Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal
yang bertepatan dengan 12 Desember 2016 umat Islam sedunia merayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad Saw atau lebih dikenal dengan istilah maulid. Meski
demikian, tidak seluruh umat Islam sepakat merayakannya. Umat Islam di Saudi
Arabia dan kelompok Wahabi di berbagai wilayah, termasuk yang berdomisili di
Indonesia tidak merayakan maulid Nabi dengan alasan bid’ah atau sesuatu
yang haram hukumnya. Argumen mereka semata-mata karena perayaan itu baru muncul
setelah Nabi wafat dan tidak dikenal ketika Nabi masih hidup.
Memang benar Nabi tidak pernah
merayakan hari kelahirannya, tapi bukanlah sebuah kesalahan atau keharaman
merayakan hari kelahiran Nabi karena beliau juga tidak pernah mengeluarkan
hadis yang melarang perayaan maulid. Tentu saja kita dapat menghargai pendapat
Wahabi yang berbeda dengan mayoritas umat Islam, namun mereka juga hendaknya
bisa menghargai kelompok yang merayakannya.
Hanya saja, kelompok Wahabi di
Indonesia sulit untuk bersikap toleran yang merupakan ciri khas umat Islam di
Nusantara. Tidak sedikit laporan menyebutkan bahwa kelompok Wahabi mengusik
perayaan maulid di berbagai wilayah, bahkan tanpa segan-segan menuduh mereka
yang merayakannya sebagai kaum kafir dan murtad. Sudah sering terdengar bentrok
antara kelompok Islam Wahabi dan kelompok Islam Nusantara yang biasanya
diwakili oleh kaum Nahdliyyin.
Perayaan maulid Nabi di
Indonesia umumnya diperingati secara intens oleh kelompok Nahdliyyin atau
mereka yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Tidak heran jika hampir
semua pesantren dan madrasah di lingkungan Nahdlatul Ulama akan sibuk
mempersiapkan berbagai perhelatan meriah menyongsong perayaan maulid. Bahkan,
perayaan maulid di sejumlah komunitas Muslim Indonesia sudah menjadi tradisi
yang pelaksanaannya banyak dipengaruhi unsur-unsur budaya lokal.
Tidak
sedikit yang bertanya-tanya, sejak kapan maulid Nabi diperingati secara meluas?
Shalahuddin Al-Ayyubi, seorang panglima perang pasukan Islam dari Mesir yang dikenal
sangat bijaksana dan cerdas dianggap sebagai pionir. Dialah panglima pertama yang
membawa kemenangan Islam dalam Perang Salib. Beliau dianggap sebagai orang
pertama yang menggagas perayaan maulid Nabi.
Menurut catatan sejarah, Perang
Salib adalah perang antara umat Islam dengan umat Kristen Eropa. Perang ini
berjalan cukup lama dan tidak satu pun kelompok yang memperoleh kemenangan atau
menderita kekalahan secara permanen. Begitu lamanya Perang Salib berlangsung
sehingga kemenangan dan kekalahan silih berganti dialami masing-masing
kelompok. Semoga perang yang membawa malapetaka dahsyat bagi kemanusiaan itu
tidak terulang lagi untuk selamanya. Perdamaian dan harmoni pasti lebih indah
dari perang dan semacamnya.
Dalam
perjumpaan dengan tentara Salib, Al-Ayyubi melihat satu hal yang membangkitkan
semangat heroik tentara Salib yaitu adanya peringatan Natal. Dalam perayaan itu
para tentara salib dibangkitkan semangatnya untuk berjuang mati-matian
memenangkan pertempuran. Terinspirasi dengan peringatan Natal tentara Salib, Al-Ayyubi
kemudian mengadakan peringatan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw. Atas
idenya tersebut maulid diperingati sampai sekarang.
Karena
latar belakang kelahirannya ditujukan untuk membangkitkan semangat juang
pasukan Islam, maka yang dibaca di dalam peringatan maulid adalah cerita-cerita heroik terkait berbagai perang
yang dilakukan Nabi Saw. Di dalamnya berisi tentang bagaimana Nabi
mengorganisir tentaranya dalam Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandak,
bagaimana Makkah itu sendiri ditaklukkan pada yawm alfath, dan
cerita-cerita heroik mengenai para sahabat Nabi.
Pembacaan
cerita-cerita tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan semangat pasukan Islam
sambil mengingatkan mereka bahwa Nabi Saw adalah seorang jenderal dan ahli
perang, dan para sahabatnya adalah tentara-tentara yang tidak pernah mengenal
kalah. Melalui peringatan maulid, maka semangat juang pasukan Islam termotivasi
untuk bangkit. Mereka memerangi tentara Salib dengan semangat yang tinggi, dan
berhasil mengusirnya dari dunia Islam untuk selamanya.
Sebagian
ulama -dengan mengetahui sejarah lahirnya maulid seperti di atas- lalu
menganggap maulid sebagai bid’ah. Namun, sebagian yang lain, meskipun bid’ah,
tetapi itu bid’ah yang baik, atau dalam istilah fiqihnya, bid’ah hasanah,
yaitu suatu kreativitas yang baik. Karena merupakan kreativitas, maka orang
berbeda pendapat menilainya. Ada yang menerima, dan ada yang menolak. Bahkan di
Saudi Arabia pun yang secara resmi menolak peringatan maulid, masih banyak
orang yang sembunyi-sembunyi merayakannya.
Usai peringatan Maulid
dipengajian Ulul Albab, Bogor.
Di
Indonesia kegiatan resmi maulid di istana dimulai oleh Presiden Soekarno atas saran
dari Haji Agus Salim, tokoh Islam yang sangat disegani oleh Bung Karno. Bangsa
Indonesia yang mayoritas Muslim, Maulid mempunyai nilai simbolik yang sangat
penting. Tradisi warisan Bung Karno itu patut dipertahankan. Oleh karena itu,
tugas umat Islam sekarang adalah membersihkannya dari unsur-unsur yang tidak bisa
dibenarkan oleh agama seperti pemujaan atau kultus yang berlebihan kepada Nabi
saw.
Kalau
awalnya dalam maulid dibacakan cerita-cerita heroik seperti perjuangan Nabi
dalam berbagai peperangan, kini diubah dengan pembacaan syair-syair Dibbaân, dan
Barzanji, sebuah ekspresi seni dengan nilai estetika yang sangat tinggi. Isinya
menjelaskan sifat-sifat keutamaan Nabi dan kemuliaan beliau. Intinya adalah
membacakan shalawat, doa dan pujian kepada junjungan Nabi saw sebagai ungkapan
rasa cinta mendalam kepadanya. Hal ini sama halnya ketika seorang anak yang
baru lahir dibacakan Barzanji, yang juga menjadi semacam doa kepada Allah
melalui pernyataan kecintaan kepada Nabi. Ide shalawat sebenarnya ialah
mendoakan Nabi. Ustad-ustad di pesantren biasanya menerangkan bahwa Nabi itu
diibaratkan sebuah gelas yang sudah penuh. Dengan membaca shalawat berarti kita
mengisi lagi gelas yang sudah penuh itu, sehingga airnya meluber dan tumpah.
Tumpahannya itulah yang dianggap sebagai berkah atau syafaat Nabi.
Kalau
dulu Salahuddin Al-Ayyubi memperingati Maulid untuk membangkitkan semangat
pasukan Islam menghadapi tentara Salib, kini perayaan serupa tetap perlu
dilakukan. Namun, spiritnya bukan lagi membangkitkan semangat perang melawan
tentara Salib, melainkan semangat perang melawan musuh-musuh Islam dalam wujud imperialisme,
kapitalisme, hedonisme dan konsumerisme.
Selain
itu, peringatan maulid seharusnya diarahkan untuk mengenang perjuangan Nabi memberantas kemiskinan dan kemelaratan,
membela kelompok rentan dan tertindas (mustadh’afin). Mereka adalah orang-orang
miskin, para perempuan yang teraniaya, anak-anak yang terlantar dan para buruh
yang dieksploitasi dan sebagainya. Maulid seharusnya memberikan inspirasi bagi
umat Islam untuk bangkit melawan semua bentuk perbudakan dan penjajahan dalam
bentuk apa pun, termasuk dalam bentuk aksi-aksi intoleransi yang akhir-akhir
ini semakin menguat di kalangan umat Islam.
Parade memperingati
Maulid Nabi dipulau Jawa
Maulid Nabi juga dapat menjadi medium
untuk mengembangkan rasa kebangsaan dan nasionalisme. Secara
politis nasionalisme merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung
cita-cita luhur dan mulia bagi suatu bangsa untuk merebut kemerdekaan atau
mengenyahkan penjajahan. Selain itu, sebagai pendorong suatu bangsa untuk
membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Kita
sebagai warga negara Indonesia sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa
dan negara Indonesia.
Kebanggaan
dan kecintaan kita terhadap bangsa dan negara tidak berarti kita merasa lebih
hebat dan lebih unggul dari bangsa dan negara lain sehingga timbul sikap
memandang hina bangsa lain. Kita tidak boleh memiliki semangat nasionalisme
yang berlebihan (chauvinism) tetapi harus menghargai, menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lainnya. Jadi, dibedakan dua macam nasionalisme:
Pertama, nasionalisme dalam arti sempit, yakni suatu sikap yang meninggikan
bangsa sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya.
Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa lain.
Keadaan seperti ini sering disebut chauvinism. Kedua, nasionalisme
merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara,
dan sekaligus menghormati bangsa lain.
Nasi ketan (kaddo minyak)
dengan hiasan telur warna-warni melengkapi tradisi maulid dikalangan Bugis,
Makasar. (foto kanan)
Akhirnya,
selamat merayakan maulid Nabi saw, semoga semua doa terbaik tercurah untuk
beliau, junjungan umat Islam. Semoga pula kita umatnya semakin sadar meneladani
semua sifat utama dari diri beliau,
terutama sifat-sifat kemanusiaan universal yang sangat mengemuka dalam dirinya.
Sifat dimaksud seperti adil, jujur, lembut, tegas, bersih, sangat penyayang
pada sesama manusia, peduli lingkungan dan amat mencintai perdamaian. Sekali lagi, shalawat dan salam untuk Nabi
tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar