Siti Musdah Mulia[1]
Al-Qur’an menegaskan bahwa kewajiban menjalankan
ibadah puasa hanya ditujukan kepada orang-orang beriman: perempuan dan
laki-laki. Tujuannya jelas, agar mereka menjadi muttaqin (manusia yang
bertakwa sepenuhnya kepada Tuhan) (QS. al-Baqarah,
2:183). Tidak heran, kalau hanya sedikit manusia yang mampu
menjalankan ibadah puasa dengan benar. Sebab, kewajiban berpuasa ternyata bukan
untuk semua manusia, melainkan terbatas pada manusia pilihan.
Puasa itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama disebut
puasa umum, yaitu menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual. Tingkat
kedua dinamakan puasa khusus, yaitu di samping menahan diri dari tiga hal yang
disebutkan terdahulu, juga menahan seluruh anggota tubuh lainnya, seperti mulut,
telinga, mata, kaki dan tangan dari perilaku yang berpotensi mendatangkan dosa.
Tingkat ketiga, sering disebut sebagai puasa paling khusus. Puasa jenis ini
bukan hanya menahan tubuh jasmaniah, melainkan juga aspek batiniah, seperti
pikiran, perasaan, dan angan-angan dari semua hal yang berpotensi membawa
kepada dosa dan maksiat. Puasa seperti inilah yang dapat menenangkan hati
pelakunya dari berbagai godaan, hasrat dan keinginan. Puasa yang mendorong
pelakunya untuk menghormati sesama manusia dan menghargai nilai-nilai
kemanusiaan. Seyogyanya, semakin bertambah usia manusia semakin tinggi pula
tingkat amalan puasanya. Manusia terbaik tidak lagi berkutat pada jenis puasa
umum, yakni sebatas menjaga diri dari makan, minum dan seks.
Nabi saw. tidak henti-hentinya mengingatkan para
pengikutnya agar berpuasa dengan penuh keimanan sehingga puasa itu dapat
mengubah kualitas diri ke arah lebih positif, menjadi orang bertakwa. Akan
tetapi, dalam realitas sehari-hari dijumpai tidak sedikit manusia berpuasa,
namun sikap dan perilakunya tidak berubah secara signifikan. Dalam konteks
inilah Nabi saw. menjelaskan bahwa tidak semua pelaku puasa mendapatkan hidayah
dan rahmat ilahi. Justru sebagian besar mereka hanya merasakan lapar dan dahaga
(HR. An-Nasaiy dan Ibn Majah dari Abu Hurairah).
Peringatan Nabi itu agaknya penting direnungkan secara
serius. Sebab, dalam realitas sehari-hari banyak orang mengaku berpuasa, tetapi
sebetulnya mereka tidak sungguh-sungguh berpuasa, melainkan hanya mengundur jam
makan. Bahkan, jumlah dan kualitas makanan atau minuman yang disiapkan ketika
berpuasa lebih banyak dan lebih bervariasi. Buktinya, kebutuhan finansial dan anggaran
belanja keluarga selalu meningkat pada bulan Ramadhan dibandingkan bulan
lainnya.
Akibatnya, terlihat kasat mata. Aktivitas puasa tidak
mampu mencegah para penguasa dan pengusaha melakukan korupsi dan menindas
rakyat kacil. Puasa tidak mampu mencegah
suami melakukan kekerasan terhadap isteri. Puasa tidak mencegah para Pimpinan
Proyek menggelembungkan dana pembangunan. Puasa tidak mencegah para hakim dan
jaksa menerima suap. Puasa tidak mencegah para calo memperdagangkan (traficking)
perempuan dan anak-anak. Puasa tidak mencegah para pemilik PJTKI memperbudak
sesamanya manusia. Puasa tidak mencegah para pengusaha Lapindo mengeksploitasi para
korban lumpur. Puasa tidak mencegah anggota dewan melahirkan peraturan yang
diskriminatif. Puasa tidak mencegah para tengkulak memanipulasi harga-harga
kebutuhan pokok. Bahkan, aktivitas puasa tidak mampu mencegah pemuka agama mendominasi
dan mengeksploitasi jamaahnya.
Pertanyaan muncul, lalu untuk apa puasa itu
dilakukan? Sejatinya semua ibadah yang
dilakukan manusia harus mendatangkan efek positif bagi sesama. Kalau ibadah
tidak mendatangkan manfaat bagi sesama manusia untuk apa? Tuhan tidak
membutuhkan ibadah manusia karena Dia Maha Sempurna dan Maha Segalanya. Ibadah
sepenuhnya harus bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Sebaiknya mari
waspada: Jangan-jangan kita memang belum puasa dalam arti sesungguhnya. Puasa
yang secara bertahap membebaskan manusia dari belenggu ketamakan, keserakahan,
kepicikan, kesombongan, kebencian dan
kemunafikan.
Puasa adalah amanah, hendaknya setiap manusia
menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya (HR. Ibnu Mas’ud dalam
Makarim Akhlaq)). Tujuan utama puasa Ramadhan adalah menjadikan manusia bukan
hanya beriman, melainkan juga bertakwa kepada Allah swt. (QS. al-Baqarah, 2:183). Salah satu indikasi nyata dari keimanan dan
ketakwaan seseorang adalah mampu melaksanakan amanah. Arti amanah mencakup segala sesuatu yang dipercayakan
kepada manusia, baik menyangkut hak diri sendiri, hak orang lain, maupun hak
Allah swt. Dengan demikian, puasa dan amanah bagaikan dua sisi mata uang. Puasa
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa, sedangkan amanah
merupakan salah satu indikasi yang paling nyata dari keimanan dan ketakwaan.
Bahkan, hadis Nabi saw. menegaskan: la
imaana liman la amaanata lah (tidaklah beriman seseorang yang tidak
melaksanakan amanah). (HR. Ahmad III, 135 dan 210).
Islam adalah agama paling vokal bicara tentang
pentingnya amanah. Mengapa? Sebab, pelaksanaan amanah amat menentukan kualitas
iman dan takwa seseorang. Itulah sebabnya, Nabi saw. berulang kali bersabda:
“Tunaikanlah amanah, dan jangan pernah kamu mengkhianati amanah yang dititipkan
kepadamu.” (HR Abu Dawud dan Tirmizi). Karena itu, jangan pernah meremehkan
amanah. Sekecil apa pun amanah itu.
Amanah merupakan isu penting dalam Al-Qur’an. Kitab
suci ini menyebut kata amanah setidaknya dalam lima makna. Pertama, kata amanah disinggung
dalam kaitan dengan isu kesaksian (QS, 2:283). Amanah dalam konteks ayat
tersebut bermakna keharusan memberikan kesaksian yang benar dan larangan
menyembunyikan kebenaran, mekipun resikonya sangat berat. Kedua, disebutkan dalam
isu keadilan (QS, 4:58). Amanah berarti
kewajiban menetapkan hukum secara adil, tidak ada diskriminasi, juga
tanpa eksploitasi. Ketiga, digunakan dalam kaitan larangan berkhianat (QS,
8:27). Amanah berarti larangan berlaku khianat. Setiap Muslim dan Muslimat
diharamkan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta menghianati amanah yang
dipercayakan kepadanya. Keempat, disebutkan dalam konteks sifat manusia
terpuji (QS, 70:32). Amanah adalah satu
di antara sifat terpuji yang harus dimiliki manusia yang beriman dan bertakwa,
yakni sifat manusia yang tidak berkeluh kesah bila mengalami kesulitan hidup,
sebaliknya tidak arogan bila mendapatkan kesenangan. Jadi manusia yang amanah
adalah manusia yang memiliki integritas kepribadian yang stabil dan mantap,
tidak mudah berubah-ubah meski godaan datang silih berganti. Kelima, disebutkan
dalam kaitan penciptaan manusia (QS, 33:72). Amanah berarti kemampuan memikul
tanggung jawab. Ketika Allah swt. menawarkan amanah untuk mengelola kehidupan
dunia kepada langit, bumi, gunung-gunung tak satupun sanggup mengembannya,
kecuali manusia. Ternyata, hanya manusia berani menyatakan kesanggupannya.
Menarik dicermati bahwa dalam kaitan dengan
pelaksanaan amanah, sejak dini Allah swt. menvonis manusia dengan tudingan
negatif sebagai makhluk yang amat zalim dan amat bodoh (QS, 33:72). Mengapa?
Karena dalam realitas sosiologis di masyarakat, sebagian besar manusia telah
secara vulgar dan terang-terangan, tanpa rasa malu sedikitpun, mempertontonkan
perilaku yang amat zalim, amat serakah dan amat bodoh. Buktinya, sangat kasat
mata. Sebagai contoh, sudah umum diketahui bahwa tugas sebagai pejabat publik
di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif sangat tidak gampang, penuh
godaan, penuh fitnah, dan penuh intrik. Walaupun begitu, tetap saja tidak
menyurutkan keinginan banyak manusia mengejar jabatan tersebut. Bahkan,
orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi diri untuk jabatan
itupun sangat bersemangat meraihnya. Kalau perlu, dengan jalan pintas, seperti money
politic.
Puasa Ramadhan hakikatnya merupakan media pelatihan
diri yang efektif, terutama. melatih diri agar terhindar dari semua perilaku
negatif, seperti khianat, meremehkan amanah, tidak jujur, suka berdusta, dan
gemar berjanji palsu. Sebaliknya, puasa melatih diri terbiasa berperilaku
positif, seperti menolong dan menghormati hak orang lain, terutama kelompok
rentan dan minoritas, memenuhi janji, berkata jujur, rendah hati dan rela
berkurban demi kepentingan orang banyak. Melalui ibadah puasa, diharapkan dapat
meningkatkan kualitas ketakwaan individu, yang pada gilirannya mampu mengemban
amanah secara lebih profesional. Itulah ciri mukminat dan mukmin sejati. Wallahu
a’lam bi as-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar