Minggu, 25 Juni 2017

Idul Fitri dan Spiritualitas Baru

Musdah Mulia[1]

Umat Islam merayakan hari kemenangan yang populer dengan sebutan `Idul Fitr, 1 Syawal 1438 H setelah berpuasa selama sebulan penuh. Biasanya, ada dua ungkapan populer terdengar saat `Idul Fitri, yaitu min al-`aidin wa al-faizin (biasa ditulis: minal ‘aidin wal faizin) dan mohon maaf lahir batin. Banyak mengira, kalimat kedua adalah terjemah dari kalimat sebelumnya, padahal bukan. Ungkapan “mohon maaf lahir batin” merupakan tradisi khas umat Islam Indonesia, tidak dikenal di negara-negara Arab.
Min al-`aidin wa al-faizin sejatinya adalah do`a yang selengkapnya berbunyi: ja`alana Allah wa iyyakum min al-`aidin wa al-faizin. Artinya: semoga Allah menjadikan kita semua tergolong orang-orang yang kembali  dan memperoleh kemenangan. Do`a tersebut mengandung dua konsep, yakni al-`aidin (orang-orang yang kembali) dan al-faizin (orang-orang yang memperoleh kemenangan). Muncul pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan mereka yang kembali dan memperoleh kemenangan?
Puasa Ramadhan berakhir dengan `Idul Fitri. Kata `id bahasa Arab artinya kembali, jadi  al-`aidin, orang yang kembali. Adapun fithr berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian. `Idul Fitri berarti kembali kepada asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian yang merupakan fitrah manusia. Sedangkan al-fa`izin berarti orang-orang yang menang (QS. al-Hasyr, 59:20 dan Ali-Imran, 3:185). Puasa Ramadhan hakikatnya adalah suatu  mekanisme pengendalian diri demi menyucikan hati dan jiwa, kembali ke jati diri manusia yang fitri yang selalu cenderung pada kebaikan dan kedamaian. Mereka yang puasa dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, bukan karena terpaksa atau riya (pamer) dinamakan orang-orang yang menang.
Melalui aktivitas puasa, diharapkan manusia menjadi lebih suci, lebih beriman dan lebih takwa. Dengan begitu, puasa menjadi media transformasi diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik, positif dan konstruktif. Sekaligus juga menjadi media pembebasan diri dan masyarakat dari musuh-musuh agama yang konkret, seperti ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan.
Mengapa manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrah yang suci? Islam sangat optimis memandang manusia dan meyakini setiap individu dilahirkan dalam kondisi fitrah. Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan (tauhid) yang tertanam dalam lubuk hati (nurani) yang merupakan pusat kedirian manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan alamiah mencari kebenaran, kedamaian dan kebaikan sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk hanif (lurus).
Ditemukan cukup banyak ayat menegaskan, dalam hati nurani manusia telah dituliskan komitmen suci untuk selalu mengikuti kebenaran dan kebaikan. Tugas para Nabi dan Rasul hanyalah mengingatkan kembali akan komitmen suci tadi. Supaya selamat dan tidak melanggar komitmen, seharusnya setiap individu selalu mendengarkan hati nuraninya. Setiap bentuk penyimpangan dari komitmen tersebut adalah dosa, dan itulah mengapa manusia perlu bertobat.
Menarik dicermati, kata taubat dalam Bahasa Arab artinya kembali, kembali kepada fitrah. Manusia yang baik bukan karena tidak pernah menyimpang dari komitmen sucinya karena hal itu mustahil. Tidak ada manusia luput dari kesalahan dan dosa. Akan tetapi, manusia yang baik adalah jika menyimpang, dia segera sadar dan bertobat sambil bertekad tidak mengulangi kesalahan lagi (QS. Ali Imran, 3:135). Puasa Ramadhan dan segala amal saleh di dalamnya merupakan bentuk pertobatan manusia. Setelah sebulan berpuasa (tentu dengan memenuhi semua persyaratannya) seseorang dapat suci kembali, seperti sucinya seorang bayi yang baru lahir, demikian hadis Nabi.
Seharusnya dengan puasa umat Islam menjadi lebih meningkat kekuatan spiritualnya, dan itu harus tercermin dari perilaku sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Spiritualitas mendorong manusia selalu aktif melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi, antara lain melalui kegiatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya agar diri sendiri atau masyarakat semakin memahami agama secara kritis dan rasional.  Hal itu dapat juga dilakukan melalui aktivitas pemberdayaan bagi kelompok lemah, miskin, rentan dan marjinal; dan juga aktif melakukan kegiatan advokasi terhadap kelompok tertindas; melawan semua bentuk kezaliman, ketidakadilan dan kekerasan, terutama dilakukan oleh kelompok yang berkuasa.
Ironisnya, dalam realitas sosiologis banyak orang mengaku berpuasa, tetapi tidak memiliki kesadaran spiritualitas. Indikasinya, mereka tidak memiliki kepekaan untuk melawan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan, bahkan menjadi pelakunya. Mereka tidak tergerak untuk menghapus segala bentuk perilaku diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan, juga tidak terpanggil untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan demi kemaslahatan orang banyak. Hal itu karena puasa dipahami sebatas ajaran bersifat ritual formal.
Kekuatan spiritual amat penting dalam diri manusia karena mendorong manusia selalu berbuat kebaikan dan kemashlahatan. Bahkan, juga mendorongnya untuk memperindah akhlak mulia secara terus menerus, serta membentengi diri dari semua perbuatan keji dan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik dalam relasi vertikal dengan Allah, maupun dalam relasi horizontal dengan sesama manusia, bahkan sesama makhluk, termasuk lingkungan sekitarnya.
Umat Islam sebagai kelompok terbanyak di negeri ini seharusnya mampu memberi warna positif dan konstruktif pada kehidupan bangsa dan negara. Makna puasa Ramadhan harus terefleksi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Puasa dan semua ibadah lainnya hendaknya bukan hanya mewujudkan kesalehan individual, melainkan juga kesalehan sosial yang berdampak pada kemashlahatan seluruh masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan dan marjinal.
Yang jelas, identitas al-`aidin wa al-faizin dapat terlihat pada mereka yang sudah berkomitmen untuk tidak mengeksploitasi sesama manusia melalui kerja-kerja yang koruptif dan manipulatif; tidak berperilaku anarkis, tiranik dan despotik; tidak mendiskriminasikan sesama atas dasar gender, etnis, agama dan sebagainya; tidak merusak dan mengeksploitasi lingkungan atas nama pembangunan dan atas nama apa pun; tidak menjual agama demi kepentingan apa pun; tidak mencuri kekayaan negara demi kesenangan diri, keluarga dan kelompok; dan tidak tergoda hidup mewah, konsumtif dan hedonistik.  Sebaliknya, al-`aidin wa al-faizin adalah mereka yang terpanggil untuk sepenuhnya mendonasikan hidup dan karya demi kemashlahatan dan kebaikan orang banyak.
Apakah kita sungguh-sungguh tergolong al-`aidin wa al-faizin? Jawabnya, ada pada nurani masing-masing. Akhirnya, mari bersama mengucapkan min al-`aidin wa al-faizin, semoga Tuhan memberkati semua manusia.












[1] Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dapat dihubungi lewat m-mulia@indo.net.id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar