Musdah Mulia[1]
Pendahuluan
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD
KHI) yang diajukan Tim PUG Departemen Agama tahun 2004 menyatakan secara tegas
bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan
(Pasal 6). Tanpa pencatatan (Akta Nikah), perkawinan batal secara hukum dan
pelakunya harus mendapatkan sanksi karena telah melakukan pelanggaran terhadap
hukum yang berlaku. Hanya saja, draft CLD KHI belum sampai merumuskan secara
konkret sanksi hukum terhadap pelanggar.
Karena itu, dapatlah dipahami respon yang
sangat kuat terhadap Rancangan Undang-Undang Materiil Peradilan Agama (RUU MPA)
di bidang perkawinan akhir-akhir ini. Sebab, RUU tersebut merumuskan sanksi
pemidanaan bagi mereka yang menikah tanpa pencatatan atau dikenal dengan kawin
sirri (pasal 143).
Spirit ketentuan baru tersebut adalah
memberikan proteksi terhadap isteri dan anak-anak. Selama ini merekalah paling
banyak merasakan kesengsaraan akibat tiadanya pencatatan perkawinan yang
menjadi bukti legal bagi pemenuhan hak-hak mereka. Bahkan, juga memproteksi
laki-laki dari tuntutan orang-orang yang mengaku isteri atau anak.
Tanpa pencatatan (Akta Nikah) berarti tak ada
proteksi hukum bagi isteri dan anak-anak. Hal ini seharusnya menyadarkan
masyarakat untuk tidak menikah secara sirri. Sebab, jika terjadi masalah
dalam perkawinan, maka sangat sulit bagi isteri dan anak-anak untuk memperoleh
hak-haknya, seperti hak nafkah, hak tunjangan, hak waris, dan hak isteri atas
harta gono-gini, serta sejumlah hak lainnya.
Karena itu, pencatatan perkawinan bukan
dimaksudkan sebagai intervensi negara terhadap masalah agama, melainkan harus
dilihat dalam konteks pemenuhan hak-hak sipil warga. Adalah kewajiban negara
melindungi warganya dengan melakukan pencatatan perkawinan dan peristiwa vital
lain dalam kehidupan warganya.
Apa itu Perkawinan Tanpa Pencatatan?
Perkawinan tanpa pencatatan adalah perkawinan
yang tidak dicatatkan di institusi negara yang berwenang, yakni KUA (Kantor
Urusan Agama) bagi umat Islam dan KCS (Kantor Catatan Sipil) bagi non-Muslim.
Ada sejumlah alasan mengapa perkawinan tidak dicatatkan. Namun, alasan
mengemuka adalah: 1) karena mempelai laki-laki masih terikat perkawinan. Jadi,
dia ingin melakukan poligami tanpa diketahui isteri terdahulu. 2) karena
mempelai laki-laki tidak memiliki identitas diri yang jelas, umumnya karena dia
pendatang atau orang asing; 3) karena mempelai perempuan tidak mendapat restu
dari orang tua atau walinya; 4) karena mempelai laki-laki -dan ada juga
perempuan- hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual, bukan untuk tujuan
membentuk keluarga sakinah yang penuh mawaddah wa rahmah; 5) karena
mempelai laki-laki kawin dengan perempuan di bawah umur atau anak-anak
(pedofili); 6) dan untuk tujuan trafficking
(penjualan manusia). Perkawinan merupakan cara paling mudah merenggut anak-anak
perempuan dari keluarganya.
Selain itu, ada pula karena alasan teologis.
Mereka melakukan perkawinan tanpa pencatatan ini karena meyakini demikianlah
syariat Islam. Dalam Syariat yang mereka yakini, pencatatan bukanlah sebuah
keharusan agama. Tidak sedikit pula yang menolak mencatatkan perkawinannya
dengan alasan keuangan. Mereka mengaku tidak punya cukup uang untuk membayar
biaya administrasi pencatatan di kantor pemerintah. Menurut mereka biaya
administrasi sangat mahal. Demikian juga, ditemukan sekelompok masyarakat tidak
mencatatkan perkawinan mereka karena terhalang oleh peraturan pemerintah,
seperti kelompok penghayat kepercayaan dan penganut agama di luar 6 agama yang
diakui pemerintah. Contohnya, komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan
Parmalim di Sumatera Utara, juga tidak mencatatkan perkawinan karena agama
mereka tidak diakui pemerintah. Mereka ditolak di KUA dan di KCS.
Kalau laki-laki dan perempuan sungguh-sungguh
punya niat baik untuk membangun keluarga sakinah sebagaimana dianjurkan Islam,
mengapa mereka menghindari pencatatan? Karena itu, dapat dipastikan bahwa kawin
sirri hanya dilakukan oleh mereka yang bermasalah atau punya motivasi tidak
terpuji.
Mengapa Kawin Tanpa Pencatatan?
Paling tidak, ada tiga argumentasi mengemuka
dari kelompok pro kawin sirri atau mereka yang setuju kawin tanpa pencatatan.
Pertama, menurut mereka, negara tidak boleh mencampuri urusan agama warganya.
Kalau kawin sirri dilarang, dan apalagi dianggap perbuatan kriminal, maka
prostitusi semakin menjadi marak. Menurut mereka, kawin sirri adalah sah dalam
ajaran Islam.
Menurut saya, pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan
untuk mencampuri urusan agama
masyarakat. Sebab, pencatatan sejatinya merupakan kewajiban negara dengan
tujuan memproteksi warga. Pencatatan ditujukan kepada semua warga negara tanpa
melihat agamanya. Dokumen HAM internasional menggariskan kewajiban negara
mencatat seluruh peristiwa vital dalam kehidupan warga, seperti kelahiran,
perkawinan, perceraian, dan kematian. Itulah yang disebut catatan sipil.
Semakin maju dan modern sebuah negara semakin tertib dan rapi catatan sipilnya.
Sejumlah negara Islam, seperti Yordan
mewajibkan pencatatan perkawinan dan bagi mereka yang melanggar terkena sanksi
pidana. Undang-undang Perkawinan Yordan, tahun 1976, pasal 17 menjelaskan bahwa
mempelai laki-laki berkewajiban mendatangkan qadhi atau wakilnya dalam
upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana ditunjuk oleh qadhi
mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila
perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka semua pihak yang terlibat dalam
upacara perkawinan, yaitu kedua
mempelai, wali dan saksi-saksi dapat dikenakan hukuman berdasarkan Jordanian
Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar.
Kedua, alasan mereka bahwa jika kawin sirri dilarang, dan apalagi dianggap
perbuatan kriminal, maka perzinahan akan semakin merebak. Menurut saya, ini
adalah pandangan yang sangat dangkal dan juga keliru. Sebagai makhluk bermartabat,
manusia dianugerahi pilihan bebas. Manusia memiliki banyak pilihan dalam
hidupnya, bukan hanya kawin sirri dan prostitusi. Manusia dapat memilih kawin
sesuai hukum; atau menunda kawin dan menyibukkan diri dengan aktivitas sosial;
atau berpuasa agar dapat mengelola syahwat. Dan sejumlah pilihan positif
lainnya.
Sebaliknya, menurut saya, dengan dibolehkannya
kawin sirri, maka prostitusi terselubung semakin merebak. Bahkan, sebagian
orang menyebut kawin sirri sebagai prostitusi dengan ijab-qabul. Secara kasat
mata di masyarakat banyak dijumpai “mafia” yang menawarkan paket kawin sirri,
di dalamnya sudah termasuk oknum penghulu liar (bukan dari KUA), saksi dan wali
yang semuanya serba dibayar. Lalu, apakah perbuatan rekayasa demikian masih
pantas disebut perkawinan yang dalam Islam mengandung nilai ibadah? Apakah
pantas disebut ibadah jika proses dan prosedurnya sarat dengan tindakan
manipulasi dan menghalalkan segala cara? Belum lagi, akibat dari kawin sirri
banyak menimbulkan mudarat, khususnya bagi isteri dan anak.
Ketiga, alasan mereka bahwa perkawinan secara Islam tidak membutuhkan
pencatatan. Memang betul soal pencatatan perkawinan tidak ditemukan dalam
kitab-kitab fikih klasik. Sebab, ketika itu kehidupan masyarakat masih sangat
sederhana, pencatatan belum menjadi kebutuhan. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu, terjadi perubahan yang demikian pesat akibat kemajuan
teknologi dan dinamika masyarakat sesuai tuntutan zaman. Kehidupan manusia
semakin kompleks dan rumit. Pencatatan menjadi suatu kebutuhan demi
kemaslahatan manusia dalam hidup bermasyarakat.
Pentingnya Pencatatan
Perkawinan
Persoalan pencatatan
perkawinan dalam Draft UU Materiil Peradilan Agama mengacu kepada UU Perkawinan
Tahun 1974, pasal 2: (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu;
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pada hakikatnya kedua ayat dalam pasal tersebut
bermakna satu, yakni sahnya perkawinan adalah dicatatkan. Artinya, perkawinan
yang tidak dicatatkan tidak sah menurut negara dan pengertian itu pula yang
diperpegangi oleh para hakim di pengadilan, baik pengadilan negeri maupun
agama. Akan tetapi, masyarakat umumnya
memahami sahnya perkawinan adalah jika sudah dilakukan berdasarkan hukum agama
meskipun tidak dicatatkan.
Pemahaman masyarakat tersebut mengacu kepada
pandangan mazhab Syafi`i yang meyakini syarat sahnya perkawinan apabila
tersedia lima unsur, yaitu, adanya kedua mempelai, ijab qabul, saksi, wali, dan
mahar. Berdasarkan pandangan fiqh tersebut pencatatan dianggap bukan merupakan
rukun atau syarat sahnya perkawinan. Karena itu, di masyarakat banyak dijumpai
perkawinan yang tidak tercatatkan yang dikenal dengan istilah kawin sirri atau
kawin bawah tangan. Bahkan, data Kementerian Agama R.I, tahun 2013
menjelaskan sekitar 40% perkawinan di masyarakat tidak tercatatkan.
Untuk perbaikan ke depan kedua ayat dalam pasal
KHI tersebut hendaknya digabungkan saja sehingga berbunyi: Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
dan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya disertakan sanksi yang ketat bagi mereka yang melanggar aturan, dan
sanksi itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sehingga efektif
menghalangi munculnya kasus perkawinan bawah tangan (tidak dicatatkan).
Akan tetapi, meskipun soal pencatatan itu tidak
dimasukkan sebagai salah satu rukun nikah dalam KHI, namun harus diakui bahwa
pencatatan perkawinan dalam KHI telah diatur lebih rinci, seperti terbaca dalam
pasal-pasal 4,5,6 dan 7. Berbagai
ketentuan dalam pasal tersebut sesungguhnya telah mengarah kepada pengertian
bahwa pada hakikatnya fungsi pencatatan perkawinan merupakan
"keharusan" hukum. Keharusan itu didasarkan pada pengembangan
"illat ketertiban" perkawinan di lingkungan komunitas Muslim. Oleh
karena itu, setiap perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan, apalagi jika
dilakukan di luar PPN adalah perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Secara
teknis yuridis, setiap perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan hukum dianggap
tidak pernah ada (never existed).
Dengan demikian, meskipun KHI tidak secara
tegas menempatkan pencatatan sebagai faktor formal keabsahan perkawinan, namun
ditinjau dari segi teknis yuridis maka ketentuan pasal-pasal 5, 6 dan 7 sudah
cukup jelas menempatkan fungsi pencatatan sebagai syarat yang menentukan
kekuatan hukum suatu perkawinan.
Hanya perkawinan yang
dicatat PPN yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, selain itu dipandang
"tidak memiliki kekuatan hukum"
atau tidak sah secara hukum. Tuntutan persyaratan formal berupa
pencatatan perkawinan yang sudah menjadi kelaziman di masa modern sekarang ini
harus diterima sebagai persyaratan dalam konteks hukum Islam. Hal itu didasarkan
pada ketentuan hukum: "jika ada ketentuan yang mengharuskan dipenuhinya
syarat formal itu di samping syarat materiil, maka keduanya hendaklah dipahami
sebagai hukum Islam".
Pembahasan lebih luas, bukan hanya di kalangan pemikir dan kasus
Indonesia, tetapi juga pemikir dan kasus negara lain tentang status pencatatan
perkawinan, berikut diuraikan pandangan sejumlah cendekiawan dan pemikir. Di
antara mereka adalah Ahmad Safwat, seorang pakar hukum asal Mesir. Safwat
mengharuskan pencatatan perkawinan berdasar pada pemikiran bahwa ada hukum yang
mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum ini tidak berubah kecuali
hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna
(efisien). Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan,
cara itulah yang lebih diutamakan. Kehadiran saksi dalam akad nikah, menurut
Ahmad Safwat, bertujuan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai (publik).
Kalau ada cara yang lebih baik atau lebih memuaskan untuk mencapai tujuan
tersebut, cara ini dapat diganti, yakni dengan pencatatan perkawinan secara
formal (official registration)[2]
Dengan ungkapan lain, pencatatan perkawinan bagi Safwat sebagai ganti dari
kehadiran saksi, sebuah rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah.
Untuk perbaikan RUU Materil Peradilan Agama ke
depan, tawaran revisi yang diberikan adalah: Pertama, pencatatan perkawinan
ditegaskan sebagai salah satu rukun atau syarat sahnya perkawinan disertai
sanksi yang berat bagi pihak-pihak yang menikahkan tanpa pencatatan. Kedua,
pencatatan merupakan kewajiban negara,
dan sebaliknya menjadi hak warga negara. Kemudian, agar tidak menjadi sumber
korupsi bagi oknum-oknum tertentu yang akan menyengsarakan rakyat, pencatatan
perkawinan hendaknya dilakukan secara gratis di kelurahan.
Dalil Syar’i Pencatatan Perkawinan
Mendukung pandangan
tersebut, sejumlah argumentasi teologis dapat dikedepankan, di antaranya:
1.Surah al-Baqarah, 2: 228: berisi perintah menuliskan transaksi atau perjanjian utang-piutang.
2.Hadis Nabi: … jangan melacur dan jangan melakukan pernikahan sirri” (Lihat Kitab an-Nikah, Sunan at-Tirmizi, hadis no. 1008; Kitab an-Nikah Sunan an-Nasai no. 3316-3317; Kitab an-Nikah, Sunan Ibn Majah, hadis no. 1886).
3.Terdapat sejumlah hadis menghimbau agar mengumumkan perkawinan (Lihat as-Sarakhsi, al-Mabsut; V:31; Sunan at-Tirmidzi no. 1009; Sunan Ibn Majah no. 1885; dan Musnad Ahmad no. 15545) dan hadis-hadis yang menghendaki hadirnya empat unsur dalam akad nikah demi sahnya sebuah perkawinan.
4.Atsar Umar yang tidak mengakui sahnya perkawinan jika hanya dihadiri satu orang saksi.
Terlihat jelas bahwa
Al-Baqarah, 2:282 sangat bisa dijadikan dalil untuk pencatatan perkawinan.
Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa
urusan perjanjian utang-piutang saja sudah disyariatkan untuk dituliskan, tentu
akan lebih penting lagi mencatatkan perjanjian atau akad yang mengikat
kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan. Apalagi, perkawinan dalam Qur’an
dianggap perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan).
Qiyas yang digunakan
tersebut dalam istilah ushul fikih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang
hukumnya pada furu' lebih kuat dari pada yang melekat pada asalnya). Perkawinan
sejatinya merupakan transaksi yang penting, bahkan jauh lebih penting dari
transasksi lainnya dalam kehidupan manusia. Kalau suatu transaksi hutang saja
harus dicatat, bukankah transaksi perkawinan merupakan hal yang lebih krusial
untuk dicatatkan?
Terakhir, sangat relevan diungkapkan di sini pernyataan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih Mazhab Hanbali. Dia menulis dalam kitabnya, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin: "Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kemaslahatan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, seperti keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri."
Dampak Buruk Perkawinan Tanpa Pencatatan
Muncul pertanyaan kritis, mengapa pencatatan perlu dijadikan salah satu rukun sehingga menentukan sah tidaknya suatu perkawinan? Jawabnya demi kemaslahatan manusia. Sebab, perkawinan yang tidak tercatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-anak. Bagi istri, dampaknya secara hukum adalah tidak dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki Akta Nikah sebagai bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian atau suami meninggal dunia; istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Adapun dampaknya bagi anak
adalah status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Di
dalam akta kelahiran akan dicantumkan “anak luar nikah”. Konsekuensinya, anak
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, dan tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayah (ps. 42 dan 43 UUP). Tentu saja
pencantuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psikologis
bagi si anak dan ibunya.
Tambahan lagi bahwa
ketidakjelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan anak tidak berhak atas
nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan dari ayahnya. Selain berdampak
hukum, perkawinan ini juga membawa dampak sosial yang sangat buruk bagi
perempuan. Perempuan yang melakukannya akan sulit bersosialisasi di masyarakat
karena mereka sering dianggap sebagai istri simpanan atau melakukan
"kumpul kebo" (tinggal serumah tanpa menikah).
Jika
disimpulkan ada sejumlah problem sosial
sebagai dampak perkawinan yang tidak dicatatkan, yaitu: maraknya poligami sebab
hampir semua perkawinan poligami tidak dicatatkan; Maraknya perkawinan bawah
tangan (perkawinan sirri), dan nikah kontrak; Maraknya prostitusi terselubung;
Ketiadaan Akta Nikah menyebabkan pengabaian dan penelantaran hak-hak istri dan
anak, serta penghilangan status mereka secara hukum; dan Ketiadaan Akta Nikah menyulitkan pengambilan
Akta Lahir bagi anak, dan itu akan berimplikasi buruk dalam kehidupan anak
kelak.
Selama
ini berkembang anggapan, nikah yang dilakukan tanpa pencatatan (nikah sirri)
bisa di-itsbat-kan. Anggapan ini sangat keliru, karena nikah sirri
berada di luar konteks sebab itsbat. Nikah sirri bukan merupakan salah
satu sebab dibolehkannya itsbat. Solusi bagi mereka yang terlanjur
menikah tanpa pencatatan adalah datang menghadap ke kantor KUA dengan membawa
para saksi yang masih hidup disertai bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa
mereka betul telah menikah. Di sana mereka disumpah dengan sanksi yang tegas
jika melanggar sumpah. Lalu, KUA dapat mencatatkan perkawinan dan selanjutnya
menerbitkan Akta Nikah bagi mereka.
Menurut Abu Hasan
al-Mawardi dan Ibn Taimiyah, pemerintah
dalam hukum Islam memiliki kewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk
eksploitasi dan perlakuan yang merugikan dengan menciptakan peraturan-peraturan
yang dapat menimbulkan ketenteraman dan kedamaian. Sebagai uli al-amr pemerintah
mempunyai dua fungsi utama, yaitu fi harasah al-din (menjaga agama) dan fi
siyasah al-dunya` (mengatur urusan dunia).
Dalam pelaksanaan kedua
fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya,[3] sepanjang tidak
mengajak kepada kemungkaran dan tidak pula mendatangkan kemudharatan. Dalam
konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan membuat
perundang-undangan dalam bidang siyasah al-syar'iyah. Siyasah al-syar'iyah
adalah seperangkat aturan yang dibuat pemerintah dalam rangka menunjang
keberlakuan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, meskipun belum pernah dirumuskan
oleh ulama sebelumnya.
Oleh karena itu, negara
berkewajiban mempersiapkan peraturan perundang-undangan untuk mengantisipasi
adanya perilaku diskriminasi dan eksploitasi
yang merugikan rakyatnya. Kewajiban negara ini, antara lain didasarkan
pada kaidah-kaidah fikih berikut: tasharruf al-imam ala ar-ra'yah manutun bi
al-maslahah dan inna li waliyyi al-amr an ya'mura bi al-mubah lama
yarahu min al-maslahah al-'ammah wa mata amara bihi wajabat tha'atuhu. Kaidah fiqh tersebut menurut Al-Suyuthi
berangkat dari pernyataan Imam Syafii bahwa: manzilah al-imam min ar-ra'yah
manzilah al-waliy min al-yatim. [4]
Akhirnya, ke depan sangat perlu desakan kuat
kepada pemerintah untuk melarang pernikahan tanpa pencatatan, dengan menghukum
para pelanggarnya. Selain itu, yang penting juga dilakukan adalah melakukan
pemberdayaan komponen pelaksanaan hukum (structure of law). Wallahu
a'lam bi as-shawab.
[1]
Profesor
riset bidang lektur agama dan Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on
Religions for Peace)
[2]Ahmat
Safwat, "Qa'idat Islah Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah,"
Makalah pada Pertemuan bar Association di Alexandria, Mesir, tanggal 5 Oktober
1917, hlm 20-30, seperti dikutip Farhat J. Ziadeh, Lihat Farhat J. Ziadeh,
Lawyers, the Rule of and Liberalism in Modern Egypt (California: Stanford
University, 1968), hlm. 126.
[3] Abu Hasan al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr,
t.th, Beirut, h.5. Lihat juga Ibn
Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar`iyah, Dar al-Kitab al-Gharbi, 1951, h.
22-25.
[4]
Lihat Al-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzair fi al-Furu', t.th,
h. 83-84; Ibn Nujaim, Al-Asybah wa
an-Nadzair, al-Halabi, Kairo, 1968, h. 123;
dan Ali Ahmad an-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Qalam, Damsyiq,
1986, h. 122-123 dan 138.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar