Saya sering ditanya tentang siapa figur perempuan utama dimana saya sangat ingin bertemu dan berdiskusi. Secara tegas saya menjawab ada empat perempuan yang saya kagumi setelah ibu saya tentunya. Saya sangat mengidolakan ibu karena semua kebaikan dalam hidup saya adalah berkat bimbingan dan pendidikannya. Tiada hentinya kesyukuranku ke hadirat Allah swt, ditakdirkan lahir dari rahim seorang perempuan mandiri, perkasa dan penuh perhatian, serta selalu mengedepankan kasih sayang di atas segalanya. Semua doa terbaik untuk ibu. Lalu, mengapa para perempuan tersebut menjadi idola? Sebab, mereka telah berjuang dan membuktikan karya-karya kemanusiaan yang nyata dalam membela kelompok rentan dan tertindas yang dalam istilah Qur’an disebut mustadh’afin. Mereka adalah perempuan berani dan punya prinsip yang kuat, di antara mereka harus mati demi mempertahankan prinsip. Mereka adalah: Asia, Isteri Fir’aun; Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim a.s. sekaligus ibu Nabi Ismail a.s.; Siti Khadijah isteri Rasulullah Muhammad saw; dan Marsinah buruh perempuan yang dibunuh secara keji.
Pertama, Asia adalah
perempuan yang tidak silau oleh harta dan kekuasaan suaminya, Maha raja Mesir
yang amat berkuasa sampai-sampai dia mengklaim dirinya sebagai Tuhan.
Didorong rasa kemanusiaan yang amat
dalam, dia menyelamatkan Musa yang masih bayi dihanyutkan ibunya karena takut
dibunuh penguasa, lalu merawatnya di dalam istana. Dia berusaha meyakinkan
suaminya bahwa bayi yang dipungutnya itu adalah anak yang akan membawa kebaikan
dan tidak harus dibunuh. Bahkan, kemudian Asia rela mati mempertahankan
keimanannya terhadap Tuhan sebagaimana diajarkan Musa yang ketika dewasa jadi
Nabi alaihi salam. Jika bertemu di akhirat kelak, saya pasti akan tanya
Asia, mengapa dia bisa tetap jadi perempuan penuh kasih-sayang dan sangat
peduli pada sesama manusia di tengah kemewahan dan kekuasaan suami yang begitu
arogan? Mengapa dia rela mati untuk sebuah keyakinan?
Kedua, Siti Hajar. Awalnya, seorang budak
Fir’aun, dihadiahkan kepada Sarah, isteri Nabi Ibrahim. Lalu dijadikan isteri
oleh Ibrahim dan melahirkan Ismail. Dari Ismail inilah lahir keturunan yang kemudian menjadi nenek moyang
Nabi Muhammad saw. Siti Hajar dan Ismail yang masih bayi dibawa Ibrahim ke
suatu tempat yang sangat gersang dan
tandus yang kemudian dikenal bernama Mekkah. Keduanya ditinggalkan di sana
tanpa bekal dan proteksi. Hajar lalu berusaha mencari air demi menghidupi
anaknya, dia mondar-mandir di antara dua tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Shafa dan Marwah, tempat pelaksanaan ritual Sa’i dalam haji dan
umrah. Ketika bayi Ismail menghentakkan kakinya yang mungil ke pasir karena
haus dan lapar seketika menyembur air bening dari dalam tanah. Berkat rahmat
Tuhan terciptalah sumur zam-zam yang airnya menjadi penghapus dahaga bagi
jutaan umat Islam yang datang untuk umrah dan haji, bahkan juga untuk memenuhi
kebutuhan penduduk di wilayah itu. Saya akan tanya Siti Hajar, bagaimana
rasanya menjadi single parent
dalam kondisi yang sangat tragis di gurun pasir? Apa yang membuat dia
bertahan hidup? Dan bagaimana komentarnya terhadap ritual haji, khususnya sa’i,
dimana tidak banyak orang tahu bahwa ritual itu adalah napak tilas dari
perjuangan seorang perempuan demi menghidupi anaknya?
Ketiga, Siti Khadijah. Seorang pengusaha kaya yang mempertahankan prinsip
bisnis bersih
dan jujur. Dia juga perempuan bangsawan, terkenal dermawan, sangat cerdas dan
memiliki hati yang lembut. Sebagai pengusaha, dia banyak menolong para pedagang
kecil dari kebuasan tengkulak. Dia orang pertama masuk Islam, sebelum para
lelaki di sekitar Nabi masuk Islam. Selama 28 tahun menjadi isteri Rasul dalam
perkawinan monogami yang penuh dengan cerita kebahagiaan. Kebahagiaan
perkawinannya dilantunkan dalam doa perkawinan jutaan umat Islam. Ketika dia
wafat, Rasul sangat berduka sehingga tahun itu dinamakan Amul Azmi
(tahun duka). Saking sedihnya, Rasul sampai menduda tiga tahun sebelum menikah
lagi dengan perempuan lain. Isteri kedua Nabi adalah perempuan tua dan miskin
bernama Saodah binti Zam’ah, isteri panglima yang mengepalai perjalanan hijrah
ke Abessinia. Meski di akhir hidupnya (kurang lebih selama 7 tahun) Nabi
menikahi 11 perempuan lain, namun Nabi tidak pernah melupakan kenangan indah
bersama Khadijah. Aisyah sering kali cemburu dan tersinggung jika Rasul
memuji-muji Khadijah. Sesungguhnya, Rasul bukan hanya mengenang kebaikan
Khadijah, tetapi juga mengenang indahnya kebahagiaan perkawinan monogami
bersamanya. Saya akan tanya Khadijah: apa rahasia keunggulan beliau sehingga
menjadi isteri yang diposisikan setara dan selalu diperlakukan secara hormat,
tanpa sedikitpun kekerasan dan diskriminasi. Apa komentarnya terhadap penulisan
sejarah Islam yang tidak menyebutnya sebagai orang pertama masuk Islam, dan
mengapa tidak ada satu pun hadis riwayat Khadijah yang sampai kepada kita?
Sementara, Abu Hurairah yang hanya tiga
tahun bersama Nabi dapat meriwayatkan ratusan, bahkan ribuan hadis?
Terakhir, saya akan bertanya pada Marsinah,
siapa pembunuhnya? Sehebat apa dia sehingga aparat polisi tidak berdaya
melacaknya? Mengapa Marsinah berani melawan perlakuan diskriminatif dan
eksploitatif dari pengusaha? Apa yang
membuatnya tegar pada prinsip untuk menyuarakan kepentingan buruh? Diskusi
dengan Marsinah, penting untuk mengungkapkan sebobrok apa perusahaan tempat dia
bekerja; sejelek apa mental aparat penegak hukum? Dan seribu pertanyaan lagi
yang sampai sekarang masih menjadi teka-teki. Mengapa perlakuan terhadap buruh,
khususnya buruh perempuan belum juga membaik? Kehidupan buruh masih diliputi
cerita lara tentang gaji kecil, fasilitas kerja yang tidak manusiawi,
pemotongan upah dan PHK yang semena-mena, tanpa proteksi dan jaminan masa
depan. Belum lagi, perlakuan pelecehan seksual, perkosaan dan perbudakan yang
mematikan martabat kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar