Rabu, 07 Desember 2016

Perempuan Idola





Saya sering ditanya tentang siapa figur perempuan utama dimana saya sangat ingin bertemu dan berdiskusi. Secara tegas saya menjawab ada empat perempuan yang saya kagumi setelah ibu saya tentunya. Saya sangat mengidolakan ibu karena semua kebaikan dalam hidup saya adalah berkat bimbingan dan pendidikannya. Tiada hentinya kesyukuranku ke hadirat Allah swt, ditakdirkan lahir dari rahim seorang perempuan mandiri, perkasa dan penuh perhatian, serta selalu mengedepankan kasih sayang di atas segalanya. Semua doa terbaik untuk ibu. Lalu, mengapa para perempuan tersebut menjadi idola? Sebab, mereka telah berjuang dan membuktikan karya-karya kemanusiaan yang nyata dalam membela kelompok rentan dan tertindas yang dalam istilah Qur’an disebut mustadh’afin. Mereka adalah perempuan berani dan punya prinsip yang kuat, di antara mereka harus mati demi mempertahankan prinsip. Mereka adalah: Asia, Isteri Fir’aun; Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim a.s. sekaligus ibu Nabi Ismail a.s.; Siti Khadijah isteri Rasulullah Muhammad saw; dan Marsinah buruh perempuan yang dibunuh secara keji.

Pertama, Asia adalah perempuan yang tidak silau oleh harta dan kekuasaan suaminya, Maha raja Mesir yang amat berkuasa sampai-sampai dia mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Didorong  rasa kemanusiaan yang amat dalam, dia menyelamatkan Musa yang masih bayi dihanyutkan ibunya karena takut dibunuh penguasa, lalu merawatnya di dalam istana. Dia berusaha meyakinkan suaminya bahwa bayi yang dipungutnya itu adalah anak yang akan membawa kebaikan dan tidak harus dibunuh. Bahkan, kemudian Asia rela mati mempertahankan keimanannya terhadap Tuhan sebagaimana diajarkan Musa yang ketika dewasa jadi Nabi alaihi salam. Jika bertemu di akhirat kelak, saya pasti akan tanya Asia, mengapa dia bisa tetap jadi perempuan penuh kasih-sayang dan sangat peduli pada sesama manusia di tengah kemewahan dan kekuasaan suami yang begitu arogan? Mengapa dia rela mati untuk sebuah keyakinan?

Kedua, Siti Hajar. Awalnya, seorang budak Fir’aun, dihadiahkan kepada Sarah, isteri Nabi Ibrahim. Lalu dijadikan isteri oleh Ibrahim dan melahirkan Ismail. Dari Ismail inilah lahir  keturunan yang kemudian menjadi nenek moyang Nabi Muhammad saw. Siti Hajar dan Ismail yang masih bayi dibawa Ibrahim ke suatu tempat  yang sangat gersang dan tandus yang kemudian dikenal bernama Mekkah. Keduanya ditinggalkan di sana tanpa bekal dan proteksi. Hajar lalu berusaha mencari air demi menghidupi anaknya, dia mondar-mandir di antara dua tempat yang sekarang dikenal dengan nama Shafa dan Marwah, tempat pelaksanaan ritual Sa’i dalam haji dan umrah. Ketika bayi Ismail menghentakkan kakinya yang mungil ke pasir karena haus dan lapar seketika menyembur air bening dari dalam tanah. Berkat rahmat Tuhan terciptalah sumur zam-zam yang airnya menjadi penghapus dahaga bagi jutaan umat Islam yang datang untuk umrah dan haji, bahkan juga untuk memenuhi kebutuhan penduduk di wilayah itu. Saya akan tanya Siti Hajar, bagaimana rasanya menjadi single parent  dalam kondisi yang sangat tragis di gurun pasir? Apa yang membuat dia bertahan hidup? Dan bagaimana komentarnya terhadap ritual haji, khususnya sa’i, dimana tidak banyak orang tahu bahwa ritual itu adalah napak tilas dari perjuangan seorang perempuan demi menghidupi anaknya?

Ketiga, Siti Khadijah. Seorang pengusaha kaya yang mempertahankan prinsip bisnis bersih dan jujur. Dia juga perempuan bangsawan, terkenal dermawan, sangat cerdas dan memiliki hati yang lembut. Sebagai pengusaha, dia banyak menolong para pedagang kecil dari kebuasan tengkulak.  Dia orang pertama masuk Islam, sebelum para lelaki di sekitar Nabi masuk Islam. Selama 28 tahun menjadi isteri Rasul dalam perkawinan monogami yang penuh dengan cerita kebahagiaan. Kebahagiaan perkawinannya dilantunkan dalam doa perkawinan jutaan umat Islam. Ketika dia wafat, Rasul sangat berduka sehingga tahun itu dinamakan Amul Azmi (tahun duka). Saking sedihnya, Rasul sampai menduda tiga tahun sebelum menikah lagi dengan perempuan lain. Isteri kedua Nabi adalah perempuan tua dan miskin bernama Saodah binti Zam’ah, isteri panglima yang mengepalai perjalanan hijrah ke Abessinia. Meski di akhir hidupnya (kurang lebih selama 7 tahun) Nabi menikahi 11 perempuan lain, namun Nabi tidak pernah melupakan kenangan indah bersama Khadijah. Aisyah sering kali cemburu dan tersinggung jika Rasul memuji-muji Khadijah. Sesungguhnya, Rasul bukan hanya mengenang kebaikan Khadijah, tetapi juga mengenang indahnya kebahagiaan perkawinan monogami bersamanya. Saya akan tanya Khadijah: apa rahasia keunggulan beliau sehingga menjadi isteri yang diposisikan setara dan selalu diperlakukan secara hormat, tanpa sedikitpun kekerasan dan diskriminasi. Apa komentarnya terhadap penulisan sejarah Islam yang tidak menyebutnya sebagai orang pertama masuk Islam, dan mengapa tidak ada satu pun hadis riwayat Khadijah yang sampai kepada kita? Sementara, Abu Hurairah yang hanya  tiga tahun bersama Nabi dapat meriwayatkan ratusan, bahkan ribuan hadis?

Terakhir, saya akan bertanya pada Marsinah, siapa pembunuhnya? Sehebat apa dia sehingga aparat polisi tidak berdaya melacaknya? Mengapa Marsinah berani melawan perlakuan diskriminatif dan eksploitatif  dari pengusaha? Apa yang membuatnya tegar pada prinsip untuk menyuarakan kepentingan buruh? Diskusi dengan Marsinah, penting untuk mengungkapkan sebobrok apa perusahaan tempat dia bekerja; sejelek apa mental aparat penegak hukum? Dan seribu pertanyaan lagi yang sampai sekarang masih menjadi teka-teki. Mengapa perlakuan terhadap buruh, khususnya buruh perempuan belum juga membaik? Kehidupan buruh masih diliputi cerita lara tentang gaji kecil, fasilitas kerja yang tidak manusiawi, pemotongan upah dan PHK yang semena-mena, tanpa proteksi dan jaminan masa depan. Belum lagi, perlakuan pelecehan seksual, perkosaan dan perbudakan yang mematikan martabat kemanusiaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar