MEMAKNAI WARISAN DALAM ISLAM[1]
Musdah Mulia
Pada
dasarnya, usaha untuk merumuskan visi baru hukum kewarisan dalam Islam harus
selalu memperhatikan kesesuaian antara pejelasan tekstual yang termaktub dalam
al-Qur’an dengan realitas kontekstual yang terdapat di dalam masyarakat.
Kesesuaian tersebut diperlukan terutama untuk mensinergikan antara otoritas
wahyu sebagai sumber otentik hukum Islam dengan kebutuhan manusia sebagai
pelaksana syari’at. Kesesuaian itu hanya dapat terwujud bilamana argumentasi naqli
(revealation) berjalan seiring bersama dengan argumentasi aqli (reason).
Di dalam
al-Qur’an, terdapat sejumlah ayat yang membicarakan kewarisan secara khusus.
Dalil-dalil tersebut antara lain surat al-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 19, 33, dan
176, surat al-Anfal ayat 72 dan 75, serta surat al-Ahzab ayat 6. Di samping
itu, terdapat pula sejumlah hadits yang terdapat di dalam kutub al-tis’ah
yang mendukung serta memperjelas ayat-ayat tersebut. Dalil-dalil itulah
kemudian yang dijadikan sebagai patokan dalam menyusun hukum kewarisan
sebagaimana dilakukan oleh para ulama fikih beberapa abad silam.
Dengan
merujuk pada penjelasan dalil-dalil naqli yang disebutkan di atas,
terkumpul beberapa dalil aqli yang dapat mereposisi kedudukan perempuan
dalam sistem pewarisan Islam. Dalil-dalil aqli tersebut antara lain:
Pertama, bahagian waris perempuan tidak selamanya mendapat setengah
bagian laki-laki sebagaimana dipahami dalam kitab-kitab fikih selama ini,
melainkan cukup beragam. Bahagian anak perempuan, misalnya, memiliki tiga
formulasi; mendapat ½ bagian jika sendirian, 2/3 bagian jika jumlahnya dua
orang atau lebih, dan mendapat ½ dari bagian laki-laki jika posisinya sebagai ashobat.
Demikian pula perempuan dalam posisinya sebagai ibu. Bahagian ibu sebagai ahli
waris juga memiliki tiga formulasi; mendapat 1/6 bagian jika bersama anak
pewaris atau saudara pewaris; 1/3 jika sendirian, 1/3 sisa jika bersama
suami/istri atau ayah pewaris.
Hal yang
sama juga terlihat pada bagian perempuan dalam posisi sebagai istri. Istri
memiliki dua kemungkinan formulasi; mendapat ¼ bagian jika suaminya tidak
meninggalkan keturunan dan 1/8 jika ada keturunan. Bahkan dalam posisi sebagai
orang yang memerdekakan hamba sahaya dan pewaris tidak meninggalkan ahli waris,
perempuan mendapatkan bahagian yang sama banyak dengan laki-laki, yaitu sama-sama
menjadi ashabat.
Formulasi
bagian yang beragam bagi perempuan menunjukkan bahwa model pembagian waris
untuk perempuan adalah dinamis, tidak statis. Jumlahnya bergerak dari satu
bentuk formulasi ke bentuk yang lain. Kemungkinan mendapat bagian yang beragam
seperti ini memunculkan tiga gagasan.
Pertama, formulasi jumlah warisan bagi seorang ahli waris tidak
ada yang baku, melainkan disesuaikan dengan posisi dan jumlah ahli waris.
Kedua, perempuan, termasuk perempuan jauh dalam urutan
kekerabatan, tidak boleh sama sekali dicabut hak warisnya. Gagasan ini
sesungguhnya merevisi kebiasaan pra-Islam yang memberikan harta peninggalan
dari anak cucu wanita kepada kerabat laki-laki, betapa pun jauhnya.
Ketiga, semua distribusi warisan di antara saudara-saudara
lainnya harus adil. Keadilah dalam warisan harus benar-benar mempertimbangkan
nafkah (manfaat) bagi orang-orang yang ditinggalkan
Karena itu,
pembagian warisan perlu mempertimbangkan kondisi setiap ahli waris, jasa ahli
waris kepada pewaris, dan manfaat dari harta yang diwariskan itu.
Sebagai contoh, jika ahli waris terdiri dari
seorang ibu dengan tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang merawat
sang ibu, maka apakah adil jika si anak perempuan hanya mendapatkan setengah
dari bagian anak laki-laki? Atau kondisi si anak perempuan tadi lebih miskin
dan lebih membutuhkan dari pada saudaranya yang laki-laki.
Dengan
memberikan jumlah warisan yang lebih besar kepada anak perempuan yang merawat
ibunya atau kepada anak perempuan yang lebih membutuhkan harta tersebut, maka
harta warisan menjadi lebih bermanfaat.
Al-Qur’an
memang tidak menjelaskan secara rinci akan kemungkinan-kemungkinan perubahan
formulasi tersebut, namun dengan memperlihatkan formulasi yang beragam itu
sudah cukup jelas maksud dan pesan yang terkandung di dalamnya, yakni bahwa
pembagian warisan harus mengutamakan pesan keadilan, termasuk keadilah gender,
bukan ketentuan formal yang kaku sebagaimana terbaca dalam bunyi teks.
Kedua, ayat-ayat tentang kewarisan pada hakikatnya merupakan
respons Al-Qur’an terhadap kondisi sosio-historis yang berlaku pada masyarakat
Arab di masa itu. Perempuan adalah makhluk yang tidak berhak berharta karena
itu posisinya disamakan dengan warisan. Mereka merupakan salah satu komoditas
yang diwariskan. Secara historis-sosiologis, ayat ini menyadarkan masyarakat
dengan melakukan koreksi total terhadap posisi perempuan dari sebagai obyek
warisan menjadi subyek yang mewarisi, atau dari makhluk yang tidak berhak
berharta menjadi berharta. Karena itu, jumlah bagian yang ditetapkan hanya
merupakan langkah awal bagi upaya perbaikan posisi perempuan pada masa itu.
Tentu saja upaya awal itu harus menjadi inspirasi bagi perubahan bagian warisan
untuk perempuan. Artinya, jumlah warisan untuk perempuan dapat berubah sesuai
perubahan ruang dan waktu.
Ketiga, secara
teologis-sosiologis, alasan yang sering muncul dalam kitab-kitab fikih klasik
mengenai kelebihan bagian laki-laki adalah karena mereka dituntut memberikan
mahar dan nafkah kepada istri dan keluarganya. Dewasa ini, sudah banyak
perempuan berkontribusi dalam ekonomi keluarga, bahkan tidak sedikit yang
menjadi penyangga utama kebutuhan ekonomi keluarga.
Dengan
ungkapan lain, tuntutan mencari nafkah berlaku bagi keduanya (laki-laki dan
perempuan) sehingga dengan demikian pembagian yang lebih besar kepada laki-laki
tidak relevan lagi. Namun, perlu dicatat bahwa tugas-tugas reproduksi jauh
lebih mulia dari pada tugas mencari nafkah. Dalam konteks ini sudah seharusnya
disosialisasikan di masyarakat bahwa kerja isteri di rumah tangga lebih tinggi
nilainya dari pada kerja suami mencari nafkah. Hal ini diperlukan untuk
membangun apresiasi yang tinggi terhadap pilihan perempuan untuk bekerja di
ruang domestik.
Keempat, dalam masyarakat masih sering dijumpai pemberian hibah
atau wasiat kepada anak-anak perempuan oleh para orang tua, termasuk oleh
mereka yang mengerti agama sekalipun. Pemberian itu dimaksudkan agar anak-anak
perempuan mereka menerima perlakuan yang adil dengan mendapatkan harta yang
kira-kira sama jumlahnya dengan harta yang diperoleh anak laki-laki melalui
pewarisan. Hal ini mengindikasikan ketidakpercayaan mereka akan keadilan yang
ditetapkan melalui pewarisan. Daripada melakukan praktek pemberian harta di
luar mekanisme warisan, baik melalui hibah, wasiat, atau pembagian warisan
ketika orang tua masih hidup, adalah lebih baik mengubah format bagian
perempuan ke arah yang lebih adil.
Argumentasi aqli
yang dijabarkan di atas, pada dasarnya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip penetapan hukum Islam (istimbath al-ahkam). Sebagai
bahan refleksi, berikut akan diuraikan beberapa prinsip penetapan hukum Islam
yang dapat menguatkan beberapa argumentasi di atas:
1.
Segala
urusan sesuai dengan maksudnya (al-umuru bi maqashiduha)
Segala amal
manusia bermula dari iradat-nya, yaitu berangkat dari ikhtiar yang
terhajat kepada sesuatu pekerjaan dengan sesuatu maksud yang disebut qashad
atau niat. Niat yang terkandung dalam hati seseorang pada saat melakukan
sesuatu aktivitas tersebut, apakah nilai perbuatan itu temasuk amal syariat
atau perbuatan biasa. Adapun yang menjadi sumber kaidah ini antara lain QS. Ali
Imran (3):45 yang berbunyi: …Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya
Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur. Di samping itu, ada pula hadis Nabi yang berbunyi: … Sesungguhnya segala
amal itu menurut niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh apa
yang diniatkannya … (HR. Jama’ah dari Umar).
Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, dan
Daruquthni sepakat menetapkan bahwa niat
menempati sepertiga dari ilmu pengetahuan Islam. Niat berpangkal pada hati yang
seing disebut aktivitas kejiwaan. Aktivitas kejiwaan ini lebih kuat daripada
aktivitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. Hal ini disebabkan
karena niat dapat berfungsi ibadah yang berdiri sendiri, sedangkan aktivitas
yang lain tidak dapat berfungsi jika tidak didukung niat.
- Kesukaran mendatangkan kemudahan (al-masyaqqah
tajlib al-taisir)
Syariat Islam bersifat umum, tidak hanya untuk sesuatu
keadaan tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian, dalam keadaan
tertentu dapat menimbulkan kesukaran dan kemudaratan pada sebahagian manusia.
Dalam keadaan demikian, syariat Islam memberikan kelapangan untuk menolak
kesukaran yang dia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, perhatikan QS.
Al-Baqarah (2): 185 yang berbunyi: …Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
- Kemudaratan harus ditinggalkan (al-dhararu yuzalu)
Kaidah ini bersumber antara lain dari
QS. Al-Qashash (28): 77 yang berbunyi: …Sesungguhnya Alla tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. Ayat ini menjelaskan aturan-aturan bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan cara ma’ruf
dan menghindari hal-hal yang mendatangkan kemudaratan. Dari kaidah ini dapat
dipahami bahwa sesuatu tindakan yang semula diharamkan oleh syariat, tetapi
karena adanya suatu hajat untuk melepaskan diri dari suatu kesulitan, maka
gugurlah keharamannya untuk semantara waktu, hingga berakhirnya hajat itu.
Dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa apabila terdapat kontroversi dalam satu masalah, yaitu: antara
kerusakan dan kemashlahatan, maka menolak kerusakan harus lebih dahulu daripada
menarik kemashlahatan (dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih).
Begitu juga apabila terdapat dua kerusakan, maka harus terlebih dahulu dipilih
yang lebih kecil mudaratnya, sekalipun pada dasarnya setiap kemudaratan besar
atau kecil harus dihindari.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kaidah
ini erat hubungannya dengan kadar (ukuran) dan yang berkaitan dengan waktu
(masa). Sesuatu larangan dibolehkan sesuai dengan kadarnya dan sesuatu
kewajiban dapat ditinggalkan karena sifatnya temporer.
- Adat dapat ditetapkan menjadi hukum (al-‘adatu muhakkamah)
Kaidah ini bersumber antara lain QS. Al-A’raf (7): 157
yang berbunyi, … Menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka
mengerjakan yang munkar… Ayat ini menjelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan
yang berkembang dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila
adat kebiasaan itu dinilai baik dan membawa kemashlahatan manusia. Adat yang
baik adalah kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan akal sehat dan sejalan dengan
hati nurani dan dalam penerapannya sulit untuk ditolak sebagai suatu hukum yang
berlaku.
Adat kebiasaan yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu
yang telah mafhum di tengah-tengah masyarakat karena berulang kali dilaksanakan
sehingga menjadi norma hukum dalam masyarakat bersangkutan. Penggunaan adat
sebagai sumber hukum banyak terlihat pada hasil ijtihad Imam mazhab; seperti
Imam Malik banyak dipengaruhi adat masyarakat kota Madinah; Imam Syafi’i banyak
dipengaruhi oleh adat masyarakat Mesir pada qaul jadid-nya dan pengaruh
masyarakat Bagdad pada qaul qadim-nya. Pengaruh adat dalam kehidupan
hukum adlah sesuatu hal yang tidak perlu dirisaukan sebab hukum yang bersumber
dari adat pada prinsipnya mengandung unsur dinamika dan mempunyai kecenderungan
untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana menumbuhkan suatu kebiasaan agar dapat sesuai dengan
perkembangan zaman dan agama.
Dalam hukum Islam, adat suatu masyarakat dapat dijadikan
sebagai sumber hukum apabila tidak bertentangan dengan nas, atau
kaidah-kaidahnya tidak teradapat dalam nas. Hal ini dapat dipahami bahwa adat
yang diterima adalah yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.
Dengan demikian, adat dalam pembentukan hukum Islam menjadi
salah satu sumber penting. Hukum adat dapat diberlakukan sebagai sumber hukum
Islam apabila kaidah-kaidahnya tidak terdapat dalam nas dan tidak bertentangan
dengan nash yang ada yang mengakibatkan timbulnya pertentangan antara sumber
hukum Islam dengan kebiasaan yang mentradisi.
- Sesuatu yang diyakini kebenarannya
tidak terhapus karena adanya keraguan (al-yaqin la yuzal bi al-syak)
Kaidah ini bersumber antara lain QS. Al-Baqarah (2):
200-201 yang berbunyi, …Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya
Tuhan kami berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian
(yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka”.
Ayat ini menjelaskan prinsip keyakinan tidak dapat dihapus
oleh adanya keraguan. Ayat pertama mengisyaratkan adanya di antara segolongan
umat Islam yang belum mempunyai keyakinan secara mantap terhadap suatu
kebahagiaan yang abadi. Mereka meyakini segala sesuatu yang bersifat faktual,
sehingga dalam berdoa tujuannya untuk mencapai kebahagian dunia semata.
Sementara pada ayat kedua diisyaratkan bahwa sebagian manusia telah yakin
adanya kehidupan yang abadi sehingga dalam berdoa senantiasa memohon
kebahagiaan di dunia dan akhirat serta keselarasan antara keduanya.
- Kepastian dan kebijaksanaan hukum
dalam Al-Qur’an
Di dalam ilmu ushul fikih terdapat pembahasan tentang qath’iy
dan zhanniy. Qath’iy adalah nas-nas yang pasti, jelas, dan
tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, zhanniy
adalah nas-nas yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama
sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nas (nas
yang mengaturnya bersifat zhanniy) hukumnya dapat berubah sesuai dengan
perubahan dan perkembangan zaman. Akan tetapi, dalam persoalan-persoalan yang
telah ditegaskan hukumnya oleh nas (nas yang mengaturnya bersifat qath’iy)
umumnya ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan
tuntutan dan perubahan kondisi.
Kapan sebuah hukum dapat berubah??
Berbeda dengan kebanyakan pendapat
ulama di atas, yurisprudensi (keputusan-keputusan hukum berdasarkan ijtihad dan
fatwa), Khalifah Umar ra menunjukkan kebolehan perubahan ketentuan hukum atau
nas jika kondisi atau kemashlahatan masyarakat menghendakinya. Berikut ini beberapa ketentuan yang membolehkan perubahan
hukum sebagaimana terbaca dalam nas:
- Kebolehan karena darurat (al-ibahah bi al-dharurah)
Salah satu prinsip kebijaksanaan
hukum dalam Al-Qur’an, bahwa sesuatu yang semula hukumnya haram dapat berubah
menjadi halal karena adanya faktor kedaruratan (terpaksa atau ada hal yang
dapat membahayakan hukum dharuriy). Adanya keadaan darurat menunjukkan
bahwa Al-Qur’an memberikan kebijaksanaan di balik kepastian hukum yang telah
ditetapkannya dengan maksud agar kemashlahatan manusia (al-mashlahat
al-insaniyah) dapat terealisasi sejalan dengan keadaan dengan kadar
kemampuan manusia.
- Keringanan dalam kesulitan (al-rukhshah bi al-masyaqqah)
Perlu ditegaskan bahwa kemampuan
manusia merupakan ukuran untuk dapat diterapkan secara sempurna suatu ketentuan
hukum. Oleh karena itu, jika dalam proses pelaksanaan ketentuan hukum ditemukan
keadaan yang menyulitkan (al-masyaqqah), maka berlaku hukum rukhshah,
yakni pemberian keringanan dalam pelaksanaan hukum melalui penyimpangan dari
ketentuan hukum semula (‘azimah). Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Nisa
(4): 101 yang berbunyi, Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir.
Ayat ini menjelaskan kebolehan
memendekkan shalat di kala bepergian (safar) yang pada umumnya
menimbulkan berbagai kesulitan dan kesusahan sehingga suatu kewajiban tidak
sepenuhnya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tentang alasan atau illat
adanya rukhshah seperti dapat dipahami dari ayat tersebut adalah karena
dalam keadaan khauf (takut karena dalam keadaan berperang/gawat). Namun
demikian, alasan kebolehan rukhshah tidak hanya karena khauf dan safar,
bahkan dapat ditafsirkan kepada hal-hal yang lebih luas lagi yang mengandung
unsur kesulitan. Keadaan darurat merupakan salah satu alasan kebolehan atau
berlakunya rukhshah.
c. Kebijaksanaan dalam pelaksanaan
hukum (al-‘uqubat)
Di dalam hukum Islam, setiap
pelanggaran (al-jarimah) terdapat ancaman hukuman terhadap pelakunya (al-Jani).
Namun demikian, jika dibandingkan antara ancaman hukum yang telah ditetapkan (hudud)
dengan yang belum ada ketentuannya (ta’zir), maka peluang ta’zir
lebih banyak dan lebih luas dari pada peluang untuk melaksanakan hukuman hudud.
Sanksi jarimah hudud dalam al-Qur’an hanya dapat ditemukan secara pasti
pada empat ayat yaitu ayat dua dan empat surat al-Nur (24) tentang hukuman bagi
pezina (al-zani) dan penuduh zina (qazhf, al-muhshanat); ayat 33
dan 38 surat al-Maidah tentang hukuman pengacau dan pencuri. Sedangkan jarimah
hudud lainnya yang telah disepakati para ulama, ketentuan saknsi hukumnya
ditetapkan berdasarkan hadis. Demikian pula dalam jarimah qishash,
ancaman hukumannya telah ditentukan, dapat berubah menjadi hukuman denda (diyat)
yang ketentuannya (ukuran/kadar banyaknya) ditetapkan berdasarkan hadis dan
ijtihad ulama.
Sebagai pentup bagian ini, menarik
untuk dikaji komentar Abbas Mahmud al-Aqqad tentang tindakan atau fatwa
khalifah Umar ra. yang secara tekstual menyalahi nas. Beliau menyatakan
bahwa ijtihad Umar ra. tersebut bukanlah berarti bertentangan dengan
nas, tetapi justru sejalan dengan nas. Karena pada prinsipnya konteks nas itu
dapat dipisahkan dengan kondisi masyarakat.
Tidak ada keharusan memaksakan
kemutlakan hukum-hukum Islam secara utuh ke dalam masyarakat yang masih
bervariasi. Dengan demikian, tindakan Abu Bakar ra. dan Umar ra.
dalam mengumpulkan dan mengkodifikasikan al-Qur’an tidaklah bertentangan dengan
nas dan maksud syariat. Sebab, sekalipun tidak secara jelas ditunjuk suatu nas,
akan tetapi tuntutan kemashlahatan yang menghendakinya. Demikian pula tindakan
Umar ra. (yang sering dinilai sebagai suatu tindakan kontroversial)
sekalipun secara tekstual menyalahi al-Qur’an, akan tetapi dilihat dari ruh syariat,
tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Tindakan Umar ra. merupakan upaya
pemahaman terhadap hikmah tertentu yang terkandung dibalik suatu nas.
[1]
Disampaikan dalam acara diskusi tentang Waris sebagai solusi Kemanusiaan
Modern, diadakan oleh Pasacasarjana UIN Jakarta, 23 Agustus 2006 di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar