Pendahuluan
Tulisan ini bermaksud menjelaskan peluang dan hambatan
perempuan dalam upaya menegakkan demokrasi di Indonesia. Mengapa perempuan
harus ikut berkontribusi aktif? Faktanya, penduduk Indonesia yang berjumlah
lebih dari 250 juta ini setengahnya adalah perempuan. Jika mereka tidak ikut
berperan sebagai subyek pembangunan, khususnya dalam pembangunan demokrasi,
maka upaya-upaya membangun negara Indonesia yang demokratis akan berjalan
sangat lambat dan boleh jadi demokrasi yang dicita-citakan para pendiri negara
ini hanya tinggal mimpi.
Selain itu, sejumlah hasil penelitian mengungkapkan,
perempuan adalah kelompok paling menderita akibat kondisi yang tidak
demokratis. Sangat logis karena sebagai kelompok yang sering dipandang lemah
dan selalu dilemahkan, mereka akan menjadi obyek diskriminasi, eksploitasi dan
berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan berbasis agama. Karena itu,
perempuan harus bangkit dan berjuang menegakkan nilai-nilai demokrasi yang
selaras dengan nilai-nilai universal kemanusiaan sekaligus juga merupakan
nilai-nilai esensial dalam semua agama, termasuk Islam.
Kondisi Demokrasi Indonesia
Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2015 menjelaskan,
demokrasi kita mengalami kemunduran kalau tidak ingin dikatakan mengalami
stagnasi atau tetap berjalan di tempat. Kemunduran tersebut, antara lain
diindikasikan oleh semakin menguatnya penggunaan
“politik identitas,” yakni memanfaatkan sentimen-sentimen primordial suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA) sebagai satu-satunya strategi untuk merebut suara
pemilih dalam berbagai
perhelatan politik seperti Pilkada.
Tidak
heran jika wajah demokrasi kita penuh diwarnai motif-motif balas-dendam dan
syahwat kekuasaan yang ‘menghasilkan’ polarisasi bahkan perpecahan. Akibatnya,
terjadi berbagai konflik dan perseteruan yang memicu kekerasan. Semua itu
membuktikan betapa “politik kita semakin tidak berbudaya.” Koalisi politik dibangun
bukan berdasarkan kesamaan atau kedekatan ideologis, melainkan persamaan kepentingan pragmatis
politik. Demokrasi diganti oligarki, kedaulatan rakyat diganti kedaulatan
parpol, bahkan direduksi lagi menjadi kedaulatan koalisi yang sarat dengan
perilaku tak beradab.
Disamping
itu, mayoritas masyarakat juga semakin
intoleran, belum cukup terdidik untuk menerima dan menghargai perbedaan.
Sebaliknya, mereka justru dibanjiri dengan slogan-slogan keliru yang
menutup-nutupi perbedaan. Konsep ‘toleransi’ hanya berhenti pada perilaku
mengizinkan, menyabarkan atau tidak mengganggu. Masyarakat umumnya belum
terdidik untuk menerima konsep yang lebih mendasar yakni ‘akseptansi,’ mengakui
atau menerima dan menghormati atau menghargai perbedaan. Di situ pokok
masalahnya. Akibatnya rakyat belum terbiasa menerima perbedaan, termasuk
perbedaan dalam pilihan politik.
Selain itu, penghayatan
agama sebagian masyarakat umumnya masih bersifat formalistis dan legalistis.
Dalam hidup keseharian agama kurang dihayati sebagai nilai-nilai (values) yang menjadi pedoman berperilaku,
baik pribadi maupun kelompok. Penyebabnya, antara lain adanya pemahaman keliru
tentang hubungan antara agama dan negara demokrasi. Pemahaman keliru itu menyebabkan
sebagian pemeluk agama memaksakan keyakinan pribadinya kepada masyarakat luas, bahkan menggunakan tangan-tangan
pemerintah sebagai alat untuk itu.
Fatalnya lagi, penghayatan
agama sebagian besar masyarakat masih sangat artifisial, belum sampai pada
tingkat esensial. Demikian pula, sikap sebagian masyarakat yang tidak tepat
terhadap fakta pluralitas dan kemajemukan. Perbedaan belum dilihat dan dimaknai
secara positif-konstruktif sebagai anugerah; malah sebaliknya diangggap sebagai
ancaman!
Mengapa penting demokrasi?
Setelah Perang Dunia II, demokrasi memperoleh angin segar dan dianggap sebagai sitem
politik terbaik oleh hampir semua pemimpin negara, terutama setelah disadari
bagaimana fasisme dan naziisme yang berwatak anti-demokratik telah
hampir-hampir menjerumuskan bangsa-bangsa beradab ke dalam kebangkrutan
peradaban. Pada awal 1950-an, UNESCO membuat suatu studi tentang demokrasi
dengan mengumpulkan lebih dari seratus sarjana, dari Barat dan Timur. Hasil
studi menunjukkan, ternyata semua setuju demokrasi, meski di antara mereka
memberikan catatan kritis bagi pelaksanaannya. Inilah pertama kali dalam
sejarah, demokrasi dipandang sebagai sistem paling tepat dan ideal bagi
masyarakat modern.
Paling tidak ada tiga asumsi yang menjadikan demokrasi memiliki citra begitu
positif. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan
terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu
doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi negara. Kedua, demokrasi
sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang
panjang sampai ke zaman Yunani kuno sehingga dianggap tahan bantingan zaman dan
dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga,
demokrasi dipandang sebagai suatu sistem paling alamiah dan manusiawi, sehingga
semua rakyat di negara mana pun akan setuju demokrasi bila mereka diberi kebebasan memilih.
Demokrasi tidak lahir di ruang hampa, melainkan
diperlukan serangkaian proses politik yang tidak mudah. Demokrasi memerlukan
proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses
konsolidasi demokrasi. Untuk kasus Indonesia, konsolidasi demokrasi adalah cara
paling tepat demi meningkatkan komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan
main demokrasi. Tanpa konsolidasi, demokrasi akan mengalami stagnasi dan hanya
berkutat sebatas demokrasi prosedural dan itu pasti merupakan mimpi buruk bagi
semua. Konsolidasi demokrasi bukan hanya merupakan proses politik yang terjadi
pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level
masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, baik
pemerintah, maupun masyarakat mengedepankan tindakan demokratis yang
mengedepankan nilai-nilai keadaban seperti termaktub dalam Pancasila dan
Konstitusi.
Belum maksimalnya pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam
melaksanakan demokrasi antara lain terlihat dari kecenderungan pemerintah tidak
tegas dalam penegakan hukum, mengabaikan pemenuhan hak asasi warganya, penggunaan
cara-cara yang represif dan anarkis dalam menyelesaikan persoalan, dan
pembiaran terhadap perilaku intoleran. Sebaliknya, di tingkat masyarakat antara
lain terlihat dari menguatnya perilaku intoleran, semakin tidak taat hukum,
mudah marah dan mengamuk, melanggar hak asasi sesama warga, penggunaan
cara-cara kekerasan dan bahkan cenderung brutal yang kesemuanya itu telah
menodai wajah demokrasi Indonesia.
Tampaknya prospek demokrasi di sejumlah provinsi masih
memerlukan waktu yang agak lama karena nilai-nilai budaya dan perilaku elit
atau aparat pemerintah daerah cenderung kurang mendukung perkembangan
demokrasi. Mereka kurang bersungguh-sungguh dalam mengawal proses demokratisasi
di wilayahnya. Dinamika demokrasi memerlukan perilaku elit dan aparat
pemerintah yang konsisten dalam melakukan pendidikan demokrasi kepada warga.
Mereka para elit politik harus mampu
memberdayakan warganya untuk terlibat aktif dalam proses kehidupan berbangsa
dan bernegara, terutama dalam kontrol sosial. Karena itu, peran elit sangat
dibutuhkan, terutama dalam melakukan terobosan-terobosan penting bagi kemajuan
demokrasi.
Demokrasi tidak boleh berhenti. Karena itu, perlu sekali
sejak dini membangun budaya politik (political culture) yang kompatibel
dengan nilai-nilai demokrasi melalui institusi pendidikan, mulai dari
pendidikan dalam keluarga, sekolah formal dan non-formal. Nilai-nilai demokrasi
harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai tersebut antara lain: keadilan, kejujuran, ketaatan dan
kepatuhan terhadap hukum, kesetaraan, toleransi, kepedulian, partisipatif,
keterbukaan politik, dan penghormatan terhadap HAM, serta menghindari
kekerasan, sikap feodal, pragmatis dan oportunis. Dengan cara itu demokrasi
yang substantif dan bermartabat dapat terwujud. Pemerintah dan masyarakat,
termasuk kaum perempuan harus bekerjasama membangun masyarakat yang demokratis
dan teguh menegakkan nilai-nilai keadaban yang menjadi spirit Pancasila dan
substansi demokrasi Indonesia.
Perempuan Perlu Berkiprah Membangun
Demokrasi
Upaya serius membangun
demokrasi di Indonesia muncul seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah. UU No 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah menekankan pentingnya partisipasi seluruh masyarakat, tak
terkecuali kaum perempuan. Tujuannya, membangun civil society yang kuat,
maju dan sejahtera.
Civil society adalah seluruh unsur yang tergabung
dalam masyarakat, termasuk kaum perempuan. Tak mungkin ada civil society tanpa
keikutsertaan perempuan. Demikian pula, tidak ada demokrasi tanpa keterlibatan
perempuan di dalamnya. Membangun civil society berarti memperjuangkan
ruang publik di mana semua warga negara, termasuk perempuan dapat terpenuhi hak-hak asasinya, baik sebagai warga negara
maupun sebagai manusia merdeka. Membangun civil society
yang berkesetaraan dan berkeadilan gender, tentu menjadikan perempuan sebagai
kelompok strategis. Karena itu, partisipasi perempuan merupakan kunci dalam
membangun demokrasi.
Memperhatikan kondisi obyektif perempuan yang tertinggal karena
nilai-nilai budaya patriarki dan perlakuan diskriminatif, maka pemberdayaan
perempuan dalam politik hendaknya dimulai dengan kegiatan penyadaran (awareness
rising). Menyadarkan masyarakat tentang pentingnya
relasi gender yang adil dan setara yang sejatinya merupakan pilar penting
demokrasi.
Realitas sosial di masyarakat menjelaskan, tidak banyak perempuan yang tertarik pada politik. Realitas ini merupakan dampak dari kuatnya budaya patriakhi, serta
pengkondisian secara turun-temurun yang menempatkan laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ruang
domestik. Dunia politik selalu digambarkan
dengan karakter maskulin: keras (tough), rasional, kompetitif,
tegas, yang serba “kotor” dan menakutkan sehingga hanya pantas buat laki-laki. Sebaliknya,
masyarakat mempolakan perempuan dalam
peran-peran sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga dengan karakter
feminin; lemah lembut, emosional, penurut dan sebagainya. Muncullah keyakinan bahwa
tugas domestik merupakan satu-satunya tempat yang cocok bagi perempuan.
Akibatnya, tidak banyak perempuan berminat atau tertarik memasuki dunia
politik, khususnya pada posisi pimpinan, penentu kebijakan dan pengambil
keputusan yang memerlukan ketegasan dan sikap rasional.
Rendahnya
Kualitas
Perempuan
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan affirmative
action, atau kuota minimal 30% di parlemen. Kebijakan affirmasi ini
diharapkan sebagai tindakan koreksi dan konpensasi dari perlakuan diskriminatif
yang dialami perempuan selama ini.
Karena itu, perlu ditegaskan bahwa kebijakan affirmasi tersebut tentu bukan
untuk selamanya, melainkan hanya untuk tenggang waktu tertentu sampai kultur
dan struktur di negara ini mengedepankan nilai-nilai egalitarian dan keadilan
gender.
Selain itu, perlu dicatat bahwa sesungguhnya
yang dibutuhkan bukan sekedar memenuhi kuota, melainkan bagaimana mempersiapkan
landasan kerja yang dapat memfasilitasi perempuan untuk masuk ke arena politik.
Dengan ungkapan lain, bukan sekedar mencari perempuan
secara fisik, melainkan mempersiapkan kualitas perempuan. Masyarakat membutuhkan figur perempuan yang memiliki visi pemberdayaan perempuan untuk
kesejahteraan masyarakat. Figur perempuan yang memiliki wawasan yang luas serta
komitmen kebangsaan dan keindonesiaan yang kuat. Mengapa hal ini penting? Lihat
saja hasil pilkada di berbagai daerah, sejumlah Pilkada telah memenangkan figur-figur
perempuan yang umumnya sangat mengecewakan. Figur yang terpilih bukanlah sosok
yang dikenal sebagai orang-orang yang aktif memperjuangkan kepentingan
perempuan. Umumnya mereka bukanlah figur yang mengerti tentang bagaimana
membangun demokrasi yang menjadikan perempuan sebagai subyek penting
pembangunan. Walau demikian, tetap harus diakui dan diapresiasi kemenangan dan
keberhasilan beberapa pemimpin perempuan. Bahkan, prestasi dan kualitas
kepemimpinan mereka lebih cemerlang dari umumnya pemimpin laki-laki.
Perlu dicatat, keberhasilan para pemimpin
perempuan di bidang legislatif dan birokrasi umumnya didukung oleh praktek
demokrasi yang sekedar prosedural. Di antaranya, banyak mengandalkan
popularitas, keunggulan jaringan, fasilitas dan net working serta ini
yang paling merisaukan, yakni mengandalkan unsur kekerabatan. Terciptalah
politik oligarki yang membentuk kekuasaan dinasti di berbagai kabupaten dan
propinsi. Tidak heran, jika para perempuan yang terpilih dalam Pemilu
Legislatif dan sejumlah Pilkada adalah anggota kerabat petahana atau penguasa,
seperti isteri, anak, menantu, adik ipar, sepupu dan seterusnya. Selain itu,
sistem demokrasi palsu ini juga memicu lahirnya berbagai bentuk korupsi,
nepotisme dan perilaku biadab lainnya.
Menarik dicatat, tidak sedikit perempuan
potensial gagal berkompetisi secara demokratis. Mereka umumnya minim fasilitas,
dukungan logistik dan jaringan. Hampir semuanya tidak punya kemampuan bargaining
posistion dengan pihak pengusaha yang rajin membayar biaya kampanye. Mereka
pun biasanya sangat ideologis, merasa tabu menerima atau membayar “mahar”
politik dengan partai politik yang berkuasa. Akibatnya, mereka bukan hanya
gagal dalam pertarungan politik, melainkan juga dipermalukan dan diperlakukan
sebagai pecundang. Tidak salah jika banyak orang menganalogikan kekejaman
politik di negeri ini dengan “drakula”.
Penekanan pada aspek kualitas perempuan menjadi sangat
penting mengingat hasil penelitian mengenai aspirasi perempuan anggota parlemen
terhadap pemberdayaan politik perempuan juga sangat tidak menggembirakan. Penelitian itu mengungkapkan
betapa lemahnya perspektif para anggota parlemen perempuan, dan kondisi itu
justru meminggirkan kepentingan perempuan sendiri. Perspektif perempuan yang
lemah itu tergambar dari pengetahuan mereka yang sangat minim terhadap Konvensi
PBB tentang perempuan dan
kurangnya kepedulian mereka terhadap isu-isu perempuan, seperti isu kekerasan
domestik, rendahnya pendidikan perempuan, lemahnya hak dan
kesehatan reproduksi, maraknya pelecehan seksual, eksploitasi tenaga kerja perempuan dan
anak-anak, serta perdagangan perempuan dan anak perempuan.
Islam Menjamin Hak Politik Perempuan
Problemnya, masih kuat
anggapan di masyarakat bahwa Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia
membatasi hak-hak politik perempuan. Akibatnya, atas nama Islam perempuan dipinggirkan
dari dunia politik atau dibatasi akses dan kesempatannya meraih jabatan
strategis dalam politik secara khusus dan jabatan publik secara umum.
Justifikasi agama sering membuat politisi perempuan tidak berkutik.
Sebagai perempuan Muslim, saya yakin sepenuhnya bahwa
secara normatif Islam mengandung norma-norma ideal dan sangat
luhur. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur bagi kehidupan manusia di muka
bumi dalam semua bidang, tak terkecuali bidang politik. Masalahnya, bagaimana memahami Islam secara benar?
Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia
dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi. Islam menjanjikan
harapan hidup lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa,
warna kulit, jenis kelamin dan gender: laki-laki dan perempuan. Saya kira,
Islam paling vokal bicara soal keadilan dan persamaan antar manusia, termasuk
di dalamnya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks relasi
gender, Al-Qur’an berisi seperangkat nilai yang memberikan landasan bagi
kesetaraan dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Nilai kemanusiaan
laki-laki dan perempuan adalah sama. Perbedaan di antara manusia hanya terletak
pada kualitas takwa, dan soal takwa hanya Tuhan semata
berhak menilai, bukan manusia.
Secara normatif Al-Qur`an melukiskan figur ideal seorang
perempuan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang
kehidupan, terutama kemandirian dalam bidang politik. Bahkan,
Al-Qur'an menghimbau perempuan agar berani menyampaikan kebenaran, sekalipun
harus menentang pendapat publik, dan berani melakukan gerakan oposisi terhadap
pemerintah yang tiranik. Perempuan harus mandiri dalam menentukan pilihan
pribadi (al-istiqlal al-syakhshiy) yang diyakini kebenarannya.
Islam memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan
setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama manusia,
sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh, yaitu sebagai
pengelola kehidupan di bumi. Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada
perbedaan sedikit pun. Tugas manusia hanyalah berkompetisi berbuat kebaikan
demi membangun masyarakat adil dan sejahtera.
Untuk itu, diperlukan pembacaan ulang dan upaya-upaya
rekonstruksi terhadap ajaran Islam. Penafsiran baru atas ajaran non dasar mendesak
dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan keislaman yang hakiki dan
universal, seperti pesan persamaan, persaudaraan, kebebasan, kesetaraan dan
keadilan, termasuk di dalamnya kesetaraan dan keadilan gender.
Dalam konteks inilah diharapkan kesungguhan negara dan
pemerintah. Negara dan pemerintah harus mendorong agar ajaran Islam yang
berkembang di masyarakat hanyalah ajaran Islam yang akomodatif terhadaf
nilai-nilai kemanusiaan universal, ajaran Islam yang kompatibel dengan prinsip
demokrasi sebagaimana tertuang dalam Konstitusi dan UUD 1945. Ajaran Islam yang
terefleksi dalam nilai-nilai Pancasila. Itulah ajaran Islam yang diusung oleh
para ulama yang kemudian dikenal sebagai pendiri Indonesia.
Sebaliknya, negara dan pemerintah harusnya risau dan
cemas dengan fenomena menguatnya fundamentalisme Islam akhir-akhir ini. Mereka
para fundamentalis tersebut mengusung ideologi yang berseberangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan, bertolak belakang dengan prinsip demokrasi dalam
Pancasila dan Konstitusi yang menjadi
pedoman berbangsa dan bernegara. Mereka ingin mengubah ideologi Pancasila
menjadi ideologi islamisme (yang belum tentu sejalan dengan ajaran Islam),
mengubah negara hukum menjadi negara agama, mengubah ketaatan pada konstitusi
menjadi ketaatan pada ayat-ayat suci (dengan interpretasi yang tidak manusiawi).
Mereka juga ingin mengubah NKRI menjadi sebuah khilafah yang utopis, dan itu
jelas mencederai cita-cita luhur para pendiri bangsa. Bukan hanya itu, fundamentalisme
Islam adalah bencana bagi perempuan karena ideologi yang diusungnya anti
kesetaraan dan keadilan gender, serta meminggirkan perempuan dari arena publik.
Karena itu, fundamentalisme bukan hanya merupakan ancaman terbesar bagi
kelangsungan NKRI, melainkan juga ancaman nyata bagi kemajuan peradaban
manusia.
Penutup
Perjuangan perempuan Indonesia menuju demokrasi masih
sangat panjang. Salah satu strategi yang harus dikembangkan adalah melakukan
pendidikan politik bagi pemilih perempuan. Pendidikan politik dimaksud
diharapkan dapat mengubah image masyarakat tentang politik yang selama
ini diasumsikan sebagai hak monopoli kaum lelaki. Selain itu, penting untuk
dapat menyadarkan masyarakat, khususnya kaum perempuan, bahwa hak
politik adalah bagian integral dari HAM. Sebagai warga negara dan sebagai
manusia, setiap perempuan memiliki hak untuk berkiprah dalam bidang politik.
Di samping itu, melalui pendidikan pemilih diharapkan
terbangun kesadaran membangun sistem politik berbasis pengalaman perempuan.
Sistem yang tidak lagi mengutamakan pendekatan maskulin yang seringkali absolut
dan diskriminatif terhadap perempuan. Politik Indonesia ke depan harus mengedepankan nilai-nilai keadaban serta pendekatan feminin yang
lembut, bukan dengan cara-cara kekerasan. Politik yang bertujuan sebagai sarana memberdayakan dan menyejahterakan
masyarakat luas, serta mencita-citakan perdamaian bagi semua manusia. Untuk itu,
sejumlah rekomendasi perlu dicatat.
Pertama, menggalang networking antar-kelompok
perempuan dari berbagai elemen. Perjuangan
menuju sukses selalu membutuhkan strategi yang jitu dan solidaritas yang kuat.
Networking ini diperlukan terutama dalam upaya membangun struktur politik yang
ramah perempuan melalui upaya-upaya revisi semua peraturan perundang-undangan
dan kebijakan politik yang diskriminatif dan tidak memihak perempuan.
Networking ini juga diperlukan dalam mewujudkan komitmen partai yang sensitif
gender, serta advokasi jaminan hukum partisipasi dan keterwakilan perempuan
dalam proses politik dan jabatan publik.
Kedua, kelompok perempuan harus berani mendorong dan
melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya, khususnya mengubah budaya patriarki
yang sangat kental di masyarakat menjadi budaya yang mengapresiasi prinsip
kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan. Melalui upaya
rekonstruksi budaya ini diharapkan di masa depan tidak ada lagi image
buruk terhadap dunia politik; tidak ada lagi pemilahan bidang kerja: publik dan
privat, berdasarkan jenis kelamin; dan tidak ada lagi stereotip terhadap perempuan
yang memilih aktif di dunia politik.
Ketiga, kelompok perempuan harus berani mendorong dan
melakukan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama sehingga terwujud penafsiran
agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penafsiran agama yang
ramah terhadap perempuan dan yang pasti penafsiran agama yang mendukung konsep rahmatan lil alamin, ajaran yang menebarkan rahmat bagi
seluruh makhluk tanpa pengecualian.
Keempat, secara internal perempuan itu sendiri
harus selalu berupaya meningkatkan kapasitas dan kualitas diri mereka melalui
pendidikan dalam arti yang luas. Selain itu, perempuan harus tulus
mengapresiasi prestasi dan karya sesama perempuan, serta tulus mewujudkan sikap
saling mendukung di antara mereka. Harus ada upaya
bersama secara sinergis meningkatkan kualitas diri perempuan dalam bidang
politik.
Last but not least, dalam upaya peningkatan kapasitas perempuan, jangan
melupakan peningkatan kemampuan spiritualitas mereka. Dengan bekal kekuatan
spiritualitas, para politisi perempuan diharapkan mampu menegakkan demokrasi yang substantif.
Itulah demokrasi sejati yang mendorong semua orang berlaku adil dan manusiawi,
serta menghindari permainan politik yang tidak etis, korup, kotor,
culas dan keji serta merugikan
masyarakat luas. Women can make a difference!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar