Musdah Mulia[1]
Umat Islam merayakan hari kemenangan yang populer dengan sebutan
`Idul Fitr, 1 Syawal 1438 H setelah berpuasa selama sebulan penuh. Biasanya, ada
dua ungkapan populer terdengar saat `Idul Fitri, yaitu min al-`aidin wa
al-faizin (biasa ditulis: minal ‘aidin wal faizin) dan mohon maaf lahir
batin. Banyak mengira, kalimat kedua adalah terjemah dari kalimat
sebelumnya, padahal bukan. Ungkapan “mohon maaf lahir batin” merupakan tradisi
khas umat Islam Indonesia, tidak dikenal di negara-negara Arab.
Min al-`aidin wa al-faizin sejatinya adalah do`a yang selengkapnya berbunyi: ja`alana Allah wa
iyyakum min al-`aidin wa al-faizin. Artinya: semoga Allah menjadikan
kita semua tergolong orang-orang yang kembali
dan memperoleh kemenangan. Do`a tersebut mengandung dua konsep,
yakni al-`aidin (orang-orang yang kembali) dan al-faizin
(orang-orang yang memperoleh kemenangan). Muncul pertanyaan, siapa yang
dimaksud dengan mereka yang kembali dan memperoleh kemenangan?
Puasa Ramadhan berakhir dengan `Idul Fitri. Kata `id bahasa
Arab artinya kembali, jadi al-`aidin,
orang yang kembali. Adapun fithr berarti asal kejadian, agama yang
benar, atau kesucian. `Idul Fitri berarti kembali kepada asal kejadian,
agama yang benar, atau kesucian yang merupakan fitrah manusia. Sedangkan al-fa`izin
berarti orang-orang yang menang (QS. al-Hasyr, 59:20 dan Ali-Imran,
3:185). Puasa Ramadhan hakikatnya adalah suatu
mekanisme pengendalian diri demi menyucikan hati dan jiwa, kembali ke
jati diri manusia yang fitri yang selalu cenderung pada kebaikan dan kedamaian.
Mereka yang puasa dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, bukan karena terpaksa
atau riya (pamer) dinamakan orang-orang yang menang.
Melalui aktivitas puasa,
diharapkan manusia menjadi lebih suci, lebih beriman dan lebih takwa. Dengan
begitu, puasa menjadi media transformasi diri dan masyarakat ke arah yang lebih
baik, positif dan konstruktif. Sekaligus juga menjadi media pembebasan diri dan
masyarakat dari musuh-musuh agama yang konkret, seperti ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan.
Mengapa manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrah yang suci? Islam
sangat optimis memandang manusia dan meyakini setiap individu dilahirkan dalam
kondisi fitrah. Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan
(tauhid) yang tertanam dalam lubuk hati (nurani) yang merupakan pusat
kedirian manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan
alamiah mencari kebenaran, kedamaian dan kebaikan sehingga manusia disebut juga
sebagai makhluk hanif (lurus).
Ditemukan cukup
banyak ayat menegaskan, dalam hati nurani manusia telah dituliskan komitmen
suci untuk selalu mengikuti kebenaran dan kebaikan. Tugas para Nabi dan Rasul hanyalah mengingatkan kembali akan komitmen suci
tadi. Supaya selamat dan tidak melanggar komitmen, seharusnya setiap individu
selalu mendengarkan hati nuraninya. Setiap bentuk penyimpangan dari komitmen
tersebut adalah dosa, dan itulah mengapa manusia perlu bertobat.
Menarik dicermati, kata taubat dalam Bahasa Arab artinya kembali, kembali
kepada fitrah. Manusia yang baik bukan karena tidak pernah menyimpang dari
komitmen sucinya karena hal itu mustahil. Tidak ada manusia luput dari
kesalahan dan dosa. Akan tetapi, manusia yang baik adalah jika menyimpang, dia segera
sadar dan bertobat sambil bertekad tidak mengulangi kesalahan lagi (QS. Ali
Imran, 3:135). Puasa Ramadhan dan segala amal saleh di dalamnya merupakan
bentuk pertobatan manusia. Setelah sebulan berpuasa (tentu dengan memenuhi
semua persyaratannya) seseorang dapat suci kembali, seperti sucinya seorang
bayi yang baru lahir, demikian hadis Nabi.
Seharusnya dengan puasa umat Islam menjadi lebih meningkat kekuatan
spiritualnya, dan itu harus tercermin dari perilaku
sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Spiritualitas mendorong manusia selalu aktif melakukan upaya-upaya
transformasi dan humanisasi, antara lain melalui kegiatan pendidikan dalam arti
seluas-luasnya agar diri sendiri atau masyarakat semakin memahami agama secara
kritis dan rasional. Hal itu dapat juga
dilakukan melalui aktivitas pemberdayaan bagi kelompok lemah, miskin, rentan
dan marjinal; dan juga aktif melakukan kegiatan advokasi terhadap kelompok
tertindas; melawan semua bentuk kezaliman, ketidakadilan dan kekerasan,
terutama dilakukan oleh kelompok yang berkuasa.
Ironisnya, dalam realitas sosiologis banyak orang mengaku berpuasa, tetapi tidak
memiliki kesadaran spiritualitas. Indikasinya, mereka tidak memiliki kepekaan
untuk melawan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan, bahkan menjadi
pelakunya. Mereka tidak tergerak untuk menghapus segala bentuk perilaku
diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan, juga tidak terpanggil untuk
melakukan kerja-kerja kemanusiaan demi kemaslahatan orang banyak. Hal itu
karena puasa dipahami sebatas ajaran bersifat ritual formal.
Kekuatan spiritual amat penting dalam diri manusia karena mendorong manusia
selalu berbuat kebaikan dan kemashlahatan. Bahkan, juga mendorongnya untuk
memperindah akhlak mulia secara terus menerus, serta membentengi diri dari
semua perbuatan keji dan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik
dalam relasi vertikal dengan Allah, maupun dalam relasi horizontal dengan
sesama manusia, bahkan sesama makhluk, termasuk lingkungan sekitarnya.
Umat Islam sebagai kelompok terbanyak di negeri ini seharusnya mampu memberi
warna positif dan konstruktif pada kehidupan bangsa dan negara. Makna puasa
Ramadhan harus terefleksi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Puasa dan semua
ibadah lainnya hendaknya bukan hanya mewujudkan kesalehan individual, melainkan
juga kesalehan sosial yang berdampak pada kemashlahatan seluruh masyarakat,
khususnya bagi kelompok rentan dan marjinal.
Yang jelas, identitas al-`aidin wa al-faizin dapat terlihat pada
mereka yang sudah berkomitmen untuk tidak mengeksploitasi sesama manusia
melalui kerja-kerja yang koruptif dan manipulatif; tidak berperilaku anarkis,
tiranik dan despotik; tidak mendiskriminasikan sesama atas dasar gender, etnis,
agama dan sebagainya; tidak merusak dan mengeksploitasi lingkungan atas nama
pembangunan dan atas nama apa pun; tidak menjual agama demi kepentingan apa
pun; tidak mencuri kekayaan negara demi kesenangan diri, keluarga dan kelompok;
dan tidak tergoda hidup mewah, konsumtif dan hedonistik. Sebaliknya, al-`aidin wa al-faizin
adalah mereka yang terpanggil untuk sepenuhnya mendonasikan hidup dan karya
demi kemashlahatan dan kebaikan orang banyak.
Apakah kita sungguh-sungguh tergolong al-`aidin wa al-faizin?
Jawabnya, ada pada nurani masing-masing. Akhirnya, mari bersama mengucapkan min
al-`aidin wa al-faizin, semoga Tuhan memberkati semua manusia.
[1] Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace
(ICRP), dapat dihubungi lewat m-mulia@indo.net.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar