ayat yang termasuk kategori nasikh-mansukh, dan tidak
bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, kedua ayat tersebut perlu
dipahami dan ditempatkan menurut kedudukan dan kondisi.
Dalam kaitan ini Abdoerrauf, mengatakan bahwa
ayat 65 diturunkan pada saat kaum muslimin siap berperang dengan kekuatan dan
perlengkapan serta bala tentara yang mantap. Sedangkan ayat 66 diturunkan
ketika kaum muslimin menghadapi peperangan, sementara perlengkapan perangnya sangat
minim, tambah lagi bala tentara kurang berpengalaman. Dengan demikian, ayat
yang kedua (Surat al-Anfal (8): 66) tidaklah bertentangan dengan ayat pertama
(Surat al-Anfal (8): 65). Ayat kedua merupakan keringanan atau dispensasi dari
ketentuan yang termaktub di ayat pertama.
Dalam Surat al-Nahl (16): 106, ditegaskan
ancaman hukum bagi setiap orang yang ingkar kepada Allah swt. setelah
beriman, akan mendapat murka dan siksa dari Allah swt.. Dalam ayat itu
juga terdapat pengecualian bagi seseorang yang dalam keadaan terpaksa, yaitu
dibolehkan mengucapkan kata-kata kafir atau mengingkari Allah swt.
ucapan kata kafir di sini sekedar berpura-pura guna menyelamatkan jiwanya dari
ancaman.
Pengecualian dari ayat tersebut di atas
berkaitan dengan soal akidah. Dalam hal ini, pengecualian dan keringanan itu
hanya bersifat sementara. Jika dalam masalah akidah, Alquran telah memberikan
pengecualian dan keringanan terhadap persoalan-persoalan hukum yang bersifat (furu‘)
lebih dimungkinkan lagi. Pengecualian yang dimaksud ialah termasuk perbuatan
dan ucapan.
Dengan menelusuri kembali kenyataan-kenyataan
yang telah ada dalam uraian di atas, semakin jelaslah bahwa di balik ketegasan
dan kepastian hukum Alquran, terkandung kebijaksanaan berupa pemberian
kelonggaran di saat kondisi tekstual masyarakat menghendakinya, guna
terwujudnya perbaikan dan kemaslahatan dalam aspek kehidupan manusia (al-masalih
al-Insaniyah).
Sebagai penutup uraian ini, menarik untuk dikaji
komentar Abbas Mahmud al-Aqqad tentang tindakan atau fatwa khalifah Umar ra.,
yang secara tekstual menyalahi nas. Beliau menyatakan bahwa ijtihad Umar ra.,
tersebut bukanlah berarti bertentangan dengan nas, tetapi justru sejalan dengan
nas. Karena pada prinsipnya konteks nas itu dapat dipisahkan dengan kondisi
masyarakat. Tidak ada keharusan memaksakan kemutlakan hukum-hukum Islam secara
utuh ke dalam masyarakat yang masih bervariasi.
Dengan demikian tindakan Abu Bakar ra.,
Umar ra., dalam mengumpulkan dan mengkodifikasikan Alquran tidaklah
bertentangan dengan nas dan maksud syariat. Sebab, sekalipun tidak secara jelas
ditunjuk suatu nas, akan tetapi tuntutan kemaslahatan yang menghendakinya.
Demikian pula tindakan Umar ra., (yang sering dinilai sebagai suatu
tindakan kontroversial) sekalipun secara tekstual menyalahi nas Alquran, akan
tetapi dilihat dari ruh syariat, tidak bertentangan dengan Alquran. tindakan
Umar ra., merupakan upaya pemahaman terhadap hikmah tertentu yang
terkandung di balik suatu nas.
Alquran sebagai
kitab suci yang diturunkan terakhir merupakan petunjuk abadi untuk kebahagiaan
umat manusia sepanjang masa. Di dalamnya terkandung ajaran yang dibutuhkan
manusia untuk nengatur totalitas kehidupannya. Karena keberadaan Alquran
sebagai petunjuk abadi dan menyeluruh sifatnya dalam menetapkan hukum suatu
masalah; Alquran senantiasa memperhatikan kondisi sosial yang berkembang dalam
masyarakat.
Dengan demikian
adalah sangat logis bila dalam suatu masalah Alquran hanya berbicara dalam
konteks global dan kemudian penganutnya mengembangkannya sesuai dengan
kebutuhan masing-masing. Itulah mengapa Alquran diturunkan secara bertahap dalam
kurun waktu kurang lebih 22 tahun. Hal ini dimaksudkan agar hukum-hukum yang
terkandung dalam Alquran dapat berfungsi sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat dan sekaligus berfungsi untuk menjaga kemashlahatan masyarakat.
Karena itu, pemahaman terhadap prinsip-prinsip dan metode-metode
(kaidah-kaidah) penetapan hukum dalam Islam mutlak diperlukan.
Menurut Ahmad Syalabi, Alquran
menetapkan hukum-hukum dengan cara berangsur-angsur dengan tiga cara. Pertama,
mendiamkan, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena sementara,
pernah diperkenankan, lalu diharamkan; Kedua, menyinggung sesuatu secara global
(belum diterangkan secara jelas), kemudian diberi tafsil (keterangan yang luas
dan jelas); dan ketiga, mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur.
Sebagai contoh
cara pertama adalah Islam tidak segera mengubah aturan hukum kewarisan yang
berlaku pada bangsa Arab sebelum turunnya ayat kewarisan, walaupun pada
akhirnya dibatalkan. Cara kedua dapat dilihat dalam hal dasar hukum peperangan
dan jihad pada masa permulaan Islam di kota Madinah, dan cara ketiga antara lain
dapat dilihat pada proses pengharaman minuman keras.
Proses pengharaman minuman keras, Alquran
pada awalnya memberikan keterangan kepada Nabi Muhammad saw. untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya mengenai persoalan judi dan minuman
keras, seperti yang termaktub dalam Surat al-Baqarah (2): 219: Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, …
Ayat ini belum
menuntut orang meninggalkan minum arak dan judi, tetapi hanya memberikan
informasi bahwa dalam keduanya terdapat dosa besar, tapi juga mempunyai manfaat
terhadap manusia. Meskipun dari sudut bahasa yang dipergunakan mengesankan
suatu larangan sebab memberikan alternatif pemilihan antara mengerjakan sesuatu
yang mengandung dosa besar atau hanya melihat manfaat pada diri pelakunya.
Dengan mengungkap bahwa kedua perbuatan tersebut terdapat dosa besar yang
mengatasi unsur manfaatnya, maka jelaslah bahwa ayat ini menganjurkan kepada
manusia untuk meninggalkannya, sekalipun tidak secara tegas.
Pada fase
selanjutnya, setelah Surat al-Baqarah (2): 219 tersebut diturunkan, kaum
muslimin yang kuat imannya segera meninggalkan perbuatan itu, akan tetapi, yang
lemah imannya masih tetap melaksanakan perbuatan tersebut. Kemudian turunlah
ayat kedua tentang pengharaman khamar, dalam Surat al-Nisa' (4): 43:Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, …
Ayat ini
mengandung larangan meminum khamar pada saat akan melaksanakan salat, karena
dikhawatirkan mabuk dalam keadaan salat, sehingga tidak mengerti apa yang
diucapkan. Mabuk itu diharamkan karena dapat merusak akal. Jadi, dalam ayat
ini, meminum khamar dilarang pada saat akan melaksanakan salat. Kemudian ayat
berikutnya, ditetapkan bahwa meminum khamar dan judi adalah termasuk perbuatan
setan, seperti yang termaktub dalam Surat al-Ma’idah (5): 90:Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.
Dalam ayat ini
tersirat bahwa meminum khamar itu adalah haram secara mutlak, baik karena
mengganggu shalat atau tidak, demikian juga segala sesuatu yang sejenis dengan
khamar yang dapat memabukkan.
Penetapan hukum
dalam Alquran secara berangsur-angsur, menunjukkan bahwa hukum Islam selalu
berpegang pada prinsip meringankan beban manusia. Sehingga proses pengharaman
suatu masalah yang telah menjadi kebiasaan dapat diterima secara sadar dan
ikhlas.
Metode Alquran
seperti ini juga terlihat pada proses turunnya. Ayat-ayat yang turun sebelum
hijrah (makkiyah) pada umumnya berkisar pada perbaikan akidah dan
hal-hal pokok yang berkaitan dengan akidah. Pada periode pasca Hijrah (madaniyyah)
kemudian diturunkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum kemasyarakatan
yang bersifat praktis. Seperti hukum-hukum kekeluargaan, ekonomi, jinayat,
serta hal-hal yang mengarah pada pembinaan kemaslahatan individu maupun
masyarakat (mu’amalah).
Manusia merupakan
obyek dan subyek pembinaan hukum-hukum Alquran. Semua hukum-hukum Alquran
diperuntukkan pada kepentingan dan perbaikan kehidupan manusia, baik mengenai
jiwa, akal, keturunan, agama maupun dalam pengelolaan harta bendanya. Sehingga
dalam hukum-hukum Alquran selalu konsisten dengan kemaslahatan umat manusia.
Setiap ketetapan,
aturan atau adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat dan tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip nas dalam Alquran yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia, dapat dikategorikan sesuai syariat Islam. Sehingga dengan
demikian, sebagaian ulama mengungkapkan bahwa di mana saja terdapat
kemaslahatan, maka di situlah terdapat syariat Islam.
Kedatangan Islam
bukanlah sebagai doktrin belaka yang membawa beban di atas pundak manusia,
tetapi juga mengandung ajaran untuk kesejahteraan manusia. Olehnya itu, segala
sesuatu yang ada di muka bumi merupakan fasilitas bagi manusia dalam memenuhi
kebutuhannya. Firman Allah swt. dalam Surat Luqman (31): 20: Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni`mat-Nya lahir
dan batin. … Ayat ini menjelaskan
apa yang ada di langit berupa matahari, bulan, air hujan, dan sebagainya, serta
apa yang terdapat di bumi beserta isinya, adalah dimaksudkan untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia lahir dan batin.
Prinsip
kemaslahatan manusia merupakan ketetapan hukum dalam Alquran yang pada suatu
saat apabila tidak lagi sejalan dengan prinsip tersebut, dapat dihapus atau
ditangguhkan pelaksanaannya. Prinsip ini dapat ditemukan, baik dalam Alquran
maupun dalam sejarah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyelaraskan
ketetapan-ketetapan hukum yang ditetapkan dengan konteks kepentingan dan
kemaslahatan masyarakat. Sekali lagi, kesimpulannya adalah kepentingan dan
kemaslahatan masyarakat harus tetap dilindungi.
Dihadapkan pada
berbagai suku bangsa, pembinaan hukum Islam senantiasa memperhatikan
kemaslahatan mereka, serta dengan adat kebudayaan serta situasi setempat. Jika
kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka didahulukan kemaslahatan
umum dari yang bersifat khusus dan diharuskan menolak kemudaratan yang lebih
besar dengan jalan meninggalkan dan melaksanakan yang lebih sedikit mudaratnya.
Dalam pembahasan
usul fiqhi, maslahat merupakan perpanjangan dari penalaran ta‘lili,
karena didasarkan pada pemahaman bahwa Allah swt. menurunkan aturan dan
ketentuannya untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Dengan kata
lain, penetapan hukum berdasar atas ketentuan yang diperoleh dari dalil-dalil
umum, karena untuk ketentuan tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus.
Metode ini digunakan apabila penalaran bayaniy dan ta’liliy tidak
dapat dilakukan.
Memperhatikan
sasaran yang ingin dicapai melalui perintah, larangan, dan keizinan yang
dibebankan oleh Allah swt. dan rasul-Nya para ulama usul fiqhi
menyimpulkan tiga kategori sasaran yang ingin dicapai dan dipertahankan yaitu:
1) dharuriyyat, 2) hajjiyyat, dan 3) tahsiniyyat. Dharuriyyat
dimasukkan sebagai perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat esensial dalam kehidupan
manusia, sedangkan, hajjiyyat dimaksudkan sebagai pemenuhan hal-hal yang
diperlukan dalam hidup manusia, akan tetapi kapasitasnya di bawa kadar
kepentingan yang bersifat esensial. Tahsiniyyat dimaksudkan untk
mewujudkan hal-hal yang dapat menunjang peningkatan kondisi pribadi dan
masyarakat, sesuai dengan tuntutan tempat dan waktu, selera dan rasa kepatutan,
agar lebih mampu mengelola persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Perbedaan tujuan
hukum tersebut, terletak pada kapasitas dan prioritas kepentingannya. Syariat
menginginkan agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi, karena tujuannya adalah
kebahagiaan dan keselamatan manusia di dunia dan di akhirat.
Dalam pelaksanaan
syariat Islam selalu menyamaratakan manusia, tidak membedakan antara suatu
bangsa dan bangsa lainnya, antara individu dengan individu lainnya. Syariat
Islam menyamaratakan antara sesama umat Islam dan antara mereka dengan umat
yang lain berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan yang ditetapkan dalam nas.
Dan yang membedakan adalah terletak pada faktor ketakwaan, firman Allah swt.
dalam Surat al-Hujurat (49): 13: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.
Dalam suatu
riwayat disebutkan, bahwa sebab turunnya ayat ini, berkenaan dengan peristiwa
Bilal yang hendak naik ke atas Kabah untuk azan. Kemudian beberapa orang
menegur, “Apakah pantas budak hitam melakukan azan di atas Kabah?”, maka
sebagian di antara mereka berkata “Jika sekiranya Allah swt. membenci
orang itu, pasti Allah swt. akan menggantinya”,. Lalu, turunlah ayat ini
untuk memberi penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi dan manusia
paling mulia di sisi Allah swt. terletak pada tingkat ketakwaan.
Dalam ayat ini
dapat dipahami bahwa konsep manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat, terdiri
dari berbagai suku bagngsa, diperintahkan untuk membentuk suatu pergaulan hidup
yang sama, tanpa melihat ras, suku, dan bangsa. Agar mereka saling membantu
dalam kebaikan, serta mengingatkan bahwa kesuksesan manusia dalam suatu pekerjaan
terkait erat dengan adanya kerjasama dengan manusia lainnya.
Persamaan hak di
muka hukum adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang menyangkut
soal ibadah dalam arti khusus, yakni; hubungan antara makhluk dengan Khaliknya,
maupun dalam arti luas, yaitu; hubungan muamalah antara manusia. Syariat Islam
mengakui dan menegakkan prinsip persamaan hak di muka hukum untuk semua
manusia.
Persamaan hak
tersebut, tidak saja berlaku bagi umat Islam, tetapi juga bagi penganut agama
lain. Mereka diberikan hak sepenuhnya untuk berhukum menurut agamanya
masing-masing, kecuali kalau mereka sendiri dengan suka rela meminta menurut
hukum Islam.
Sedangkan, dalam
hubungan dengan prinsip keadilan dalam penetapan hukum Alquran, dapat dilihat
antara lain dalam Surat al-Nisa' (4): 58:… Dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. …
Ayat ini
menegaskan bahwa dalam menetapkan dan menerapkan hukum hendaklah memperhatikan
prinsip persamaan hak di antara sesama manusia dan diselesaikan berdasarkan
ketetapan yang terkandung dalam nas (Alquran dan hadis). Prinsip persamaan dan
keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum
Islam. Keduanya harus diwujudkan dalam rangka pemeliharaan martabat manusia (basyariyah
insaniyah).
Kesimpulan
Dari uraian
panjang di atas dapat disimpulkan bahwa bagian Pasal
tentang Perkosaan dalam Qanun Jinayat Aceh tidak sejalan dengan kemashlahatan
yang merupakan esensi hukum Islam. Sebab, pasal tersebut memiliki kecenderungan
untuk memudahkan pelaku (para lelaki) dan menyulitkan korban (para perempuan) dengan
hak sumpah bagi pelaku sehingga dapat bebas tanpa syarat.
Faktanya, dalam
banyak kasus perkosaan, pelaku umumnya bebas karena dapat bersumpah, meski
sumpahnya dengan berdusta. Sebaliknya, para korban tidak bisa membebaskan
dirinya karena sejumlah bukti yang tidak mungkin dihilangkan, misalnya
kehamilan dan sebagainya. Namun, hal lain yang perlu diperhatikan oleh para
pembuat hukum adalah kebanyakan perempuan yang menjadi korban perkosaan tidak
memiliki kebebasan seperti dimiliki para pelaku. Umumnya, mereka adalah korban trafficking
(perdagangan manusia), atau diperdaya dengan berbagai rayuan dan sebagainya,
juga akibat relasi gender yang tidak setara di masyarakat.
Demikian juga Pasal Zina yang memblamming perempuan, misalnya perempuan
yang memiliki bayi tanpa ayah langsung dituduh berbuat zina. Padahal bisa saja
anak tersebut lahir karena ibunya adalah korban perkosaan. Tidak jauh berbeda
dengan kasus perkosaan, umumnya perempuan berzina juga mengalami hal-hal yang
memaksanya untuk berzina. Berbeda dengan laki-laki yang berzina karena kemauan
bebasnya, umumnya perempuan berzina karena terperangkap atau terpaksa.
Misalnya, perempuan terpaksa merelakan dirinya karena diancam untuk
“diputuskan” oleh pacarnya. Terpaksa berzina karena takut tidak dinikahi oleh calon suami.
Terpaksa berzina karena kebutuhan ekonomi yang mendesak demi menghidupi orang
tua atau keluarganya yang rentan. Dalam kondisi demikian, apakah perempuan
masih bisa disebut berzina? Sebab, menurut saya sebetulnya mereka adalah korban
perkosaan akibat ketimpangan gender. Umumnya perempuan berada dalam posisi
tidak bebas memilih, seperti kebanyakan laki-laki.
Hal
lain yang lebih menggenaskan adalah bahwa Zina, khalwat, dan ikhtilat berdampak
lebih buruk pada perempuan dan memengaruhi perkembangan mental dan
psikologisnya untuk waktu yang sangat lama, mungkin seumur hidupnya. Sebab,
budaya patriarki yang masih kental di masyarakat membuat stigma negatif
masyarakat dan doktrin agama yang misoginis hanya tertuju kepada perempuan,
tidak kepada laki-laki walau keduanya sama-sama pelaku. Tidak heran jika
akhirnya perempuanlah yang menderita dan menjadi korban oleh ketentuan hukum
Islam ini.
Selain
itu, pelaksanaan hukum cambuk yang dilaksanakan di depan masyarakat umum,
berdampak lebih besar terhadap perempuan. Sebab, perempuan akan dipermalukan
sekaligus mendapatkan stigma negatif sehingga berdampak pada peminggiran di
keluarga maupun masyarakat, dan implikasinya meluas ke seluruh kehidupan
perempuan. Seumur hidupnya perempuan akan menanggung beban penderitaan
tersebut. Tentu saja hal ini bertentangan dengan tujuan hukum Islam yang
mementingkan kemashalahatan masyarakat.
Akhirnya,
berdasarkan uraian usul fikih yang saya kemukakan di awal tulisan ini, Qanun
Jinayat di Aceh perlu ditinjau ulang, khususnya dalam memperlakukan
perempuan karena sangat bertentangan dengan esensi ajaran Islam.
Marilah kita umat Islam lebih mengedepankan esensi Syariat dari pada sekedar mengambil
bentuk formalitas hukum yang sangat rawan kekerasan dan sarat perlakuan
diskriminasi, khususnya terhadap korban yang umumnya berjenis kelamin
perempuan. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih menunjuki kita semua ke jalan-Nya
yang lurus dan penuh kedamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar