Senin, 26 Desember 2016

Perempuan dan Demokrasi Dalam Pandangan Islam



Pendahuluan
Tulisan ini bermaksud menjelaskan peluang dan hambatan perempuan dalam upaya menegakkan demokrasi di Indonesia. Mengapa perempuan harus ikut berkontribusi aktif? Faktanya, penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 250 juta ini setengahnya adalah perempuan. Jika mereka tidak ikut berperan sebagai subyek pembangunan, khususnya dalam pembangunan demokrasi, maka upaya-upaya membangun negara Indonesia yang demokratis akan berjalan sangat lambat dan boleh jadi demokrasi yang dicita-citakan para pendiri negara ini hanya tinggal mimpi.

Selain itu, sejumlah hasil penelitian mengungkapkan, perempuan adalah kelompok paling menderita akibat kondisi yang tidak demokratis. Sangat logis karena sebagai kelompok yang sering dipandang lemah dan selalu dilemahkan, mereka akan menjadi obyek diskriminasi, eksploitasi dan berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan berbasis agama. Karena itu, perempuan harus bangkit dan berjuang menegakkan nilai-nilai demokrasi yang selaras dengan nilai-nilai universal kemanusiaan sekaligus juga merupakan nilai-nilai esensial dalam semua agama, termasuk Islam.

Kondisi Demokrasi Indonesia
Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2015 menjelaskan, demokrasi kita mengalami kemunduran kalau tidak ingin dikatakan mengalami stagnasi atau tetap berjalan di tempat. Kemunduran tersebut, antara lain diindikasikan oleh semakin menguatnya penggunaan “politik identitas,” yakni memanfaatkan sentimen-sentimen primordial suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sebagai satu-satunya strategi untuk merebut suara pemilih dalam berbagai perhelatan politik seperti Pilkada.
Tidak heran jika wajah demokrasi kita penuh diwarnai motif-motif balas-dendam dan syahwat kekuasaan yang ‘menghasilkan’ polarisasi bahkan perpecahan. Akibatnya, terjadi berbagai konflik dan perseteruan yang memicu kekerasan. Semua itu membuktikan betapa “politik kita semakin tidak berbudaya.” Koalisi politik dibangun bukan berdasarkan kesamaan atau kedekatan ideologis, melainkan persamaan kepentingan pragmatis politik. Demokrasi diganti oligarki, kedaulatan rakyat diganti kedaulatan parpol, bahkan direduksi lagi menjadi kedaulatan koalisi yang sarat dengan perilaku tak beradab.
Disamping itu, mayoritas masyarakat juga semakin intoleran, belum cukup terdidik untuk menerima dan menghargai perbedaan. Sebaliknya, mereka justru dibanjiri dengan slogan-slogan keliru yang menutup-nutupi perbedaan. Konsep ‘toleransi’ hanya berhenti pada perilaku mengizinkan, menyabarkan atau tidak mengganggu. Masyarakat umumnya belum terdidik untuk menerima konsep yang lebih mendasar yakni ‘akseptansi,’ mengakui atau menerima dan menghormati atau menghargai perbedaan. Di situ pokok masalahnya. Akibatnya rakyat belum terbiasa menerima perbedaan, termasuk perbedaan dalam pilihan politik.
Selain itu, penghayatan agama sebagian masyarakat umumnya masih bersifat formalistis dan legalistis. Dalam hidup keseharian agama kurang dihayati sebagai nilai-nilai (values) yang menjadi pedoman berperilaku, baik pribadi maupun kelompok. Penyebabnya, antara lain adanya pemahaman keliru tentang hubungan antara agama dan negara demokrasi. Pemahaman keliru itu menyebabkan sebagian pemeluk agama memaksakan keyakinan pribadinya kepada masyarakat luas, bahkan menggunakan tangan-tangan pemerintah sebagai alat untuk itu.
Fatalnya lagi, penghayatan agama sebagian besar masyarakat masih sangat artifisial, belum sampai pada tingkat esensial. Demikian pula, sikap sebagian masyarakat yang tidak tepat terhadap fakta pluralitas dan kemajemukan. Perbedaan belum dilihat dan dimaknai secara positif-konstruktif sebagai anugerah; malah sebaliknya diangggap sebagai ancaman!

Mengapa penting demokrasi?
Setelah Perang Dunia II, demokrasi memperoleh angin segar dan dianggap sebagai sitem politik terbaik oleh hampir semua pemimpin negara, terutama setelah disadari bagaimana fasisme dan naziisme yang berwatak anti-demokratik telah hampir-hampir menjerumuskan bangsa-bangsa beradab ke dalam kebangkrutan peradaban. Pada awal 1950-an, UNESCO membuat suatu studi tentang demokrasi dengan mengumpulkan lebih dari seratus sarjana, dari Barat dan Timur. Hasil studi menunjukkan, ternyata semua setuju demokrasi, meski di antara mereka memberikan catatan kritis bagi pelaksanaannya. Inilah pertama kali dalam sejarah, demokrasi dipandang sebagai sistem paling tepat dan ideal bagi masyarakat modern.

Paling tidak ada tiga asumsi yang menjadikan demokrasi memiliki citra begitu positif. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi negara. Kedua, demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang panjang sampai ke zaman Yunani kuno sehingga dianggap tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai suatu sistem paling alamiah dan manusiawi, sehingga semua rakyat di negara mana pun akan setuju demokrasi bila mereka diberi kebebasan memilih.

Demokrasi tidak lahir di ruang hampa, melainkan diperlukan serangkaian proses politik yang tidak mudah. Demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Untuk kasus Indonesia, konsolidasi demokrasi adalah cara paling tepat demi meningkatkan komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Tanpa konsolidasi, demokrasi akan mengalami stagnasi dan hanya berkutat sebatas demokrasi prosedural dan itu pasti merupakan mimpi buruk bagi semua. Konsolidasi demokrasi bukan hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, baik pemerintah, maupun masyarakat mengedepankan tindakan demokratis yang mengedepankan nilai-nilai keadaban seperti termaktub dalam Pancasila dan Konstitusi.

Belum maksimalnya pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam melaksanakan demokrasi antara lain terlihat dari kecenderungan pemerintah tidak tegas dalam penegakan hukum, mengabaikan pemenuhan hak asasi warganya, penggunaan cara-cara yang represif dan anarkis dalam menyelesaikan persoalan, dan pembiaran terhadap perilaku intoleran. Sebaliknya, di tingkat masyarakat antara lain terlihat dari menguatnya perilaku intoleran, semakin tidak taat hukum, mudah marah dan mengamuk, melanggar hak asasi sesama warga, penggunaan cara-cara kekerasan dan bahkan cenderung brutal yang kesemuanya itu telah menodai wajah demokrasi Indonesia.

Tampaknya prospek demokrasi di sejumlah provinsi masih memerlukan waktu yang agak lama karena nilai-nilai budaya dan perilaku elit atau aparat pemerintah daerah cenderung kurang mendukung perkembangan demokrasi. Mereka kurang bersungguh-sungguh dalam mengawal proses demokratisasi di wilayahnya. Dinamika demokrasi memerlukan perilaku elit dan aparat pemerintah yang konsisten dalam melakukan pendidikan demokrasi kepada warga. Mereka  para elit politik harus mampu memberdayakan warganya untuk terlibat aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kontrol sosial. Karena itu, peran elit sangat dibutuhkan, terutama dalam melakukan terobosan-terobosan penting bagi kemajuan demokrasi.

Demokrasi tidak boleh berhenti. Karena itu, perlu sekali sejak dini membangun budaya politik (political culture) yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi melalui institusi pendidikan, mulai dari pendidikan dalam keluarga, sekolah formal dan non-formal. Nilai-nilai demokrasi harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut antara lain: keadilan, kejujuran, ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum, kesetaraan, toleransi, kepedulian, partisipatif, keterbukaan politik, dan penghormatan terhadap HAM, serta menghindari kekerasan, sikap feodal, pragmatis dan oportunis. Dengan cara itu demokrasi yang substantif dan bermartabat dapat terwujud. Pemerintah dan masyarakat, termasuk kaum perempuan harus bekerjasama membangun masyarakat yang demokratis dan teguh menegakkan nilai-nilai keadaban yang menjadi spirit Pancasila dan substansi demokrasi Indonesia.


Perempuan Perlu Berkiprah Membangun Demokrasi
Upaya serius membangun demokrasi di Indonesia muncul seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah. UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah menekankan pentingnya partisipasi seluruh masyarakat, tak terkecuali kaum perempuan. Tujuannya, membangun civil society yang kuat, maju dan sejahtera.

Civil society adalah seluruh unsur yang tergabung dalam masyarakat, termasuk kaum perempuan. Tak mungkin ada civil society tanpa keikutsertaan perempuan. Demikian pula, tidak ada demokrasi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya. Membangun civil society berarti memperjuangkan ruang publik di mana semua warga negara, termasuk perempuan dapat terpenuhi hak-hak asasinya, baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia merdeka. Membangun civil society yang berkesetaraan dan berkeadilan gender, tentu menjadikan perempuan sebagai kelompok strategis. Karena itu, partisipasi perempuan merupakan kunci dalam membangun demokrasi.

Memperhatikan kondisi obyektif perempuan yang tertinggal karena nilai-nilai budaya patriarki dan perlakuan diskriminatif, maka pemberdayaan perempuan dalam politik hendaknya dimulai dengan kegiatan penyadaran (awareness rising). Menyadarkan masyarakat tentang pentingnya relasi gender yang adil dan setara yang sejatinya merupakan pilar penting demokrasi.

Realitas sosial di masyarakat menjelaskan, tidak banyak perempuan yang tertarik pada politik. Realitas ini merupakan dampak dari kuatnya budaya patriakhi, serta pengkondisian secara turun-temurun yang menempatkan laki-laki  dalam ruang publik dan perempuan dalam ruang domestik. Dunia politik selalu digambarkan  dengan karakter maskulin: keras (tough), rasional, kompetitif, tegas, yang serba “kotor” dan menakutkan sehingga hanya pantas buat laki-laki. Sebaliknya, masyarakat mempolakan  perempuan dalam peran-peran sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga dengan karakter feminin; lemah lembut, emosional, penurut dan sebagainya. Muncullah keyakinan bahwa tugas domestik merupakan satu-satunya tempat yang cocok bagi perempuan. Akibatnya, tidak banyak perempuan berminat atau tertarik memasuki dunia politik, khususnya pada posisi pimpinan, penentu kebijakan dan pengambil keputusan yang memerlukan ketegasan dan sikap rasional. 

Rendahnya Kualitas Perempuan

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan affirmative action, atau kuota minimal 30% di parlemen. Kebijakan affirmasi ini diharapkan sebagai tindakan koreksi dan konpensasi dari perlakuan diskriminatif yang dialami  perempuan selama ini. Karena itu, perlu ditegaskan bahwa kebijakan affirmasi tersebut tentu bukan untuk selamanya, melainkan hanya untuk tenggang waktu tertentu sampai kultur dan struktur di negara ini mengedepankan nilai-nilai egalitarian dan keadilan gender.

Selain itu, perlu dicatat bahwa sesungguhnya yang dibutuhkan bukan sekedar memenuhi kuota, melainkan bagaimana mempersiapkan landasan kerja yang dapat memfasilitasi perempuan untuk masuk ke arena politik. Dengan ungkapan lain,  bukan sekedar mencari perempuan secara fisik, melainkan mempersiapkan kualitas perempuan. Masyarakat membutuhkan figur perempuan yang memiliki visi pemberdayaan perempuan untuk kesejahteraan masyarakat. Figur perempuan yang memiliki wawasan yang luas serta komitmen kebangsaan dan keindonesiaan yang kuat. Mengapa hal ini penting? Lihat saja hasil pilkada di berbagai daerah, sejumlah Pilkada telah memenangkan figur-figur perempuan yang umumnya sangat mengecewakan. Figur yang terpilih bukanlah sosok yang dikenal sebagai orang-orang yang aktif memperjuangkan kepentingan perempuan. Umumnya mereka bukanlah figur yang mengerti tentang bagaimana membangun demokrasi yang menjadikan perempuan sebagai subyek penting pembangunan. Walau demikian, tetap harus diakui dan diapresiasi kemenangan dan keberhasilan beberapa pemimpin perempuan. Bahkan, prestasi dan kualitas kepemimpinan mereka lebih cemerlang dari umumnya pemimpin laki-laki.

Perlu dicatat, keberhasilan para pemimpin perempuan di bidang legislatif dan birokrasi umumnya didukung oleh praktek demokrasi yang sekedar prosedural. Di antaranya, banyak mengandalkan popularitas, keunggulan jaringan, fasilitas dan net working serta ini yang paling merisaukan, yakni mengandalkan unsur kekerabatan. Terciptalah politik oligarki yang membentuk kekuasaan dinasti di berbagai kabupaten dan propinsi. Tidak heran, jika para perempuan yang terpilih dalam Pemilu Legislatif dan sejumlah Pilkada adalah anggota kerabat petahana atau penguasa, seperti isteri, anak, menantu, adik ipar, sepupu dan seterusnya. Selain itu, sistem demokrasi palsu ini juga memicu lahirnya berbagai bentuk korupsi, nepotisme dan perilaku biadab lainnya.

Menarik dicatat, tidak sedikit perempuan potensial gagal berkompetisi secara demokratis. Mereka umumnya minim fasilitas, dukungan logistik dan jaringan. Hampir semuanya tidak punya kemampuan bargaining posistion dengan pihak pengusaha yang rajin membayar biaya kampanye. Mereka pun biasanya sangat ideologis, merasa tabu menerima atau membayar “mahar” politik dengan partai politik yang berkuasa. Akibatnya, mereka bukan hanya gagal dalam pertarungan politik, melainkan juga dipermalukan dan diperlakukan sebagai pecundang. Tidak salah jika banyak orang menganalogikan kekejaman politik di negeri ini dengan “drakula”.

Penekanan pada aspek kualitas perempuan menjadi sangat penting mengingat hasil penelitian mengenai aspirasi perempuan anggota parlemen terhadap pemberdayaan politik perempuan juga sangat tidak menggembirakan. Penelitian itu mengungkapkan betapa lemahnya perspektif para anggota parlemen perempuan, dan kondisi itu justru meminggirkan kepentingan perempuan sendiri. Perspektif perempuan yang lemah itu tergambar dari pengetahuan mereka yang sangat minim terhadap Konvensi PBB tentang perempuan dan kurangnya kepedulian mereka terhadap isu-isu perempuan, seperti isu kekerasan domestik, rendahnya pendidikan perempuan,  lemahnya hak dan kesehatan reproduksi, maraknya pelecehan seksual, eksploitasi tenaga kerja perempuan dan anak-anak, serta perdagangan perempuan dan anak perempuan.

Islam Menjamin Hak Politik Perempuan
Problemnya, masih kuat anggapan di masyarakat bahwa Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia membatasi hak-hak politik perempuan. Akibatnya, atas nama Islam perempuan dipinggirkan dari dunia politik atau dibatasi akses dan kesempatannya meraih jabatan strategis dalam politik secara khusus dan jabatan publik secara umum. Justifikasi agama sering membuat politisi perempuan tidak berkutik.

Sebagai perempuan Muslim, saya yakin sepenuhnya bahwa secara normatif Islam mengandung norma-norma ideal dan sangat luhur. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur bagi kehidupan manusia di muka bumi dalam semua bidang, tak terkecuali bidang politik. Masalahnya, bagaimana memahami Islam secara benar?

Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi. Islam menjanjikan harapan hidup lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin dan gender: laki-laki dan perempuan. Saya kira, Islam paling vokal bicara soal keadilan dan persamaan antar manusia, termasuk di dalamnya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks relasi gender, Al-Qur’an berisi seperangkat nilai yang memberikan landasan bagi kesetaraan dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Perbedaan di antara manusia hanya terletak pada kualitas takwa, dan soal takwa hanya Tuhan semata berhak menilai, bukan manusia.

Secara normatif Al-Qur`an melukiskan figur ideal seorang perempuan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, terutama kemandirian dalam bidang politik. Bahkan, Al-Qur'an menghimbau perempuan agar berani menyampaikan kebenaran, sekalipun harus menentang pendapat publik, dan berani melakukan gerakan oposisi terhadap pemerintah yang tiranik. Perempuan harus mandiri dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshiy) yang diyakini kebenarannya.

Islam memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh, yaitu sebagai pengelola kehidupan di bumi. Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Tugas manusia hanyalah berkompetisi berbuat kebaikan demi membangun masyarakat adil dan sejahtera.

Untuk itu, diperlukan pembacaan ulang dan upaya-upaya rekonstruksi terhadap ajaran Islam. Penafsiran baru atas ajaran non dasar mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan keislaman yang hakiki dan universal, seperti pesan persamaan, persaudaraan, kebebasan, kesetaraan dan keadilan, termasuk di dalamnya kesetaraan dan keadilan gender.

Dalam konteks inilah diharapkan kesungguhan negara dan pemerintah. Negara dan pemerintah harus mendorong agar ajaran Islam yang berkembang di masyarakat hanyalah ajaran Islam yang akomodatif terhadaf nilai-nilai kemanusiaan universal, ajaran Islam yang kompatibel dengan prinsip demokrasi sebagaimana tertuang dalam Konstitusi dan UUD 1945. Ajaran Islam yang terefleksi dalam nilai-nilai Pancasila. Itulah ajaran Islam yang diusung oleh para ulama yang kemudian dikenal sebagai pendiri Indonesia.

Sebaliknya, negara dan pemerintah harusnya risau dan cemas dengan fenomena menguatnya fundamentalisme Islam akhir-akhir ini. Mereka para fundamentalis tersebut mengusung ideologi yang berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, bertolak belakang dengan prinsip demokrasi dalam Pancasila dan  Konstitusi yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara. Mereka ingin mengubah ideologi Pancasila menjadi ideologi islamisme (yang belum tentu sejalan dengan ajaran Islam), mengubah negara hukum menjadi negara agama, mengubah ketaatan pada konstitusi menjadi ketaatan pada ayat-ayat suci (dengan interpretasi yang tidak manusiawi). Mereka juga ingin mengubah NKRI menjadi sebuah khilafah yang utopis, dan itu jelas mencederai cita-cita luhur para pendiri bangsa. Bukan hanya itu, fundamentalisme Islam adalah bencana bagi perempuan karena ideologi yang diusungnya anti kesetaraan dan keadilan gender, serta meminggirkan perempuan dari arena publik. Karena itu, fundamentalisme bukan hanya merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan NKRI, melainkan juga ancaman nyata bagi kemajuan peradaban manusia.




Penutup
Perjuangan perempuan Indonesia menuju demokrasi masih sangat panjang. Salah satu strategi yang harus dikembangkan adalah melakukan pendidikan politik bagi pemilih perempuan. Pendidikan politik dimaksud diharapkan dapat mengubah image masyarakat tentang politik yang selama ini diasumsikan sebagai hak monopoli kaum lelaki. Selain itu, penting untuk dapat menyadarkan masyarakat, khususnya kaum perempuan, bahwa hak politik adalah bagian integral dari HAM. Sebagai warga negara dan sebagai manusia, setiap perempuan memiliki hak untuk berkiprah dalam bidang politik.

Di samping itu, melalui pendidikan pemilih diharapkan terbangun kesadaran membangun sistem politik berbasis pengalaman perempuan. Sistem yang tidak lagi mengutamakan pendekatan maskulin yang seringkali absolut dan diskriminatif terhadap perempuan. Politik Indonesia ke depan harus mengedepankan nilai-nilai keadaban serta pendekatan feminin yang lembut, bukan dengan cara-cara kekerasan. Politik yang bertujuan sebagai sarana memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat luas, serta mencita-citakan perdamaian bagi semua manusia. Untuk itu, sejumlah rekomendasi perlu dicatat.

Pertama, menggalang networking antar-kelompok perempuan dari berbagai elemen. Perjuangan menuju sukses selalu membutuhkan strategi yang jitu dan solidaritas yang kuat. Networking ini diperlukan terutama dalam upaya membangun struktur politik yang ramah perempuan melalui upaya-upaya revisi semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan politik yang diskriminatif dan tidak memihak perempuan. Networking ini juga diperlukan dalam mewujudkan komitmen partai yang sensitif gender, serta advokasi jaminan hukum partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik.

Kedua, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya, khususnya mengubah budaya patriarki yang sangat kental di masyarakat menjadi budaya yang mengapresiasi prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan. Melalui upaya rekonstruksi budaya ini diharapkan di masa depan tidak ada lagi image buruk terhadap dunia politik; tidak ada lagi pemilahan bidang kerja: publik dan privat, berdasarkan jenis kelamin; dan tidak ada lagi stereotip terhadap perempuan yang memilih aktif di dunia politik.

Ketiga, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama sehingga terwujud penafsiran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penafsiran agama yang ramah terhadap perempuan dan yang pasti penafsiran agama yang mendukung konsep rahmatan lil alamin, ajaran yang menebarkan rahmat bagi seluruh makhluk tanpa pengecualian.

Keempat, secara internal perempuan itu sendiri harus selalu berupaya meningkatkan kapasitas dan kualitas diri mereka melalui pendidikan dalam arti yang luas. Selain itu, perempuan harus tulus mengapresiasi prestasi dan karya sesama perempuan, serta tulus mewujudkan sikap saling mendukung di antara mereka. Harus ada upaya bersama secara sinergis meningkatkan kualitas diri perempuan dalam bidang politik.

Last but not least, dalam upaya peningkatan kapasitas perempuan, jangan melupakan peningkatan kemampuan spiritualitas mereka. Dengan bekal kekuatan spiritualitas, para politisi perempuan diharapkan mampu menegakkan demokrasi yang substantif. Itulah demokrasi sejati yang mendorong semua orang berlaku adil dan manusiawi, serta menghindari permainan politik yang tidak etis, korup, kotor, culas dan keji serta merugikan masyarakat luas. Women can make a difference!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar