Kajian SALAM ke-15
Memaknai
Hijrah Sebagai Proses Transformasi[1]
Akhir-akhir ini makna dan
istilah hirah mengalami penyimpangan yang luar biasa. Bahkan makna hijrah
cenderung menjadi komodifikasi agama. Hijrah dimaknai dengan memakai jilbab
panjang, saking panjangnya sampai menutup mata kaki dan menyapu debu jalanan
yang bertaburan najis. Hijrah dimaknai dengan penggunaan gamis dan celana
cingkrang, membeli rumah di perumahan Syariah dan seterusnya yang semua
berujung pada upaya menarik orang untuk berbelanja dan membeli sesuatu yang
berlabel syar’i. Tidak heran, jika kemudian bisnis busana muslim menjadi market
yang sangat menggiurkan para pendukung kapitalisme, baik lokal maupun internasional.
Hijrah oleh kaum
fundamentalisme digunakan untuk menyatakan sikap dan prilaku yang berubah ke arah
konservatisme. Misalnya, mereka yang semula tidak menutup kepala lalu mendadak
berhijab atau bahkan bercadar. Ketika ditanya, jawabnya sudah hijrah!. Mereka
para lelaki yang tadinya tidak mengenal agama, tiba-tiba rajin ke pengajian dan
busananya berubah menjadi cingkrang dan berbaju ala Pakistan, lalu memaksakan
diri berjenggot meski tumbuh hanya beberapa helai rambut, alasannya karena
hijrah. Karena hijrah, mendadak teman saya berhenti dari pekerjaannya sebagai
karyawan Bank Swasta dan sudah hidup mapan. Lalu memilih bekerja sebagai driver
on-line yang akhirnya terpaksa menelantarkan hidup anak-anaknya demi hijrah.
Bahkan, lebih parah lagi, beberapa mahasiswa saya memilih meninggalkan rumah
orang tua mereka demi hijrah dan kemudian memilih hidup bersama kelompoknya
yang seiman. Apakah demikian makna hijrah?
Istilah hijrah dalam tradisi
Arab mulanya dipakai untuk pengertian meninggalkan suatu negeri yang tidak aman
menuju negeri lain yang menjanjikan keselamatan dan kenyamanan, khususnya dalam
menjalankan ajaran agama. Dalam konteks Islam, meskipun secara fisik peristiwa
hijrah dikaitkan dengan aktivitas Nabi saw dan para sahabat, namun bagi umat
Islam masa kini tetap terbuka kesempatan melakukan hijrah. Hijrah secara luas bermakna
upaya-upaya transformasi dan rekonstruksi diri dan masyarakat menuju peningkatan
kualitas hidup yang lebih beradab, lebih beriman dan lebih manusiawi.
Ragib Al-Isfahani (w. 502
H/1108 M), pakar leksikografi Al-Qur'an berpendapat, istilah hijrah mengacu
pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri dimana penduduknya sangat
tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan
syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. al-Ankabut,
29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme dan hedonisme
menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol
hawa nafsu). Sungguh tepat hadist Nabi: "Orang yang berhijrah ialah orang
yang meninggalkan segala yang dibenci Allah" (Riwayat Bukhari).
Sejumlah ayat Al-Qur’an
secara tegas memotivasi orang-orang beriman agar berjuang dan berusaha
meningkatkan kualitas hidup, kalau perlu berpindah lokasi mencari tempat
kehidupan yang lebih baik, lebih kondusif, jangan terpaku hanya pada satu
tempat saja. Perspektif ini mengesankan Islam sangat mengapresiasi perkembangan
global yang ditandai tingginya dinamika dan mobilitas penduduk. Islam
menghendaki umat yang dinamis dan progres, bukan umat yang terbelakang dan
terkungkung, apalagi statis, apatis, pasif dan pasrah menerima nasib.
Pesan penting hijrah adalah
umat Islam harus berani dan mampu melakukan transformasi diri ke arah yang
lebih positif dan konstruktif sehingga menjadi umat yang rahmatan lil alamin.
Umat yang selalu membawa manfaat bagi semua makhluk di alam semesta, bukan
membawa bencana dan berbagai kondisi destruktif.
Khalifah Umar bin Khattab
adalah figur yang amat berjasa dalam penetapan awal tahun hijriyah atau
penanggalan tahun hijrah. Penanggalan tersebut tidak dibuat berdasarkan hari
lahir Nabi Muhammad saw, bukan pula hari wafat beliau, melainkan pada suatu peristiwa
bersejarah yakni hijrah beliau dari Mekah ke Madinah (waktu itu bernama:
Yasrib). Peristiwa itu terjadi pada tanggal 2 Juli 622 M bertepatan dengan 12 Rabiul Awal.
Hijrah ke Madinah meski bukanlah
hijrah pertama bagi umat Islam -sebelumnya sekelompok Muslim melakukan hijrah
ke Habasyah (Ethiopia)- namun peristiwa tersebut merupakan tonggak sejarah yang
sangat strategis. Ia merupakan awal dari babak baru perjuangan Nabi saw. Masa kenabian
bisa dibagi atas dua babak: masa Mekah dan masa Madinah. Pada masa Mekah, Nabi
mengadakan revolusi aqidah atau revolusi mental. Kemusyrikan diganti dengan
tauhid. Dengan tauhid manusia menentukan pilihan, Tuhanlah yang menjadi objek
kecintaan dan pengabdian, bukan manusia apalagi materi. Tiga belas tahun
lamanya Nabi berdakwah dan berjuang di Mekah menghadapi masa-masa berat penuh
ancaman dan penderitaan.
Hijrah ke Madinah merupakan
momentum perubahan dan pembebasan umat Islam dari semua belenggu diskriminasi
dan kezaliman. Orang-orang Muslim yang berhijrah dari Mekah disebut Muhajirin,
sedangkan penduduk Muslim Madinah yang menolong mereka dinamakan Anshar
(kaum penolong). Hijrah Rasul ke Madinah bersama sahabatnya (laki dan
perempuan) membawa perubahan signifikan dalam sejarah Islam. Ketika di Mekkah
umat Islam teraniaya, tertindas, diboikot, berada di bawah kuasa politik kaum
musyrik Quraisy. Sebaliknya, di Madinah umat Islam menjadi pemegang kendali
politik kekuasaan. Nabi saw diangkat menjadi kepala negara dengan masyarakat
yang heterogen: umat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar; penganut
Yahudi dan penganut paganisme.
Kota Yasrib diganti menjadi Madinat ar-Rasul (kota Rasul), lalu
disingkat dengan Madinah. Kata Madinah mengandung dalam dirinya makna
peradaban. Perubahan nama tersebut mencerminkan suatu komitmen kuat dari umat
Islam untuk mengubah diri menjadi umat yang beradab dengan mengedepankan
nilai-nilai keadaban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada masa Madinah,
Nabi saw mengadakan reformasi jamaah, reformasi sosial, kefanatikan suku
diganti dengan faham kemanusiaan yang lebih luas. Kehidupan yang tak mengenal
aturan diganti dengan kehidupan bermasyarakat yang diikat oleh nilai-nilai
moral dan norma-norma sosial.
Di Madinah Nabi saw mulai menata kehidupan umat yang diikat oleh ukhuwah
atau tali persaudaraan. Menarik dicatat, Nabi saw bukan hanya memperkenalkan ukhuwah
islamiyah (persaudaraan seiman), melainkan juga ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan sebangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama
manusia). Melalui ikatan persaudaraan kemanusiaan tersebut, Nabi saw
mengajarkan umatnya agar menghayati keragaman dan perbedaan di antara mereka
sebagai rahmat Tuhan, bukan suatu ancaman apalagi bencana.
Kondisi masyarakat Madinah yang heterogen dimana terdapat berbagai
kelompok yang satu sama lain berbeda keyakinan hidupnya, berbeda
kepentingannya, berbeda cita-citanya, namun semuanya dipersatukan oleh ikatan
kemanusiaan, sama-sama makhluk Tuhan. Melalui peristiwa hijrah, Nabi saw
memberi teladan bagaimana membina masyaraka yang sangat majemuk, yang berbeda
agamanya, Islam, Yahudi dan bahkan kaum musyrik, dan juga berbeda
kebangsaannya, Arab dan Yahudi. Mereka dibebani tanggung jawab yang sama,
memelihara keamanan dan ketertiban bersama. Mereka diberi hak yang sama,
mendapatkan kesempatan dan jaminan yang sama. Satu sama lain tidak mendominasi,
satu sama lain tidak memaksakan kehendaknya.
Untuk konteks Indonesia,
dengan spirit hijrah umat Islam mestinya mampu memberikan contoh teladan (uswatun
hasanah) dalam mengikis semua bentuk ketidakadilan, ketimpangan social, intoleransi,
radikalisme dan terorisme yang menghancurkan peradaban manusia. Demikian pula,
umat Islam harus berjuang paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi,
kolusi, nepotisme dan semua praktek oligarki politik yang menjijikkan. Umat
Islam harus menjadi pionir dalam berbagai upaya eliminasi semua bentuk perilaku
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis apa pun. Terakhir, tapi tidak
kurang pentingnya adalah umat Islam harus menjadi terdepan dalam upaya-upaya
peningkatan sains dan teknologi demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar