Al-Qur`an
dengan redaksi beragam mengajak manusia aktif berpikir mengenai segala hal, kecuali tentang zat
Allah. Pengetahuan tentang zat Allah tidak akan dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia
cukup memikirkan makhluk Allah, baik di langit, di bumi, maupun diri manusia
sendiri (QS. ar-Rum, 10:42; Ali Imran, 190-191; ad-Dukhan, 38-39 dan ar-Rad, 3).
Mereka yang kreatif berpikir mendapat kedudukan istimewa, dan Al-Qur`an mengapresiasi
mereka dengan sejumlah sebutan, seperti: ulul-albab, ulul-`ilm, ulul-absar,
dan ulun-nuha yang semuanya berarti manusia arif dan bijaksana.
Obyek
berpikir bukan hanya alam semesta atau ayat-ayat kauniyah, melainkan
juga ayat-ayat qauliyyah dalam bentuk wahyu. Yang pertama adalah
ayat-ayat yang terlihat, sementara yang kedua adalah ayat-ayat yang terdengar
dan terbaca. Ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berisi perintah agar
manusia berpikir, Al-Biqa`i, mufassir ternama, menjelaskan makna “laallakum
tafakkarun dengan “semoga engkau menjadi orang yang selalu aktif
menggunakan pikiran, dan mereka yang menggunakan pikirannya pasti memetik
banyak manfaat.”
Berpikir
merupakan kerja akal paling menakjubkan. Al-Qur`an menyebut begitu banyak kerja
akal, namun ada dua yang utama: Pertama, mendengarkan. Aktivitas mendengarkan
terkesan mudah, padahal tidak semua manusia dapat melakukanya dengan baik. Karena
itu, mereka yang tidak menggunakan akal digolongkan sebagai orang-orang tuli
(QS. Yunus, 10:42). Kedua, merenungkan secara konsepsional,
setidaknya merenungkan berbagai kejadian di alam raya, termasuk fenomena gempa
bumi yang akhir-akhir ini makin nyata. Allah menyebut alam semesta dan seluruh
fenomena alam ini sebagai tanda bagi orang-orang berakal (QS. al-Ankabut,
29:35 dan al-Rum, 30:24).
Hasil
kerja akal melahirkan pertimbangan pengetahuan (hilm), lalu dari hilm
lahir petunjuk yang benar (rusyd). Petunjuk yang benar melahirkan
kehati-hatian (abstention). Demikian selanjutnya dari kehati-hatian itu
timbul rasa malu yang kemudian menciptakan ketakutan. Ketakutan melahirkan amal
baik, dan amal baik menghasilkan keengganan berbuat kejahatan. Akhirnyan, keengganan
berbuat kejahatan itu membawa kepada ketaatan dan kepatuhan pada perintah
Ilahi.
Demi menjelaskan betapa tingginya posisi
akal, para filosof Muslim mensejajarkan fungsi akal manusia dengan fungsi Nabi.
Keduanya sama-sama berfungsi memberi penerangan dan pencerahan kepada manusia
agar terhindar dari kebodohan dan kebiadaban (QS, al-Maidah, 5:15-16). Berbeda
dengan makhluk lainnya, manusia memiliki kedudukan sangat spesifik di mata
Tuhan. Manusia adalah khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30).
Tugas manusia menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Keunikan
manusia adalah ia mewakili Tuhan di bumi ini. Suatu kedudukan yang teramat
tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat
sekali pun.
Pertanyaannya,
mengapa harus manusia menjadi khalifah
fi al-ardh? dimana letak keunggulannya? Ali Syariati menjelaskan
keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah menciptakan
Adam, Allah swt. mengajarkan padanya tentang nama-nama yang faktanya mengacu
pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian yang dianggap sebagai prototype
dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dianugerahkan pada manusia, tidak
diajarkan pada malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang
dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Tidak berlebihan
jika disimpulkan bahwa kemuliaan seorang manusia terletak pada pengetahuan dan
kecerdasannya, terutama jika keduanya selalu digunakan untuk memberi manfaat
sebesar-besarnnya kepada manusia dan kemanusiaan.
Mari
kita gunakan kesempatan Ramadhan kali ini untuk lebih meningkatkan dan
mengefektifkan kerja-kerja akal, memikirkan dan merenungkan eksistensi diri
kita masing-masing sebagai manusia. Apakah kita sebagai makhluk, sudah
bersyukur kepada Sang Pencipta? Apakah diri ini berguna bagi sesama manusia?
Apakah diri ini bermanfaat bagi alam semesta? Wallahu a’lam bi as-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar