Tahun 2000 aku di undang ke acara pertemuan para pemuka agama tingkat dunia,
Internasional World Conference on
Religion and Peace di Amman, Jordan. Waktu itu musim dingin yang amat
menusuk. Panita menempatkan peserta sekamar berdua. Peraturannya, tidak boleh
sekamar dengan peserta dari negara yang sama. Aku sekamar dengan perempuan
Pendeta Kristen asal Chekoslovakia, usianya 63 tahun, tetap kekar dan
energik.
Setiap hari acara sangat padat, mulai pukul 09.00 pagi dan baru berakhir
malam pukul 22.00. Sampai di kamar biasanya pendeta lalu masuk kamar mandi untuk
cuci muka dan karena lelah, dia langsung tidur. Sementara aku tidak, karena
harus shalat dulu.
Berusaha untuk tidak mengganggu tidur pendeta, aku berjalan mengendap-endap
ke kamar mandi, bersih-bersih dan kemudian berwudhu. Lalu, shalat juga dengan
pelan-pelan dan berupaya tidak mengeluarkan bunyi. Setelah itu aku baru pergi
tidur. Aku terbiasa shalat disertai wiridan yang cukup panjang, tradisi itu aku
warisi sejak di pesantren. Sesibuk apa pun, aku tetap mengamalkannya.
Pendeta biasa bangun jam 07.00, sementara aku harus bangun lebih awal,
pukul 05.00 untuk shalat Subuh, persisnya shalat Subuh 05.10 pagi. Sebetulnya, dalam
kondisi dingin menyengat, boleh tayamum sebagai ganti wudhu, tapi karena sudah
kebiasaan berwudhu, aku gak nyaman tayammum, aku tetap berwudhu meski dingin
sangat menusuk. Ketika berwudhu untuk shalat Subuh pun aku jalan pelan
sekali. Pokoknya, aku berusaha tidak berisik. Lagi-lagi maksudnya agar tidak
mengganggu tidur pendeta. Demikian aku lakukan setiap malam dan subuh.
Hari ketiga, usai shalat Subuh aku bangkit dari sajadah, tiba-tiba pendeta
menyapaku, ”good morning” dengan kaget aku pun menjawab serupa, ada
perasaan bersalah, jangan-jangan tadi aku berisik sehingga membangunkan
tidurnya. Masih dalam kebingungan, pendeta lalu bangkit dan duduk di tempat
tidur menghadap ke arahku sambil bertanya: boleh aku bertanya kepadamu? Degg
jantungku berdebar: ”Sorry, katanya memulai,
aku memerhatikanmu selama kita di sini, malam hari ketika sudah lelah
ditambah udara dingin menusuk, kamu masih
harus shalat dan lama sekali,
lalu di pagi buta kamu harus bangun juga untuk shalat padahal udara sangat
dingin, dan kamu tetap menggunakan air. Saya khawatir kamu akan sakit,
tukasnya. Pertanyaan saya adalah, andaikata di akhirat nanti ternyata semua
yang kamu lakukan dengan susah-payah itu tidak sesuai dengan keinginan Tuhan,
bagaimana? Terus terang saya melihat agama kamu tidak manusiawi karena
kewajiban yang begitu memberatkan. Saya tidak sanggup menjalankan kewajiban
seperti itu. Saya kasihan melihat kamu dalam beragama. Begitu sulitnyakah?
Pertanyaan pendeta bertubi-tubi membuatku seperti terdakwa di depan
pengadilan. Mulanya aku bingung bagaimana menjawab pertanyaan yang baru pertama
kali aku dengar. Belum pernah aku mendapatkan pertanyaan kritis seperti ini
sebelumnya. Sambil berusaha tenang aku
menjawab: ”Andaipun di akhirat nanti
ternyata semua yang aku lakukan itu tidak sesuai dengan keinginan Tuhan, bagiku
tidak ada masalah. Sebab, intinya semua
ibadah aku lakukan dengan ikhlas dan suka rela, bukan terpaksa atau dipaksa.
Bukan karena mengharapkan sesuatu, termasuk aku tidak berharap pahala. Terserah
Tuhan, mau diterima atau tidak karena Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa, aku tidak
bisa memaksa. Sebagai makhluk Tuhan, aku hanya mencoba bersyukur dalam bentuk
shalat dan ritual lain atas semua nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga
itu. Dengan melakukan itu semua, aku merasa damai dan batinku puas, rasanya
hidup jadi penuh makna, tidak hampa. Itu saja sudah lebih dari cukup. Bagiku,
ibadah bukan sekedar kewajiban, melainkan kebutuhan ruhani. Kebutuhan untuk
membangun komunikasi dan interaksi dengan Tuhan, yang dengan itu aku merasakan
kedamaian yang luar biasa, tak ternilai oleh apa pun. Bagiku, berada dekat
dengan Tuhan itulah kebahagiaan yang hakiki.”
Dengan histeris dia memelukku sambil berucap: “Aku kagum sama kamu,
Musdah.” Kamu sudah menggapai puncak spiritual, jangan tinggalkan keyakinanmu
itu. Seharusnya semua orang beragama seperti kamu.” Aku tersenyum dan menimpali: “Maaf kalau
aku mengganggumu, ibu pendeta. Aku telah berusaha tidak berisik agar tidurmu
tidak terganggu.” Pendeta menjawab sambil bangkit dari duduknya:
”Oh, sama sekali tidak, Musdah. Aku tidak merasa terganggu sama sekali. Aku
bangga sama kamu dan cara kamu beribadah. Aku hanya sempat penasaran, kenapa
sampai panjang seperti itu shalatmu dan kamu tak perduli dengan cuaca dingin
yang begitu menusuk. Dan aku berpikir, apakah memang Tuhan membutuhkan
pelayanan seperti itu?
Aku hanya tertawa kecil menanggapinya. Shalatku panjang karena aku shalat
jamak ta’khir Magrib dan Isya. Lalu ditambah bacaan wirid yang bagaimana pun
capeknya aku tetap berusaha melakukannya. Begitulah aku sehari-hari, tetap setia mengamalkan tradisi wirid yang aku warisi dari kakek dan
nenek buyutku, sejak masih di pesantren.
Meski di luar sana aku dikenal sebagai liberal, bahkan tidak sedikit
mencap diriku sebagai sesat, antek Amerika, antek Zionis. Aku hanya tertawa geli mengingat semua tuduhan salah alamat itu.
Sejak pagi itu, aku semakin akrab dengan pendeta dan kami pun membicarakan secara gamblang dan terbuka
tentang ajaran kami masing-masing dengan penuh kegembiraan. Anehnya, tidak ada
perasaan bahwa kami akan pindah agama atau semacamnya. Dalam berbagai
perbincangan, kami sepakat bahwa inti agama adalah membangun kemashlahatan manusia,
agama sepenuhnya untuk kemanusiaan. Logikanya, semakin taat manusia mengamalkan
ajaran agama, semakin baik pula kualitas spiritualnya, dan itu terlihat dari
perilakunya sehari-hari yang konsisiten pada nilai-nilai kemanusiaan, seperti
keadilan, kedamaian, kasih sayang, dan penuh empati.
Tak terasa hari-hari kami berlalu sangat cepat dan tibalah acara penutupan
konferensi, waktunya untuk berpisah dan kembali ke negara masing-masing. Ada
rasa sedih karena harus berpisah dan kami pun saling berpelukan dengan hangat
dan tulus layaknya saudara kandung. Dan sungguh aneh, kami pun lupa kalau kami
berdua berbeda agama dan keyakinan, berbeda suku, ras, negara, bahasa, dan
warna kulit. Hanya satu yang sama, kami adalah sama-sama delegasi konferensi
yang datang ke Amman untuk dialog agama, mencari solusi bagi terciptanya
perdamaian abadi melalui agama-agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar