Puasa sebagaimana ibadah
lain dalam Islam memiliki dua dimensi, hablun min Allah (hubungan
vertikal dengan Allah swt.) dan hablun min an-nas (hubungan horisontal
antar-manusia). Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keimanan
dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban), maka secara tidak langsung dalam
pengabdiannya kepada Allah itu juga akan termanifestasi pengabdiannya kepada
kemanusiaan. Dimensi sosial dari puasa itu, antara lain terlihat bahwa jika
seseorang karena suatu halangan tertentu tidak berpuasa, maka baginya
diwajibkan memberi makan sejumlah fakir-miskin. Dengan demikian makna sosial
dari puasa itu adalah menumbuhkan solidaritas sosial atau kepedulian sosial
kepada kelompok yang susah dan lapar. Dengan demikian, ibadah puasa diharapkan
dapat menumbuhkan dalam diri seseorang keinginan untuk selalu mengorbankan atau
mendermakan sebagian harta demi membantu fakir-miskin kapan saja, bukan hanya
pada bulan Ramadhan.
Ibadah puasa mengandung
sejumlah hikmah, di antaranya: Pertama, puasa menggugah rasa syukur manusia. Puasa
hendaknya dilakukan sebagai ungkapan syukur manusia kepada Sang Pencipta atas
berbagai nikmat yang telah diberikan (Q.S. al-Baqarah, 2:183). Kedua,
puasa melatih diri mengendalikan nafsu
syahwat, baik syahwat perut maupun syahwat seksual. Dalam keadaan lapar, kekuatan
nafsu, termasuk di dalamnya nafsu birahi dapat dieliminir dan ditekan
sedemikian rupa. Dalam kaitan inilah Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa telah
merasa sanggup berumah tangga, hendaklah ia menikah. Sesungguhnya menikah itu
lebih melindungi penglihatan dan lebih memelihara kehormatan. Akan tetapi, jika
seseorang belum mampu menikah, hendaknya berpuasa karena puasa itu dapat
mengurangi nafsu birahi (HR. Bukhari dari Abdullah ra.). Ketiga, puasa
menahan diri dari melakukan berbagai kejahatan dan maksiat. Sebab, maksiat
muncul akibat nafsu tidak terkontrol. Keempat, puasa menyehatkan diri,
karena pekerjaan perut tidak terlalu berat sebagaimana pada hari-hari biasa.
Dalam kaitan ini, sangat relevan sabda Nabi saw.: "Berpuasalah agar
kamu sehat" (HR. Abu Daud). Karena itu, dalam kehidupan masyarakat
modern dewasa ini, di mana banyak orang menderita penyakit jantung, kelebihan
kolesterol, obesitas dan sebagainya, puasa dapat menjadi salah satu alternatif
penyembuhan. Kelima, puasa melatih kejujuran, kesabaran, dan
kedisiplinan serta memperkuat tekad untuk selalu melakukan aktivitas yang
bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Keenam, membangun rasa
solidaritas dan kepedulian sosial. Dengan puasa, seseorang diajak merasakan
kelaparan, kesusahan dan penderitaan kelompok fakir miskin di sekitarnya.
Selanjutnya diharapkan agar timbul solidaritas sosial memikirkan nasib dan
membantu meringankan penderitaan mereka. Puasa dapat menjadi media yang
menjembatani antara kaya dan miskin, kesenjangan kelompok elit dan marginal
dapat dipersempit sehingga memungkinkan terjalin hubungan kasih sayang di
antara sesama manusia. Puasa mendorong adanya distribusi kekayaan secara adil.
Itulah kebijakan pertama Rasul dalam mewujudkan reformasi sosial.
Di periode akhir Ramadhan
ini, umat Islam diingatkan agar lebih menghayati puasa sebagai alat mewujudkan
solidaritas dan kepedulian sosial. Sejumlah ayat Al-Qur’an mengecam betapa
bahayanya sikap ketidakpedulian sosial. Sebaliknya, menyanjung betapa indahnya
sikap kesalehan sosial dan kepedulian sosial. Sejumlah surah dalam Al-Qur’an, seperti al-Ma’un, al-Humazah,
al-Takasur, dan al-Balad. sengaja diturunkan untuk mengapresiasi
sikap kepedulian sosial. Intinya, mengecam manusia yang kikir dan enggan
membantu sesamanya; mengutuk manusia yang asyik menumpuk harta, berlomba dalam
kemewahan dan kekayaan.
Al-Qur’an menjelaskan
secara tegas misi utama Rasul adalah membawa rahmat bagi seluruh manusia (Q.S,
21:107) atau dengan ungkapan lain, membantu manusia mewujudkan tata kehidupan
yang dipenuhi oleh nilai-nilai kepedulian dan kasih sayang. Bentuk kepedulian
dan kasih sayang kepada sesama dapat diwujudkan dengan mendistribusikan harta
demi kepentingan sosial. Akan tetapi, cara berbagi harta tidak perlu dengan
mengeksploitasi kemiskinan orang-orang yang selama ini sudah menderita akibat
kemiskinan itu sendiri. Karena itu, tragedi tewasnya sejumlah orang dalam acara
pembagian zakat di Pasuruan sungguh-sungguh mencerminkan sikap ketidakmatangan
beragama dan kedangkalan rasa kepedulian sosial, serta kemiskinan apresiasi terhadap sesama manusia.
Model dan cara distribusi harta seperti itu bertentangan dengan prinsip dasar
Islam. Alih-alih pembagian harta membuat orang lain menjadi senang dan gembira,
malah sebaliknya membuat orang lain berduka dan menderita.
Walaupun Islam
menganjurkan manusia untuk selalu berbagi sebagai perwujudan rasa kasih sayang
dan kepedulian kepada sesama, namun diingatkan agar tidak timbul sikap riya’
(suka pamer) dan sum’ah (suka dipuji) pada pelakunya. Setiap ibadah
yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah semata,
bukan untuk mendapatkan sanjungan, pujian, promosi dan kedudukan mulia di mata
manusia.
Sebagai penutup, ada
baiknya didengar ucapan Ali bin Abi Thalib berikut: Orang riya’ dan
sum’ah mempunyai beberapa ciri, yaitu malas beribadah kalau tidak ada yang
menyaksikan; sebaliknya sangat giat bahkan cenderung over acting kalau
ada yang menyaksikan, apalagi jika diekspose lewat kamera TV; amalnya bertambah
kalau banyak mendapat pujian dan sanjungan, tetapi amalnya akan berkurang kalau
sepi pujian. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah diingatkan bahwa semua amal
kebaikan seorang Muslim yang dimotivasi
oleh riya’ dan sum’ah akan dijadikan bagai debu berhamburan tidak
berharga. Semoga puasa tahun ini sungguh-sungguh menjadikan kita memiliki
kepedulian sosial yang tinggi kepada sesama, tanpa harus dicemari oleh sikap riya’
dan sum’ah. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar