Musdah Mulia[1]
Corak Islam Indonesia
Data-data sejarah Islam Indonesia menyebutkan dengan jelas bahwa konsep awal ajaran Islam yang masuk dan berkembang di tanah air adalah ajaran Imam al-Ghazali, baik dari segi fiqh, teologi maupun tasawuf (mistik). Al-Ghazali adalah pengikut Imam Syafi’i, dan itu berarti beliau mengembangkan fiqh mazhab Syafi’i. Lalu, dalam teologi, al-Ghazali mengembangkan paham teologi Asy’ariyah (ortodoks) dan sangat identik dengan paham mistik, keduanya tidak banyak menggunakan nalar kritis dalam memahami ajaran Islam, bahkan filsafat dianggap ilmu kafir.
Ringkasnya, ajaran Islam yang berkembang di Indonesia pada masa awal dan tidak banyak berubah sampai sekarang adalah Islam mazhab Syafi’i, bercorak teologi Asy’ariyah dan sangat dipengaruhi paham mistik. Hal tersebut diperparah dengan merajalelanya taklid dan penutupan pintu ijtihad di dalam kehidupan beragama. Akibatnya, sebagian besar umat Islam merujuk hanya pada kitab-kitab fiqh warisan ulama masa lalu, khususnya fiqh bermazhab Syafi’i. Tidak heran jika umat Islam Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran fiqh (fiqh oriented)[2] sehingga dapat dimengerti apabila sebagian besar mereka lebih banyak berpikir secara konvensional dan lebih mengedepankan hal-hal yang bersipat legalitas formalistik dalam penerapan syariat Islam.
Jika pemahaman keagamaan yang tidak begitu ramah terhadap pemikiran kritis dan logika rasional dipedomani dan diimplementasikan secara kaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jelas akan menimbulkan benturan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang terpatri dalam Pancasila dan Konstitusi yang menjadi landasan pembentukan negara Indonesia. Selain itu, juga tidak kondusif bagi upaya penegakan negara demokrasi di Indonesia.
Pengaruh Otonomi Daerah
Seiring dengan kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia pasca reformasi, Provinsi Aceh mendapatkan kedudukan khusus sebagai wilayah yang berhak melaksanakan Syariat Islam. Sayangnya dalam implementasi, apa yang dimaksudkan dengan Syariat Islam lebih banyak fokus pada aturan-aturan legal-formal terkait isu kesusilaan. Urusannya lebih banyak mengawasi masalah prostitusi, busana perempuan dan perilaku seksual. Syariat Islam yang dikembangkan itu tidak banyak menyinggung masalah sosial yang riil dihadapi masyarakat, seperti maraknya korupsi dan penyelewengan keuangan daerah, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, buruknya kualitas pendidikan dan layanan kesehatan, serta bobroknya pelayanan publik dalam hal penyediaan air bersih, listrik, transportasi dan komunikasi.
Pemerintah Aceh seharusnya membuka mata, bahwa yang dibutuhkan masyarakat adalah pemerintah yang transparan, bersih dari korupsi dan nepotisme sehingga mampu menyediakan pelayanan pendidikan yang bermutu, pelayanan kesehatan dan transportasi yang murah dan terjangkau oleh semua warga, dapat diakses dengan mudah oleh seluruh masyarakat, termasuk mereka yang berdomisili di wilayah terpencil, serta penataan lingkungan yang aman dari bencana dan ramah lingkungan. Menurut saya, inilah yang harus lebih fokus dikembangkan dalam implementasi Syariat Islam. Sebab, Islam paling vokal bicara tentang pemenuhan kesejahteraan masyarakat, dan itulah tugas utama para penyelenggara pemerintahan dalam Islam.
Tidak heran jika pasca Otonomi Khusus di Aceh, yang muncul adalah perda-perda kewajiban berbusana tertutup bagi perempuan, kewajiban baca-tulis Qur’an bagi calon pengantin dan pejabat yang akan mendapat promosi. Larangan berkhalwat (berdua-duaan dengan bukan muhrim) bagi para pemuda dan pemudi. Tidak sedikit dari perda-perda tersebut isinya sangat diskriminatif terhadap perempuan. Komnas Perempuan, sebuah lembaga negara yang fokus mengamati isu kekerasan terhadap perempuan, merilis dalam laporan akhir tahunnya bahwa sampai tahun 2015 dijumpai sebanyak lebih dari 400 perda diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, ditemukan pula perda-perda yang diskriminatif terhadap kelompok non-Muslim.
Dalam konteks ini, sejumlah perda (rancangan qanun/raqan) tentang pidana (Jinayat) dan tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Provinsi Aceh perlu mendapat perhatian serius dari penyelenggara negara di tingkat nasional dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mengapa? Karena hal itu sangat mengganggu integritas hukum nasional Indonesia.
Kita perlu menggarisbawahi bahwa kewenangan khusus yang dimiliki Aceh tetap harus dilakukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemenuhan mandat Konstitusi tersebut sesungguhnya merupakan pilar integritas hukum nasional dalam konteks pluralisme sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Karena Aceh tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Republik Indonesia, maka pemberian hak otonomi daerah bagi Aceh tidak lah berarti bahwa Aceh dapat menabrak nilai-nilai luhur Pancasila dan Konstitusi yang menekankan pentingnya nilai-nilai demokrasi, kebhinekaan, toleransi dan pluralisme di Indonesia.
Tentu kita yakin, Indonesia dibangun oleh para pendiri yang mewakili beragam ras, etnik, agama dan kepercayaan. Bukan dibangun untuk satu ras, etnis, golongan atau satu agama. Hal ini harus selalu menjadi pegangan bagi semua pihak dalam membuat perundang-undangan atau pun berbagai kebijakan publik. Tidak boleh ada aturan yang diskriminatif terhadap suatu golongan atau suatu kelompok atas dasar apa pun. Sebab, dalam negara hukum, semua warga negara dipandang setara kedudukannya di depan hukum. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas.
Kita semua berharap, Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh hanya menghasilkan peraturan dan kebijakan daerah yang memenuhi unsur-unsur berikut. Pertama, mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan memenuhi mandat Konstitusi. Kedua, mengandung visi perdamaian Aceh yang menyeluruh, berkelanjutan, bermartabat bagi semua, demokratis dan adil. Ketiga, memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam MOU Helsinki, UU Pemerintahan Aceh dan sejumlah Undang-Undang lain berkaitan dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan, serta peraturan daerah Aceh tentang pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak.
Pertanyaan muncul, bagaimana mengintegrasikan syariat Islam ke dalam sistem hukum tingkat lokal? Bagaimana mengaplikasikan syariat Islam ke dalam tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat, dan bagaimana pula menjadikannya sebagai suatu sistem nilai yang relevan dengan masyarakat sehingga dirasakan sebagai suatu sistem sosial yang behavioral. Sudah barang tentu upaya ini harus dimulai dari lingkungan masyarakat terkecil, yakni keluarga. Kalau ajaran Islam telah meresap dalam lingkungan keluarga, maka kerangka dasar dari masyarakat yang dicita-citakan sudah ada.
Tentu tidak salah menggunakan paradigma fiqh untuk masyarakat Indonesia, namun bagaimana menjaga agar fiqh tidak difahami secara sempit, terbatas hanya persoalan ubudiyyah (fiqh ibadah). Pembahasan semacam itu, di samping akan menonjolkan terjadinya perbedaan mazhab dalam syariat Islam, juga akan menimbulkan kesan kurang menguntungkan bagi syariat Islam itu sendiri dalam konteks tata hukum nasional.
Dalam kasus pencurian, perzinaan dan perampokan, sebenarnya masyarakat Muslim tahu bahwa hal itu merupakan perbuatan tercela dan hukumnya haram, tetapi masyarakat tetap melakukannya. Kalau dalam persoalan itu hanya menggunakan paradigma fiqh dalam arti sempit untuk memecahkannya, maka pembicaraan hanya berkisar pada haram, dosa, neraka dan hukum potong tangan, rajam dan seterusnya.
Akan tetapi, bila masalah-masalah social tersebut dilihat dalam konteks syariat Islam secara utuh, maka pembicaraan akan berkembang kepada struktur dan sistem yang menyebabkan fenomena itu muncul. Sebab, boleh jadi struktur dan sistem sosial yang ada justru memberi ruang bagi terjadinya tindak pidana. Dalam keadaan demikian, jika pandangan diarahkan lebih jauh lagi, maka pemecahan masalah itu termasuk pula pada pola pembangunan pedesaan dan perkotaan, apakah itu sudah sesuai dengan pola syariat Islam secara utuh atau belum?.
Oleh karena itu, strategi perjuangan untuk mengintegrasikan syariat Islam ke dalam tata hukum lokal dan juga nasional, sikap akomodatif sangat diperlukan. Demikian pula cara-cara perjuangannya, pendekatan persuasif dan kooperatif, lebih banyak menguntungkan dari semua bentuk pemaksaan yang tidak demokratis.
Kalau apa yang dikemukakan di atas telah direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, atau dengan kata lain apabila nilai-nilai syariat Islam telah meresap dan menjadi tata nilai masyarakat Islam Indonesia, maka cita-cita syariat Islam secara utuh untuk menjadi peraturan daerah dan bahkan hukum nasional (tidak hanya terbatas dalam hukum pedata), dengan cepat dapat terealisasi dalam waktu singkat ini.
Memahami Syariat Islam Dengan Benar
Mari perhatikan ayat-ayat yang menjadi landasan bagi mereka yang mewajibkan formalisasi hukum Islam diterapkan di Indonesia.
:. . . ومن لم بحكـم بمـا انزل اللـه فاولـئـك هم الكـافـوان (المائـدة :44 )
. . . ومن لم بحكـم بمـا انزل اللـه فاولـئـك هم الظلمـون (المائـدة :45)
. . . ومن لم بحكـم بمـا انزل اللـه فاولـئـك هم الفـاسقـون (المائـدة 47)
. . . Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44) . . . Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zhalim. (QS. al-Maidah [5]: 45) . . . Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik. (QS. al-Maidah [5]: 47).
Para ulama dalam menginterpretasikan ayat-ayat di atas menyatakan bahwa mereka yang memutuskan hukum tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, tergolong orang-orang kafir.[3]
Akan tetapi, mereka tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan “apa yang diturunkan Allah.” Faktanya, Allah menurunkan bukan hanya Al-Qur’an melainkan juga kitab-kitab suci terdahulu, termasuk Taurat kepada Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa, Zabur kepada Nabi Daud dan Mushaf kepada Nabi Ibrahim dan seterusnya. Tambahan lagi, kalau yang dimaksudkan dalam ayat itu hanya Al-Qur’an maka itu pun masih menyisakan pertanyaan. Al-Qur’an menurut interpretasi atau pemahaman siapa? Dalam konteks ini bisa muncul banyak interpretasi, dan umumnya setiap kelompok mengklaim pendapatnya sebagai mutlak dan yang lain salah, bahkan kalau perlu menuduh kelompok yang berbeda sebagai kafir, murtad dan sesat.
Ketika memperkenalkan syariat Islam sebaiknya jangan ditekankan arti kemutlakan syariat Islam, seperti hukum kisas bagi pembunuhan, hukum rajam bagi pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, dan sebagainya. Al-Quran memang memberikan peringatan keras bagi siapa saja yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah, seperti tiga ayat berikut ini, namun ayat-ayat tersebut harus diterjemahkan dan ditafsirkan terlebih agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Di sinilah muncul persoalan, terjemahan dan interpretasi yang ditawarkan para ulama seringkali tidak kompatibel dengan kondisi kekinian masyarakat, tidak selaras dengan temuan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Bahkan, tidak sejalan dengan tujuan inti ajaran Islam, yakni kesejahteraan dan kemashlahatan umat manusia.
Terlepas dari perbedaan pendapat dalam menafsirkan ketiga ayat tersebut, apabila pandangan diarahkan jauh ke sejarah awal Islam, ditemukan fakta bahwa ketiga ayat tersebut dan beberapa ayat lainnya yang bernada serupa, turun setelah Rasulullah saw. hijrah ke Medinah. Ini menunjukkan bahwa perintah penjabaran syariat Islam sepenuhnya baru diturunkan setelah ajaran Islam memasyarakat dengan baik.
Selanjutnya perlu pula diingat bahwa asas-asas Al-Quran dalam memasyarakatkan hukum senantiasa meliputi tiga komponen pokok, yakni: 1)‘Adam al-Kharaj, yakni tidak menyulitkan para mukallaf; 2) Taqlil al-Takalif, yakni tidak memberatkan dan juga tidak membosankan; dan 3) Al-Tadrij fi al-Tasyri’, yakni mewujudkan hukum secara bertahap, tidak sekaligus.[4]
Contoh konkret pelaksanaan hukum Islam adalah yurisprudensi Khalifah Umar bin Khattab. Selama masa pemerintahannya, beliau menetapkan beberapa keputusan yang tidak sesuai dengan teks Al-Qur’an dan Hadis, seperti: tidak melaksanakan hukum potong tangan bagi pencuri; menghapuskan bahagian bagi kelompok muallaf (al-mu’allafah qulubuhum) dalam penerimaan zakat; mengubah bentuk talak tiga yang diucapkan dengan cara beruntun tiga kali dalam satu saat, dinyatakan jatuh talak tiga dengan alasan orang-orang pada saat itu telah banyak mempermainkan pengucapan talak.[5] Keputusan hukum yang diambil Umar tersebut sekilas terlihat menyalahi teks Al-Qur’an, lebih banyak berdasarkan nalar kritis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi riil masyarakat di zaman itu.
Tidak heran jika keputusan Umar sering dipertanyakan oleh kalangan ulama karena menyalahi teks suci. Akan tetapi, menurut Abbas Mahmud al-Akkad, keputusan-keputusan Umar itu bukannya tidak sejalan dengan nas, tetapi justru beliau berijtihad dalam memahami nas.[6] Ijtihad tersebut dianggap sejalan dengan nas, karena prinsipnya konteks nas itu tidak dapat dipisahkan dengan kondisi aktual masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada keharusan memaksakan kemutlakan berlakunya syariat Islam dalam masyarakat yang masih bervariasi.
Grand Design Syariat Islam di Aceh
Kekhawatiran masyarakat, tak terkecuali kalangan Muslim terkait perumusan grand design pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukan tanpa alasan. Sebab, data-data historis yang ada menunjukkan, isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elite demi mengejar ambisi pribadi atau golongan, dan dalam konteks Indonesia biasanya sangat terkait dengan isu Pilkada.
Alasannya sederhana saja bahwa selama ini isu Syariat Islam kerap kali digunakan untuk menjastifikasi kepentingan politik dari kelompok penguasa. Di Indonesia, salah satu contoh dapat disebut bahwa di daerah yang sangat intens upaya formalisasi syariat Islam ternyata ketika memilih kandidat gubernur, walikota atau bupati, maka yang menang justru tokoh yang selama ini diakui tidak mewakili kelompok agamis, dan juga tidak jarang yang terpilih justru tokoh yang dikenal sebagai tidak bermoral, koruptor dan pelaku kekerasan. Di beberapa daerah, menguatnya isu syariat Islam sering diiringi dengan proses pergantian jabatan politik di lembaga-lembaga yang berpengaruh.
Dalam kondisi seperti itu, agama tidak lagi ditempatkan sebagai sistem penyangga moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lewat para pemeluknya. Akan tetapi, agama telah digeser dan dipaksa untuk lebih banyak memainkan perannya secara berlebihan dalam urusan negara. Agama kemudian dijadikan legitimasi oleh penguasa untuk mengabsahkan kebijakan-kebijakan yang seringkali malah bertentangan dengan nilai hakiki agama itu sendiri.
Akibatnya, dalam banyak perhelatan politik, seperti Pemilu, Pileg dan Pilkada, bendera agama acap kali dikibarkan oleh partai-partai politik untuk tujuan yang tidak ada kaitannya dengan kemuliaan agama. Bendera agama dipakai sekedar menguras suara pemilih sebanyak-banyaknya. Tentu saja kondisi seperti ini bertentangan dengan idealitas agama karena tidak sesuai dengan nilai hakiki agama. Karena itu perjuangan untuk implementasi syariat Islam di Indonesia hendaknya dilakukan dengan mewaspadai gejala-gejala yang dikhawatirkan tadi.
Tampaknya akan lebih baik bila perjuangan untuk menegakkan syariat Islam di suatu wilayah, Aceh misalnya didahului dengan upaya-upaya transformasi dan humanisasi masyarakat. Tujuannya, untuk menata kehidupan sosial dan politik umat Islam di wilayah tersebut dengan mengintensifkan program-program pemberdayaan masyarakat yang manfaatnya segera dirasakan seluruh warga secara konkret. Di antaranya memberikan perlindungan hukum sehingga tumbuh rasa aman dan percaya, lalu penyediaan fasilitas publik yang murah dan bermutu serta terjangkau untuk semua masyarakat. Misalnya, membangun sarana pendidikan (khusunya pendidikan keislaman), rumah sakit, angkutan umum, air bersih, listrik, dan berbagai kebutuhan primer lainnya. Dengan begitu diharapkan masyarakat akan terbebas dari musuh-musuh agama yang paling menakutkan, yaitu ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan ketertindasan.
Kesimpulan
Grand design Syari'at Islam yang sedang dirumuskan di Aceh hendaknya mempertimbangkan prinsip-prinsip ajaran Islam universal yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kompatibel dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Eksitensi syari'at Islam, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber pokok, hanya meletakkan dasar-dasar dan prinsip peraturan perundang-undangan secara global. Adapun rincian dan implementasinya selalu membutuhkan ra’yi (ijtihad), berupa penggunaan daya nalar seseorang atau kelompok secara kritis dan sungguh-sungguh. Ijtihad selalu diperlukan demi menemukan suatu hukum yang benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Daya nalar yang digunakan dalam menentukan suatu hukum dalam persoalan yang tidak mendapat pengaturan di dalam Al-Qur'an dan Hadis, disamping harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, juga tidak boleh lepas dari ruh tasyri’ (tujuan syari'at Islam yang luhur). Tujuannya, tiada lain untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Wallahu a`lam bi as-shawab.
[1]Ketua Umum Indonesian Conference on Religions for Peace (ICRP) dapat dikontak via m-mulia@indo.net.id
[2] Lihat Abdul Rahman Wahid (Gus Dur), Muslim di Tengah Pergumulan Sosial (Jakarta: LEPPENAS, 1981), h. 11.
[3] Simak lebih jelasnya dalam uraian Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz IV (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1969), h. 125.
[4] Lihat Muhammad Hudari Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), h. 15. Tentang azas pertama di atas (‘adam al-kharaj), dapat dilihat misalnya QS. al-Baqarah: 185 dan 286. Tentang azas kedua (taqlil al-Takalif), dapat dilihat misalnya dalam Q.S. al-Hajj: 78 dan al-A’raf: 158. Sedangkan azas ketiga (al-tadrij fi tasyri’), dapat dilihat misalnya tentang metode Al-Quran dalam penetapan hukum khamar yang dilakukan secara bertahap. Untuk lebih jelasnya, lihat QS. al-Baqarah: 219, al-Nisa”: 45 dan al-Maidah: 90-91.
[5] Lihat Subhi Mahmashshani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Sudjono dengan judul Filsafat Hukum dalam Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981), h. 164-166.
[6] Simak dengan terinci dalam Abbas Mahmud al-Akkad, Haqaiq al-Islam wa Abathil Khusumah (Mesir: Dar al-Hilal, 1975), h. 265.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar