Minggu, 18 Desember 2016

Kawin Tanpa Pencatatan?

Musdah Mulia[1]







Pendahuluan
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang diajukan Tim PUG Departemen Agama tahun 2004 menyatakan secara tegas bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan (Pasal 6). Tanpa pencatatan (Akta Nikah), perkawinan batal secara hukum dan pelakunya harus mendapatkan sanksi karena telah melakukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Hanya saja, draft CLD KHI belum sampai merumuskan secara konkret sanksi hukum terhadap pelanggar. 
Karena itu, dapatlah dipahami respon yang sangat kuat terhadap Rancangan Undang-Undang Materiil Peradilan Agama (RUU MPA) di bidang perkawinan akhir-akhir ini. Sebab, RUU tersebut merumuskan sanksi pemidanaan bagi mereka yang menikah tanpa pencatatan atau dikenal dengan kawin sirri (pasal 143).
Spirit ketentuan baru tersebut adalah memberikan proteksi terhadap isteri dan anak-anak. Selama ini merekalah paling banyak merasakan kesengsaraan akibat tiadanya pencatatan perkawinan yang menjadi bukti legal bagi pemenuhan hak-hak mereka. Bahkan, juga memproteksi laki-laki dari tuntutan orang-orang yang mengaku isteri atau anak.
Tanpa pencatatan (Akta Nikah) berarti tak ada proteksi hukum bagi isteri dan anak-anak. Hal ini seharusnya menyadarkan masyarakat untuk tidak menikah secara sirri. Sebab, jika terjadi masalah dalam perkawinan, maka sangat sulit bagi isteri dan anak-anak untuk memperoleh hak-haknya, seperti hak nafkah, hak tunjangan, hak waris, dan hak isteri atas harta gono-gini, serta sejumlah hak lainnya.
Karena itu, pencatatan perkawinan bukan dimaksudkan sebagai intervensi negara terhadap masalah agama, melainkan harus dilihat dalam konteks pemenuhan hak-hak sipil warga. Adalah kewajiban negara melindungi warganya dengan melakukan pencatatan perkawinan dan peristiwa vital lain dalam kehidupan warganya.



Apa itu Perkawinan Tanpa Pencatatan?
Perkawinan tanpa pencatatan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan di institusi negara yang berwenang, yakni KUA (Kantor Urusan Agama) bagi umat Islam dan KCS (Kantor Catatan Sipil) bagi non-Muslim. Ada sejumlah alasan mengapa perkawinan tidak dicatatkan. Namun, alasan mengemuka adalah: 1) karena mempelai laki-laki masih terikat perkawinan. Jadi, dia ingin melakukan poligami tanpa diketahui isteri terdahulu. 2) karena mempelai laki-laki tidak memiliki identitas diri yang jelas, umumnya karena dia pendatang atau orang asing; 3) karena mempelai perempuan tidak mendapat restu dari orang tua atau walinya; 4) karena mempelai laki-laki -dan ada juga perempuan- hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual, bukan untuk tujuan membentuk keluarga sakinah yang penuh mawaddah wa rahmah; 5) karena mempelai laki-laki kawin dengan perempuan di bawah umur atau anak-anak (pedofili);  6) dan untuk tujuan trafficking (penjualan manusia). Perkawinan merupakan cara paling mudah merenggut anak-anak perempuan dari keluarganya.
Selain itu, ada pula karena alasan teologis. Mereka melakukan perkawinan tanpa pencatatan ini karena meyakini demikianlah syariat Islam. Dalam Syariat yang mereka yakini, pencatatan bukanlah sebuah keharusan agama. Tidak sedikit pula yang menolak mencatatkan perkawinannya dengan alasan keuangan. Mereka mengaku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya administrasi pencatatan di kantor pemerintah. Menurut mereka biaya administrasi sangat mahal. Demikian juga, ditemukan sekelompok masyarakat tidak mencatatkan perkawinan mereka karena terhalang oleh peraturan pemerintah, seperti kelompok penghayat kepercayaan dan penganut agama di luar 6 agama yang diakui pemerintah. Contohnya, komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Parmalim di Sumatera Utara, juga tidak mencatatkan perkawinan karena agama mereka tidak diakui pemerintah. Mereka ditolak di KUA dan di KCS.
Kalau laki-laki dan perempuan sungguh-sungguh punya niat baik untuk membangun keluarga sakinah sebagaimana dianjurkan Islam, mengapa mereka menghindari pencatatan? Karena itu, dapat dipastikan bahwa kawin sirri hanya dilakukan oleh mereka yang bermasalah atau punya motivasi tidak terpuji.

Mengapa Kawin Tanpa Pencatatan?
Paling tidak, ada tiga argumentasi mengemuka dari kelompok pro kawin sirri atau mereka yang setuju kawin tanpa pencatatan. Pertama, menurut mereka, negara tidak boleh mencampuri urusan agama warganya. Kalau kawin sirri dilarang, dan apalagi dianggap perbuatan kriminal, maka prostitusi semakin menjadi marak. Menurut mereka, kawin sirri adalah sah dalam ajaran Islam.
Menurut saya, pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk  mencampuri urusan agama masyarakat. Sebab, pencatatan sejatinya merupakan kewajiban negara dengan tujuan memproteksi warga. Pencatatan ditujukan kepada semua warga negara tanpa melihat agamanya. Dokumen HAM internasional menggariskan kewajiban negara mencatat seluruh peristiwa vital dalam kehidupan warga, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian. Itulah yang disebut catatan sipil. Semakin maju dan modern sebuah negara semakin tertib dan rapi catatan sipilnya.
Sejumlah negara Islam, seperti Yordan mewajibkan pencatatan perkawinan dan bagi mereka yang melanggar terkena sanksi pidana. Undang-undang Perkawinan Yordan, tahun 1976, pasal 17 menjelaskan bahwa mempelai laki-laki berkewajiban mendatangkan qadhi atau wakilnya dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana ditunjuk oleh qadhi mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka semua pihak yang terlibat dalam upacara perkawinan, yaitu  kedua mempelai, wali dan saksi-saksi dapat dikenakan hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar.
Kedua, alasan mereka bahwa jika kawin sirri dilarang, dan apalagi dianggap perbuatan kriminal, maka perzinahan akan semakin merebak. Menurut saya, ini adalah pandangan yang sangat dangkal dan juga keliru. Sebagai makhluk bermartabat, manusia dianugerahi pilihan bebas. Manusia memiliki banyak pilihan dalam hidupnya, bukan hanya kawin sirri dan prostitusi. Manusia dapat memilih kawin sesuai hukum; atau menunda kawin dan menyibukkan diri dengan aktivitas sosial; atau berpuasa agar dapat mengelola syahwat. Dan sejumlah pilihan positif lainnya.
Sebaliknya, menurut saya, dengan dibolehkannya kawin sirri, maka prostitusi terselubung semakin merebak. Bahkan, sebagian orang menyebut kawin sirri sebagai prostitusi dengan ijab-qabul. Secara kasat mata di masyarakat banyak dijumpai “mafia” yang menawarkan paket kawin sirri, di dalamnya sudah termasuk oknum penghulu liar (bukan dari KUA), saksi dan wali yang semuanya serba dibayar. Lalu, apakah perbuatan rekayasa demikian masih pantas disebut perkawinan yang dalam Islam mengandung nilai ibadah? Apakah pantas disebut ibadah jika proses dan prosedurnya sarat dengan tindakan manipulasi dan menghalalkan segala cara? Belum lagi, akibat dari kawin sirri banyak menimbulkan mudarat, khususnya bagi isteri dan anak.
Ketiga, alasan mereka bahwa perkawinan secara Islam tidak membutuhkan pencatatan. Memang betul soal pencatatan perkawinan tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Sebab, ketika itu kehidupan masyarakat masih sangat sederhana, pencatatan belum menjadi kebutuhan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan yang demikian pesat akibat kemajuan teknologi dan dinamika masyarakat sesuai tuntutan zaman. Kehidupan manusia semakin kompleks dan rumit. Pencatatan menjadi suatu kebutuhan demi kemaslahatan manusia dalam hidup bermasyarakat.



Pentingnya Pencatatan Perkawinan
Persoalan pencatatan perkawinan dalam Draft UU Materiil Peradilan Agama mengacu kepada UU Perkawinan Tahun 1974, pasal 2: (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu;  (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada hakikatnya kedua ayat dalam pasal tersebut bermakna satu, yakni sahnya perkawinan adalah dicatatkan. Artinya, perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut negara dan pengertian itu pula yang diperpegangi oleh para hakim di pengadilan, baik pengadilan negeri maupun agama. Akan tetapi,  masyarakat umumnya memahami sahnya perkawinan adalah jika sudah dilakukan berdasarkan hukum agama meskipun tidak dicatatkan. 
Pemahaman masyarakat tersebut mengacu kepada pandangan mazhab Syafi`i yang meyakini syarat sahnya perkawinan apabila tersedia lima unsur, yaitu, adanya kedua mempelai, ijab qabul, saksi, wali, dan mahar. Berdasarkan pandangan fiqh tersebut pencatatan dianggap bukan merupakan rukun atau syarat sahnya perkawinan. Karena itu, di masyarakat banyak dijumpai perkawinan yang tidak tercatatkan yang dikenal dengan istilah kawin sirri atau kawin bawah tangan. Bahkan, data Kementerian Agama R.I, tahun 2013 menjelaskan sekitar 40% perkawinan di masyarakat tidak tercatatkan.
Untuk perbaikan ke depan kedua ayat dalam pasal KHI tersebut hendaknya digabungkan saja sehingga berbunyi: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya disertakan sanksi yang ketat bagi mereka yang melanggar aturan, dan sanksi itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sehingga efektif menghalangi munculnya kasus perkawinan bawah tangan (tidak dicatatkan).
Akan tetapi, meskipun soal pencatatan itu tidak dimasukkan sebagai salah satu rukun nikah dalam KHI, namun harus diakui bahwa pencatatan perkawinan dalam KHI telah diatur lebih rinci, seperti terbaca dalam pasal-pasal  4,5,6 dan 7. Berbagai ketentuan dalam pasal tersebut sesungguhnya telah mengarah kepada pengertian bahwa pada hakikatnya fungsi pencatatan perkawinan merupakan "keharusan" hukum. Keharusan itu didasarkan pada pengembangan "illat ketertiban" perkawinan di lingkungan komunitas Muslim. Oleh karena itu, setiap perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan, apalagi jika dilakukan di luar PPN adalah perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Secara teknis yuridis, setiap perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan hukum dianggap tidak pernah ada (never existed).
Dengan demikian, meskipun KHI tidak secara tegas menempatkan pencatatan sebagai faktor formal keabsahan perkawinan, namun ditinjau dari segi teknis yuridis maka ketentuan pasal-pasal 5, 6 dan 7 sudah cukup jelas menempatkan fungsi pencatatan sebagai syarat yang menentukan kekuatan hukum suatu perkawinan.
 Hanya perkawinan yang dicatat PPN yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, selain itu dipandang "tidak memiliki kekuatan hukum"  atau tidak sah secara hukum. Tuntutan persyaratan formal berupa pencatatan perkawinan yang sudah menjadi kelaziman di masa modern sekarang ini harus diterima sebagai persyaratan dalam konteks hukum Islam. Hal itu didasarkan pada ketentuan hukum: "jika ada ketentuan yang mengharuskan dipenuhinya syarat formal itu di samping syarat materiil, maka keduanya hendaklah dipahami sebagai hukum Islam".
Pembahasan lebih luas, bukan hanya di kalangan pemikir dan kasus Indonesia, tetapi juga pemikir dan kasus negara lain tentang status pencatatan perkawinan, berikut diuraikan pandangan sejumlah cendekiawan dan pemikir. Di antara mereka adalah Ahmad Safwat, seorang pakar hukum asal Mesir. Safwat mengharuskan pencatatan perkawinan berdasar pada pemikiran bahwa ada hukum yang mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum ini tidak berubah kecuali hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna (efisien). Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah yang lebih diutamakan. Kehadiran saksi dalam akad nikah, menurut Ahmad Safwat, bertujuan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai (publik). Kalau ada cara yang lebih baik atau lebih memuaskan untuk mencapai tujuan tersebut, cara ini dapat diganti, yakni dengan pencatatan perkawinan secara formal (official registration)[2] Dengan ungkapan lain, pencatatan perkawinan bagi Safwat sebagai ganti dari kehadiran saksi, sebuah rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah.
Untuk perbaikan RUU Materil Peradilan Agama ke depan, tawaran revisi yang diberikan adalah: Pertama, pencatatan perkawinan ditegaskan sebagai salah satu rukun atau syarat sahnya perkawinan disertai sanksi yang berat bagi pihak-pihak yang menikahkan tanpa pencatatan. Kedua, pencatatan  merupakan kewajiban negara, dan sebaliknya menjadi hak warga negara. Kemudian, agar tidak menjadi sumber korupsi bagi oknum-oknum tertentu yang akan menyengsarakan rakyat, pencatatan perkawinan hendaknya dilakukan secara gratis di kelurahan.

Dalil Syar’i Pencatatan Perkawinan
Mendukung pandangan tersebut, sejumlah argumentasi teologis dapat dikedepankan, di antaranya:
1.Surah al-Baqarah, 2: 228: berisi perintah menuliskan transaksi atau perjanjian utang-piutang.
2.Hadis Nabi: … jangan melacur dan jangan melakukan pernikahan sirri” (Lihat  Kitab an-Nikah, Sunan at-Tirmizi, hadis no. 1008;  Kitab an-Nikah Sunan an-Nasai no. 3316-3317;  Kitab an-Nikah, Sunan Ibn Majah, hadis no. 1886). 
3.Terdapat sejumlah hadis menghimbau agar mengumumkan perkawinan (Lihat as-Sarakhsi, al-Mabsut; V:31;  Sunan at-Tirmidzi no. 1009;  Sunan Ibn Majah no. 1885; dan Musnad Ahmad no. 15545)  dan hadis-hadis  yang menghendaki hadirnya empat unsur dalam akad nikah demi sahnya sebuah perkawinan.
4.Atsar Umar yang tidak mengakui sahnya perkawinan jika hanya dihadiri satu orang saksi.
Terlihat jelas bahwa Al-Baqarah, 2:282 sangat bisa dijadikan dalil untuk pencatatan perkawinan. Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa urusan perjanjian utang-piutang saja sudah disyariatkan untuk dituliskan, tentu akan lebih penting lagi mencatatkan perjanjian atau akad yang mengikat kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan. Apalagi, perkawinan dalam Qur’an dianggap perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan).
Qiyas yang digunakan tersebut dalam istilah ushul fikih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang hukumnya pada furu' lebih kuat dari pada yang melekat pada asalnya). Perkawinan sejatinya merupakan transaksi yang penting, bahkan jauh lebih penting dari transasksi lainnya dalam kehidupan manusia. Kalau suatu transaksi hutang saja harus dicatat, bukankah transaksi perkawinan merupakan hal yang lebih krusial untuk dicatatkan? 
Terakhir, sangat relevan diungkapkan di sini pernyataan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih Mazhab Hanbali. Dia menulis dalam kitabnya, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin: "Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kemaslahatan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, seperti keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri."



Dampak Buruk Perkawinan Tanpa Pencatatan


Muncul pertanyaan kritis, mengapa pencatatan perlu dijadikan salah satu rukun sehingga menentukan sah tidaknya suatu perkawinan? Jawabnya demi kemaslahatan manusia. Sebab, perkawinan yang tidak tercatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-anak. Bagi istri, dampaknya secara hukum adalah tidak dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki Akta Nikah sebagai bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya, istri  tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian atau suami meninggal dunia; istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Adapun dampaknya bagi anak adalah status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Di dalam akta kelahiran akan dicantumkan “anak luar nikah”. Konsekuensinya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah (ps. 42 dan 43 UUP). Tentu saja pencantuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.




Tambahan lagi bahwa ketidakjelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan dari ayahnya. Selain berdampak hukum, perkawinan ini juga membawa dampak sosial yang sangat buruk bagi perempuan. Perempuan yang melakukannya akan sulit bersosialisasi di masyarakat karena mereka sering dianggap sebagai istri simpanan atau melakukan "kumpul kebo" (tinggal serumah tanpa menikah).
Jika disimpulkan ada sejumlah problem  sosial sebagai dampak perkawinan yang tidak dicatatkan, yaitu: maraknya poligami sebab hampir semua perkawinan poligami tidak dicatatkan; Maraknya perkawinan bawah tangan (perkawinan sirri), dan nikah kontrak; Maraknya prostitusi terselubung; Ketiadaan Akta Nikah menyebabkan pengabaian dan penelantaran hak-hak istri dan anak, serta penghilangan status mereka secara hukum;   dan Ketiadaan Akta Nikah menyulitkan pengambilan Akta Lahir bagi anak, dan itu akan berimplikasi buruk dalam kehidupan anak kelak.
     Selama ini berkembang anggapan, nikah yang dilakukan tanpa pencatatan (nikah sirri) bisa di-itsbat-kan. Anggapan ini sangat keliru, karena nikah sirri berada di luar konteks sebab itsbat. Nikah sirri bukan merupakan salah satu sebab dibolehkannya itsbat. Solusi bagi mereka yang terlanjur menikah tanpa pencatatan adalah datang menghadap ke kantor KUA dengan membawa para saksi yang masih hidup disertai bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa mereka betul telah menikah. Di sana mereka disumpah dengan sanksi yang tegas jika melanggar sumpah. Lalu, KUA dapat mencatatkan perkawinan dan selanjutnya menerbitkan Akta Nikah bagi mereka.
Menurut Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah, pemerintah dalam hukum Islam memiliki kewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan yang merugikan dengan menciptakan peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan ketenteraman dan kedamaian. Sebagai uli al-amr pemerintah mempunyai dua fungsi utama, yaitu fi harasah al-din (menjaga agama) dan fi siyasah al-dunya` (mengatur urusan dunia).
Dalam pelaksanaan kedua fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya,[3] sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran dan tidak pula mendatangkan kemudharatan. Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan membuat perundang-undangan dalam bidang siyasah al-syar'iyah. Siyasah al-syar'iyah adalah seperangkat aturan yang dibuat pemerintah dalam rangka menunjang keberlakuan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, meskipun belum pernah dirumuskan oleh ulama sebelumnya.
Oleh karena itu, negara berkewajiban mempersiapkan peraturan perundang-undangan untuk mengantisipasi adanya perilaku diskriminasi dan eksploitasi  yang merugikan rakyatnya. Kewajiban negara ini, antara lain didasarkan pada kaidah-kaidah fikih berikut: tasharruf al-imam ala ar-ra'yah manutun bi al-maslahah dan inna li waliyyi al-amr an ya'mura bi al-mubah lama yarahu min al-maslahah al-'ammah wa mata amara bihi wajabat tha'atuhu.  Kaidah fiqh tersebut menurut Al-Suyuthi berangkat dari pernyataan Imam Syafii bahwa: manzilah al-imam min ar-ra'yah manzilah al-waliy min al-yatim. [4]
Akhirnya, ke depan sangat perlu desakan kuat kepada pemerintah untuk melarang pernikahan tanpa pencatatan, dengan menghukum para pelanggarnya. Selain itu, yang penting juga dilakukan adalah melakukan pemberdayaan komponen pelaksanaan hukum (structure of law). Wallahu a'lam bi as-shawab.














[1] Profesor riset bidang lektur agama dan Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace)
[2]Ahmat Safwat, "Qa'idat Islah Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah," Makalah pada Pertemuan bar Association di Alexandria, Mesir, tanggal 5 Oktober 1917, hlm 20-30, seperti dikutip Farhat J. Ziadeh, Lihat Farhat J. Ziadeh, Lawyers, the Rule of and Liberalism in Modern Egypt (California: Stanford University,  1968), hlm. 126.
[3] Abu Hasan al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, t.th,  Beirut, h.5. Lihat juga Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar`iyah, Dar al-Kitab al-Gharbi, 1951, h. 22-25.

[4] Lihat Al-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzair fi al-Furu', t.th, h. 83-84;  Ibn Nujaim, Al-Asybah wa an-Nadzair, al-Halabi, Kairo, 1968, h. 123;  dan Ali Ahmad an-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Qalam, Damsyiq, 1986, h. 122-123 dan 138.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar