Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara
dan sederajat. Keduanya sama-sama diciptakan untuk menjadi khalifah fil ardh
(the moral agent) demi melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi
(amar ma’ruf nahy munkar) yang tujuan akhirnya membangun masyarakat yang
maju, damai dan sejahtera dalam ridha Allah (baldatun thayyibah wa rabbun
ghafur). Untuk tujuan yang mulia ini Tuhan telah menganugerahkan seperangkat
potensi dan kemampuan kepada keduanya agar mampu berkiprah seoptimal mungkin
dalam kehidupan di dunia dengan tujuan memperoleh kebahagiaan abadi di akhirat
nanti.
Namun, dalam realitas sosial di masyarakat, tidak semua
perempuan mampu melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah fil ardh secara optimal karena sejumlah faktor menghambat.
Di antaranya, faktor kultur masyarakat yang masih kuat dipengaruhi budaya
patriarki. Budaya yang melihat perempuan hanya sebagai obyek sangat sulit
dihapuskan karena sudah tertanam dalam benak masyarakat sejak ribuan tahun
lalu. Tambahan lagi, faktor struktur berupa regulasi pemerintah dan kebijakan
publik yang masih bias gender. Tidak hanya itu, faktor interpretasi agama yang
sangat memojokkan perempuan juga merupakan kendala lain bagi perempuan untuk
berkiprah secara maksimal.
Salah satu bidang kehidupan yang cukup terjal dijalani
kaum perempuan di Indonesia adalah bidang ekonomi. Masyarakat terlanjur
memahami bahwa dunia ekonomi adalah dunia laki-laki. Tidak heran jika sejumlah
regulasi dan kebijakan publik hanya menempatkan perempuan sebagai pekerja
tambahan, bukan sebagai pekerja utama. Meski perempuan merupakan pencari nafkah
utama dalam keluarga, tetap saja dianggap sebagai pencari nafkah tambahan.
Secara tradisional, pola keluarga patriarkhi menempatkan
istri sebagai pihak yang mengurusi pekerjaan domestik. Sistem patriarkhi dalam
sejarah gender merupakan sistem yang menempatkan kekuasaan laki-laki atas
perempuan dalam segala aspek kehidupan. Dalam aspek ekonomi segenap manajemen
senantiasa menggantungkan pengusahaan survival keluarga kepada laki-laki
(suami), sementara perempuan (istri) menempatkan diri pada penerimaan serta
pembelanjaan keluarga. Perempuan dianggap sebagai bagian penting dari faktor
domestik, sedangkan laki-laki (suami) ditempatkan pada posisi publik. Peranan
domestik perempuan adalah peranan sosial yang terkait dengan aktivitas internal
rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, dan melayani suami, sedangkan
peranan publik adalah peranan sosial yang berkaitan dengan aktivitas sosial,
ekonomi, dan politik di luar rumah tangga. Jika peranan tersebut dapat
dilakukan oleh seorang perempuan maka dia memainkan peranan ganda. Peranan ganda
perempuan dapat dilihat secara kasat mata di masyarakat.
Di samping itu, interpretasi agama pun sangat kuat
menunjuk laki-laki sebagai pemberi nafkah, dan perempuan hanyalah penerima
nafkah. Implikasi dari pemahaman seperti ini adalah laki-laki menjadi kepala
rumah tangga karena mereka penanggung jawab ekonomi keluarga. Laki-laki
mendapatkan warisan dua kali lebih banyak dari bagian perempuan dan seterusnya.
Pertanyaan muncul, bagaimana menghadapkan interpretasi agama yang normatif ini
dengan realitas sosial yang sudah berubah drastis? Lihat saja di sekeliling
kita, hampir semua perempuan bekerja, baik bekerja di luar rumah maupun di
dalam rumah. Bahkan, secara ekonomi tidak sedikit perempuan yang penghasilannya
lebih banyak dari laki-laki. Di antara mereka justru menjadi tulang punggung
ekonomi keluarga, perempuanlah yang menopang seluruh kebutuhan keluarga.
Perempuan memiliki sejumlah keunggulan dibanding
laki-laki. Umumnya mereka lebih tekun bekerja, lebih teliti dalam melihat
peluang kerja, lebih hemat dalam pengeluaran keuangan dan lebih peka terhadap
kebutuhan anggota keluarga. Hanya saja, umumnya perempuan belum sepenuhnya
merdeka dari hambatan kultur, struktur dan teologis. Tidak sedikit perempuan
pekerja harus memikul beban multi ganda dalam keluarga. Sebelum berangkat kerja
mereka harus menyelesaikan berbagai urusan domestik di rumah tangga. Mulai dari
urusan menyiapkan makanan untuk anggota keluarga, membersihkan rumah dan
beragam kerja-kerja rutin yang terlalu panjang untuk disebutkan di sini. Meski
punya asisten rumah tangga tetap saja mereka harus mampu menjadi manajer rumah
tangga yang baik. Sepulang kerja, urusan domestik pun masih menunggu sehingga
tidak sedikit mereka mengalami stres dan depresi karena tidak mampu menangani
semua persoalan dengan baik.
Berbeda dengan laki-laki, umumnya mereka tidak terbebani
oleh pekerjaan domestik di rumah tangga. Akibatnya, tidak sedikit laki-laki
menjadi sangat tergantung pada perempuan dalam kehidupannya. Tanpa perempuan
mereka sulit mandiri di rumah tangga karena sudah terbiasa semua keperluannya
ditangani oleh perempuan (ibu, isteri atau saudara perempuan). Kondisi ini
harus diubah. Laki-laki pun sebaiknya mengerti pekerjaan di rumah tangga dan dibebani
tanggung jawab mengelola urusan domestik. Untunglah sekarang kondisinya semakin
membaik, semakin banyak laki-laki yang sadar tentang tugas-tugas domestik mereka.
Ke depan, laki-laki dan perempuan hendaknya dididik untuk
mampu mengelola kerja-kerja domestik di rumah tangga dengan cara-cara
profesional sehingga keduanya dapat saling membantu dengan tulus dan penuh
kasih-sayang. Dengan demikian, keduanya pun dapat bekerja di luar rumah dengan
penuh tanggung jawab. Hal penting yang perlu ditanamkan kepada perempuan dan
laki-laki adalah menjadi manusia berguna, baik untuk diri sendiri, keluarga
maupun masyarakat luas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
sesama.
Perkembangan global pun tampaknya memihak kepada
perempuan. Akibat kemajuan sains dan teknologi, khususnya teknologi dalam
bidang transformasi dan informasi, semakin banyak lapangan kerja yang dapat
digeluti kaum perempuan. Jika sebelumnya, beragam pekerjaan tidak mungkin
dimasuki perempuan karena mengandalkan kelebihan fisik dan kekuatan otot, kini
akibat kemajuan teknologi hambatan tersebut dapat dihilangkan. Semakin banyak pekerjaan
tidak lagi membutuhkan kekuatan otot, melainkan membutuhkan kekuatan otak dan
kecekatan, dan hal ini lebih menguntungkan kaum perempuan.
Masalahnya, kemajuan sains dan teknologi yang memberi peluang kepada perempuan tidak selalu diiringi dengan perubahan budaya masyarakat dan juga perubahan struktur kebijakan publik oleh pemerintah. Akibatnya, budaya masyarakat yang masih meletakkan perempuan sebagai makhluk kelas dua dan berbagai kebijakan publik dan regulasi pemerintah yang bias gender menjadi penghalang besar bagi perempuan untuk berperan dalam memajukan ekonomi masyarakat padahal potensi dan peluang mereka seringkali sangat mengagumkan.
Masalahnya, kemajuan sains dan teknologi yang memberi peluang kepada perempuan tidak selalu diiringi dengan perubahan budaya masyarakat dan juga perubahan struktur kebijakan publik oleh pemerintah. Akibatnya, budaya masyarakat yang masih meletakkan perempuan sebagai makhluk kelas dua dan berbagai kebijakan publik dan regulasi pemerintah yang bias gender menjadi penghalang besar bagi perempuan untuk berperan dalam memajukan ekonomi masyarakat padahal potensi dan peluang mereka seringkali sangat mengagumkan.
Menarik membaca hasil temuan survei tentang Gender dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah di Indonesia oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah) yang menyimpulkan bahwa perusahaan perempuan berpotensi memajukan
perekonomian, meskipun perusahaan milik perempuan umumnya lebih kecil dibanding
perusahaan milik laki-laki. Survei tersebut juga menjelaskan, perusahaan milik
perempuan kebanyakan bergerak pada sektor informal yang membutuhkan banyak
tenaga kerja.
Pemerintah
berkomitmen mengintegrasikan komponen gender di dalam program, namun data berbasis gender tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) maupun calon
perusahaan peserta pengadaan masih sangat terbatas. Tujuan
utama survei adalah mengisi kekosongan (gap)
tersebut, merumuskan pengetahuan dasar dan data tentang perusahaan milik
perempuan dan lelaki penyedia barang dan jasa bagi pemerintah, memahami isu-isu
utama yang menjadi tantangan, serta mengusulkan solusinya.
LKPP dengan dukungan dari MCC (Millennium
Challenge Corporation) melalui MCA-Indonesia terlibat dalam Proyek
Modernisasi Pengadaan yang terfokus pada reformasi dan modernisasi sistem
pengadaan barang/jasa pemerintah Indonesia. Survei LKPP tahun
2013 tersebut mengambil sampel sebanyak 406 perusahaan yang tersebar di Jakarta dan Bandung. Ini
adalah survei pertama yang menyoroti aspek gender dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia, sehingga menjadi capaian penting dalam Proyek
Modernisasi Pengadaan. Penelitian
tersebut bertujuan menemukan hambatan berbasis gender yang dihadapi perusahaan milik perempuan dan laki-laki dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah,
serta mengidentifikasi cara menjadikan persaingan lebih adil dan transparan bagi perempuan dan laki-laki. Survei
ini sesuai dengan komitmen pemerintah dalam Peraturan Presiden nomor 70/2012 tentang proses pengadaan yang non-diskriminatif, efisien, dan efektif. Survei ini juga menginisiasi dan merumuskan definisi Perusahaan
Milik Perempuan melalui sejumlah diskusi dengan pemangku kepentingan serta menarik
pengalaman dan contoh di tingkat internasional. Proses tersebut
menyepakati definisi perusahaan milik perempuan sebagai “perusahaan yang
dipimpin dan dikelola oleh satu atau lebih perempuan”, atau “perusahaan di mana
perempuan pengelola memiliki saham dalam struktur kepemilikan perusahaan”.
Temuan menarik dalam survei ini, umumnya para perempuan
pengusaha memiliki motivasi utama untuk menciptakan lapangan kerja. Artinya,
mereka punya kepedulian yang tinggi untuk mengentaskan kemiskinan dan
penganguran. Tahun 2006 sebuah studi di lima provinsi menemukan bahwa 97%
responden perempuan pengusaha mengaku termotivasi untuk menciptakan pekerjaan
dan mengurangi pengangguran. Studi itu juga menyimpulkan, perempuan masih menghadapi sejumlah tantangan dalam
mengakses pengadaan dan mendapatkan nilai kontrak di lingkungan institusi
pemerintah. Salah satu penyebabnya, rerata perusahaan mereka lebih kecil
ketimbang perusahaan milik lelaki.
Lebih rinci survei mengungkapkan, perusahaan milik
perempuan memiliki omzet rata-rata 4,4 kali lebih kecil daripada perusahaan
milik laki-laki. Namun, perusahaan milik perempuan mempekerjakan
lebih banyak pekerja dan manajer yang juga perempuan. Artinya, meningkatkan kesempatan
perempuan pengusaha menjadi salah
satu strategi untuk meningkatkan tenaga kerja perempuan yang produktif. Semakin banyak perusahaan yang dimiliki
perempuan akan mempekerjakan lebih banyak tenaga perempuan.
Selain itu, rata-rata omzet tahunan perusahaan milik
perempuan yang pernah mengajukan pinjaman bank dan menjadi penyedia bagi
pemerintah adalah Rp 9,1 miliar, hanya sepertiga dari rerata omzet tahunan
perusahaan milik laki-laki (Rp 25,7 miliar). 62% dari perusahaan
milik laki-laki yang pernah ikut tender pemerintah pernah mengajukan pinjaman
ke bank, namun hanya sekitar 50% perusahaan milik perempuan yang melakukannya.
Mayoritas perusahaan milik perempuan mengetahui informasi
pelelangan melalui media. Sebanyak 61% perusahaan milik perempuan mendapat kontrak melalui lelang umum, sedangkan hanya 52%
perusahaan milik laki-laki mendapatkannya dengan cara yang sama. Adapun perusahaan
milik lelaki lebih banyak mendapat informasi dari
petugas pelayanan dan mendapat kontrak dari penunjukan langsung.
Problem paling nyata bagi perempuan adalah sekitar 25%
perusahaan milik perempuan (21% pada laki-laki) yang tidak pernah ikut lelang
atau menjadi penyedia barang/jasa pemerintah percaya tidak akan mendapat
kontrak karena proses pengadaan hanya formalitas, pemerintah sudah memutuskan
pemenangnya. Satu dari tiga responden merasa aturan pengadaan pemerintah terlalu
banyak dan membingungkan. Banyaknya
peraturan yang tumpang-tindih tersebut
menjadi alasan utama mereka tidak
berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah. Anggapan tentang adanya korupsi menjadi
alasan lain yang disebut oleh 15% perusahaan.
Selain itu, kurangnya informasi merupakan hambatan serius
bagi perusahaan kecil untuk mendapatkan peluang. Meskipun Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 mengatur proyek bernilai hingga Rp 2,5
miliar dialokasikan bagi perusahaan kecil, 92% perusahaan milik perempuan (76% laki-laki) yang tidak pernah mengikuti
pelelangan dan tidak pernah menjadi penyedia tidak tahu tentang peraturan
tersebut.
Hasil survei juga menyebutkan adanya unsur diskriminasi
terhadap perempuan dalam interaksi dengan petugas pelayanan untuk mendapatkan
informasi dan akses pengadaan. Menurut pengalaman pengusaha perempuan
yang bekerja pada bisnis pengendalian hama, pemerintah dirasa lebih
suka berbicara dengan laki-laki daripada perempuan. Ini pengakuan seorang
perempuan pengusaha: “Ketika saya bernegosiasi
dengan staf pemerintah, saya pernah ditanya, “Apakah benar Anda direkturnya? Tidak malu bekerja dengan hama?” Mereka tidak percaya saya bekerja di
sektor tersebut. Kemudian saya
minta ayah saya untuk menolong saya bernegosiasi, semua berjalan seperti biasa. Tapi ketika saya mengundang mereka ke
pertemuan, mereka berkata, “Ok, di mana kita akan makan siang?”Jadi saya merasa
sedikit dilecehkan dan memutuskan tidak melakukan negosiasi itu lagi.”
Hal
lain yang menggembirakan, umumnya pengusaha perempuan lebih enggan menggunakan
mekanisme sanggah saat tak sukses dalam pengadaan. 69% perusahaan milik perempuan
dan 53% perusahaan milik laki-laki menganggap itu tidak berguna karena masih kentalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme, kurangnya transparansi, dan ketakutan dimasukan dalam daftar hitam pengusaha.
Hasil survei juga mengungkapkan, terdapat
hubungan positif antara keanggotaan asosiasi bisnis
dengan keberhasilan memenangkan kontrak pemerintah. Sekitar 50% perusahaan yang pernah ikut lelang umum juga
aktif dalam asosiasi bisnis. Namun, pengusaha perempuan umumnya belum cukup
aktif dalam asosiasi bisnis.
Ke depan, saya pikir pemerintah perlu segera mengadopsi
definisi resmi tentang perusahaan milik perempuan, yang diintegrasikan dalam sistem informasi pengadaan
secara elektronik untuk dipantau dan dipublikasikan secara berkala. Pemerintah
selayaknya juga meningkatkan transparansi pengadaan, terutama dengan perbaikan berkelanjutan pada sistem pengadaan
secara elektronik. Selain itu,
pemerintah perlu melaksanakan peningkatan kapasitas yang menyasar lebih banyak ULP perempuan dan perusahaan milik perempuan, serta menyediakan dan membudayakan sistem umpan balik
atau gugatan sebagai bentuk akuntabilitas layanan.
Selanjutnya, Perusahaan milik perempuan disarankan agar lebih proaktif dalam
asosiasi bisnis, sehingga meningkatkan jejaring akses informasi dan meningkatkan
peluang untuk untuk sukses memenangkan tender pengadaan pemerintah. Mereka pun perlu membantu pemerintah meningkatkan
sistem pengadaan dengan aktif memberikan umpan balik yang diajukan secara
anonim. Perusahaan milik perempuan direkomendasikan
pula memaksimalkan berbagai sesi diskusi untuk berbagi informasi dan
peningkatan kapasitas, terutama untuk meningkatkan pendidikan dan pengetahuan
tentang cara berkompetisi yang profesional.
Mitra pembangunan disarankan untuk mendukung reformasi kebijakan dan
peningkatan kapasitas untuk perbaikan
kebijakan dalam pengadaan barang/jasa, meningkatkan
kesetaraan, transparansi, efisiensi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan
barang/jasa pemerintah. Mereka juga perlu mendukung
peningkatan kapasitas yang berfokus pada perusahaan milik perempuan, serta mendukung
penguatan asosiasi bisnis perempuan dan peluang jejaring.
Akhirnya, untuk kemajuan ekonomi bangsa dan kesejahteraan
seluruh masyarakat, peluang dan akses perempuan untuk berkiprah dalam dunia
ekonomi harus dibuka seluas-luasnya. Untuk itu, sejumlah kebijakan dan regulasi
yang masih bias gender perlu segera direvisi. Demikian juga, interpretasi agama
yang ramah terhadap perempuan dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan
harus menjadi mainstream di masyarakat. Pemerintah dan masyarakat
hendaknya sepakat menjadikan perempuan sebagai subyek pembangunan, termasuk
dalam bidang ekonomi karena mereka adalah warga negara penuh dan manusia
merdeka yang posisinya setara dengan kaum laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar