Apa itu Pluralisme?
Pluralisme muncul sebagai paham yang bertitik tolak dari
perbedaan, bukan persamaan. Karena berbeda itulah disebut plural. Pluralisme
adalah sebuah aliran filsafat yang mengakui adanya eksistensi perbedaan.
Perbedaan bukanlah hal negatif yang perlu dinegasikan. Perbedaan adalah
keindahan dan kekayaan sosial yang dapat dijadikan fondasi dan modal sosial
dalam kehidupan bersama di masyarakat. Karena itu, semua upaya untuk
penyeragaman dan menghilangkan perbedaan adalah bertentangan dengan realitas
sosial dan sia-sia belaka.
Walaupun dalam pluralisme diakui adanya perbedaan, akan
tetapi perbedaan itu bukanlah dimaksudkan untuk meremehkan atau
mendiskriminasikan orang atau kelompok yang lain, siapa pun dia atau apa pun
dia. Justru dengan memahami pluralisme, seseorang dituntut bersikap toleran,
menghormati martabat manusia dan menerima orang lain apa adanya, dan bersedia
merajut damai dengan orang berbeda. Pluralisme mengajarkan tentang keniscayaan
pluralitas. Pluralitas adalah sunatullah, suka atau tidak, pluralitas
atau keberagaman akan selalu ada dalam kehidupan kita. Dalam pluralisme
terkandung unsur toleran; kesediaan berbagi dengan yang lain; solidaritas
sosial, menghargai dan menerima orang
lain dalam kehidupan bersama; serta keinginan kuat membangun damai dan harmoni
dalam masyarakat. Hanya dengan mengakui pluralisme, masa depan yang lebih baik
bagi bangsa Indonesia yang sangat heterogen dapat terwujud secara pasti.
Memahami pluralisme agama
Dalam konteks agama, pluralisme berarti setiap pemeluk
agama harus berani mengakui eksistensi dan hak agama lain dan selanjutnya
bersedia aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan berbagai agama
menuju terciptanya suatu kerukunan dalam keharmonisan. Dengan ungkapan lain,
filsafat pluralisme mengakui bahwa semua agama dengan para pemeluknya mempunyai
hak yang sama untuk eksis. Pluralisme agama bukanlah meniadakan eksistensi
masing-masing agama dan memandang semua agama sama.
Setiap agama memiliki dasar teologisnya sendiri untuk
mengklaim kebenaran dirinya. Akan tetapi, dalam waktu yang sama semua agama
juga mempunyai dasar teologis untuk menyatakan bahwa hanya Tuhan dan wahyulah
yang merupakan kebenaran absolut. Tugas manusia hanyalah menyampaikan kebenaran
dan membuat interpretasi atas kebenaran yang diyakininya itu. Karena itu,
interpretasi manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak mutlak atau nisbi
belaka sejalan dengan keterbatasannya sebagai manusia.
Setiap agama diyakini mengajarkan nilai-nilai kebenaran
dan kebaikan untuk keselamatan manusia, bukan hanya di dunia ini melainkan juga
di hari kemudian. Ironisnya dalam fakta empirik agama ternyata tidak selamanya
membawa manusia kepada keselamatan, melainkan manusialah yang senantiasa
menjaga keselamatan agama yang dipeluknya itu.
Seharusnya klaim seseorang atas kebenaran agamanya
tidaklah harus membuat orang bersangkutan kehilangan respeknya pada realitas
yang ada di sekelilingnya. Adalah suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa
di sekeliling kita hidup beragam agama dan kepercayan. Keberagamaan kita
hendaknya mengantarkan kita menjadi orang yang respek pada penganut agama lain
atau kepercayaan lain dan selanjutnya memandang keragaman agama dan kepercayaan
itu sebagai aset bangsa yang sangat berharga.
Sejarah agama menuturkan bahwa agama selalu berkaitan
dengan masalah sosial. Karena itu, agama dapat dilihat sebagai suatu sarana
perubahan sosial. Konflik-konflik agama lebih sering merupakan manifestasi dari
konflik sosial dengan simbol-simbol keagamaan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Dalam hal nilai kemanusiaan dan sosial umumnya, banyak alasan bagi agama-agama
untuk tidak saja hidup rukun dan bertoleransi positif, melainkan juga lebih
jauh dari itu, yakni bekerjasama secara akrab dalam reformasi sosial, perubahan
sosial atau transformasi sosial.
Sesungguhnya yang menjadikan masalah dalam setiap agama
adalah bahwa di setiap agama sebagian besar penganutnya adalah awam dan hanya
sedikit yang alim. Karena itu, peningkatan wawasan keagamaan di kalangan awam
menjadi sangat relevan. Peningkatan wawasan umat yang awam itu bisa menjadikan
iman dan takwanya berfungsi dengan baik yang pada gilirannya akan meningkatkan
kualitas dan prestasi takwa mereka.
Kebenaran agama tidak hanya satu, melainkan banyak. Yang
dimaksudkan kebenaran agama di sini
adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga
kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara
keberagamaan umatnya yang dalam terminologi Islam disebut tanawu`al ibadah. Jika
seluruh penganut agama telah memiliki kedewasaan sikap beragama seperti ini,
yaitu sampai kepada pemahaman bahwa kebenaran agama tidak hanya satu, tentu
saja tidak akan ditemukan kelompok-kelompok yang saling kafir-mengkafirkan yang
berujung pada munculnya berbagai bentuk konflik dan diskriminasi agama, seperti
terjadi di tanah air.
Setiap agama menjanjikan kemaslahatan bagi manusia.
Setiap penganut agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan yang merupakan sumber
ajaran agama itu adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, Tuhan yang tidak membutuhkan pengabdian manusia.
Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi
kesempurnaan-Nya. Tuhan sedemikian besar sehingga rahmat-Nya pasti
menyentuh seluruh makhlukNya. Sedemikian
agungnya Tuhan sehingga manusia tetap diberi kebebasan untuk menerima atau
menolak petunjuk agama, dan karena itu pula Dia menuntut ketulusan beragama dan
tidak membenarkan paksaan dalam bentuk apapun, baik nyata maupun terselubung.
Mengapa penting pluralisme?
Dalam konteks bangsa Indonesia yang sangat kompleks dan
majemuk, cara pandang keagamaan yang toleran, pluralis, dan peaceful sangat diperlukan untuk menjaga
kosmos dan bumi pertiwi agar tidak tenggelam dalam jurang pertikaian,
kekerasan, dan peperangan. Penegasan
ini juga penting mengingat masalah kebebasan beragama, perdamaian, toleransi,
dan pluralisme agama dewasa ini, termasuk di negara-negara yang mayoritas
Muslim dan berbasis Islam seperti Arab Saudi, Mesir, Pakistan, Iran, dan
Indonesia, sedang dalam tahap memprihatinkan. Cermin atas rendahnya kesadaran
(sebagian) kaum Muslim dalam hal kebebasan beragama dan sikap toleran-pluralis
ini terlihat dalam International
Religious Freedom Report 2008 yang dikeluarkan Bureau of Democracy, Human
Rights, and Labor, U.S. Department of State dan juga beberapa lembaga survey terkemuka di AS seperti The
Pew Forum on Religion and Public Life dan Freedom House.
Tragisnya, di Indonesia khususnya, banyak
umat beragama baik Muslim maupun non-Muslim yang salah baca dalam menilai
konsep pluralisme. Beberapa kelompok Kristen konservatif misalnya menganggap
wacana pluralisme sebagai ancaman atas identitas, sendi-sendi dan nilai-nilai
kekristenan yang mereka yakini kebenarannya mutlak dari Tuhan, mengancam
doktrin evangelisme dan misionarisme, dll, karena itu mereka juga menyerang
kelompok Kristen moderat-pluralis dan menganggap mereka telah menyeleweng dari
ajaran traditional Kristen.
Kelompok
keislaman tertentu di Tanah Air juga merasa terancam dengan paham pluralisme
yang mereka baca sebagai penegasian kebenaran agama Islam. Bahkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) secara serampangan menyamakan pluralisme dengan sinkretisme,
sebuah pencampuradukan paham keagamaan, penyamarataan doktrin kebenaran yang
secara esensial, menurut mereka, bertentangan dengan Islam sebagai
“satu-satunya jalan kebenaran” (klaim yang sama juga dilakukan para pengikut
agama lain).
Dalam
fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama bernomor
7/Munas VII/MUI/11/2005 ada penjelasan tentang perspektif MUI tentang
pluralisme agama sebagai berikut:
“Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua
agama akan masuk dan berdampingan di surga.” Setelah mendefinisikan “pluralisme
agama,” MUI, dalam hal ini Komisi Fatwa, kemudian mengharamkan umat Islam untuk
mengikuti “ajaran” pluralisme agama karena paham ini mereka anggap berlawanan
dengan ajaran Islam.[3]
Beberapa ayat Al-Qur’an yang “seirama” dengan semangat eksklusif MUI pun
dinukil sebagai pembenar dan stempel teologis tanpa memperhatikan konteks
sosiologis, sejarah, dan ragam tafsir ayat-ayat tadi.
Menurut
pakar pluralisme, Thomas Banchoff, direktur Berkley Center for Religion, Peace,
and World Affairs, definisi “pluralisme agama” sangat variatif. Dalam teologi,
kata ini mengandung makna harmoni, konvergensi, dan kompatibilitas lintas
tradisi agama. Dalam perspektif teologi, “pluralisme agama” adalah lawan dari
“eksklusivisme agama.” Sementara itu dalam konteks sosiologi, kata pluralisme
mengacu pada pengertian “the diversity of
different religious traditions within the same social or cultural space”
(Banchoff 2008: 4-5).
Thomas
Banchoff lebih lanjut memandang pluralisme tidak semata-mata sebagai salah satu
bentuk respons positif atas fakta pluralitas seperti dikemukakan oleh
Hutchiston di atas tetapi melihatnya sebagai interaksi damai (peaceful interaction) para aktor agama
baik dengan sesama religious actors
maupun dengan aktor masyarakat dan negara atas agenda-agenda sosial, politik,
ekonomi, dan budaya. Singkatnya, pluralisme agama tidak hanya “reaksi” tetapi
juga “interaksi.” Dalam proses interaksi itu bisa saja terjadi konflik. Tapi
pluralisme agama berakhir ketika kekerasan mulai (Banchoff 2008: 5)
Lima Karakteristik
Pluralisme Agama
Penjelasan
lebih rinci dan menarik tentang pluralisme ini diberikan oleh Profesor Diana
Eck dari Harvard Divinity School. Menurut Eck, pluralisme berbeda dengan plurality atau diversity
(keberagaman). Diversity, kata Eck,
adalah pluralitas yang alami, basic, simple, colorful, splendid, dan given
sifatnya. Sementara pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan
menciptakan sebuah “masyarakat bersama” (common society) yang dibangun
atas dasar pluralitas atau kebhinekaan itu.
Jadi
salah satu kata kunci untuk memahami pluralisme adalah “pergumulan
kreatif-intensif” terhadap fakta pluralitas. Tidak seperti pluralitas
(kemajemukan) yang merupakan pemberian atau anugerah Tuhan (given), pluralisme
adalah sebuah “prestasi” (achievement) bersama dari kelompok agama dan
budaya yang berlainan untuk menciptakan apa yang oleh Eck disebut common
society.
Lebih
lanjut Eck memberi lima karakteristik utama konsep pluralisme. Pertama,
pluralisme berbeda dengan pluralitas. Pluralisme adalah “the energetic
engagement with diversity, atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif
terhadap fakta keberagaman atau pluralitas itu. “Pluralism is not the sheer fact of plurality alone, but is active
engagement with plurality,” tulis Eck (2003: 191).
Kedua,
pluralisme tidak sekedar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara
aktif menembus batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across
lines of difference). Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi the
encounter of commitment. Dalam paradigma baru pluralisme bukan berarti
seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama
tertentu, melainkan inti dari pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk
membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain. Seorang pluralis bukan
berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama sebab perbedaan itu adalah
natural, intrinsik, dan given (sunatullah) yang tidak bisa dihindari,
akan tetapi perbedaan agama itu dijadikan sebagai sumber bagi hubungan agama
yang sehat, sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya melihat perbedaan itu
sebagai faktor pemecah (divider) yang mengancam identitas keagamaan dan
kebudayaan tertentu.
Keempat,
pluralisme berbeda dengan sinkretisme. Jika pluralisme mengandaikan mutual respect dan dibangun di atas
basis saling menghormati dan menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing
tradisi agama, sinkretisme adalah sebuah kreasi agama baru dengan
mencampuradukkan aneka elemen dari berbagai tradisi agama yang berbeda. Ada
banyak contoh dari “agama sinkretik” ini, misalnya New Age yang dalam batas
tertentu merupakan sinkretisme informal agama yang “ajaran”-nya diambil dari
berbagai tradisi: ritual Native American, yoga Hindu, meditasi Budha, sistem
pengobatan Ayuverdic, mistisime Kristen, dan Sufisme Islam. Jika sinkretisme
dipahami sebagai pencampuradukkan berbagai elemen keagamaan dan kebudayaan yang
berlainan, maka sesungguhnya semua agama di dunia ini adalah “sinkretik” dalam
pengertian tidak ada agama yang pristine
atau murni turun langsung dari langit dengan sejumlah paket ajaran. Setiap
agama tumbuh dan berkembang melalui proses penyerapan dan sintesis dari
tradisi, agama, dan kebudayaan lain. Jamak diketahui bahwa Islam juga merupakan
“sinkretisme” dari berbagai agama, tradisi, dan budaya Arab, Quraisy, Yahudi,
Kristen, dlsb. Dari sini maka jelas pluralisme bukanlah sinkretisme seperti
secara naif dipahami MUI.
Kelima,
pluralisme dibangun diatas basis dialog antar-agama. Bahasa pluralisme adalah
bahasa dialog dan perjumpaan, take and give, criticism and self-criticism
(lebih rinci lihat Eck 2003: 166-199; cf. Boase, ed. 2005: 41-46). Dialog
berarti berbicara sekaligus mendengarkan, dan proses dialog itu harus
mengungkapkan common understanding dan fakta-fakta perbedaan dengan
sikap hormat dan saling menghargai. Perlu juga dicatat bahwa dialog berbeda dengan
debat. Dalam dialog target yang hendak dicapai adalah mutual understanding
bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam
dialog. Karena itu fakta pluralitas itu baru bisa dipahami jika kita umat
beragama memiliki komitmen untuk berdialog yang merupakan ruh pluralisme.
Disinilah dialog bisa dimengerti sebagai “a way of knowing or understanding.”
Dalam
kerangka pemikiran ini, pluralisme memang setingkat lebih tinggi dari
toleransi. Dalam toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan
pemahaman (understanding) atas “yang lain” sementara pluralisme
mensyaratkan keduanya: pengetahuan sekaligus pemahaman atas tradisi agama dan
budaya komunitas agama lain. Dengan demikian orang yang bersikap toleran belum
tentu pluralis. Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan
antar-agama, tetapi tidak cukup kuat sebagai landasan dialog intra dan
antar-agama. Sebab “budaya toleransi” (culture of tolerance) ini masih
rawan dan rapuh untuk disusupi dan diprovokasi pihak-pihak tertentu yang
memiliki kepentingan agama, ekonomi, dan politik. Dalam banyak hal hubungan
inter dan antar-agama di Indonesia dan dimanapun saat ini masih berada pada
level toleransi ini belum sampai ke tahap pluralisme. Oleh karena itu
dibutuhkan dialog agama yang konstruktif dan kontinu sebagai jembatan menuju
masyarakat agama pluralis.
Islam menegaskan pentingnya pluralisme
Mengapa penting menyinggung pluralisme dalam Islam?
Sebab, kondisi kebebasan beragama, perdamaian,
toleransi, dan pluralisme agama di sejumlah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim atau berbasis Islam seperti Arab Saudi,
Mesir, Pakistan, Iran, dan Indonesia sedang berada dalam tahap yang amat
memprihatinkan. Rendahnya kesadaran dalam hal kebebasan beragama dan sikap
toleran-pluralis terlihat dalam berbagai
laporan internasional, seperti International Religious Freedom Report 2008; dan lembaga survey
terkemuka di AS seperti The Pew Forum on Religion and Public Life dan Freedom
House.
Berbeda dengan praktek empirik umat Islam seperti terbaca
dalam laporan internasional tersebut, Islam secara normatif adalah agama yang
paling vokal bicara tentang pentingnya pluralisme agama. Mari simak sejarah
perjuangan Nabi Muhammad saw. Setelah bertahun-tahun Nabi berjuang mendakwahkan
Islam di Mekkah tetapi tidak mendapatkan respon yang signifikan, bahkan
sebaliknya tantangan semakin berat, terutama datang dari kaum kafir Quraisy
Mekkah, Nabi pun mendapat wahyu berhijrah ke Madinah. Sebelumnya kota ini
bernama Yastrib. Berbeda dengan Mekkah yang penduduknya homogen, penduduk kota
ini sangat heterogen. Mereka terdiri dari banyak suku, dan yang terbesar adalah
suku Aus dan Khazraj. Dari segi agama terdapat penganut paganisme, Nasrani,
Yahudi dan Islam. Di antara penduduknya
yang sangat heterogen tersebut selalu terjadi pertikaian. Hal itu membuat
mereka mendambakan kehadiran seorang pemimpin yang mampu menyatukan dan
sekaligus melepaskan mereka dari konflik dan permusuhan yang melelahkan.
Kedatangan sejumlah utusan perwakilan dari suku-suku
Yastrib kepada Nabi dalam pertemuan di Aqabah bagaikan pucuk dicinta ulam tiba.
Nabi yang memiliki cita-cita persatuan semua manusia dan memiliki semangat
perdamaian yang begitu besar sangat senang menerima tawaran para pemuka suku
dari Yastrib untuk hijrah ke sana. Yastrib lalu diubah menjadi Madinah. Madinah
mengandung arti keadaban (civility). Artinya, masyarakat kota itu bukan
lagi masyarakat nomaden yang liar dan biadab, melainkan diubah menjadi madinah
(masyarakat beradab). Masyarakat yang dicita-citakan Nabi adalah masyarakat
beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban dan nilai-nilai kemanusiaan
seperti, kebebasan, persamaan dan persaudaraan.
Robert N. Bellah, pakar sosiologi, menyebutkan contoh
pertama demokrasi modern ialah sistem masyarakat Madinah masa Nabi saw.
Komunitas itu disebut "modern" karena adanya keterbukaan bagi
partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan karena adanya kesediaan para
pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan. Hal ini ditandai oleh
pencopotan nilai kesucian atau kesakralan dalam memandang suku atau kabilah,
sehingga dengan pencopotan itu tidak dibenarkan untuk menjadikan suku atau
kabilah sebagai tujuan pengkudusan dan ekslusivisme. Lebih jauh Bellah,
menyebut sistem Madinah sebagai bentuk egaliter partisipatif. Hal ini berbeda
dengan sistem republik negara-kota Yunani Kuno yang membatasi partisipasi hanya
kepada kaum lelaki merdeka, hanya meliputi 5 % dari total penduduk.
Dalam membina masyarakat Madinah, Nabi berpijak pada tiga
prinsip dasar, yaitu prinsip tauhid, prinsip sunatullah, dan prinsip persamaan
antarmanusia. Perlunya prinsip tauhid diterapkan dalam pengelolaan hidup
bermasyarakat adalah untuk mewujudkan masyarakat bermoral dan memiliki
integritas rohani yang kuat dan sempurna. Selain itu, prinsip tauhid melahirkan
semangat egalitarianisme karena tauhid pada hakikatnya hanya mendukung sistem
demokrasi, dan sebaliknya menolak sistem totaliter, otoriter, despotik dan
tiranik. Implementasi tauhid dalam kehidupan bermasyarakat akan membuat setiap
individu dalam masyarakat menyadari jati diri mereka masing-masing sebagai
hamba Allah, dan memahami harkat dan martabat kemanusiaannya sehingga dengan
demikian mereka dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak.
Prinsip sunatullah mendorong manusia bersikap kritis dan
dinamis, serta percaya kepada hukum kausalitas yang membawanya menolak sikap
fatalistis. Selain itu, prinsip sunatullah
membawa kepada pengakuan adanya pluralisme dalam masyarakat. Prinsip sunatullah
menghendaki manusia memikirkan pentingnya dan indahnya keberagaman manusia
dalam aspek etnis, warna kulit, suku, bangsa, dan bahkan agama dan kepercayaan.
Keberagaman adalah modal sosial yang mendorong manusia aktif berkompetisi
secara sehat dan damai dalam semangat persaudaraan menuju ridha Allah swt.
Adapun prinsip persamaan antarmanusia menegaskan bahwa pengelolaan hidup
bermasyarakat dalam Islam tidak didasarkan pada ikatan-ikatan primordial,
seperti keturunan, kesukuan, dan kehormatan golongan. Itulah sebabnya dalam
masyarakat Islam tidak dikenal bentuk mayoritas, tidak ada kelas, tidak ada
kelompok elite atau borjuis, juga tidak ada kelompok aristokrat.
Berlandaskan tiga prinsip dasar tersebut Rasul membangun
kehidupan masyarakat Madinah yang damai dan harmoni karena didasari oleh
semangat persaudaraan, cinta kasih,
solidaritas yang kuat dan rasa keadilan. Berdasarkan tiga prinsip itu
juga Rasul mampu mengeliminasi segala bentuk kekerasan yang sebelumnya menjadi
ikon penduduk kota itu.
Islam menegaskan ajaran tauhid yang murni, bahwa hanya
ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Pandangan tauhid yang benar akan membawa
manusia kepada pola berketuhanan yang benar dan berkemanusiaan yang benar pula
atau hablun minallah dan hablun minannas.
Al-Qur’an menyebut
manusia sebagai makhluk paling sempurna (QS. Al-Isra’, 17:70), dan
karena itu makhluk lain patut memberikan penghormatan kepadanya sebagai tanda
pengabdian kepada Sang Pencipta. Al-Qur’an juga menyebutkan, manusia adalah
makhluk yang bermartabat dan harus dihormati tanpa membedakan ras, suku bangsa,
agama, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dan ikatan primordial lainnya. Yang
membedakan di antara manusia hanyalah prestasi takwanya (QS. Al-Hujurat,
49:13) dan bicara soal takwa hanya Allah swt. yang berhak memberikan penilaian.
Salah satu bentuk penghormatan kepada manusia adalah
menjaga kelangsungan hidupnya, nyawanya tidak boleh dihilangkan (QS. 27: 33;
5:32), juga fisik dan psychisnya tidak boleh disakiti untuk alasan apapun (QS.
5:45). Semua manusia harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan tanpa pembedaan. Hadis nabi yang
diriwayatkan Bukhari menjelaskan secara gamblang: “Sesungguhnya darahmu
(life), hartamu (property), dan
kehormatanmu (dignity) adalah suci,
seperti sucinya hari ini (haji wada’) di bulan ini, dan negerimu ini sampai
engkau bertemu Tuhanmu di hari akhir nanti (HR. Bukhari).”
Islam begitu tegas mengajarkan bahwa pluralitas atau
keberagaman dalam beragama adalah sunatullah, yaitu sesuatu yang sudah menjadi
keputusan Tuhan, bukan sebuah kesalahan atau kekurangan. Mengapa? Jika
seandainya Tuhan menghendaki maka pasti berimanlah semua manusia di bumi ini.
Lalu, apakah kalian akan memaksa mereka untuk beriman? (Yunus 99).
Bahkan, sejumlah hadis meriwayatkan larangan bagi seorang suami memaksa
isterinya yang non-Muslim untuk masuk Islam. Sebaliknya, para suami harus
menemani isteri mereka pergi beribadah ke gereja, jika mereka diminta.
Al-Qur’an berisi banyak sekali ayat yang mendorong dialog
di antara manusia. Bahkan, tidak sedikit ayat mencontohkan ungkapan Tuhan
berdialog dengan hamba-Nya. Sebagai contoh dalam surah Al-Waqi’ah, 56:
63-73. Dalam ayat-ayat tersebut Allah
bertanya kepada manusia: “Tahukah kalian, siapa yang menghidupkan tanaman?
Kalian yang menghidupkan atau Kami?”;
“Coba amati air yang kalian minum! Kalian yang menurunkan dari awan atau
kami?”; “Coba amati api yang keluar dari
gesekan kayu kering! Kalian yang menumbuhkan kayu itu atau kami?”
Redaksi ayat-ayat tersebut demikian indahnya memberi
contoh cara berkomunikasi yang dialogis. Jika Allah menghendaki, bisa saja Dia
menggunakan kalimat yang arogan, seperti “Kalian harus tahu bahwa saya inilah
pencipta kalian, yang menciptakan air” Namun, faktanya, Allah memilih redaksi
yang dialogis. Pesan moral dibaliknya adalah agar manusia menggunakan nalar
kritis dan menjadikan dialog sebagai media utama dalam interaksi sosial. Dialog
yang kritis adalah pilar penting dalam membangun demokrasi. Inilah
saya rasa makna ketika Alqur’an menegaskan “bahwa diciptakannya manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal” (Q. 49:13).
Kalimat “berbangsa-bangsa” (syu’uban)
dan “bersuku-suku” (qaba’il) adalah
fakta diversity atau plurality sementara “untuk saling mengenal”
(ta’aruf) adalah pemahaman tentang “dialog” lintas agama dan budaya
sebagai jembatan pluralisme.
Sayangnya, ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai
dialog, perdamaian, humanisme, pluralisme dan inklusifisme itu tidak banyak
disosialisasikan di masyarakat. Akibatnya,
wajah masyarakat Muslim di berbagai wilayah tampak sangar dan tidak bersahabat,
persis seperti laporan berbagai hasil survey yang dikemukakan terdahulu.
Penutup
Pluralisme agama, sebagai satu dari bangunan penting
demokrasi, hedaknya menjadi perhatian utama kita semua, termasuk para pemuka
agama dan penyelenggara negara. Apalagi, di
masa lalu, pluralisme agama telah dipromosikan sedemikian cerdas menjadi
instrumen kontrol, yakni sebagai instrumen hegemoni kekuasaan yang sangat
ampuh. Untuk itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengubah
pluralisme agama dari sekedar sebagai alat kontrol menjadi suatu kekuatan
politik yang efektif dan mampu mengalahkan unsur-unsur sektarian dan anti
demokrasi.
Dari berbagai diskusi yang berlangsung selama ini
setidaknya ditawarkan dua strategi
mendasar bagi upaya membangun pluralisme agama di Indonesia. Pertama, dialog
yang tulus dan intensif. Dialog antarumat beragama, bukan tidak pernah
dilakukan, melainkan sudah terlalu sering. Akan tetapi, kebanyakan dialog
terhenti di tingkat elite, yaitu hanya di kalangan tokoh-tokoh dan pemuka agama
tingkat nasional, dan itupun hanya
berlangsung di ibu kota. Dialog diharapkan berlangsung bukan hanya di
kalangan elite, melainkan lebih penting di tingkat "akar rumput".
Kelompok pemuda, kelompok perempuan, dan berbagai kelompok yang terpinggirkan
di masyarakat hendaknya diajak dalam proses dialog. Selain itu, materi dialog
pun harus difokuskan pada proses transformasi dan humanisasi masyarakat.
Di samping itu, dialog hendaknya dimaksudkan untuk saling
mengenal antara mitra dialog dan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam
rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup
bermasyarakat. Perlu dicatat bahwa dialog tidak akan pernah efektif tanpa
kesediaan semua pihak untuk mengkaji secara jernih dan mengkritisi ajaran
masing-masing dan hal ini hanya bisa dilakukan manakala para penganut agama
sungguh-sungguh memahami ajaran agamanya dengan baik dan sempurna, tidak
setengah-setengah.
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa mayoritas penganut
agama tidak memahami ajaran agamanya
secara benar dan komprehensif, dan lebih sedih lagi bahwa kondisi
seperti itu juga menyelimuti sebagian para pemuka agama. Tujuan utama dialog
antaragama adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan tanggungjawab bersama,
sikap toleransi, saling menghormati, dan memberikan kebebasan bagi
masing-masing pemeluk agama. Dialog yang dilakukan itu harus mampu memaparkan
berbagai karakteristik agama masig-masing sehingga setiap pemeluk agama yang
berbeda-beda itu dapat saling memahami dan menghargai eksistensi kebenaran
agama lain. Oleh karena itu, dialog harus dilakukan atas dasar dan komitmen
pada keterbukaan, toleransi, dan pluralisme. Bukan untuk tujuan mengajak kepada
konversi agama atau tujuan-tujuan yang serupa lainnya.
Kedua, aktivitas partisipatoris. Strategi ini perlu
diwujudkan menyusul kegiatan dialog. Melalui kegiatan ini, para penganut agama
yang berbeda-beda itu dimungkinkan untuk memperoleh pengalaman hidup bersama
atau pengalaman bekerja bersama, misalnya dalam bentuk kegiatan jambore atau
kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan atau bantuan medis pada kelompok
masyarakat yang sedang mengalami musibah. Pengalaman hidup bersama atau bekerja
bersama di dunia nyata pada akhirnya akan membuat mereka sadar bahwa apa yang
mereka anggap berbeda selama ini ternyata tidak sepenuhnya berbeda. Sejumlah
pengalaman partisipatif seperti ini pada akhirnya membuat penganut suatu agama
-yang mulanya membayangkan bahwa penganut agama lain itu sangat berbeda dengan
diri mereka- mampu menyimpulkan bahwa
“mereka itu juga seperti saya”. Apa yang selama ini mereka persepsikan berbeda
itu ternyata hanyalah persepsi belaka, jauh dari realitas yang dialami dan
dirasakan ketika mereka hidup dan bekerja bersama.
Akhirnya, dalam rangka mewujudkan masyarakat damai yang
menghargai pluralisme ada dua hal yang patut dilakukan. Yang pertama dan utama adalah bahwa setiap komunitas agama hendaknya membenahi
dan menyelesaikan terlebih dahulu berbagai kendala internal dalam komunitas
mereka masing-masing. Setidaknya ada tiga kendala utama yang dihadapi. Pertama, soal disintegrasi dan degradasi
moral. Setiap agama hendaknya menyadari bahwa tujuan beragama yang hakiki,
yaitu menjadikan manusia sebagai makhluk bermoral, sebagaimana tercantum dalam
teks-teks suci agama, ternyata masih sangat jauh dari harapan. Kedua, soal
ketidakadilan. Seringkali para pemuka agama hanya gencar menyuarakan ketidakadilan
manakala ketidakadilan itu menimpa diri atau kelompok mereka. Akan tetapi,
mereka akan diam membisu, manakala yang mengalami ketidakadilan itu adalah
penganut agama lain. Ketiga, soal
eksklusivisme. Hampir semua komunitas agama mengalami kendala dalam mengikis
berbagai bentuk eksklusivisme ini.
Berikutnya, adalah mengatur kembali pola hubungan antara
agama dan negara. Sulit dielakkan kenyataan bahwa upaya-upaya modernisasi di
masa lalu pada umumnya dijalankan dengan mengadopsi cara-cara yang represif,
otoriter, dan hasilnya pun lebih banyak diukur dari aspek kuantitasnya daripada
kualitasnya. Ditambah lagi dengan metode yang sangat sentralistis, dan
didominasi oleh birokrasi dan militer. Ke depan diperlukan langkah-langkah yang
terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat
Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat kontrol, terlebih lagi
sebagai alat untuk mendominasi. Sudah selayaknya kita semua mengembalikan agama
kepada posisinya yang hakiki, yaitu kepada misi spiritualnya sebagai sumber
etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wallahu a`lam bi al-shawab.
[1] Disampaikan pada FGD Pelatihan dan Pendidikan HAM dan Demokrasi
Bagi Penyukuh Agama Lintas Iman, diadakan oleh ICRP, di Jakarta, 20 Maret 2014.
[2]
Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), dan dosen
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ,
alamat email: m-mulia@indo.net.id
[3] Fatwa haram MUI atas paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme ini
ditambah dengan sejumlah fatwa anti-toleransi (seperti fatwa haram berdoa
bersama non-Muslim atau mengucapkan dan merayakan Natal bagi Muslim) dan fatwa
sesat atas Ahmadiyah, Islam Jama’ah, Syi’ah dan berbagai sekte keagamaan telah
menginspirasi kelompok Muslim radikal di Indonesia untuk melakukan aksi
kekerasan terhadap kelompok keagamaan tertentu yang mereka anggap sesat seperti
termaktub dalam fatwa MUI (selanjutnya lihat Monthly Report on Religious Issues yang dipublikasikan oleh The
Wahid Institute dalam http://wahidinstitute.org). Tidak sebatas itu, para oknum MUI di beberapa daerah tertentu bahkan
menjadi prime mover aksi-aksi
kekerasan berbasis agama itu. Ini tentu sangat disayangkan. MUI yang seharusnya
menjadi pemersatu kelompok-kelompok keagamaan yang terbelah justru menjadi
“polisi agama” yang ikut menggebug kelompok-kelompok keagamaan yang divonis
sesat dan menyimpang. MUI yang semestinya berfungsi sebagai penyejuk dan “oase
spiritual” bagi umat manusia—apapun agama dan keyakinan mereka seperti
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW—justru ikut menjadi pembakar amarah massa
dan penyulut kebencian. Pula, MUI yang seharusnya menjadi wadah dialog agama
yang terbuka justru menjadi sarang kelompok konservatif yang anti-dialog dan
pluralisme. Apa yang menimpa MUI ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat
sebagai institusi agama yang “dihidupi” dari uang rakyat melalui APBN, tidak
sepantasnya jika MUI terlibat dalam kekerasan agama yang mengorbankan rakyat
itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar